Oleh: Ustadz Ahmad Sarwat, Lc.
Siapa pun yang menjadi rakyat di republik ini tahu, bahwa uang adalah penentu dari kekuasaan. Bahkan uang adalah tujuan dari kekuasaan. Kekuasaan dimulai dari uang, dijalankan oleh uang dan demi mendapatkan uang (yang lebih banyak) tentunya.
Kepala Desa
Waktu saya pernah tinggal di desa, dekat gunung Merapi, tiap beberapa tahun sekali ada hiruk pikuk pemilihan kepala desa. Yang saya ingat, tiap musim pemilihan kepala desa tiba, pemandangan lingkungan jadi rusak akibat para pendukung secara ngawur menempel spanduk kampanye sembarangan di semua sudut desa. Suasana desa yang biasanya penuh persaudaraan dan kedamaian, terusik dengan pembicaraan masyarakat yang sibuk mengelus-elus jago masing-masing.
Semakin mendekati hari pemilihan, biasanya suasana semakin tidak kondusif. Kalau awalnya cuma warga yang ramai, sekarang para tokoh masyarakat pun ikut ambil bagian. Tidak terkecuali tokoh agama yang seharusnya menjadi guru dan panutan dalam masalah akhlaq dan etika. Para ustadz, ulama bahkan kiyai pondok pesantresn mulai berubah wataknya. Yang tadinya halus, lembut, santun, tiba-tiba berubah menjadi gampang menjelekkan orang lain, menghina, mencaci, memaki lawan politiknya.
Satu kiyai mengejek calon lain dalam ceramahnya, sementara calon lain juga punya kiyai. Dan kiyainya marah akibat jagonya dicaci, sehingga terus membalas dengan cacian juga. Lagi-lagi dalam pengajian. Akibatnya, semua materi pengajian malah berisi saling ejek, saling caci, saling cela, saling sikut, saling sikat, saling cakar antar sesama muslim. La haula wala quwwata illa billah.
Lebih jauh didalami, ternyata di pusat pusaran hiruk pikuk itu keadaan lebih runyam lagi. Para calon kepala desa pada pusing mencari sponsor dana, karena untuk bisa turun ke gelanggang `politik kampung` pun ternyata harus menggelontorkan duit puluhan bahkan ratusan juta, hanya demi jabatan kepala desa yang diincarnya. Terkadang teman-teman si calon kepala desa itu ikutan juga saweran, atau jadi `botoh`, yang juga mau berkorban untuk menjagokannya.
Waktu itu saya suka bertanya dalam hati, kok ada ya pihak-pihak yang mau jadi `botoh`? Kok para botoh itu mau menggelontorkan dana yang tidak sedikit? Memangnya apa yang mereka bisa mereka dapat bila jago mereka menang?
Ternyata ada sawah bengkok yang jadi jatah para kepala desa. Itu yang resmi. Yang tidak resmi, tentu banyak lagi. Tapi semua tidak akan keluar dari judul besar, yaitu demi mendaptkan keuntungan materi yang lebih besar.
Polisi
Tetangga saya di desa mengabarkan bahwa putera pertamanya sekarang sudah diterima jadi anggota polisi. Meski nampak bahagia, ada terselip gurat kegundahan di wajahnya malam itu. Pasalnya, untuk bisa lolos jadi polisi, sang Ayah ternyata harus pinjam uang kesana kesini. Total tidak kurang dari 100 juta. Dan itu ternyata setelah didiskon besar. Seharusnya lebih mahal dari itu, tetapi berhubung calon lain yang siap membayar lebih besar mengundurkan diri, maka anaknya yang maju.
Jadi tetangga saya ini sekarang lagi bingung bagaimana caranya mengembalikan uang seratusan juta. Tapi dia bilang, insya Allah bisa dibayar, toh anaknya nanti akan punya kesempatan mencari usaha sampingan, terutama di lahan-lahan `basah`. Dia yakin dalam waktu satu tahun, semua hutang itu akan terbayar. Sedangkan bagaimana hukumnya, dia bilang tidak tahu. Pokoknya sekarang yang penting anaknya harus cari proyek yang sekiranya bisa membayar hutang.
Sisanya tinggal menikmati saja keuntungan dari lahan-lahan basah itu. Tentunya bukan dikuasai sendiri, tetapi tetap harus bagi-bagi jatah.
Waktu itu saya tidak habis pikir, mau jadi polisi kok harus bayar 100 juta. Padahal siaran resmi yang selalu kita dengar, bahwa tidak ada pungli kalau mau jadi polisi. Semua proses test masuk dilakukan secara jujur dan profesional.
Entah ini ulah oknum, atau realitas yang sengaja ditutup-tutupi, yang jelas sejak itu saya sering iseng-iseng tanya ke banyak pihak, ternyata jawabannya tidak jauh berbeda. Formalnya tidak bayar, tapi realitasnya ya harus siapkan dana juga kalau anaknya mau jadi anggota polisi.
Aleg Gagal
Salah seorang ustadz yang sering hadir di pengajian saya suatu ketika berkeluh kesah. Pasalnya dia sedang dilanda hutang ratusan juta. Pasalnya, dia diminta partainya untuk maju menjadi calon wakil rakyat. Entah karena baru dapat gusuran, atau dianggap cukup punya murid yang kaya, intinya partainya meminta dia `memodali` sendiri semua biaya kampanye yang ternyata menghabiskan ratusan juta.
Bagaimana tidak ratusan juta, lha wong biaya mencetak poster yang ada foto dirinya saja sudah mencapai angka puluhan juta. Belum biaya untuk mencetak kaos, spanduk, mug cantik, gantungan kunci dan souvenir lainnya. Ditambah lagi dengan sumbangan `tidak ikhlas` buat sejumlah jamaah pengajian yang bahkan selama ini tidak pernah mengenalnya dan tidak pernah dihadirinya. Kalau dihitung juga dengan semua biaya perjalanan kian kemari, ya memang masuk akal. Dan semua itu didapat dari pinjam, yang tentunya harus diganti.
Ketika hari penghitungan tiba, suara yang didulangnya ternyata anjlok, bahkan nyungsep. Suara yang memilih jauh di bawah jumlah mug cantik yang dibagi-bagikan. Duh duh.
Karuan saja sang ustadz jadi rada setres meski tidak mengaku terang-terangan. Bagaimana tidak setres, ratusan juta duit melayang begitu saja tanpa pesan. Team suksesnya yang ternyata tidak sukses itu juga sudah datang ke rumahnya meminta maaf atas ketidak-suksesan.
Ustadz ini mengadu bahwa dalam hati dia bilang, maaf sih maaf, tapi gimana urusannya uang ratusan juga yang ternyata peninggalan warisan orang tua itu ludes begitu saja, untuk membayar sebagian utang? Duit segitu dalam sekejap lenyap, pupus, sirna, menguap bersama mimpi-mimpi menjadi wakil rakyat, konon mengatas-namakan dakwah. Kalau mengandalkan panen sawah, harus `kerja paksa` 30 tahun lamanya tuh.
Saya secara pribadi merasa prihatin dan kasihan sekali dengan ustadz satu ini. Beliau itu orang baik, ikhlas, dan jujur. Tapi saking baiknya malah jadi lugu. Bagaimana tidak, sudah ratusan juta uang warisannya lenyap, jabatan tidak dapat, ditambah lagi yang amat menyakitnya, ternyata murid-murid pengajiannya yang selama ini dibinanya pada `pindah` ke guru ngaji dan kelompok lain, akibat lebih sering absen mengurus kampanye.
Penderitaanya masih tambah panjang ketika ternyata datang tagihan pembayaran hutang yang harus dicicil dari pendapatannya senin kamis. Rupanya uang hasil jual tanah warisan kemarin itu tidak cukup, sehingga terpaksa berhutang lagi kanan kiri buat tambahan.
Padahal kalau menang sekalipun, sebenarnya si ustadz ini tidak tahu banyak tentang urusan politik dan keparlemenan. Sebab sejak kecil sampai besar, jiwanya sesungguhnya berada di pesantren bergelut dengan kitab kuning dan pengajian. Terbiasa dihormati oleh santri-santri, dicium tangannya dan didoakan.
Saya cuma bilang, harusnya ustadz bersyukur tidak terpilih jadi anggota legislatif. Sebab kalau sampai jadi, lalu karena terlalu lugu dan makan uang haram, bisa-bisa anak istri hidupnya tidak berkah dari uang neraka. Mending rugi ratusan juta dan pelan-pelan mencicil, dari pada jadi pejabat, lantas jadi orang kaya, terus jumawa, makan uang rakyat, udah haram masuk neraka pula. Dinasehatin seperti itu, tambah keras tangisannya. Tuh kan, ustadz ini memang dasarnya orang baik. Cuma mungkin teman-temannya saja yang rada pragmatis, alias matre.
Pola Bobrok Sistem Kepemimpinan
Itulah sekilas bagaimana rakyat ini memiliki pemimpin, penegak hukum dan wakil-wakilnya di parlemen. Semua pakai duit yang amat tidak sedikit. Pakai duit karena memang tidak ada makan siang yang gratis. Pakai duit karena memang tujuan akhir di ujung sana adalah duit juga, dalam jumlah yang lebih besar tentunya. Dimulai dari duit dan berujung kepada duit.
Jabatan yang seharusnya merupakan amanah atau pengabdian, dalam sistem yang bobrok telah menjadi lahan untuk mencari dan menggandakan uang. Bahkan jabatan sudah menjadi meja perjudian, dimana para penjudi bertaruh dengan segala trik licik untuk menang mendapat uang yang besar. Namanya tukang judi, segala cara pasti dilakukan, meski harus menghalalkan yang sudah jelas-jelas haram.
Saya sendiri tidak terlalu merasa aneh dengan realitas ini. Sebab di dalam Al-Quran juga pernah dikisahkan, bagaimana umat terdahulu ketika diberikan pemimpin oleh Allah, mereka protes, karena ternyata pemimpin mereka bukan sosok yang akrab dengan duit. Dalam paradigma mereka, pemimpin itu harus punya duit, bukan sekedar punya idealisme, moral dan iman.
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" (QS. Al-Baqarah : 247)
Orang-orang yahudi yang Allah kisahkan itu memandang bahwa jabatan dan kekuasaan itu harus akrab dengan harta. Dimulai dari uang, selama berkuasa terus bergelimang dengan uang dan tujuan akhirnya memang untuk mendapatkan uang.
Jadi kalau sekarang ini ternyata jabatan dan kekuasaan itu tidak jauh-jauh dari uang dan kekayaan, rasanya memang bukan hal yang aneh lagi. Allah SWT sudah menceritakan bagaimana kekuasaan dan uang itu memang sesuatu yang tidak bisa dipisahkan.
Sistem Kepemimpinan Islam
Ketika Rasulullah SAW dan para shahabat menjadi penguasa, urusan uang menjadi sangat unik dan berbeda. Abu Bakar ash-shiddiq radhiyallahu anhu ketika dibai`at sama sekali jauh dari urusan uang. Beliau menjadi pemimpin umat Islam yang menggantikan posisi Rasulullah sebagai kepala negara tanpa aroma uang.
Para sahabat secara aklamasi mengangkatnya menjadi amirul mukminin semata-mata karena beliau adalah orang yang paling takut kepada Allah, paling wara` dalam urusan halal haram, paling mengerti detail urusan agama, paling awal masuk Islam, paling mengerti syariah Islam, paling setia kepada Kitabullah, paling paham sunnah Rasulullah SAW, paling `nekat` kalau bersedekah karena pernah mengeluarkan 100% kekayaan buat baitul mal, dan sekian banyak `paling-paling` lainnya, yang semua itu jauh dari aorma uang.
Demikian juga para khalifah lainnya. Kalau pun Ustman bin Al-Affan digambarkan sebagai orang kaya, kekayaannya didapat bukan karena jabatannya. Beliau memang sudah kaya sejak jauh sebelum menjabat sebagai amirul mukminin. Maka tidak pernah ada orang yang mempertanyakan kekayaannya, sebab semua tahu beliau memang seorang saudagar yang paling dermawan.
Umar : Sosok Pemimpin Panutan
Mungkin aneh dan dianggap mitos, tetapi ini realita. Ketika Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu menjadi khalifah, beliau tidak punya kekayaan, baik sebelum, ketika atau setelah menjabat. Beliau cuma punya satu stel pakaian saja yang melekat di badan, itu pun masih dihias dengan 40 assesoris berupa tambalan compang camping disana sini.
Kita tidak pernah dengar ada rakyat protes bahwa Umar bermain-main dengan uang negara. Yang kita dengar justru protes dari para wanita, karena Umar menghimbau agar para wanita tidak berlomba pasang tarif setinggi-tingginya dalam masalah mahar.
Umar bahkan tidak pernah bisa tidur kalau belum bisa memastikan rakyatnya tidur dengan perut kenyang. Maka beliau sendiri yang memanggul karung gandum dari baitul mal ke rumat salah seorang warganya, yang malam itu kelaparan dengan tiga anak yatimnya.
Ketika berangkat ke Palestina untuk menerima kunci Baitul Maqdis dari pemimpin umat Kristiani, Umar hanya menunggang seekor keledai ditemani satu orang pembantu, itu pun dinaiki secara bergantian. Saat memasuki gerbang Baitul Maqdis, orang-orang berebutan menyambut dan mengira yang duduk di atas keledai itu adalah Umar. Padahal Umar sedang giliran menuntun keledai.
Kalau kita bandingkan bagaimana wara`nya seorang Umar dengan gaya hidup para pejabat negeri kita hari ini, sungguh sangat kontras. Meski para pejabat kita itu beragama Islam, bahkan lahir dari pengajian, tetapi jauh sekali dari sikap amanah, wara`, sederhana dan berhati-hari memakai fasilitas negara. Sebaliknya, justru mumpung masih jadi pejabat dan punya kekuasaan, semua kekayaan dalam bentuk apa saja yang ada, harus segara dijarah, baik dengan cara kasar atau dengan cara diam-diam. Tapi intinya sama saja, pejarahan!!
Kenapa harus menjarah harta rakyat?
Jawabnya sederhana. Sebab sewaktu masih kampanye, kan sudah hutang kanan kiri. Semua pinjaman itu kan harus dibayar, plus bunganya. Dan pada saat berkuasa itulah waktu untuk membayar hutang dan menapatkan kentungan dari kelebihannya.
Tidak Ada Kamus Mundur
Maka buat pejabat di negeri ini, tidak ada kamus mundur dari jabatan. Kalau bangsa Jepang bisa bangga dengan perdana menterinya yang secara jantan menyatakan mundur dari jabatannya, hanya karena merasa tidak bisa memenuhi janji kampanye, maka kamus mundur tidak pernah dikenal di negeri ini.
Bagaimana mau mundur?
Orang Jepang mungkin dengan mudah bisa mundur, tapi untuk Indonesia dengan sistem kepemimpinan seperti ini? Main mundur-mundur begitu saja, hehe nanti dulu.
Bukan apa-apa, nanti para cukong dan sponsor bisa marah besar. Duit mereka yang sudah dipakai untuk mendapatkan jabatan itu , siapa yang mau menanggung. Kalau urusan malu, bangsa kita ini cukup tebal urat malunya. Dusta dengan janji politik itu biasa, toh semua juga melakukannya. Dan kalau semua orang melakukannya, kan jadi seri alias impas. Tidak ada yang berdosa, karena semua melakukannya. Begitu kira-kira logikanya.
Bulan madu masa kampanye dengan segudang janji manis politik itu memang sebatas sandiwara saja. Dan memang isi kampanye itu tidak lain dari panggung nyanyi dan joget dangdut, dimana massa yang tidak jelas dikumpulkan di tengah lapangan, diberi kaos dan ongkos lelah, lalu diselingin sedikit orasi tapi intinya tetap diajak joget. Ribuan massa itu memang terhibur sebentar oleh artis bayaran, setelah itu mereka tetap hidup melarat secara abadi. Semua itu harus itu dianggap sudah menjadi maklum.
Maka budaya mundur dari jabatan dianggap tidak sesuai dengan cashflow. Kalau perlu, biar pun sudah nyata-nyata gagal jadi pejabat, tetap saja mencalonkan kembali. Toh orang sudah lupa kalau dia pernah gagal. Benar-benar sudah tidak punya lagi urat malu, atau memang sudah putus, kita tidak tahu.
Penutup
Entah ini harapan atau malah kekecewaan, rasanya selama sistem kepemimpinannya masih seperti ini, sulit membayangkan negeri kita jadi maju. Sebab politik uang sudah jadi raja. Politik uang sudah jadi segalanya, bahkan sudah dijadikan agama dan dianut oleh semua kalangan. Siapa pun dia, apa pun partai dan golongannya, kalau main api dan dekat-dekat ke wilayah kekuasaan, memang harus TERPADU (terpaksa pakai duit).
Kalau sewaktu maju saja sudah harus pakai duit, lalu apa lagi yang dicari sewaktu menjabat kalau buat cari duit. Kisah teladan Umar bin Al-Khattab bagaimana dong? Yah ke laut saja . . .
Saya merasa tugas saya mengingatkan, 230-an juta bangsa ini, yuk kita berhenti dari berpolitik yang bobrok seperti ini. Kayaknya sudah bukan zamannya lagi buat kita untuk berkubang dengan sistem politik kampungan ini. Sudah waktunya kita ganti sistem ini dengan yang lebih bermoral dan manusiawi. Sistem yang waras, bukan sistem yang bikin gila beneran.
Buat apa adu jago dengan kampanye yang hanya menghabiskan begitu banyak dana mubazir dan resources yang sia-sia. Buat apa pemilu dan pilkada yang tidak menjamin bahwa yang terpilih itu orang yang memikirkan kesejahteraan rakyat, shalih, bermoral dan berakhlaq. Buat apa sistem demokrasi yang bodoh tidak cerdas karena tidak bisa membedakan mana hak dan mana batil?
Kita hanya menjadi korban ephoria politik yang tidak pernah melahirkan pemimpin yang waras. Sebaliknya, sistem ini terbukti hanya melahirkan para pemimpin yang kesat hatinya, rusak moralnya, bejat akhlaqnya, lupa tuhannya. Kecuali hanya sedikit orang yang juga tidak ada jaminan selamanya jadi orang shalih.
Mereka bagai singa-singa yang bukannya memimpin tetapi malah menerkam rakyatnya sendiri, kata Zainuddin MZ di TV kemarin. Rupanya da`i sejuta umat ini sudah tobat, balik kandang, setelah sempat terpesona dengan dunia politik yang menggoda. Semoga ngomong gitu bukan karena kalah ya ustadz.
Sumber: http://www.ustsarwat.com/web/berita-72-saatnya-mengubah-sistem-kepemimpinan.html