Pages

23 December 2015

(cerpen) Kunang-Kunang Tanpa Cahaya

Aku terlahir di dekat rawa, dalam komunitas kunang-kunang yang hidup nokturnal –aktif di malam hari, tidur di siang hari.

Namun ada yang berbeda dalam diriku. Ketika teman-temanku memiliki lucifer sehingga mampu memancarkan cahaya, aku tidak bisa mengeluarkan sinaran dingin yang sama. Hal itu membuatku stres, apalagi ketika mengetahui bahwa ada beberapa teman-temanku yang bahkan sudah mengeluarkan cahaya ketika masih di dalam telur.

Makanan kami sama, cairan tumbuhan, siput-siputan kecil, cacing, maupun serangga kecil lainnya, tapi kenapa perutku tidak bisa memancarkan entah warna warna kuning, merah terang, hijau, atau  oranye seperti yang lainnya.

“Hey.., itu si kunang-kunang tanpa cahaya,” suara samar terdengar saling berbisik di lorong bawah tanah ketika aku berlalu.

Pandangan mata setengah mengejek menghiasi hari-hariku di sarang kami.

Bahkan larva-larva kecil akan menatapku aneh, mencoba memperhatikan bagian perutku, saling menebak kira-kira kenapa aku tidak mengeluarkan sinar yang sama.

“Mungkin dia terkena kutukan.”
“Ah, mana mungkin, para penyihir kan sudah musnah semenjak zaman dahulu,” tutur temannya.
“Itu akibat tidak patuh pada orang tuanya,” seorang tua ikutan menyahut, alasan yang digaungkan para tetua agar anak-anak mereka patuh dan nurut kalau diberi wejangan.
“Ih serem ah.., aku tidak mau jadi seperti itu,” mereka berlarian menjauh.

***

Rasanya menyedihkan menjadi pribadi yang berbeda dan dijauhi teman-teman, seakan-akan aku ini wabah penyakit yang harus dikarantina saja.

Jadi bahan perbincangan, ejekan –walaupun aku tidak bersalah apa-apa- sudah biasa. Walau sudah terbiasa, hal itu tetap membuatku muram.

Hari-hariku kulalui dengan suram, sekedar menjalani hari.

Sampai suatu malam, aku bertemu dan menjalin persahabatan dengan ngengat, semacam kupu-kupu malam. Berbeda dari saudaranya yang aktif di waktu siang –diural- dan memiliki sayap yang warnanya indah cemerlang, ngengat hampir mirip dengan diriku –berbeda dengan saudaranya-, sama-sama nokturnal dan memiliki sayap yang cenderung gelap, kusam atau kelabu.

“Usahlah mempedulikan suara sumbang kunang-kunang lain,” katanya suatu kali, “anggaplah suara-suara itu sebagai angin lalu. Sesekali bertiup, kemudian hilang tak berbekas.”

“Tak perlu kau tanggapi. Jangan dimasukkan ke dalam hati,” tambahnya, “jangan kau biarkan perkataan-perkataan itu membuatmu jatuh dan terpuruk.”

“Perkataan mereka tidak boleh sampai membentuk dirimu. Jadilah hebat dengan apa yang kamu miliki,” tuturnya santai.

“Nasihat yang super”, ujarku dalam hati. “Terima kasih kawan.”

***

Suatu malam, datang segerombolan manusia ke depan sarang kami. Mereka membawa plastik kecil dan botol kaca besar.

“Mari kita cari kunang-kunang sebanyak mungkin, untuk hiasan perayaan besok lusa,” seru salah seorang yang berbadan besar.

Mulailah mereka meraup, mengejar, menjebak, dan menangkapi sebagian besar kawan-kawanku. Kami berterbangan kocar-kacir, berteriak saling memperingatkan, “SELAMATKAN DIRIMU, Terbanglah sejauh mungkin dari sini!” jeritan bersahutan mengisi hutan malam.

Aku menjatuhkan diri ke lantai hutan. Tanpa sinar berkelap-kelip di dalam perutku, mereka melewatkanku yang tersamar oleh tanaman.

Beberapa jam mencekam akhirnya berlalu. Sarang kami porak poranda.

Anak-anak maupun dewasa, banyak tersekap di wadah botol yang mereka bawa. Sinarnya berkilauan terang. Tampak jelas ketakutan kunang-kunang yang telah tertangkap.

“Hari sudah semakin larut. Aku letih sekali. Mari kita beristirahat dulu di sini. Kita bangun tenda dan berangkat ke kota esok pagi,” kata seorang pemburu kunang-kunang itu.
“Baiklah,” mereka mulai membangun tenda, menyalakan api unggun, dan menggelar selimut

Malam beranjak semakin larut. Para pemburu itu sudah terlelap dalam kantuk.

Pikiran berkecamuk dalam diriku. Apakah aku akan meninggalkan semua kunang-kunang yang tertangkap dan mencari jalan selamat sendirian saja, terbang menjauh. Atau berusaha mendekat dan mencari jalan untuk membebaskan mereka semua yang sering mengejek dan menggunjingkanku.

Arrgh…, aku bingung.

“Jadikanlah kekuranganmu sebagai sumber kekuatanmu,” terngiang pesan ngengat sahabatku.

Aku memberanikan diriku menyelinap di antara para pemburu kunang-kunang.

Nyaring terdengar suara dengkuran, mereka semua sudah pulas terlelap.

Setengah berbisik, aku berkata di sisi toples, “ssssstt, jangan berisik, aku akan berusaha membebaskan kalian,” jariku memberi isyarat di depan bibir.

Kuperhatikan wadah ini tertutup kawat kasa, terikat di samping. Kutarik kuat-kuat. Satu-dua-tiga. Tutup wadah bisa terlepas.

Ratusan kunang-kunang berhamburan keluar. Kembali menghirup udara bebas.

“Mari menjauh dari sini!” seruan tercekat perlahan, ramai terbang beriringan.

Ada perasaan bahagia terselip dalam dada. Ucapan maaf dan terima kasih dari semua kunang-kunang malam menghapus memori luka masa lalu yang tadinya kelam menjadi terang benerang.

Perut gelap  tak bercahaya yang dulu kubenci, kini aku syukuri, terlepas dengan kondisi apapun yang kamu miliki, tidaklah jadi alasan untuk tidak bisa menjadikan dirimu bermakna bagi sesama.


---000---

Balikpapan, 30 November 2015
Syamsul Arifin, SKM, MKKK


Penulis adalah blogger, praktisi keselamatan kerja dan karyawan migas yang berdomisili di Gn Guntur Asri, Balikpapan. Kunjungi blogsnya di http://genkeis.blogspot.com



*cerpen ketigaku di Kaltim Post, edisi Minggu, 13 Desember 2015. Bisa dibaca di edisi digital Kaltim Post: http://epaper.kaltimpost.co.id/arsip/byTanggal/2015-12-13 (hal 35)