Pages
24 October 2009
Cobaan
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al-Hadiid: 22)
Bencana itu merupakan ujian, bagi yang mengalaminya, dan pula bagi yang tidak mengalaminya.
Memang boleh jadi, bencana merupakan pengingat, teguran, agar kita kembali kepadanya. Namun ada hikmah lain yang bisa kita ambil daripadanya.
Ujian Kesabaran-Keimanan
Tiada seorang mukmin ditimpa rasa sakit, kelelahan (kepayahan), diserang penyakit atau kesedihan (kesusahan) sampai pun duri yang menusuk (tubuhnya) kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya. (HR. Bukhari)
Bencana bisa menjadi salah satu sarana penghapus dosa. Kesabaran yang ditampakkan, keridhaan atas keputusanNya, dan istiqomah melanjutkan kehidupan, bisa membuatnya masuk menjadi golongan orang-orang yang banyak bersabar, dan surga adalah balasan bagi orang-orang yang banyak bersabar!
Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, (QS. Al-Furqaan: 75)
Ujian Kepedulian
Bagi yang tidak tertimpa bencana, janganlah bersenang diri terlebih dahulu, bisa jadi hal itu juga merupakan ujian.
Dikatakan bahwa kaum muslimin itu ibarat satu tubuh, jika ada satu bagian tubuh yang sakit, maka bagian tubuh yang lainnya akan juga turut merasakannya. Di daerah bencana, ada penderitaan, ketakutan, air mata, tangisan, dan kesedihan, sudahkah kita merasakan hal-hal tersebut?
Barangsiapa tidak memperhatikan (mempedulikan) urusan kaum muslimin maka dia bukan termasuk dari mereka. (HR. Abu Dawud)
Apakah lantas kita berdiam diri saja dan mengacuhkan mereka? Seharusnya sih tidak. Karena bencana yang menimpa mereka juga merupakan ujian bagi keislaman kita. Apakah kita merupakan bagian dari kaum muslimin, yang memiliki kepedulian terhadap kesulitan-kesulitan mereka..?
---000---
Balikpapan, 24 Oktober 2009
Syamsul Arifin
22 October 2009
21 October 2009
Pernikahan Syamsul Arifin & Ridha Innatika
Start: | Nov 1, '09 11:00a |
End: | Nov 1, '09 1:00p |
Location: | Gedung pertemuan Ganesha APMD Jl Timoho No.307 Yogyakarta |
Yang Insya Allah akan diselenggarakan pada:
Hari & tanggal: Minggu, 1 November 2009
Waktu: 11.00 - 13.00 WIB
Tempat: Gedung pertemuan Ganesha APMD Jl Timoho No.307 Yogyakarta
Akad nikah diadakan pada hari yang sama bertempat di Perum Wirosaban Baru C-15 Rt.53/14 Surosutan - Umbulharjo pukul 8.00 WIB
Mohon doa restunya.
Semoga Allah melimpahkan keberkahan,
Semoga Allah menyatukan kebaikan,
Dan semoga kami berdua dikumpulkan dalam kebahagiaan (dunia-akhirat)
http://www.mywedding.com/ridhaandsyamsul
20 October 2009
Tong Sampah Kosong Nyaring Bunyinya
"Tong Sampah Kosong Nyaring Bunyinya!"
*plesetan satire untuk ungkapan "Tong Kosong Nyaring Bunyinya"
Sadis memang! Tapi terdengar lebih "bagus"
Banyak orang yang merasa lebih hebat, paling benar sendiri, sudah menguasai banyak hal, dan kacawnya, tidak ragu2 untuk "merendahkan" orang2 yang sudah memang menguasai (dan diakui) di bidangnya, semisal para ulama2 besar yang menjadi corong keilmuan umat.
Apalagi yang menjadi dasar pemikiran mereka cuma akal pikiran mereka sendiri*hapalan quran aja masih bletat-bletut, apalagi hapalan hadist dan perbandingan pendapat antara para ulama
Ya sepertinya memang benar ungkapan tersebut, "Tong Sampah Kosong" nyaring bunyinya
*mungkintermasuksayasendirijuga,kosongjelekbaudannyaringbunyinya*
Semoga Allah mengampuni kita semua, dan menunjukkan kita jalan kebaikan....
“Barangsiapa dikehendaki Allah mendapat kebaikan,maka Dia akan memberikan pemahaman tentang agamanya.”
"Tong Sampah yang Penuh, Menyebarkan Bau Busuk dan Penyakit"
Kerusakan pemikiran merupakan musuh yang lebih berbahaya dibandingkan kerusakan materi.
Dengan penuh percaya diri, kebanggaan, dan tanpa rasa malu, menyebarkan (kerusakan) pemikirannya. Sedikit banyak, pasti ada pengaruhnya, kan ada slogan yang mengatakan "kebohongan yang diungkapkan terus menerus, kan menjadi kebenaran"
Sangat Berbahaya!
Celengan Berisi, Berat, Tak Bersuara dan Memiliki NilaiPernah punya celengan..? Tempat dimana kita suka menabung/menyimpan uang recehan.
Meskipun uang recehan itu seakan-akan tidak berarti, sangat ringan sekali, tapi lambat laun, semakin hari, jika rutin diisi, maka beratnya akan bertambah, sedikit demi sedikit.
Hingga pada suatu hari, kita akan terkejut, betapa beratnya isi celengan yang kita punya!
Beda dengan celengan yang kosong, isinya cuma sedikit, ringan, tapi bunyinya nyaring.
Begitu perumpamaan kita.
Orang-orang yang berilmu akan lebih "tenang", sedang orang-orang yang dangkal keilmuannya akan bersuara paling besar.
Dekati orang-orang yang berilmu, karena mereka memiliki "nilai lebih".
Isi dirimu dengan "uang recehan", ilmu dan pelajaran -meski sedikit demi sedikit-, sebab lambat laun akan menjadi semakin "berbobot", tanpa kita sadari?
18 October 2009
15 October 2009
Kewajiban Suami dan Istri
Kewajiban suami atas istrinya adalah memberinya nafkah lahir dan batin. Sedangkan istri kepada suami menurut pendapat para fuqaha hanya sebatas memberikan pelayanan secara seksual. Sedangkan memasak, mencuci pakaian, menata mengatur dan membersihkan rumah, pada dasarnya adalah kewajiban suami, bukan kewajiban seorang istri.
Dalam syariah Islam yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah SWT :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Pendapat 5 Mazhab Fiqih
Namun apa yang saya sampaikan itu tidak lain merupakan kesimpulan dari para ulama besar, levelnya sampai mujtahid mutlak. Dan kalau kita telusuri dalam kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik.
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.
1. Mazhab al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.
2. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.
3. Mazhab As-Syafi'i
Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pendapat Yang Berbeda
Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.
Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga.
Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus 'menggaji' para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga.
Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya.
Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan istri juga harus dapat 'jatah gaji' yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah tangga.
Tugas Suami Istri di Masa Salaf
Kita memang tidak menemukan ayat yang bunyinya bahwa yang wajib masak adalah para suami, yang wajib mencuci pakaian, menjemur, menyetrika, melipat baju adalah para suami.
Kita juga tidak akan menemukan hadits yang bunyinya bahwa kewajiban masak itu ada di tangan suami. Kita tidak akan menemukan aturan seperti itu secara eksplisit.
Yang kita temukan adalah contoh real dari kehidupan Nabi SAW dan juga para shahabat. Sayangnya, memang tidak ada dalil yang bersifat eksplisit. Semua dalil bisa ditarik kesimpulannya dengan cara yang berbeda.
Misalnya tentang Fatimah puteri Rasulullah SAW yang bekerja tanpa pembantu. Sering kali kisah ini dijadikan hujjah kalangan yang mewajibkan wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak kajian menarik tentang kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja bisa dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja untuk suaminya.
Sebaliknya, Asma' binti Abu Bakar justru diberi pembantu rumah tangga. Dalam hal ini, suami Asma' memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan oleh kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu ditangani oleh sang pembantu. Asma' memang wanita darah biru dari kalangan Bani Quraisy.
Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Saad bin Amir radhiyallahu 'anhu, pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di kota Himsh. Sang gubernur ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering telat ngantor, beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang bisa disuruh untuk memasak buat istrinya, atau mencuci baju istrinya.
Perempuan Dalam Islam Tidak Butuh Gerakan Pembebasan
Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam sangat memberikan ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena hak-hak wanita disana masih saja dikekang.
Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri sebagai makhuk yang harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang istri di rumah bukan pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga bukan jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari mata melek di pagi hari, terus tidak berhenti bekerja sampai larut malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang, saat badannya sudah kelelahan.
Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa, lakukan dengan ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian. Dan semoga suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar agama Islam.
Sumber: FIQIH NIKAH, Oleh H. Ahmad Sarwat, Lc (hal 90-96)
Bisa di download di: http://www.ustsarwat.com/web/mail/nikah.php
13 October 2009
Mimpi Sang Pembangkang
12 October 2009
Lebaran 1430 H / 2009 M (Bersama Keluarga)
me ^_^
Menghabiskan waktu bersama keluarga saat Idul Fitri 1430 H di kampung halaman tercinta ^_^
Lokasi: Kambangan, Tegal
09 October 2009
05 October 2009
Malu Dong!
Ada beberapa alasan yang menghalangi manusia dari melakukan kejahatan, salah satunya adalah rasa malu.
Malu terhadap manusia
“Aduh, ngga enak, ada orang lain”
“Malu ah, ada yang ngeliatin”
“Malu dunk sama anak/istri/mertua”
“Ada pa RT dan pa Ustadz, malu ah”
“Ada bos/teman/saudara, malu gw”
Ah, terkadang kita lebih banyak malu kepada manusia, dan rasa malu itu bisa menahan dirinya dari berbuat dosa.
Malu terhadap Allah
Sebetulnya, ada alasan yang jauh lebih utama dan penting. Malu berbuat maksiat karena Allah.
Ada dua alasan mendasar yang seharusnya mendorong munculnya rasa malu ini:
1. Karena Allah maha mengetahui.
Segala yang di langit dan di bumi, baik yang nampak maupun tersembunyi/rahasia, Dia tahu semua. Ketika berada dalam keramaian maupun kesendirian, ketika dalam ruangan tertutup dan tiada orang lain, maka sesungguhnya masih ada Allah yang melihatnya. Tidak satu helai daun kering yang jatuh dari pohonnya, kecuali Allah tahu itu semua.
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz). (QS. Al-An'aam: 59)
2. Karena karuniaNya berlimpah atas kita
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat lalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. Ibrahim: 34)
Dengan apa kita membalas segala kenikmatan tak terhingga yang telah Allah berikan kepada kita..? Dengan pembangkangan terhadap seruan-seruannya..? Dengan kemaksiatan dan perbuatan tercela kita..? Seharusnya tidak.
Bukankah Allah telah mencukupi kebutuhan kita, telah menanamkan keimanan dalam hati-hati kita, telah melimpahkan karunia dan rezekiNya atas kita? Maka mengapa kita tidak tahu diri dan menjadi pembantah yang nyata? Naudzubillah.
Balaslah segala pemberian-Nya dengan kesyukuran, dengan ketaatan (meski jauh dari sempurna).
Keimanan kita diuji, apakah kita memang meyakini bahwa Allah maha mengetahui? Dan salah satu diantara pilar-pilar kesyukuran yaitu mempergunakan kenikmatan tersebut untuk mendekatkan diri kepadanya, bukan dengan “cuek bebek”, tak tahu terima kasih, malah melawan Zat yang memberikan berbagai karunia tersebut!
Milikilah rasa malu, tahan dirimu dari berbuat dosa, karena malu terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.
Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua (amin).
---000---
Balikpapan, 5 Oktober 2009
Syamsul Arifin
Pengharum Ruangan
Ruangan butuh pengharum, agar menjadi lebih indah, lebih nyaman dihuni.
Manusiapun (sepertinya) seperti itu juga.
Dirinya (nyaris) tidak ada yang berbeda dari hewan. Bahkan terkadang bisa jauh lebih buruk dari pada hewan. Di tubuhnya membawa kotoran (feses, urin, darah) dan kalau mati menjadi bangkai, busuk.
Lalu apa yang membuatnya berbeda?
Seperti pengharum ruangan, yang membuat suasana menjadi segar dan lebih baik. Yang membuat manusia menjadi lebih baik adalah dikarenakan imannya, akalnya.
Tanpa itu semua, seperti ruangan yang tak berpenghuni, busuk, sumpek.
Perindah dirimu dengan kebaikan, dengan amalan shalih, dengan cahaya Ilahi, yang membedakan dirimu dari semua makhluk-makhlukNya. Jangan biarkan dirimu menjadi kumuh, kusam, dan kehilangan kemuliaan derajat kemanusiaanmu, hanya karena tidak “mengharumkan” dirimu dengan berbagai macam kebaikan.
---000---
Balikpapan, 5 Oktober 2009
Syamsul Arifin
*inspirasi: pengharum ruangan yang ditaroh di toilet kostan ^_^
Cinta itu “Mengembangkan”
Beugh.., romantiskan..? Atau malah terkesan sangat-sangat picisan..?
Menurut saya, orang yang mencintai seseorang, maka ia akan membuatnya merasa bahagia. Dan terkadang, ngga semua yang mereka minta, lalu dipenuhi, akan membuatnya bahagia, malah justru hal itu bisa jadi sesuatu yang mencelakakannya.
Misalnya saja, seorang anak kecil yang merengek-rengek kepada ayahnya agar diperbolehkan masuk ke kandang macan. Lalu dengan alasan cinta dan kasih sayang, sang ayahpun memuluskan jalanya tuk masuk kandang binatang buas tersebut. Bayangkan apa yang akan terjadi?
Pecinta yang sejati tentu menginginkan keselamatan bagi kekasihnya, menginginkan kebaikan bagi orang yang dicintainya, mendambakan kebahagiaan, dst.
Untuk itulah pula Allah menetapkan larangan-larangan, menjaga manusia dari hal-hal yang membinasakannya, melindunginya dari hal-hal yang merusak, mengharapkan kebaikan bagi dirinya.
Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada seorang pun yang lebih menyukai pujian daripada Allah maka oleh karena itulah Dia memuji Zat-Nya sendiri. Dan tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah maka karena itu Allah mengharamkan perbuatan keji. (Shahih Muslim)
Untuk itulah pula Rasulullah SAW mengajarkan hukum-hukum dalam Islam, menjelaskan, mengajarkan, dan mengarahkan. Atas dasar kecintaannya kepada umatnya. Bahkan hingga detik-detik akhir kehidupannya, beliau masih juga mengingat umatnya!
Demikian pula kita seharusnya mencintai seseorang. Ada semangat menjaganya (dari keburukan/kejelekan), ada antusiasme untuk bisa terus membantunya dalam akselerasi perbaikan/peningkatan diri.
Ketika kita menyatakan siap mencintai seseorang, maka pada hakikatnya, kita pun menyatakan (dari sisi lain), bahwa kita menginginkannya bahagia, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat sana, menginginkan dirinya menjadi terus lebih baik, sejak saat kita mencintainya.
Bukankah demikian..? Entahlah…
---000---
Balikpapan, 5 Oktober 2009
Syamsul Arifin
04 October 2009
Imam bagi Orang-Orang yang Bertakwa
Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (amir) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sisi kepemimpinan suami?
Cukup unik kalau kita cermati ayat tersebut di atas. Ternyata, selain meminta pasangan (dan anak-anak) yang membahagiakan, kitapun (diajarkan untuk) meminta kemampuan/skill kepemimpinan/leadership.
Kalau kita minta istri yang sholehah, konsekuensinya adalah: kita harus mampu menjadi pemimpin bagi pribadi sholehah tersebut, bukan?
Persyaratan kepemimpinan
Saya coba *sok tahu* menjabarkan beberapa hal yang dituntut dari seorang pemimpin (terutama rumah tangga):
1. Keteladanan. Alih-alih memberikan perintah yang banyak dengan kata-kata (apalagi dengan tangan saja-maen tunjuk-tunjuk saja maksudnya), contoh praktis tentu lebih mengena bagi mereka yang merasa.
2. Manajerial. Kepiawaian mengatur beberapa hal yang bersamaan, bersinggungan, mengambil langkah strategis, mengatur susunan hal-hal yang harus didahulukan/menetapkan prioritas, menjadi bagian tak terpisahkan bagi seorang pemimpin.
Tentu tidak semua hal harus dikerjakan sendirian, ada pendelegasian yang juga butuh keahlian tersendiri.
Team bulding, memberdayakan anggota tim, membina dengan kapasitasnya, mengenali potensinya, dan membuat rencana pengembangan yang sesuai dengan dirinya.
3. Komunikasi. Dari kecil kita sudah bisa berbicara, dan sepertinya komunikasi bukanlah suatu hal yang serius untuk dipelajari. Ternyata, bukan seperti itu! Kemampuan untuk mengetahui kapan waktu berbicara, kapan waktunya diam, bagaimana mengutarakan pendapat, bagaimana menyampaikan pesan (bentuknya) agar tidak ada yang tersinggung tapi tersentuh, dst.
4. Ketakwaan.
Lho, kok ketakwaan masuk ke syarat seorang pemimpin??? Hehehe, terserah saya dunk, saya kan penulisnya :D *halagh, ngga banget yaw alasannya :toe: %peace%
Ok-ok, gini nih alasan aslinya, syarat-syarat jadi imam, yang diutamakan adalah banyaknya hapalan qurannya, begitu juga ketika Rasulullah mau menguburkan jenazah para mujahid, beliau mendahulukan yang paling banyak hapalan qurannya. Menjadi seorang pemimpin ini tentu tidak sembarangan, dan akan jauh lebih baik kalau orientasinya terbang tinggi melintasi langit dunia, sampai ke alam akhirat sana. Sepertinya seorang pemimpin (terkadang) harus lebih baik daripada yang dipimpinnya (istri-orang yang beriman)?
Ketika kita mengharap (berdoa) untuk seorang istri yang menyenangkan (bertakwa), maka sudahkah kita mempersiapkan diri dengan kompetensi seorang pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa..?
---000---
Balikpapan, 4 Oktober 2009
Syamsul Arifin
02 October 2009
Some Word About Marriage
Menikah bisa jadi barulah sebuah awal perjalanan panjang, gerbang menuju sebuah kehidupan yang totally different. Babak baru, baru saja dimulai, dengan situasi, kondisi, status, peran, tanggungjawab, orientasi dan prioritas hidup yang kudu ikut berubah pula, jadi berbeda.
Mesti ada suatu ikatan yang cukup kuat hingga bisa membuatnya jadi berkekalan abadi. Bukan hanya di dunia saja, tapi juga (harus) bisa sampai akhirat sana, di taman surga (insya Allah)!
Kecintaan Allah di atas segalanya
Cinta bukanlah suatu yang mutlak terlarang, bahkan dalam beberapa kondisi, ia menjadi suatu hal yang dianjurkan. Saling mencintai antar istri dan suami misalnya.
Bingkai besar cinta itu haruslah berupa kecintaan karena Allah semata. Kecintaan terhadap Allah tentu haruslah lebih diutamakan, sehingga dengan demikian, pernikahan yang telah/akan menyatukan kita berdua tidak akan menjadi sia-sia, karena bisa terus langgeng melintasi batas dunia.
Ketakwaan, kepatuhan terhadap perintah Allah, belajar mengimplementasikan sunnah Rasulullah, pemahaman agama yang baik, bisa menjadi dasar-dasar penguatnya.
Kedewasaan
Menurut saya, dewasa berarti mampu membedakan/memisahkan antara hal-hal yang baik dan yang buruk, antara yang penting dan yang kurang begitu penting, antara yang pokok dan yang cabang. Memahami mana yang musti menjadi prioritas, fokus perhatian utama, dan peran-peran yang mengikuti hal tersebut.
Dewasa juga berarti mampu “melihat” kondisi dan posisi, serta bersikap proporsional tepat sebagaimana keadaan tersebut.
Pernikahan mengubah banyak hal, dan berbagai macam hal yang berubah itu tentu menuntut perubahan dalam perilaku dan kelakuan. Namun tidak ada orang yang sempurna, semuanya berproses, permasalahnnya adalah apakah mau dan mampu tuk bersikap “dewasa” dan beradaptasi dengan semua itu?
Ujian
Selama masih bernafas, manusia tidak akan pernah lepas dari ujian. Bahkan ketika keadaan menjadi sedemikian statis dan tak bergelombang, bisa jadi itu adalah ujian tersendiri juga, kejenuhan dan rasa bosan.
Dua pemikiran yang berbeda, pola asuh yang tak sama, perkembangan dan jalan hidup yang berlainan, tentu membutuhkan seni tersendiri dalam menyikapi persoalan. Selama ada ‘itikad baik dan pertolonganNya, sepertinya semua gelombang, batu kerikil, dan rintangan akan bisa teratasi dengan baik-baik saja. (Semoga).
---000---
Balikpapan, 3 Oktober 2009
Syamsul Arifin