Dengan mengetahui di tingkat
mana budaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) perusahaan anda berada, kita
dapat menentukan program K3 yang paling efisien dan efektif untuk meningkatkan
kinerja K3 perusahaan.
Selama lebih dari 60 tahun,
industri kerja telah berhasil menurunkan tingkat kecelakaan dengan mengadopsi
perbaikan engineering dan penerapan sistem manajemen K3 yang canggih. Namun,
kinerja K3 telah mencapai tahap stagnan. Meski sudah banyak uang dan usaha yang
dikeluarkan, peningkatan kinerja yang dihasilkan tidak berbeda signifikan dari
tahun-tahun sebelumnya.
Saat ini, sebagian besar
kecelakaan berasal dari kesalahan (error)
atau pelanggaran (violation) pekerja.
Langkah besar yang harus ditempuh adalah membangun budaya K3 yang baik,
sehingga mempengaruhi perilaku pekerja secara positif, yang pada akhirnya akan
menurunkan tingkat kesalahan dan pelanggarannya.
Budaya bisa kita definisikan
secara sederhana sebagai perilaku, nilai-nilai dan keyakinan yang menjadi dasar
‘cara melakukan sesuatu’.
International Association of Oil
& Gas Producers (OGP) memberikan klasifikasi tahapan budaya K3 perusahaan.
Dengan mengetahui di posisi mana perusahaan anda berada, kita juga mengetahui
apa saja yang diperlukan untuk meningkatkan budaya K3 perusahaan.
Kelima tingkatan budaya K3 ini
merupakan pengembangan 3 tingkatan budaya organisasi Westrum (1985), yaitu:
patologis, reaktif, kalkulatif, proaktif, generatif.
Di tahapan paling bawah
(patologis), bisa terlihat dari tidak ada atau kurangnya kemauan organisasi
untuk mengenali dan/atau menangani isu yang menyebabkan buruknya kinerja K3. Di
tahapan paling atas (generatif), praktek kerja aman dipandang sebagai kebutuhan
dan bagian yang diinginkan oleh pekerjaan apapun.
Organisasi yang memiliki budaya
patologis, meyakini bahwa pekerja -umumnya yang ada di level rendah- menjadi
penyebab kecelakaan. Mereka menerapkan hanya yang diwajibkan
undang-undang/peraturan, termasuk inspeksi dan audit yang dipersyaratkan, untuk
menghindari tuntutan hukuman. K3 dipandang sebagai hambatan dalam bekerja.
Organisasi di tahap budaya
reaktif sudah memandang K3 sebagai sebuah hal yang penting, namun masih
mempercayai bahwa sebagian besar masalah ada di tingkatan pekerja terendah.
Kemampuan K3 perusahaan dan karyawan masih minim dan hanya menginginkan
program-program K3 yang sederhana. Contohnya, jika kelalaian untuk memakai
sabuk pengaman ketika berkendara diindentifikasi dalam investigasi kecelakaan,
maka kampanye penggunaan sabuk pengaman dipandang sudah cukup; perilaku tidak
aman lain yang berkontribusi dalam kecelakaan berkendara semisal memacu
kendaraan melebihi batas kecepatan, kemungkinan besar tidak di akan
ditindaklanjuti.
Organisasi yang proaktif sudah
memandang K3 sebagai nilai inti (fundamental
core), dan para pimpinan di setiap line secara tulus peduli kepada
kesehatan dan keselamatan semua pekerja dan kontraktornya. Organisasi proaktif
memahami bahwa penyebab utama kecelakaan terletak pada kegagalan manajemen
sistem. Data, termasuk informasi pendukung kejadian nyaris celaka (nearmiss), dipergunakan sebagai target
scorecard kinerja. Perbaikan berkelanjutan menjadi tujuan yang jelas bagi semua
di organisasi yang proaktif.
Sementara itu, organsisasi yang
berbudaya generatif merupakan organisasi yang memiliki kemampuan tertinggi dalam
memenuhi sendiri kebutuhan organsisasinya, organisasi di tahap ini terus
berusaha untuk mengerti lingkungan pekerjaannya. Program-progam K3 yang dipilih
dan dipergunakan merupakan program yang disukai para pekerja -merasa nyaman
dengannya. Program yang sifatnya wajib bagi pekerja bisa memberikan hasil yang
kontra produktif, karena tidak memberikan kepercayaan yang penuh. Di tahap
organisasi generatif, semua pekerja merasa nyaman dan tidak ragu untuk
menyoroti permasalahan yang nyata atau bahkan isu yang mungkin menyebabkan
masalah. Pekerja merasa diberdayakan untuk menyelesaikan permasalahan K3, dan
para pimpinan memberikan dukungan yang diperlukan.
Budaya K3 erat sekali kaitannya
dengan kepercayaan, kredibilitas dan perilaku para pimpinannya. Dan untuk mencapai
budaya K3 perusahaan yang mapan bukanlah sebuah akhir dari perjalanan, karena
membangun budaya K3 merupakan usaha terus menerus perbaikan berkelanjutan.
---000---
Penyusun: Syamsul Arifin, SKM
HES Specialist, Chevron Indonesia
Company
Alumni K3 FKM UI
Referensi:
·
International Association of Oil & Gas
Producers. A guide to selecting
appropriate tools to improve HSE culture. March 2010. OGP Publication.
United Kingdom
·
International Association of Oil & Gas
Producers. Human Factors..., a Means of Improving
HSE Performance. June 2005. OGP Publication. United Kingdom.