Pages
28 November 2019
Feel Blessed to be Part of Organization to Support Indonesia Development
12 November 2019
Pahlawan di Ujung Laut Lepas
08 October 2019
Berubah atau Mati
Dulu inget sekali, ada banyak anak-anak, ibu-ibu, atau bapak-bapak yang berdiri di pinggir jalan, mengacungkan jari 1 - menawarkan jasa joki 3 in 1 pada pengendara mobil yang hendak memasuki area terbatas.
Kini, pemandangan itu sudah tidak ada lagi.
Dulu, saya juga pernah jadi joki 3 in 1, semasa SMP. Sekedar mengisi waktu liburan sekolah, lumayan buat uang jajan, jadi pengalaman naik mobil.
Dalam hidup, banyak hal yang berkembang. Muncul menggantikan sesuatu. Bisa jadi ada dampak yang mungkin merubah kehidupan seseorang -misalnya penghasilan para joki itu-.
Contoh lainnya misalnya pengemudi taksi konvensional yang terdesak taksi online. Penghasilan pastinya menurun, drastis. Penjualan offline yang terdorong keberadaan online marketplace. Dst.
Dalam hidup, kita harus terus berkembang. Lebih baik setiap saat.
Jangan pernah merasa puas diri. Nyaman dengan kemapanan. Lalu berhenti berkembang. Berhenti bergerak.
Karena sekali kau berhenti, siap-siap dilindas perkembangan zaman. Lalu mati. Tanpa seorangpun peduli.
---000---
Cisarua, 8 Oktober 2019
Syamsul Arifin
18 September 2019
Apa yang Kamu Cari, Syamsul?
Apakah kekayaan, jabatan, atau ketenaran?
Apakah kau sudah putuskan apa yang akan kau cari di dunia ini? Sebab itulah yang akan jadi fokus perhatian, tempat mencurahkan tenaga, waktu, dan biaya.
Jika keridhoan-Nya yang jadi tujuan. Jika kejayaan Islam/kebangkitan Islam yang kamu tuju. Maka banyak hal tidak penting yang bisa kamu lewati.
Segala hal jadi remeh. Dunia jadi tak berarti.
Mungkin ini yang menjadikan sikap para sahabat begitu 'aneh'.
Tidak takut, tidak peduli pada banyak hal. Dan hanya takut, hanya peduli pada 1 hal: bagaimana pandangan Tuhan-ku terhadap apa yang kulakukan.
Mereka merasa dekat. Merasa selalu dalam pengawasan. Mencintai hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang menjauhkan diri kepada-Nya.
Mereka begitu enak. Dekat dengan contoh teladan. Lihat banyak mukjizat dan keajaiban. Sedang kami jauh terpisahkan ruang dan waktu.
Cobaan mereka berbeda. Dan cobaan kamipun tidak kalah sederhana.
Teringat ketika pasca penaklukan Mekkah, ketika para mualaf mendapatkan ghanimah yang begitu banyak. Para sahabat ini berkeberatan hati dengan Nabi. Sampai-sampai Nabi perlu mengumpulkan merela dan menjelaskan kedudukan mereka di hati Nabi.
"Mereka pulang membawa harta, sedang kalian pulang membawa Nabi", itu sabda beliau, yang membuat hati mereka jauh lebih ridha dari sekedar harta remeh dunia.
Lalu, kamu pulang membawa apa Syamsul? Apakah ada yang menjaminmu, sedang mereka dijamin Nabi?
Padahal belum tentu kamu selamat dari cobaan dunia, belum pasti kedudukanmu di akhirat sana.
Maka, apa yang kamu cari, Syamsul..?
Ya Allah, ajari kami, bimbing kami, lindungi kami, dan berikanlah kami kedudukan yang tinggi di sisi-Mu dan di hati utusan-Mu?
06 September 2019
Balikpapan Now
I used to call this city, home
Now, it just another city
Filling in a memory
Which grew me extensively
I still remember time when it start
Grand Senyiur, Rajawali street
A person following its destiny
Without knowing someone
It leave me as a person
Having something, knowing someone
Carrying stuff and growing love
In this place I used to call, home.
---
Balikpapan, 5 September 2019
Syamsul Arifin
D+5 as PHI employee, former CICo and PHKT
23 August 2019
Kalibrasi Preferensi
Seorang pemuda bekas budak, miskin dan tidak tampan ditanya Rasulullah, apakah ia sudah menikah, ia menjawab bahwa ia miskin dan buruk, mana ada yang mau menikahkan anak putrinya dengan dirinya.
Ketika ditanya ketiga kalinya dalam waktu yang berbeda, ia menyahut, mau, dan mengharap beliau menikahkannya.
Maka Rasulullah mengutus ia untuk menemui seorang Anshor. Disana ia mengatakan sebagai utusan Rasulullah untuk meminang putrinya sebagai istrinya.
Sang ayah perempuan, awalnya menolak namun si anak yang mendengar, karena tahu ia diutus Rasulullah, mengatakan kepada ayahnya agar menerima, dan mau dinikahkan dengan penuh keridhaan.
Ketika baru akan menikah, ada panggilan jihad, ia bergegas menyambutnya. Pada perang tersebut, ia gugur syahid.
Ringkasan kisah itu mengajarkan kita sesuatu: preferensi rasa.
Apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, lakukan, jalani, karena pasti ia mengandung kebaikan.
Luar biasa pelajaran yang ditunjukkan pemuda dan pemudi itu.
Mereka jadikan selera mereka jauh dibawah perkataan Rasulullah. Preferensi rasa personal tidak dipertimbangkan, dan Rasulullah didahulukan.
Itulah mungkin yang menyebabkan mereka mendapat kemenangan dan kebahagiaan di dunia serta akhirat.
Hari ini, banyak sekali urusan personal, pribadi, masalah cita rasa khas tiap individu yang didahulukan melebihi apa yang telah diajarkan agamanya (Quran dan Hadits).
Bagaimana mungkin kan bermimpi mendapatkan keridhaan Allah (dan Rasul-Nya)? Alangkah jauhnya.
Mungkin sudah saat, kita mengkalibrasi preferensi rasa kita, agar selaras dengan iman, satu frekuensi dengan Islam, dan jadikan apa-apa yang diluar itu, pertimbangan yang relatif tidak berarti kalau Allah dan Rasul-Nya sudah punya ketetapan.
---000---
Jakarta, 23 Agustus 2019
Syamsul Arifin.
22 August 2019
Merdeka adalah Rasa Jiwa
Pada tingkatan terendah, merdeka adalah bebas secara fisik, tidak terbelengguh pagar, jeruji, tembok atau batas sekat lainnya.
Di tingkat selanjutnya, kebebasan adalah masalah rasa jiwa.
Orang yang fisiknya tersandera, belum tentu merasa terkungkung. Maka tidak heran, ketika dulu para ulama dipenjara, mereka malah berkomentar, "mereka bisa memasukkanku ke mana saja, tapi mereka tidak bisa membuatku berada di tempat dimana tidak ada Allah di sana".
Badiuzzaman Nursaid bahkan mengatakan, "siapa yang mengenal dan menaati Allah ﷻ, maka ia akan bahagia walaupun berada di dalam penjara yang gelap gulita. Dan siapa yang lalai dan melupakan Allah, ia akan sengsara walaupun berada di istana yang megah mempesona.”
Orang yang secara fisik terlihat merdeka pun, terkadang tidak bisa bebas menyuarakan hati nuraninya, tidak bisa lepas berbeda pendapat, pandangan, tindakan.
Bahkan tidak jarang, orang yang menyerukan kebebasan justru orang yang terpasung opini kebanyakan orang, mengikuti maunya sponsor/uang/kekuasaan.
Inilah cantik, hebat, tinggi derajat, kaya, mulia menurut mereka. Bukan karena pilihannya sendiri.
Bahkan bisa jadi, seseorang tidak merasa, dirinya telah diperbudak syahwatnya sendiri.
Yang cukup kontradiktif adalah orang beriman. Apakah mereka dianggap merdeka dalam kepatuhannya terhadap Tuhannnya?
Jangan dianggap orang yang beriman itu tidak merdeka. Ia merdeka dengan kemerdekaannya yang hakiki.
Memilih jalan kesenangan itu mudah, semua orang pasti bisa.
Memilih yang enak-anak saja, sepertinya bukan pilihan, itu insting di semua makhluk hidup.
Memilih untuk mengeluarkan energi, melakukan usaha, menghabiskan waktu dan harta untuk sebuah reward yang tidak kasat mata, itu baru pilihan.
Tidak peduli omongan orang. Tidak takut celaan orang yang suka mencela. Cuek mengamalkan kebenaran berdasarkan referensi yang ia pahami/yakini/imani.
Dulu perbudakan fisik terlihat nyata, saat ini, berbudakan pemikiran meski tak nampak, namun kental terasa.
Orang yang beriman merdeka dalam bingkai ketundukannya terhadap Allah saja.
---000---
22 Agustus 2019
Syamsul Arifin
23 April 2019
Aisyah RA, contoh Kartini-ku
Lagi musim hari Kartini. Banyak organisasi yang mencoba menunjukkan contoh Kartini hebat masa kini yang ada. Di tempat kerja, di lingkungan sosial.
Role model memiliki peran yg besar dalam mendorong sikap, perilaku, dan pencapaian yang kita usahakan.
Saya tidak hendak bermaksud menyepelekan peran yang Kartini asli lalukan berpuluh tahun lalu di negeri ini.
Saya hanya mau mengangkat 1 contoh luar biasa "Kartini" yang seharusnya jadi panutan sejati.
Ibunda kaum muslimin, istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah radiyallahu anha (semoga Allah meridhainya).
Dikisahkan suatu ketika Abdullah bin Zubair memberi ibunda Aisyah RA hadiah sebesar 100.000 dirham atau senilai 6,2 milyar rupiah.
Beliau membagi-bagikan uang tersebut sebagai sedekah ke orang lain hingga tidak tersisa.
Padahal hari itu ia sedang berpuasa, sampai pembantunya bertanya, kenapa tidak menyisakan sekedar 1 dirham (62 ribu rupiah) untuk membeli daging sebagai hidangan berbuka puasa?
Beliau senang bersedekah dan mengutamakan orang lain, sampai beliau hanya berbuka puasa seadanya saja.
Berkaca pada diri sendiri di masa kini.
Jangankan bersedekah bermilyar-milyar rupiah, sering-sering berpuasa sunnah saja bisa jadi amalan yang susah untuk kita ikuti.
Ibunda Aisyah RA adalah teladan, bukan saja untuk para wanita muslimah, tapi juga untuk para pria muslim, yang katanya mencintai Rasulullah dan keluarganya...
---000---
Jakarta, 22 April 2019
Syamsul Arifin
22 January 2019
Siap Tidak Siap, Mau Tidak Mau
Kematian itu seperti ujian/kuis dadakan ketika masih mahasiswa dulu. Siap tidak siap, mau tidak mau, harus dihadapi.
Yang tidak siap, akan terkejut, dan protes ke dosen. Biasanya dosen tidak akan menanggapi, terutama kalau ketika awal perkuliahan sudah diinfokan sebelumnya mengenai mekanisme ujian/kuis dadakan.
Beberapa mahasiswa lainnya, bersikap biasa saja. Sudah siap. Memahami aturan main perkuliahan, mempelajari materi-materi sebelumnya. Sehingga kalaupun ada pertanyaan seputar perkuliahan sebelumnya, biasanya masih nyantol di kepala. Sikap mereka tenang, karena punya bekal.
Yang tidak siap akan berusaha segala cara untuk mencari jawaban. Mencontek, bertanya teman di sebelah, dll. Panik. Tergambar di wajah dan gerak-gerik.
Kembali ke analogi kematian seperti ujian dadakan. Siap tidak siap, mau tidak mau, kematian pasti menghampiri. Ketika ajalnya tiba, malaikat maut tidak akan sedikitpun telat menjemput.
Bersiaplah. Bisakah mempersiapkan kematian? Bisalah.
Caranya? Setiap hari, di manapun, kapanpun, hindari kemaksiatan, jalani kewajiban/ibadah (minimal yang wajibnya saja, syukur-syukur kalau dilakukan ibadah tambahannya).
Dalam kematian, tidak bisa curang, karena malaikat tidak mungkin lengah, dan tiap kita akan menghadapi kematian serta mempertanggungjawabkan amalan sendiri-sendiri, tanpa bantuan.
Jadi, dari pada nanti kaget ketika ajal menjelang, dan merugi karena ternyata banyak dosa ketimbang pahala, bersiaplah, jauhi maksiat, jalani ibadah. Insya Allah kita akan beruntung. Semoga saja.
---000---
Balikpapan, 22 Januari 2019
Syamsul Arifin.