Pages

23 August 2008

[cerpen] Kunjungan ke Masjid Nabawi

 

Tidak dibenarkan ziarah (kunjungan) ke masjid-masjid kecuali pada ketiga masjid, yaitu masjidil Haram (Mekah), masjidil Aqsha (Baitul Maqdis), dan masjidku ini (Madinah). (HR. Bukhari dan Muslim)

 

***

 

Bus melaju pelan, memasuki kota yang pernah bernama Yatsrib. Berhenti di sebuah hotel. Pemandu mengarahkan kami. Menunggu beberapa saat di lobby hotel, lalu kemudian membagikan satu-persatu kunci kamar. Aku mendapat kamar bernomor 602.

 

Hatiku berguncang pelan. Aku tidak sabar ingin menuju tempat tersebut. Setelah meletakkan tas, mandi dan memilih pakaian terbaik, dengan setengah berlari, aku keluar dari hotel. Meski tanpa bekal kemampuan bahasa Arab yang fusha, aku memberanikan diri. Bertanya sebentar pada resepsionis hotel, rute yang harus kutempuh.

 

Perjalanan kaki yang lumayan jauh, namun aku tidak peduli. Melihat papan penujuk jalan yang mengarahkan diriku. Berjalan sendirian, cukup jauh dan lama.

 

Ingatanku melayang-melayang pada buku-buku bacaan yang bersetting kemuliaan kota Madinah.

 

Akhirnya, terlihat dari kejauhan, menara-menaranya. Dadaku bergetar.

 

Aku tidak pernah menduga, bisa menuju bangunan yang memiliki dua kiblat dalam satu masjid. Masjid Nabawi. Sebuah bangunan yang megah. Besar. Allahu Akbar.

 

Doa memasuki masjid ku bacakan dengan khusyu kala melangkahkan kaki melewati gerbangnya, “Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu".

 

Isi masjid ramai, namun tidak terlalu penuh. Aku berjalan ringan.

 

Shalat Sunnah dua rakaat tahiyatul masjid kukerjakan setelah memasuki masjid, ketika berada di Raudah yang mulia, taman surga, sebuah tempat di antara rumah Rasulullah dan mimbar beliau. Mengalir air mata ditengah shalat. Kerinduan itu akhirnya terobati, meski belum sempurna benar. Sesenggukan bertahan hingga akhir salam. Mengangkat tangan tanda kesyukuran, memanjatkan doa dalam kehinaan diri.

 

“Ya Rabbi, hamba tidak akan pernah mungkin menyamai kedudukan Rasul-Mu, ampunilah dosa-dosaku, selamatkan hamba dari neraka-Mu, agar dapat menemui Rasulullah Muhammad SAW di akhirat nanti. Kabulkanlah wahai zat yang maha mendengar pinta. Amin”. Air mata terus saja mengalir. Takut, harap, berhimpun jadi satu.

 

Setelah tenang, aku menuju makam Rasulullah. Sampai di sebuah tempat yang dijaga. Berdiri sekitar empat langkah dari kuburan beliau, aku mengucap salam kepada Rasulullah SAW, dengan suara pelan, aku berucap,

 

“Aku bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan Risalah Rabb-mu, memberi nasehat kepada ummatmu, berdakwah kepada jalan Allah dengan hikmah dan mau‘idzah, dan menyembah Allah sampai kematian datang menjemputmu. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu, kepada keluargamu dan para sahabatmu.”

 

Setelah itu aku memalingkan hadapan ke arah Kiblat, dan bergeser sedikit ke kanan seraya memanjatkan do‘a,

 

“Ya Allah, Engkau telah berfirman dan firman-Mu benar: ‘Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’ (QS An-Nisa: 64). Kini aku telah datang kepada-Mu seraya meminta ampunan dari segala dosa-dosaku dan mengharapkan syafaat-Mu dihadapan-Mu kelak. Ampunilah aku sebagaimana Engkau telah mengampuni generasi para sahabat yang pernah hidup di zaman Nabi-Mu.”

 

Terbayang wajah orang-tua dan saudara-saudariku di Indonesia. Kupanjatkan doa bagi mereka dan bagi diriku,

 

“Ya Allah, berkahilah keluargaku, berkahilah ayahku, berkahilah ibuku, berkahilah kakakku, berkahilah adik-adikku, dan kumpulkanlah kami kembali di surgaMu yang penuh dengan kenikmatan yang kekal abadi, janganlah Engkau memisahkan kami di akhirat nanti, setelah Engkau mempersatukan kami di dunia ini. Rahmatilah kami, tunjukilah kami, cintailah kami, dan tuntunlah kami dalam cahaya-Mu yang tiada pernah pudar, dalam kelimpahan iman kepada-Mu, dalam naungan hidayah-Mu”

 

"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".

 

Air mataku tak terbendung, meleleh, mengalir pelan.

 

Kembali kupalingkan pandangan ke arah makam Rasulullah, teringat disana ada Abu Bakar As Sidiq RA, ayahanda Ummul Mukminin, Aisyah RA, disamping beliau ada pula Umar Ibnu Khattab, dan terbayang dalam benakku, bagaimana Aisyah harus menghijabi dirinya ketika Umar di kuburkan disamping suaminya, sebab ia bukan muhrimnya.

 

Ah, di masjid ini, Abu Bakar pernah menjadi imam ketika Rasulullah SAW jatuh sakit. Sebuah shalat yang unik, dimana Abu Bakar bermakmum kepada Rasulullah SAW yang shalat dalam keadaan duduk, sedang Abu Bakar mengimami kaum muslimin dalam keadaan berdiri.

 

Umar bin Kattab menjadi seorang syuhada di masjid ini, karena ditikam oleh seorang budak Majusi, hasil rampasan perang setelah mengalahkan Romawi, yang menikam beliau dengan menggunakan belati bermata dua, ketika sedang memimpin shalat subuh. Terbayang dalam benakku, darah berceceran di tempat imam shalat.

 

Para khulafaur rasyidin diangkat menjadi khalifah di masjid ini. Menantu Rasulullah SAW, sang pemilik dua cahaya, Utsman bin Affan salah satu contohnya.

 

Teringat pula bagaimana Ali bin Abu Thalib berkata dalam salah satu tausyiahnya, setelah beliau shalat fajar dan matahari meninggi diatas dinding masjid sejauh satu tombak, beliau berkata,

 

“Demi Allah aku telah melihat para sahabat Muhammad SAW, namun sekarang aku tidak melihat seorangpun yang menyerupai mereka. Mereka mengerjakan shalat fajar dengan wajah coklat, rambut acak-acakan dan berdebu, di antara kedua mata mereka terdapat bekas kapalan karena mereka melalui malam dengan sujud dan berdiri karena Allah. Mereka membaca kitabullah, berdiri silih berganti antara dahi dan telapak tangan mereka. Pagi harinya mereka berdzikir mengingat Allah, mereka bergoyang seperti goyangnya pepohonan pada hari angin kencang. Air mata mereka berlinang, hingga pakaian mereka basah. Demi Allah, seolah-olah orang sekarang melewati malam dalam keadaan lalai.”

 

Oh alangkah sedihnya diriku. Dimasa beliau saja sudah seperti itu keadaannya, sedang diriku sangatlah jauh dari itu. Kecut hati.

 

Aku berjalan berkeliling, lalu kemudian duduk di salah satu pilar masjid. Seorang syeikh sedang dikerumuni para jamaah. Aku ikut mendekat. Ingin mencoba mendengar, mencari keutamaan.

 

Terbayang dalam benakku, imam Malik bin Anas, salah satu mutjahid mutlak, pionir mazhab Maliki mengajar disini. Berjenggot rapi, berpakaian wangi, bersuara tenang, mengajarkan kitab Al Muwatta, yang terseleksi. Hadir diantara salah seorang murid beliau, Imam Syafii, pionir mazhab syafii, turut mendengarkan, terdorong kerinduannya kepada sang guru, ia mengunjungi Madina setelah berpergian belajar di Irak. Imam Malik melihat beliau, menyambutnya, dan memerintahkan untuk melanjutkan pelajaran, sebuah kitab yang dengan sangat mudah dihapalkan dan dimengerti Imam Syafii.

 

Oh alangkah indahnya… bahagianya bisa berada disini, di masjid Nabawi yang mulia…

 

 

 

---000---

 

*hanya sebuah kunjungan fiksi*semoga kan jadi nyata, nanti*

 

Samarinda, 23 Agustus 2008

Syamsul Arifin

 

“Ketika kerinduan memenuhi hati.., akankan ia terpenuhi..?”

 

*Referensi: Bidayah wa Nihayah oleh Ibnu Katsir; Sirah Nabawiyah oleh Dr. Muhammad Sa'id Ramadhani Al-Buthy; Biografi 10 Imam besar.

10 comments:

  1. kok bagus? hehe... maksudnya gaya nulisnya bagus. ringkes. dan jelas banget. bagusss ^^

    ReplyDelete
  2. subhanallah subhanallah *haru*

    Amin ya pin :)

    ReplyDelete
  3. Aminn... saya baru pulang dari tanah suci pada 080808..(menunaikan umrah) alhamdulillah.. terubat juga hati walaupun sesudah mengerjakan solat wida dan tawaf wida.. hati terasa sayu kembali.... cuaca disana panas terik waktu ini.. tapi alhamdulillah.. diizinkan menunaikan segala kewajipan dengan mudah...saya ingin memberi sedikit pandangan mengenai cerpennya jika izin ya... cerpen nya bagus cuma kurang deskripsi keadaan dan nama-nama tempat :) novel kang abik boleh dijadikan contoh ya bagi mencari cara terbaik membuat diskripsi keadaan dan tempat2..

    fyi - saya tinggal di hotel mawaddah (madinah) hotel rehab el firdausi (mekah) jalannya cuma kira2 200-300 meter dari masjid.. sekelilingnya terdapat toko2 yg menjual mcm2 makanan/pakaian/parfum/etc... pintu terdekat dgn hotel bagi jemaah perempuan di madinah babul utsman bin affan... di mekah pintu no 35... :)

    ReplyDelete
  4. @novi
    bahagianya yang sudah pernah kesana ^_^

    @desi
    wew, makasih atas apresianya :)
    cuma deskripsi latarnya kurang banget des :D

    @chicbee
    amin juga ^_^

    @mba yan
    hmmmm, yup, benar, memang pendeskripsian latar ceritanya kurang :)
    maklum, belum kesana, semoga nanti dalam waktu dekat ke sana ^_^
    silakan tambahan deskripsinya ^_^ makasih sebelumnya ;)

    ReplyDelete
  5. semoga bisa kesana yak, bareng asyik juga kayanya :D

    ReplyDelete
  6. na itu bisa dijadiin panduan setting ^^

    ReplyDelete
  7. semoga bener- bener bs jadi nyata

    ReplyDelete
  8. saya doakan mas ipin bisa sampai ksana sendiri nanti ya Amin....Ya Rabbal Alamin.... sungguh halus juga ya bahasa eramuslim di atas... Insya Allah nanti kita bisa lagi menjadi tetamu Allah swt sebelum menutup mata....

    ReplyDelete