Aku terlahir di dekat rawa, dalam komunitas kunang-kunang
yang hidup nokturnal –aktif di malam hari, tidur di siang hari.
Namun ada yang berbeda dalam diriku. Ketika teman-temanku
memiliki lucifer sehingga mampu memancarkan cahaya, aku tidak bisa mengeluarkan
sinaran dingin yang sama. Hal itu membuatku stres, apalagi ketika mengetahui bahwa
ada beberapa teman-temanku yang bahkan sudah mengeluarkan cahaya ketika masih
di dalam telur.
Makanan kami sama, cairan tumbuhan, siput-siputan kecil,
cacing, maupun serangga kecil lainnya, tapi kenapa perutku tidak bisa
memancarkan entah warna warna kuning, merah terang, hijau, atau oranye seperti yang lainnya.
“Hey.., itu si kunang-kunang tanpa cahaya,” suara samar
terdengar saling berbisik di lorong bawah tanah ketika aku berlalu.
Pandangan mata setengah mengejek menghiasi hari-hariku di
sarang kami.
Bahkan larva-larva kecil akan menatapku aneh, mencoba
memperhatikan bagian perutku, saling menebak kira-kira kenapa aku tidak
mengeluarkan sinar yang sama.
“Mungkin dia terkena kutukan.”
“Ah, mana mungkin, para penyihir kan sudah musnah
semenjak zaman dahulu,” tutur temannya.
“Itu akibat tidak patuh pada orang tuanya,” seorang tua
ikutan menyahut, alasan yang digaungkan para tetua agar anak-anak mereka patuh
dan nurut kalau diberi wejangan.
“Ih serem ah.., aku tidak mau jadi seperti itu,” mereka
berlarian menjauh.
***
Rasanya menyedihkan menjadi pribadi yang berbeda dan
dijauhi teman-teman, seakan-akan aku ini wabah penyakit yang harus dikarantina
saja.
Jadi bahan perbincangan, ejekan –walaupun aku tidak
bersalah apa-apa- sudah biasa. Walau sudah terbiasa, hal itu tetap membuatku muram.
Hari-hariku kulalui dengan suram, sekedar menjalani hari.
Sampai suatu malam, aku bertemu dan menjalin persahabatan
dengan ngengat, semacam kupu-kupu malam. Berbeda dari saudaranya yang aktif di
waktu siang –diural- dan memiliki sayap yang warnanya indah cemerlang, ngengat hampir
mirip dengan diriku –berbeda dengan saudaranya-, sama-sama nokturnal dan
memiliki sayap yang cenderung gelap, kusam atau kelabu.
“Usahlah mempedulikan suara sumbang kunang-kunang lain,”
katanya suatu kali, “anggaplah suara-suara itu sebagai angin lalu. Sesekali
bertiup, kemudian hilang tak berbekas.”
“Tak perlu kau tanggapi. Jangan dimasukkan ke dalam hati,”
tambahnya, “jangan kau biarkan perkataan-perkataan itu membuatmu jatuh dan
terpuruk.”
“Perkataan mereka tidak boleh sampai membentuk dirimu.
Jadilah hebat dengan apa yang kamu miliki,” tuturnya santai.
“Nasihat yang super”, ujarku dalam hati. “Terima kasih
kawan.”
***
Suatu malam, datang segerombolan manusia ke depan sarang
kami. Mereka membawa plastik kecil dan botol kaca besar.
“Mari kita cari kunang-kunang sebanyak mungkin, untuk
hiasan perayaan besok lusa,” seru salah seorang yang berbadan besar.
Mulailah mereka meraup, mengejar, menjebak, dan
menangkapi sebagian besar kawan-kawanku. Kami berterbangan kocar-kacir, berteriak
saling memperingatkan, “SELAMATKAN DIRIMU, Terbanglah sejauh mungkin dari
sini!” jeritan bersahutan mengisi hutan malam.
Aku menjatuhkan diri ke lantai hutan. Tanpa sinar
berkelap-kelip di dalam perutku, mereka melewatkanku yang tersamar oleh tanaman.
Beberapa jam mencekam akhirnya berlalu. Sarang kami porak
poranda.
Anak-anak maupun dewasa, banyak tersekap di wadah botol
yang mereka bawa. Sinarnya berkilauan terang. Tampak jelas ketakutan
kunang-kunang yang telah tertangkap.
“Hari sudah semakin larut. Aku letih sekali. Mari kita
beristirahat dulu di sini. Kita bangun tenda dan berangkat ke kota esok pagi,”
kata seorang pemburu kunang-kunang itu.
“Baiklah,” mereka mulai membangun tenda, menyalakan api
unggun, dan menggelar selimut
Malam beranjak semakin larut. Para pemburu itu sudah
terlelap dalam kantuk.
Pikiran berkecamuk dalam diriku. Apakah aku akan
meninggalkan semua kunang-kunang yang tertangkap dan mencari jalan selamat
sendirian saja, terbang menjauh. Atau berusaha mendekat dan mencari jalan untuk
membebaskan mereka semua yang sering mengejek dan menggunjingkanku.
Arrgh…, aku bingung.
“Jadikanlah kekuranganmu sebagai sumber kekuatanmu,”
terngiang pesan ngengat sahabatku.
Aku memberanikan diriku menyelinap di antara para pemburu
kunang-kunang.
Nyaring terdengar suara dengkuran, mereka semua sudah pulas
terlelap.
Setengah berbisik, aku berkata di sisi toples, “ssssstt,
jangan berisik, aku akan berusaha membebaskan kalian,” jariku memberi isyarat
di depan bibir.
Kuperhatikan wadah ini tertutup kawat kasa, terikat di
samping. Kutarik kuat-kuat. Satu-dua-tiga. Tutup wadah bisa terlepas.
Ratusan kunang-kunang berhamburan keluar. Kembali
menghirup udara bebas.
“Mari menjauh dari sini!” seruan tercekat perlahan, ramai
terbang beriringan.
Ada perasaan bahagia terselip dalam dada. Ucapan maaf dan
terima kasih dari semua kunang-kunang malam menghapus memori luka masa lalu
yang tadinya kelam menjadi terang benerang.
Perut gelap tak
bercahaya yang dulu kubenci, kini aku syukuri, terlepas dengan kondisi apapun yang
kamu miliki, tidaklah jadi alasan untuk tidak bisa menjadikan dirimu bermakna
bagi sesama.
---000---
Balikpapan, 30 November 2015
Syamsul Arifin, SKM, MKKK
Penulis adalah blogger, praktisi keselamatan kerja dan
karyawan migas yang berdomisili di Gn Guntur Asri, Balikpapan. Kunjungi
blogsnya di http://genkeis.blogspot.com