Pages

17 October 2013

Menuju Perusahaan Berbudaya K3

Dengan mengetahui di tingkat mana budaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) perusahaan anda berada, kita dapat menentukan program K3 yang paling efisien dan efektif untuk meningkatkan kinerja K3 perusahaan.
 

Selama lebih dari 60 tahun, industri kerja telah berhasil menurunkan tingkat kecelakaan dengan mengadopsi perbaikan engineering dan penerapan sistem manajemen K3 yang canggih. Namun, kinerja K3 telah mencapai tahap stagnan. Meski sudah banyak uang dan usaha yang dikeluarkan, peningkatan kinerja yang dihasilkan tidak berbeda signifikan dari tahun-tahun sebelumnya.

Saat ini, sebagian besar kecelakaan berasal dari kesalahan (error) atau pelanggaran (violation) pekerja. Langkah besar yang harus ditempuh adalah membangun budaya K3 yang baik, sehingga mempengaruhi perilaku pekerja secara positif, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesalahan dan pelanggarannya.

Budaya bisa kita definisikan secara sederhana sebagai perilaku, nilai-nilai dan keyakinan yang menjadi dasar ‘cara melakukan sesuatu’.

International Association of Oil & Gas Producers (OGP) memberikan klasifikasi tahapan budaya K3 perusahaan. Dengan mengetahui di posisi mana perusahaan anda berada, kita juga mengetahui apa saja yang diperlukan untuk meningkatkan budaya K3 perusahaan.

Kelima tingkatan budaya K3 ini merupakan pengembangan 3 tingkatan budaya organisasi Westrum (1985), yaitu: patologis, reaktif, kalkulatif, proaktif, generatif.

Di tahapan paling bawah (patologis), bisa terlihat dari tidak ada atau kurangnya kemauan organisasi untuk mengenali dan/atau menangani isu yang menyebabkan buruknya kinerja K3. Di tahapan paling atas (generatif), praktek kerja aman dipandang sebagai kebutuhan dan bagian yang diinginkan oleh pekerjaan apapun.

Organisasi yang memiliki budaya patologis, meyakini bahwa pekerja -umumnya yang ada di level rendah- menjadi penyebab kecelakaan. Mereka menerapkan hanya yang diwajibkan undang-undang/peraturan, termasuk inspeksi dan audit yang dipersyaratkan, untuk menghindari tuntutan hukuman. K3 dipandang sebagai hambatan dalam bekerja.

Organisasi di tahap budaya reaktif sudah memandang K3 sebagai sebuah hal yang penting, namun masih mempercayai bahwa sebagian besar masalah ada di tingkatan pekerja terendah. Kemampuan K3 perusahaan dan karyawan masih minim dan hanya menginginkan program-program K3 yang sederhana. Contohnya, jika kelalaian untuk memakai sabuk pengaman ketika berkendara diindentifikasi dalam investigasi kecelakaan, maka kampanye penggunaan sabuk pengaman dipandang sudah cukup; perilaku tidak aman lain yang berkontribusi dalam kecelakaan berkendara semisal memacu kendaraan melebihi batas kecepatan, kemungkinan besar tidak di akan ditindaklanjuti.

Organisasi berbudaya kalkulatif meyakini bahwa sistem manajemen K3 memiliki pengaruh dalam mendongkrak kinerja. Perusahaan di tingkat ini telah mempunyai banyak program dan pelatihan K3. Program-program yang ada lebih ke arah pencapaian target angka scorecard, contohnya: pencapaian jumlah pekerja yang dilatih ketimbang menilai kompetensi pekerja setelah pelatihan. Profesional K3 perusahaan dilihat sebagai pemeran utama pelaksana program K3 dan bertanggungjawab atas kinerja K3 perusahaan. Organisasi berbudaya kalkulatif mempertimbangkan pelaksaaan program K3 berdasarkan kebutuhan untuk memperbaiki isu kinerja, terutama terkait kecelakaan yang dihadapi, semisal kampanye berkendara aman untuk menangani isu tingginya angka kecelakaan berkendara.

Organisasi yang proaktif sudah memandang K3 sebagai nilai inti (fundamental core), dan para pimpinan di setiap line secara tulus peduli kepada kesehatan dan keselamatan semua pekerja dan kontraktornya. Organisasi proaktif memahami bahwa penyebab utama kecelakaan terletak pada kegagalan manajemen sistem. Data, termasuk informasi pendukung kejadian nyaris celaka (nearmiss), dipergunakan sebagai target scorecard kinerja. Perbaikan berkelanjutan menjadi tujuan yang jelas bagi semua di organisasi yang proaktif.

Sementara itu, organsisasi yang berbudaya generatif merupakan organisasi yang memiliki kemampuan tertinggi dalam memenuhi sendiri kebutuhan organsisasinya, organisasi di tahap ini terus berusaha untuk mengerti lingkungan pekerjaannya. Program-progam K3 yang dipilih dan dipergunakan merupakan program yang disukai para pekerja -merasa nyaman dengannya. Program yang sifatnya wajib bagi pekerja bisa memberikan hasil yang kontra produktif, karena tidak memberikan kepercayaan yang penuh. Di tahap organisasi generatif, semua pekerja merasa nyaman dan tidak ragu untuk menyoroti permasalahan yang nyata atau bahkan isu yang mungkin menyebabkan masalah. Pekerja merasa diberdayakan untuk menyelesaikan permasalahan K3, dan para pimpinan memberikan dukungan yang diperlukan.

Budaya K3 erat sekali kaitannya dengan kepercayaan, kredibilitas dan perilaku para pimpinannya. Dan untuk mencapai budaya K3 perusahaan yang mapan bukanlah sebuah akhir dari perjalanan, karena membangun budaya K3 merupakan usaha terus menerus perbaikan berkelanjutan.


---000---
Penyusun: Syamsul Arifin, SKM
HES Specialist, Chevron Indonesia Company
Alumni K3 FKM UI

Referensi:
·         International Association of Oil & Gas Producers. A guide to selecting appropriate tools to improve HSE culture. March 2010. OGP Publication. United Kingdom

·         International Association of Oil & Gas Producers. Human Factors..., a Means of Improving HSE Performance. June 2005. OGP Publication. United Kingdom.