Manusia merupakan mahluk yang kompleks, unik, lengkap dan sempurna penciptaannya.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. At-Tiin: 4)
Perasaan di dalam diri seorang manusia merupakan salah satu hal yang istimewa. Di dalam hatinya bisa terangkum berbagai rasa dengan preferensi sikap yang bisa berbeda-beda. Sedih, bahagia, senang, benci, cinta, gembira, dan lain sebagainya.
Ada sebuah rasa yang cukup unik, karena dengannya dia bisa menjadi daya kekuatan yang luar biasa, namun disisi lain, ia juga bisa menjadi penyebab kerugian yang tidak juga sedikit. Amarah.
Coba kita tengok kepada diri kita sendiri, sudah seberapa seringkah kita marah? Kapan saja kita marah? Karena apa saja kita marah? Kepada siapa saja kita marah? Dan, sudah marahkan kita hari ini..? ^_^
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan sebelum kita marah.
Pertama, alasan kemarahan.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seseorang berkata: Wahai Rasulullah, berilah aku nasehat. Beliau bersabda: "Jangan marah." Lalu orang itu mengulangi beberapa kali, dan beliau bersabda: "Jangan marah." (HR. Bukhari)
Ketika mengomentari hadits tersebut, Imam Nawawi di buku Riyadhus Shalihin berkata:
"Kita dilarang marah ini apabila berhubungan dengan sesuatu yang hanya mengenai hak diri kita sendiri atau hawa nafsu. Tetapi kalau berhubungan dengan hak-hak Allah, maka wajib kita pertahankan sekeras-kerasnya, misalnya agama Allah dihina orang, Al-Quran diinjak-injak atau dikencingi, alim ulama diolok-olok padahal tidak bersalah dan lain-lain sebagainya."
Jadi, kita perlu berhati-hati nih dalam meng-ekspresikan amarah. Apakah kita memang marah karena alasan yang tepat? Ataukah kita termasuk orang yang dapat dengan mudah marah karena alasan yang sepele, remeh, atau tidak masuk akal..? Mari kita coba merenungi.
Kedua, kepada siapa kita marah?
Terkadang, memang kita perlu untuk menjadi marah, marah karena alasan yang tepat, pada saat yang tepat, dengan kadar yang tepat, dan pada orang yang tepat.
Dalam dunia psikologi, ada yang disebut dengan "agresif pasif". Maksudnya kurang lebih adalah, jika kita tidak bisa marah kepada orang yang memang sepatutnya menerima kemarahan kita, lalu kita menyalurkannya kepada orang-orang yang berada dalam lingkup kekuasaan kita, seperti memarahi bawahan kerja, pembantu, anak, pasangan hidup, teman, saudara, maupun orang-orang terdekat kita, yang tidak mengerti apa-apa, dan tidak tahu apa-apa, juga pastinya tidak salah apa-apa, tapi akhirnya harus menerima dampak kemarahan.
Tentu hal itu menjadikan kita menjadi orang yang zalim, tidak adil, karena tidak menempatkan kemarahan pada tempatnya.
Ketiga, kemarahan yang positif dan konstruktif.
Sebagai seorang muslim, segala hal seharusnya menjadi hikmah, hal yang konstruktif/membangun, jika kesombongan saja diletakkan pada tempatnya menjadi suatu hal yang dapat dibenarkan, maka bukan tidak mungkin, jika marah bisa menjadi hal yang baik.
Marah dengan alasan yang benar dan dengan cara yang baik, tentu bisa membawa kebaikan, karena tujuan dari kemarahan adalah perbaikan, bukan hanya sekedar pelampiasan emosi/hawa nafsu belaka.
Caranya bagaimana supaya kemarahan kita tetap bisa menjadi suatu hal yang positif?
Ketika kita marah, jangan langsung bertindak, karena dikhawatirkan pilihan dari keputusan yang akan kita ambil nantinya akan disesali.
Bila seorang dari kamu sedang marah hendaklah diam. (HR. Ahmad)
Penjelasan: Bicara saat emosi (marah) dapat menyesatkan.
Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang menghukum antara dua orang dalam keadaan marah." (Muttafaq Alaihi)
Untuk itu pula, maka para fuqaha menetapkan bahwa talaq ketika sedang dalam kemarahan tidak diperkenankan.
Selesaikan permasalahan ketika hati telah dingin dan pikiran telah jernih.
Keempat, jika kita berada pada pihak yang dimarahi, ambil sisi positifnya.
Tidak ada orang yang seratus persen sempurna dalam penguasaan emosi. Perbedaan pendidikan, pergaulan, kebiasaan, kepribadian, latar belakang budaya, dan lain-lain, menentukan cara seseorang bersikap.
Jika kita menjadi "korban" kemarahan, sikapi dengan sebaik mungkin. Jika mampu bersikap asertif, mengutarakan pendapat dengan tanpa menekan pendapat lawan bicara; menjelaskan hal-hal yang rancu yang memicu kemarahan; atau membuat suasana menjadi cair dalam kemarahan, maka lakukanlah, tentunya dengan pertimbangan yang matang, ketika suasana mendukung atau dilakukan pada waktu yang tepat.
Namun bagaimanapun juga, ambil saja nilai-nilai yang positif yang bisa diambil dari kemarahan orang lain kepada kita, jadikan sebagai input/masukan yang berharga, dan jangan dimasukkan ke dalam hati hal-hal yang bisa jadi tidak mengenakkan di hati.
Kelima, jika kita berada dalam pihak yang memarahi, jangan ragu untuk minta maaf.
Ketika kita telah khilaf/terlanjur marah-marah pada posisi yang tidak tepat, janganlah ragu untuk meminta maaf jika kita telah tersadar bahwa kita telah berbuat salah dengan marah-marah.
Permohonan maaf tidak akan membuat diri kita hina, namun bisa jadi akan membuat kita lebih mulia, karena kita telah bisa berbesar hati mengakui kesalahan dan mencoba memperbaikinya.
Ada sebuah doa yang semoga bisa menjaga diri kita dari kemarahan yang berlebihan.
Hadis riwayat Sulaiman bin Shurad ra., ia berkata:
Dua orang pemuda saling mencaci di hadapan Rasulullah saw. lalu mulailah mata salah seorang dari mereka memerah dan urat lehernya membesar. Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya aku tahu suatu kalimat yang apabila diucapkan, maka akan hilanglah kemarahan yang didapati yaitu "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk". Lelaki itu berkata: Apakah engkau menyangka aku orang gila? (Shahih Muslim No.4725)
Dari Ibu Abbas radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. itu ketika ditimpa oleh kesempitan -yakni di waktu hati kesal dan ingin marah-marah, beliau s.a.w. mengucapkan:
"La ilaha illallahu 'azhimul halim; La i/aha Illallahu rabbul 'arsyil 'azhim; La ilaha illallahu rabbus samawati wa rabbul ardhi wa rabbul 'arsyil karim."
Tiada Tuhan melainkan Allah yang Maha Agung lagi Penyantun. Tiada Tuhan melainkan Allah yang Maha Menguasai 'arasy yang agung. Tiada Tuhan melainkan Allah yang Maha Menguasai langit-langit dan Menguasai Bumi dan Menguasai 'arasy yang mulia. (Muttafaq 'alaih)
Dan marilah kita hayati keutamaan orang yang dapat mengendalikan amarahnya.
Dari dia Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang kuat itu bukanlah orang yang menang bergulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah." (Muttafaq Alaihi)
Tidak ada sesuatu yang ditelan seorang hamba yang lebih afdhol di sisi Allah daripada menelan (menahan) amarah yang ditelannya karena keridhoan Allah Ta'ala. (HR. Ahmad)
Maukah kamu menjadi orang yang kuat dan mendapat ridho-Nya..? Semoga iya (amin) :)
---000---
Samarinda, 25 Oktober 2008
Syamsul Arifin
“Jadilah dewasa, dan lebih baik dari hari ke hari…”