“Saya
bukan gay, dan kamu tidak jelek. Tapi ini ngga bener, kita sebaiknya berteman
biasa aja.”
Penggalan
dialog itu masih saja terngiang ditelingaku. Yusuf, pemuda tampan di sekolah,
ketua OSIS pujaan siswi-siswi di SMA itu baru saja memutuskan hubungan kami,
padahal kita baru jadian 2 minggu lalu.
Pria
lainnya mengejar-ngejar aku untuk menjadi pacar mereka, selain cantik, aku juga
ngga membatasi diri dalam berinteraksi, bahkan sudah sering beberapa kali aku
ditegur guru karena dianggap kelewatan batas dalam bermesraan dengan mereka,
ketangkap basah di kelas ketika jam pelajaran kosong.
---000---
Wajah yang
terpampang di baliho pinggir jalan itu tampak begitu familiar. Tertulis dibawah
fotonya, Yusuf, ketua HIPMI (Himpunan Pengusaha Muslim Indonesia). Rupanya
mereka akan mengadakan seminar gratis di Balikpapan 3 minggu lagi. Wajah itu
mengingatkanku akan momen sekolah 15 tahun lalu. Figurnya masih tetap sama,
segar tampan, hanya tambah gagah –dulu kurus tinggi.
“Sukses Muda
itu Bisa!” itu judul seminarnya, hatiku bimbang, kepingin rasanya hadir, hanya
sekedar menyapa, toh acaranya di adakan di hotel yang sama tempat aku bekerja.
---000---
Sayup-sayup
kudengar gemuruh tepuk tangan gembira.
Aku
menguping dari sisi ruang ballroom hotel. Isi ruangan penuh, kuduga hampir 300
peserta memadati acara.
Itu dia,
sepertinya Yusuf ada di depan ruangan.
“Yang
pertama harus kita lakukan kalau ingin sukses adalah tentukan akan seperti apa
masa depan kita kelak. Bayangkan, apakah kamu akan duduk di depan toko roti
milikmu, bercengkrama dengan pengunjung cafe kopimu, atau berkeliling
menghabiskan hari di kebun pepaya milikmu.”
“Selanjutnya,
dan ini yang terpenting. Mimpi seindah apapun akan tetap menjadi mimpi kalau
kita tidak bangun dari tidur kita. Mulailah bangun dan susun rencana kerja.
Sama seperti mau ke lantai tertinggi hotel ini, pasti ada anak tangga atau
lift. Bangunlah anak tangga itu, dan melangkahlah setapak-demi setapak. Tidak
ada yang namanya kesuksesan instan, adanya mie instan dan katanya itu bikin
sakit kalau kebanyakan–makanya yang anak kostan, jangan sering-sering makan mie
instan,” seisi ruangan tertawa.
“Terakhir,
dibutuhkan kesabaranan dalam berusaha. Jangan maunya senang-senang saja di masa
muda, bergaul berlebihan, nongkrong sampai malam, sekolah bolos terus, belajar
ngga mau, lantas di masa tua mau hidup nyaman dan sukses. Hal itu ngga akan
terjadi. Trust me,” suaranya berubah bergetar.
“Ketika
SMA, saya sekolah di kota Balikpapan ini. Saya niat pengen masuk Universitas
Indonesia. Tapi bukan sekedar masuk UI, tapi masuk UI dan dapat beasiswa.
Orangtua saya bukan orang kaya, sudah syukur saya bisa sekolah sampai SMA
–itupun karena dapat beasiswa dari Pemprov Kaltim juga. Makanya ketika
teman-teman asyik pacaran, main sepulang sekolah, saya tidak melakukan itu.
Ketika siang hari jam istirahat, saya menghabiskan waktu di perpustakan, bukan
karena suka baca buku, tapi terpaksa baca buku, karena tidak punya uang untuk
jajan makan siang.” Tawa membahana mengisi ruangan.
“Ketika
banyak teman yang berangkat dan pulang sekolah naik motor atau diantar
orangtuanya, atau setidaknya naik angkot, saya sering jalan kaki hampir 2
kilometer, karena uang jajan saya hanya cukup untuk sekali naik angkot saja.”
“Alhamdulillah,
karena tidak malu hidup prihatin, jualan kecil-kecilan ke teman-teman, saya
jadi mengenal seni marketing di usia muda. Paham siapa segmen pasar saya, bisa
memprediksi trend market, terbiasa berpromosi dan bernegosiasi.”
“Sekarang,
saya memiliki 100 mobil rental, 21 cabang toko gadget, 11 travel agent, 7 rumah
makan, dan 2 pesantren quran.” Tepuk tangan bergemuruh.
Aku ingin
berlama-lama mendengarkan cerita Yusuf, tapi aku harus segera kembali ke bagian
reception penerima tamu menggantikan temanku.
---000---
Malam itu,
dalam perjalanan pulang ke rumah, di dalam angkot yang dentuman musiknya
memekakkan telinga, pikiranku hanyut melayang pada kejadian pagi tadi.
Aku kagum
akan perjalanan hidup Yusuf. Tidak seperti diriku, masih tinggal di rumah orangtua
dalam usia yang beranjak 35, menjadi single parent dengan suami yang entah
kemana tidak bertanggungjawab ketika menghamiliku dahulu ketika SMA.
Persetan
dengan cinta!
Pria kalau
ada maunya saja berlagak seperti pelayan. Kalau sudah menikah, jangankan
bersikap romantis, menafkahi cukup saja tidak, bahkan tega-teganya berselingkuh
dengan wanita lain!
Seandainya
dari dulu aku lebih bisa menjaga diri dan berhati-hati dalam berinteraksi,
mungkin keadaan akan jauh lebih baik dari kondisi saat ini.
Dingin
angin malam menusuk ke dalam rusuk. Tak terasa, air mataku mengalir perlahan
memecah keheningan malam.
---selesai---
Balikpapan,
19 November 2014
Syamsul
Arifin
*cerpen ini dimuat di kaltim post edisi minggu, 14 Desember 2014, bisa dilihat epapernya di: http://epaper.kaltimpost.co.id/arsip/byTanggal/2014-12-14 (hal 22)