28 January 2010
Do the same Thing yet Expect a Different Result..?
23 January 2010
Membuat Orang Lain Merasa Penting & Berharga
Adalah sesuatu yang menyenangkan, kalau kita merasa diperlukan-dibutuhkan-berharga, terlepas dari peran apapun yang kita lakukan, sekecil apapun peranan tersebut.
Perasaan "bangga" bahwa kita telah memainkan peranan yang berarti, punya andil, menyumbang bagian dari keseluruhan pekerjaan, turut menentukan keberhasilan/kegagalan, bisa membuat makin bersemangat, termotivasi dalam mengerjalan sesuatu.
Ada beberapa perkataan yang bisa membangkitkan itu semua: kalimat penyambutan, ungkapan rasa senang, perasaan lega karena dibantu, terima kasih dan sikap bekerjasama penuh.
1. Selamat datang, selamat bergabung
2. Senang memiliki anda di sini bersama tim kami
3. Anda mempunyai peranan penting di sini
4. Terima kasih
5. Kalau perlu apa-apa, bisa bicarakan langsung dengan saya.
Jangan pernah meremehkan, menganggap orang lain tidak berguna, tidak penting, tidak memiliki peran/kontribusi apapun.
Beri sikap positif, motivasi dan penghormatan yang layak. Sepertinya asyik ;)
---000---
West Seno - Selat Makasar, 23 Januari 2010
Syamsul Arifin
21 January 2010
Akankah Kita Dipertemukan dengan Keluarga di Surga?
Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pak Ustadz, saya ingin menanyakan apakah ikatan keluarga yang berlaku di dunia juga akan berlaku pula di surga dan apakah umat Islam akan berkumpul dengan Rasullullah di surga?
Jawaban
Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kita tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi di surga nanti, kecuali lewat pemberitahuan resmi dari Allah SWT atau lewat Rasulullah SAW. Maka kita tidak tahu, apakah nanti kita akan dipertemukan lagi dengan keluarga atau tidak, kecuali kalau kita telusuri ayat demi ayat di dalam Al-Quran atau lembar-lembar demi lembar kitab hadits nabawi.
Dan alhamdulillah, ternyata di dalam Al-Quran Al-Kariem, terdapat satu ayat di mana Allah SWT menyebutkan keterangan tentang pengumpulan orang-orang yang beriman dengan keluarga mereka di surga. Yaitu seorang yang telah masuk surga, diberikan kenikmatan tambahan, yaitu dikumpulkannya keluarganya bersama di dalam surga.
Orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan Kami kumpulkan anak cucu mereka dengan mereka. Dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS Ath-Thuur: 21)
Tapi pengumpulan seseorang dengan keluarganya ini ada syaratnya. Yaitu keluarganya atau anak keturunannya itu adalah orang yang beriman dan memang berhak masuk surga, meski tidak sama derajatnya. Adapun bila tidak masuk surga, tentu saja tidak bisa berkumpul. Karena tempatnya di neraka. Tentu kedua belah pihak tidak akan bisa dipertemukan.
Adapun bila sama-sama di surga, meski lain level, insya Allah ada fasilitas untuk bisa berkumpul. Meski kita pun tidak tahu apakah bersifat seterusnya ataukah sekedar sesaat saja.
Sebagaimana kita ketahui bahwa surga itu punya beberapa level. Setiap orang akan menempati level sesuai dengan timbangan amalnya selama di dunia ini. Siapa yang timbangan amalnya berat, maka dia akan menempati level yang lebih tinggi. Sebaliknya, siapa yang timbangan amalnya ringat, meski sama-sama di srga, tapi levelnya lebih rendah.
Dengan adanya kemurahan Allah SWT, mereka yang berada di level lebih rendah bisa diupgrade ke level yang lebih tinggi, asalkan keluarganya yang berada di level lebih tinggi itu meminta kepada Allah SWT. Penjelasan seperti ini kita dapat bukan dengan mengarang atau berangan-angan, tetapi berdasarkan sabda Rasulullah SAW lewat riwayat yang marfu'' sebagaimana dikatakan oleh dari Ibnu Abbas ra berikut ini:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila para ahli surga telah memasuki surga, salah seorang mereka menanyakan tentang kedua orang tuanya atau istrinya atau keturunannya. Namun dijelaskan kepada mereka bahwa keluarganya itu tidak mendapat ganjaran seperti yang diterimanya. Maka orang itu berkata, "Ya Tuhan, sesungguhnya dahulu aku beramal bukan hanya untuk diriku saja tapi juga untuk keluargaku." Maka diperintahkan untuk mengumpulkan keluarganya itu kepadanya.
Di dalam kitab An-Nasikh wal Mansukh disebutkan dari An-Nahhas secara marfu'' bahwa diriwayatkan dari Abi Said bin Jubair dari Ibni Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah SWT meninggikan derajat anak cucu (keturuanan) orang beriman agar dapat bersamanya di dalam surga. Meskipun anak keturunan itu tidak sampai derajatnya karena kurangnya amal. Pertemuan ini sebagai bentuk penyejuk mata bagi orang beriman tersebut.." Kemudia beliau membaca potongan ayat: "Orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan Kami kumpulkan anak cucu mereka dengan mereka...."
Marilah kita berdoa agar di akhirat nanti kita dimasukkan ke dalam surga, lalu bisa dikumpulkan bersama saudara-saudara kita di dalam level yang lebih tinggi. Dan marilah kita takut kepada Allah SWT dari melakukan pelanggaran dan larangan dari-Nya, agar jangan sampai kita malah terperosok masuk ke dalam neraka. Nauzubillahi min zalikWallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat. Lc.
18 January 2010
[flash fiction] Love Me Tender, Please
Seorang pelayan mendekati musisi yang berada di depan pianonya. Menyerahkan secarik kertas. Sang musisi membaca kertas kecil itu dengan seksama, sambil merapikan topi rajutan yang mirip topi cowboy-nya.
“Sebuah lagu klasik, yang dulunya dibawakan sang raja Rock and Roll, Elvis Presley. Untuk seorang wanita cantik yang duduk di ujung meja sana. Selamat menikmatinya.” Ia menganggukkan kepalanya kepadaku, aku tersenyum ringan kepadanya.
Dentingan nada mulai menyebar seantero kafe yang berwarna dominan coklat muda.
“Love me tender, love me sweet
Never let me go
You have made my life complete
And I love you so”
Suaranya begitu ringan terdengar. Merdu.
Tak terasa.., mataku menjadi penuh berisi air mata.
Dulu, dia begitu lembut sekali kepadaku. Aku bisa merasa sangat nyaman berada di sampingnya. Tapi hal itu tidak terjadi lagi.
Kenapa pria bisa dengan sedemikian dramatisnya berubah setelah menikah? Apa yang menjadi salah?
“Love me tender, love me dear
Tell me you are mine
I'll be yours through all the years
'Till the end of time”
---000---
Balikpapan, 18 Januari 2010
Syamsul Arifin
[flash fiction] Luka Lama
Menjejakkan langkah di kota ini, serasa ada perih yang kembali terbuka, meski sudah tersimpan lama. Seperti tertusuk jarum, menggoreskan luka kecil yang dalam. Pedih.
Jalan kecil yang padat. Mobil, becak dan andong, kombinasi yang sempurna. Tabrakan budaya, antara masa lalu dan kemajuan masa.
Kutengok jam di tangan, larut malam, bulan sudah tinggi mengudara di langit Jogja.
Di sini, di kota ini, memori itu kembali memenuhi isi kepala. Mengembalikan sepotong luka lama.
“Aku tidak akan pernah bisa melupakan kamu. Kita sudah berjalan terlalu jauh. Tidak bisakan kita mencobanya sekali lagi?”
“Kamu tidak perlu melupakan aku. Aku yang akan melupakanmu! Aku sudah cukup denganmu. Ada jalan hidup yang harus kutempuh.”
Ramai wisatawan domestik, satu-dua turis mancanegara, hilir mudik di sisi jalan. Kota istimewa.
---000---
Balikpapan, 18 Januari 2010
Syamsul Arifin
Fatwas and Politics, Understanding Scholars' Political Fatwas
By Living Shari`ah Staff
Fatwa, Politics and Political Fatwas
Political Fatwas & The Gaza Steel Wall
The Consequences of Building the Steel Wall
In his fatwa , Sheikh Al-Qaradawi stated that (the steel wall that is being set up nowadays by Egypt on its border with Gaza is prohibited from the viewpoint of Islam, because it serves to block all outlets to Gaza and stresses the blockade on its people. Also, it will surely aggravate their hunger, humiliate them, and intensify the pressure on them so that they submit and surrender to Israel )
In opposition to this fatwa, the Islamic Research Council of Egypt, headed by Sheikh Sayed Tantawi, The Grand Sheikh of Al-Azhar, issued a fatwa which opposed the fatwa of Sheikh Al-Qaradawi and stated the permissibility of building such a wall to protect Egypt's borders and national security.
Fatwa, Politics and Political Fatwas
To explain the relationship between the fatwas issued by Muslim scholars and a country's political decisions, Sheikh Al-Qaradawi started by explaining what is meant by the terms (fatwa) and (politics), by stating that a fatwa is a fiqhi ruling in answer to a question addressed to the mufti, and that there are two main categories of fiqh. In the first category, a scholar takes the initiative of presenting the juristic ruling without a question, and this is mentioned in the Qur'an in many verses, like for example (O you who believe! fulfill the obligations) (Al-Ma'idah, 5:1) The second category is a ruling in response to a question, like for example (They ask you concerning wine and gambling. Say: "In them is great sin, and some profit, for men; but the sin is greater than the profit.") (Al-Baqarah, 2:219) A ruling therefore in answer to a question is what is known as a fatwa. As for the term 'politics' (seyasa ), its definition in Islam is to manage the public and religious matters of the Ummah in the best way possible in light of the objectives of Shari'ah on condition of not violating a shar'i text or rule.
Sheikh Al-Qaradawi then explained the difference between shar'i politics (al-seyasa al-shar'iah ) and normal politics which prevail in today's world by saying that shar'i politics in Islam, which is a subject taught at Al-Azhar and other Islamic universities, is based on Shari'ah which is the foundation for all rulings. As for politics in today's world, it is mainly based on national interests, whether such interests are compatible or not with religion. But can Islam really cover the field of politics in today's complex world?
Political fatwas however are not always formulated in order to please the state, as it is often the case that a correct objective fatwa is what the state would like to implement, without prior arrangement with scholars. A sincere scholar should declare his objective opinion regardless of what the state likes or dislikes, as he should be a conscientious person who only fears Allah in his rulings which he reaches after a good study of the matter, its circumstances and the evidence for the ruling. Another very important pre-requisite for a good mufti is to have a sound understanding of reality and of people's contemporary life conditions and problems (fiqh al-waqi'). A mufti should also not pronounce any fatwa without a sound understanding of the objectives of Shari'ah (maqasid al-shari'ah).
When asked to explain how can a Muslim scholar deal with political matters when historically the subject of shar'i politics (al-seyasa al-shar'iah ) came into existence after the subject of fiqh, Sheikh Al-Qaradawi responded that it is true that compiling books on politics took place after the compilation of the early books on fiqh, but that politics were practiced much earlier by Prophet Muhammad, peace be upon him, from the early days of Islam, and that there are many rulings he issued in his capacity as ruler and head of the Muslim state. When for example he said that "Whoever cultivates a dead land it becomes his property ", he issued that ruling as a Muslim leader who organizes legal matters in society. The same applies to the rightly-guided caliphs, Abu Bakr, 'Umar, 'Uthman and 'Ali who issued numerous public rulings in their capacity as ruler and head of state.
In today's modern world, it is virtually impossible for individual scholars to be specialized in all fields of knowledge, and that is why Muslims have established a number of institutions and councils which issue collective fatwas, like for example the Fiqh Council of the Islamic World League, or the Fiqh Council of the Organization of Islamic Countries. When these councils study specialized rulings which deal with politics, economics or modern transactions and topics, they seek expert opinions from specialists in the field under study to explain the technical background so that the Council is able to reach an informed decision. In the medical field for example, we seek the input of specialized doctors who explain to scholars all the medical background which they need to understand, and following a collective dialogue and debate, a collective decision is then reached. The same approach is followed in other technical fields, like the field of economics for example, as not all scholars are specialized in economics and finance, and a sound ruling cannot be reached without this technical briefing.
Political Fatwas & The Gaza Steel Wall
(Surely those who conceal the clear proofs and the guidance that We revealed after We made it clear in the Book for men, these it is whom Allah shall curse, and those who curse shall curse them (too). Except those who repent and amend and make manifest (the truth), these it is to whom I turn (mercifully); and I am the Oft-returning (to mercy), the Merciful.) (Al-Baqarah, 2:159-160)
Sheikh Al-Qaradawi's fatwa against the Steel Wall is based on its contradiction with the interests, safety and well-being of our brothers in Gaza. It is not permissible for a Muslim to let down his brothers, and building such a wall would block all outlets for assisting them, and would contribute to the siege of Gaza and the humiliation of its people which would aggravate their hunger, and intensify the pressure on them to make them submit and surrender to Israel. The only beneficiaries from a fatwa that rules this wall as being permissible are the Israelis themselves to maintain their siege on Gaza, which could be in preparation for a new war against them to achieve what they were unable to achieve one year ago despite all the murder and destruction they caused in their war on Gaza. Furthermore, the Qur'an clearly states that Muslims are one nation, and it is therefore a duty on Egypt to give Palestinians in Gaza a helping hand, not contribute to eliminating them. There is a consensus among Muslim scholars that any Muslim land which is attacked and occupied by a non-Muslim enemy is the responsibility of its people to defend and liberate, and if they are unable to do so, then the responsibility is extended to the nearest Muslim country, and if they are still unable to save them the responsibility spreads further to the following neighbor, and so on, till it becomes a collective obligation on all Muslims.
In the case of Gaza, Egypt used to administer this land not that long ago, and Egypt should help liberate it, not help Israel in its siege. The Qur'an, The Sunnah and all schools of Fiqh make it an obligation for Muslims to help Muslims defend their lands and liberate them from the enemy, and this is part of Egypt's obligation. Muslims are commanded to help the oppressed and to stand up against the oppressor, and are therefore required to extend bridges of help, cooperation and justice towards the people of Gaza, not erect walls and participate in their siege. So the matter is broader than just a wall being built, and all Muslim individuals and institutions should assist and provide help.
The Consequences of Building the Steel Wall
The Prophet, peace be upon him, said that a women was sent to the Hell fire for locking up a cat which she deprived from food and did not allow to go out in search for what she needs to survive. With this new wall, Egypt would not be locking up a cat but more than one and half million human beings.
The ruling in this matter is so clear, it does not even require a scholar to issue a fatwa, as it is a matter of common sense. In the name of Islam, in the name Arab solidarity and in the name of humanity, this wall should never go ahead.
The fatwa of some scholars may be a local fatwa, and this is the case of a local mufti employed by the state to issue fatwas for its citizens. In this case, such a mufti is responsible for matters dealing with his own country. A universal fatwa however is different, and in the case of Al-Azhar which is a universal Islamic institution, the fatwas it issues cannot be local fatwas which are only concerned with Egypt. Since its establishment, Al-Azhar's Islamic Research Council has included leading scholars from other Muslim countries as members of the Council, including scholars from Pakistan, Lebanon, Morocco …etc. As such, it is a universal Islamic institution and the name of Al-Azhar has always been highly respected by Muslims all over the world. On the other hand, the local Mufti of Egypt is not responsible to issue local fatwas for Muslims in Syria for example, as they have their own local Syrian Mufti.
In response to a question on the divergence of fatwas issued in different Arab countries during the first and second Gulf wars, Sheikh Al-Qaradawi responded that there is no grave concern that fatwas in Saudi Arabia and Gulf states were different from fatwas issued in other countries like Algeria for example. At the time of the first Gulf war, he was present in Algeria, and witnessed how Algerians, who were opposed to the French position against Saddam, sympathized with the Iraqi regime in opposition to France. Fatwas can also differ from one mufti to another due to the difference in their personalities. A mufti may be easy-going by nature, and therefore more inclined to issue easy fatwas, whereas another mufti may be strict by nature and inclined to issue strict fatwas. Fatwas can therefore differ from one country to another, and from one person to another. There is no problem with such differences, on condition that the differences are based on sound principles of fiqh. Reaching a full consensus on all fiqh matters is impossible as there are also other dimensions a mufti takes into account when issuing a fatwa, as illustrated in the following example:
A man one day came to 'Abdullah Ibn 'Umar to ask him whether the repentance of a person who commits murder is accepted by Allah. Ibn 'Umar looked at him, and responded that no, that repentance would not be accepted. When the man left, the friends of Ibn 'Umar asked him about his fatwa as they were surprised by the answer they heard, as before that Ibn 'Umar used to tell people that the repentance of a murderer is accepted. When asked about that ruling, Ibn 'Umar said that when he looked at the man he sensed that he was an angry person on the verge of committing murder. By giving that answer he intended to prevent him from committing that crime by closing that door.
As stated by scholars, a fatwa can change with the change of places, times and circumstances, and a mufti must in all cases have a sound understanding of reality in order to reach the correct ruling. This is also very important when dealing with political fatwas, as explained in this excellent episode which is available on-line in Arabic at this page.
Read more: http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?c=Article_C&cid=1262372323144&pagename=Zone-English-Living_Shariah%2FLSELayout#ixzz0cwM2LNTZ
16 January 2010
Kopdar MPers Jogja
12 January 2010
Berdamai dengan Masa Lalu (yang Kelam)
"Masa lalu/pengalaman/sejarah adalah guru yang (paling) berharga"
Salah itu Lumrah
Akan sulit bagi kita untuk dapat menemukan seorang manusia yang tidak pernah berbuat salah, keliru, khilaf, atau alpa. Konsep mencari manusia sempurna yang tidak pernah berbuat salah, malah terdengar sangat aneh dan absurd. Bahkan Nabi pun berbuat salah.
Berbuat salah sepertinya adalah salah satu ciri ke-manusiawi-an kita. Kita manusia, maka kita berbuat salah..?
Kalau kita ingin agar orang lain selalu berbuat benar, tanpa cela/salah, seakan-akan kita tidak mengizinkan dia untuk menjadi manusia (seutuhnya)-tanpa menyediakan cukup ‘ruang’ untuk toleransi (no room for error/celah untuk berbuat salah). Kita bertingkah seolah sedang berhadapan dengan malaikat, makhluk yang tak pernah salah.
What’s Next
Kita (mungkin) akan melakukan kesalahan, atau bahkan kita (mungkin) sering berbuat salah. Namun jangan dibiarkan begitu saja.
Segera setelah menyadari kelakuan kita yang tidak benar, perbaiki, dan susuli dengan kebaikan guna menutupinya.
Sebaik-baiknya orang, adalah seseorang yang mawas diri; lebih senang memperhatikan cela diri sendiri ketimbang mencari-cari kesalahan orang lain; bersegera meminta maaf (kalau bersalah kepada orang lain); bertaubat (kalau ada hak-hak Allah yang dilanggar); tidak mau mengulangi kesalahan yang telah lalu, dan berbuat kebaikan setelahnya.
Berdamai dengan Masa Lalu
Masa lalu yang penuh kesalahan adalah pelajaran yang mahal dalam kehidupan kita. Kita harus dapat bangkit dan melaluinya dengan baik, sebagaimana tertulis di paragraf sebelumnya.
Terkadang, kita masih suka sebal, kesal, benci, terperangkap dengan masa lalu kita sendiri. Terpuruk jatuh akibat kelakuan buruk kita di masa silam. Tidak dapat memaafkan diri sendiri –lebih tepatnya tidak mau memaafkan kesalahan diri sendiri-.
Seakan-akan lupa, bahwa kita ini manusia, yang mungkin saja berbuat salah.
Dan seakan-akan tidak ingat, bahwa Tuhan kita itu, Allah subhananu wa ta’ala, adalah Zat yang maha pengampun, yang rahmat-Nya mendahului kemurkaan-Nya.
Berdamai dengan Masa Lalu Orang Lain
Sifat pendendam, bisa jadi merupakan salah satu indikasi bahwa kita sedang mengalami kesulitan untuk berdamai dengan masa lalu (kesalahan) orang lain, apalagi kalau orang tersebut sudah berusaha memperbaikinya.
Tidak mudah memang memaafkan, apalagi kalau sudah sakit hati. Tidak gampang memang melupakan, apalagi kalau punya kesempatan untuk membalasnya.
Tapi sekali lagi, kesalahan mungkin saja terjadi. Selama dia memang sudah bersungguh-sungguh bertaubat, memperbaiki diri, dan mencoba menata kembali masa depannya dengan kebaikan, lalu apa alasan kita untuk tidak mau membantunya? Alih-alih malah membiarkannya tetap terpuruk dalam keburukan (kesalahan masa lalunya).
Maafkan, lupakan, cukup hanya dijadikan sebagai pengalaman (jangan diulangi-apalagi dicobain lagi), jangan diungkit-ungkit (jika ini yang terbaik), dan buka lembaran baru.
Contoh Teladan
Banyak orang yang sukses “berdamai” dengan masa lalunya. Umar bin Khattab RA adalah salah satu contohnya,
[mulai kutipan]
Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW. Umar memiliki kebiasaan aneh, ia sering tertawa dan menangis sendiri. Ketika ditanya, menjawablah ia;
Aku akan tertawa bila melihat kesalahan dan dosanya dulu. Semasa belum masuk Islam, aku suka menyembah berhala yang terbuat dari batu atau roti. Aku menyembah patung yang tak bisa berbuat apa-apa dan tak pernah memberiku apa-apa. Aku menertawakan diriku sendiri; betapa bodohnya aku!
Lalu aku akan menangis bila teringat dosaku sebelum masuk Islam. Aku pernah mengubur hidup-hidup anak perempuanku. Tak kan pernah berhenti aku menangisi kekejamanku sendiri. Betapa teganya aku membunuh darah dagingku sendiri.
Sumber kutipan: http://tipex.multiply.com/journal/item/36/Catatan_5_Ramadhan_1429_H
[/akhir kutipan]
LIhatlah bagaimana sejarah akhirnya mencatat nama besar Umar dengan tinta emas. Sebagai salah seorang sahabat Nabi yang agung, menjabat sebagai khalifah sepeninggalan Abu Bakar RA, dan yang dikabarkan sendiri oleh Rasulullah SAW, bahwa ada istana di surga buat beliau. Masya Allah!
Bangkitlah, berdamailah, teroboslah, dan tukarlah masa lalu (kelam)mu, dengan coretan kemilau yang mencengangkan. Tentunya dibarengi dengan konsistensi/keistiqomahan.
"Setiap anak cucu Adam itu banyak berbuat salah, sedangkan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat". (HR.At-Tirmidzi)
---000---
Balikpapan, 12 Januari 2010
Syamsul Arifin
11 January 2010
Sing Waras Ngalah
08 January 2010
Gusti Allah Mboten Sare
Tuhan (Allah) tidak (pernah) tidur.
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. Al-Baqarah: 255)
Allah maha mengetahui, segala hal, baik yang tersembunyi jauh di dasar hati kita, maupun yang terhalang oleh bayangan kegelapan malam.
Keyakinan bahwa “gusti Allah mboten sare” memberikan banyak motivasi dalam diri kita.
Motivasi beramal ihsan, seakan-akan melihat atau dilihat langsung oleh Allah swt.
Dikarenakan Allah maha mengetahui, maka kalau kita berbuat dosa/maksiat, Allah akan tahu tentang hal itu. Sehingga, kita (seharusnya) menjadi malu, karena sesungguhnya Allah tidak pernah tidur maupun tertidur, dan pengetahuannya meliputi segala sesuatu.
Di manapun, kapanpun, dan dalam kondisi ramai maupun sepi, kita juga akan tetap bersemangat dalam melakukan amal kebaikan, karena sesungguhnya Allah tidak tidur, pasti melihat, mencatat serta akan membalasnya dengan kebaikan yang jauh lebih banyak.
Motivasi untuk selalu berharap, optimis, tak kenal putus asa dan menyerah dalam kondisi sesulit, serumit dan sekeras apapun.
Tuhan kita maha penyayang terhadap hamba-hambaNya yang beriman. Ia tidak akan membiarkan kita terlantar begitu saja. Menderita sendirian. Maupun kesakitan tanpa kesudahan.
Ia maha adil dalam kesempurnaan sifatnya. Ia pasti akan memberikan jalan keluar dari segala keruwetan permasalahan kita, akan memberikan pilihan yang terbaik dari kebuntuan permasalahan kita, akan memandu kita melalui kesulitan, dan menjadikan kita insan yang lebih baik, lebih dewasa, lebih bijaksana, dan tentunya lebih beriman, jika kita mampu menghadapi semua ujian dengan keimanan yang kokoh, kesabaran yang solid, dan usaha yang optimal.
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 74, 140 & 149)
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 144)
---000---
Balikpapan, 8 Januari 2010
Syamsul Arifin
[puisi] Ingin Berhenti
Boleh berhenti, tapi jangan pernah lari
Karena lari dari masalah, tidak akan pernah menyelesaikan masalah...
Berhentilah dulu, tuk menghirup udara segar
Mengusir kelelahan
Menikmati perbekalan
Mengisi energi, tuk nanti kembali berjalan lagi
07012010
-ipin4u-
http://myquran.com/forum/showthread.php/437-Kumpulan-Puisi-MyQers?p=26741&viewfull=1#post26741
06 January 2010
[flash fiction] Terpaksa Mencintaimu
Dipaksa oleh keadaan, kondisi, atau entah apapun itu, yang berada di luar kendali diriku.
Keterpaksaan memang selalu menyakitkan, awalnya. Dan katanya, keterpaksaan akan melegakan di akhirnya, ketika kita sudah mulai terbiasa, (mestinya).
Tapi kenapa, hal itu tidak berlaku buat aku?
Keterpaksaan ini semakin lama semakin menyiksaku, menyakitiku, menggerogotiku dari dalam, perlahan-lahan. Entah sampai kapan aku akan bisa terus bertahan dengan kondisi seperti ini. Kurasa aku sudah tidak sanggup lagi!
Aku dipaksa untuk mencintaimu. Dipaksa oleh kebodohanku sendiri. Dipaksa oleh kebutaanku terhadap kenyataan, bahwa kamu bukan orang yang baik. Kamu memang tidak pernah menjadi orang yang baik. Dan sepertinya, kamu tidak akan pernah bisa menjadi baik.
Kenapa aku baru bisa "melihat" hal ini sekarang? Di saat semuanya sudah terlanjur terjadi...
---000---
Balikpapan, 6 Januari 2010
Syamsul Arifin
*cuma fiksi doang kok, serius deh!
Inspirasi: ngobrol ringan sama istri, tentang (beberapa) perempuan2 yang suka sama pria “nakal”, padahal udah jelas cowo itu ngga bener, ngga setia, agamanya kurang lurus, tapi masih aja, si perempuan keukueh cinta mati dan percaya bahwa cinta si cowo itu hanya buat dia. Beugh! Mantab bener dah tuh cowo :D
Gambar diambil dari: sini
Artikel terkait: The 7 Reasons Why Women Love Bad Boys
Tafsir Surat al-Baqarah: 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (al-Baqarah 2:186).
Latar belakang turunnya ayat tersebut:
Ibnul Jauzi dalam tafsirnya (I / 189) menyebut lima peristiwa:
Pertama: Seorang arab badui mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: Apakah Rabb kita dekat sehingga kita bermunajat (berbisik) dengan-Nya ataukah jauh sehingga kita menyeru-Nya? maka turunlah ayat ini.
Kedua: Yahudi Madinah berkata: Wahai Muhammad! Bagaimana Rabb kita mendengar doa kita sedangkan engkau menganggap antara kita dan langit berjarak perjalanan 500 tahun? Maka turunlah ayat ini.
Ketiga: Mereka (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah! Seandainya kita mengetahui kapan waktu yang paling disukai Allah untuk kita berdoa dengan doa kami. Maka turunlah ayat ini.
Keempat: Sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: Di mana Allah? Maka turunlah ayat ini.
Kelima: Ketika diharamkan makan dan hubungan suami istri setelah bangun tidur pada masa awal-awal diwajibkannya puasa atas orang-orang Islam, seorang dari mereka (sahabat) makan setelah bangun tidur dan seorang behubungan suami istri setelah bangun tidur, maka mereka bertanya: Bagaimana cara bertaubat dari apa yang telah mereka lakukan?. Kemudian turunlah ayat ini.
Peristiwa-peristiwa tersebut sebagai latar belakang turunnya ayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari (III / 223 – 225), Ibnu Katsir (II / 186 – 187), al-Baghawi (I / 204) dan al-Qurthubi (III / 177 – 178).
Tafsir:
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata dalam tafsirnya (III / 222):
“Allah Jalla tsanaa’uhu dengan ayat tersebut bermaksud: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau, wahai Muhammad, tentang Aku, Di manakah Aku? Maka sesungguhnya Aku adalah dekat dengan mereka, Aku mendengar doa mereka dan Aku menjawab doa orang yang berdoa di antara mereka”.
al-Baghawi dalam tafsirnya berkata (I / 204):
“Di dalam ayat ini ada yang tersirat, seakan-akan Allah berkata: Maka katakanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Aku adalah dekat dengan mereka dengan ilmu, tidak ada satupun yang tersembunyi, sebagaimana firman-Nya:
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
... , dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (Qaf 50:16)”
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya (II / 188):
“Ini seperti firman-Nya ta’ala:
إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (an-Nahl 16:128),
sebagaimana firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihima as-salam:
إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسْمَعُ وَأَرَى
sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat (Thaha 20:46),
dan maksud dari ayat ini bahwa Allah ta’ala tidaklah mengecewakan orang yang berdoa, dan tidak ada satupun yang menyibukkan-Nya (sehingga tidak mendengar), justru Dia maha mendengarkan doa. Di dalam ayat ini terdapat penyemangat untuk berdoa dan bahwa Allah ta’ala tidaklah mensia-siakannya (doa) ...”
asy-Syinqithi dalam Adhwa’ al-Bayan (I / 143) berkata:
“Allah menyebutkan dalam ayat ini bahwa Allah Jalla wa ‘Alaa dekat dan menjawab doa orang yang berdoa dan Allah menjelaskan dalam ayat yang lain adanya ketergantungan (syarat yakni) dengan kehendak-Nya. Ayat itu adalah:
فَيَكْشِفُ مَاتَدْعُونَ إِلَيْهِ إِن شَآءَ
maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki (al-An’am 6:41),
Dan sebagian (ulama tafsir) berkata (tentang ayat 6:41): ketergantungan (dikabulkannya doa) dengan kehendak (Allah) adalah untuk doa orang-orang kafir sebagaimana dzahir konteks ayatnya (artinya doa orang kafir dikabulkan dengan syarat Allah menghendakinya). Sedangkan janji mutlak (dikabulkannya doa) adalah untuk doa orang-orang yang beriman. Doa-doa mereka (mu’min) tidaklah ditolak, mungkin diberikan langsung seperti yang mereka minta, atau Allah menyimpan (untuk di akhirat) hal yang lebih baik untuk mereka, atau Allah menghindarkan kejelekan dari mereka dengan takdir-Nya. Sebagian ulama berkata: Maksud dari doa adalah ibadah dan maksud ijabah (menjawab) adalah pahala (sehingga “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku” bermakna: ”Aku memberikan pahala ibadah orang yang beribadah kepada-Ku apabila ia beribadah”), maka tidak ada kesulitan dalam memahaminya”.
al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya (III / 177):
“Firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا سَأَلَكَ
(Dan apabila mereka bertanya kepadamu ...)
bermakna: dan apabila mereka bertanya kepadamu tentang sesembahan mereka (Allah), maka beritahukan kepada mereka bahwa Dia adalah dekat, Dia memberi pahala atas ketaatan, menjawab orang yang berdoa dan mengetahui apa yang diperbuat hamba-Nya yang berupa puasa, shalat dan ibadah-ibadah yang lain”.
Beliau juga berkata (III / 178):
“Firman-Nya Ta’ala:
فَإِنِّي قَرِيبٌ
(Maka sesungguhnya Aku adalah dekat)
yakni: dengan jawaban-Nya, ada yang berkata: dengan ilmu-Nya. Ada juga yang berkata: dekat kepada wali-wali-Ku dengan memuliakan dan memberi nikmat pada mereka”.
Beliau melanjutkan (III / 178):
“Firman-Nya Ta’ala:
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
(Aku menjawab doa orang yang berdoa kepada-Ku)
yakni: Aku menerima ibadah orang yang beribadah kepada-Ku, maka doa tersebut bermakna ibadah kepada-Nya. Ijabah (menjawab) tersebut bermakna menerima ibadah mereka”.
Beliau melanjutkan (III / 184 - 185):
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
(Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku))
Abu Raja’ al-Khurasani berkata: Maka hendaknya mereka berdoa kepada-Ku. Ibnu ‘Athiyah berkata: maknanya adalah: hendaknya mereka mencari jawaban (doa) mereka. Ini termasuk bab (wazan) istaf’ala yang bermakna thalaba (mencari sesuatu) kecuali seperti istaghnallah (yang bermakna menganggap yakni menganggap dirinya kaya atau cukup dari Allah). Mujahid dan yang lainnya berkata: maknanya: Hendaknya mereka menjawab (memenuhi panggilan) Ku terhadap apa yang telah aku serukan (panggil) pada mereka dari keimanan yakni : untuk taat dan beramal. Dikatakan: ajaaba dan istajaaba bermakna sama (yakni menjawab atau memenuhi panggilan).
Sedangkan ar-rasyaad (berpetunjuk) adalah kebalikan dari al-ghaiy (sesat) dari
rasyada yarsyudu rusydan.
al-Harawi berkata: ar-rusydu – ar-rasyadu – ar-rasyaadu : al-hudaa (petunjuk) dan al-isitqaamah (istiqamah) sebagaimana firman-Nya “la’allahum yarsyuduuna””.
Asy-Syaukani berkata dalam tafsirnya yakni Fathu al-Qadir (I/337):
“Firman ALLAH:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي
(Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,)
Salah satu kemungkinan maknanya adalah pertanyaan tentang dekat dan jauh-nya ALLAH sebagaimana ditunjukkan oleh:
فَإِنِّي قَرِيبٌ
(maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.)
Kemungkinan yang lain adalah: pertanyaan tentang dijawabnya doa yang telah dipanjatkan sebagaimana ditunjukkan oleh :
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
(Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,)
Kemungkinan yang lain adalah: pertanyaan tentang apa-apa yang lebih umum dari yang telah disebutkan (jauh dan dekat atau jawaban dari doa).
Firman-Nya:
فَإِنِّي قَرِيبٌ
(maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.)
sebagian berkata: (dekat) dengan menjawab (doa), sebagian berkata: (dekat) dengan ilmu, sebagian berkata: dengan memberi nikmat ...”
Beliau juga berkata: “Dzahir dari makna “ijabah” (menjawab) adalah tetap kembali kepada makna bahasanya. Adapun bahwa doa adalah termasuk ibadah tidaklah melazimkan bahwa “menjawab” bermakna mengabulkan doa yakni menjadikannya ibadah yang diterima. Menjawab doa adalah perkara yang lain yang tidak sama dengan menerima ibadah (doa) tersebut. Sehingga maksudnya adalah bahwa ALLAH subhanahu menjawab dengan apa yang Dia kehendaki dengan cara yang Dia kehendaki. Kadang-kadang yang diminta diberikan dengan segera atau setelah waktu yang lama. Kadang-kadang yang berdoa dihindarkan dari bala’ (musibah) yang tidak dia ketahuinya dengan sebab dia berdoa. Ini semua dengan syarat tidak adanya hal yang melampaui batas dari orang yang berdoa dalam doanya sebagaiman firman ALLAH:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-A’raaf :55).
Termasuk melampaui batas dalam berdoa adalah meminta apa yang tidak berhak baginya, tidak pantas baginya, seperti orang yang meminta kedudukan di surga sama dengan kedudukan para nabi atau lebih tinggi.
Firmannya
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku
Yakni: sebagaimana Aku telah menjawab mereka apabila mereka berdoa kepada-Ku, maka hendaknya mereka menjawab-Ku terhadap apa yang Aku serukan kepada mereka dari keimanan dan ketaatan. Dan dikatakan bahwa maknanya adalah: Sesungguhnya mereka memohon jawaban ALLAH subhanahu terhadap doa-doa mereka dengan cara menjawab (seruan) ALLAH yakni dalam menegakkan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya”.
Ibnu Rajab al-Hambali berkata dalam Rawai’u at-Tafsir (1/138-142):
“Dan tidaklah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memahamai nash-nash ini selain makna yang benar yang dimaksud. Mereka mengambil faidah dengannya berupa ma’rifat (mengenali) keagungan ALLAH dan kemuliaan-Nya; pengawasan dan penglihatan-Nya atas hamba-hamba-Nya dan pengetahuan-Nya atas mereka; kedekatan-Nya pada hamba-hamba-Nya dan ijabah-Nya atas doa-doa mereka sehingga menjadikan mereka (sahabat) bertambah-tambah khasyah (takut) kepada ALLAH, mengagungan-Nya, memuliakan-Nya, segan kepada-Nya, muraqabah (merasa diawasi-Nya) dan rasa malu (kepada-Nya). Dan mereka beribadah kepada-Nya seakan-akan mereka melihat-Nya”.
Ibnu Rajab juga berkata:
“Kemudian muncul setelah mereka orang yang sedikit wara’nya, buruk pemahaman dan maksudnya, lemah pengagungan terhadap ALLAH, lemah rasa takut (kepada ALLAH) di dalam dadanya. Mereka ingin dilihat manusia sebagai orang yang istimewa dengan pemahaman yang dalam dan kuatnya pemikiran, hingga beranggapan bahwa nash-nash ini menunjukkan bahwa ALLAH dengan dzat-Nya ada di setiap tempat sebagaimana dikisahkan pemahaman tersebut dari kelompok-kelompok jahmiyyah, mu’tazilah dan yang sejalan dengan mereka, sungguh Maha tinggi ALLAH dari apa yang mereka katakan. Pemahaman ini tidaklah terlintas pada orang sebelum mereka dari kalangan para sahabat radhiallahu ‘anhum. Mereka (jahmiyyah, mu’tazilah dan yang sejalan) adalah termasuk orang yang mengikuti apa yang mutasyabih dan mencari fitnah dan ta’wilnya. Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan ummatnya dari mereka dalam hadits ‘Aisyah yang shahih dan muttafaqun ‘alaihi (al-Bukhari dan Muslim)”.
“Mereka juga terperangkap dengan pemahaman mereka yang lemah dengan maksud yang rusak terhadap ayat-ayat di dalam Kitab ALLAH (al-Quran) seperti firman-Nya:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS al-Hadid: 4)
dan firman-Nya:
مَايَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. (QS al-Mujaadilah: 7)
Sebagian ulama salaf berkata berkaitan dengan ayat tersebut: ALLAH tidak bermaksud kecuali bahwa Dia bersama mereka dengan ilmu-Nya. Mereka (para ‘ulama salaf) bermaksud membatalkan apa yang dikatakan oleh mereka (jahmiyyah, mu’tazilah dan yang sejalan) yang tidak pernah dikatakan dan difahami dari al-Quran oleh orang sebelum mereka”.
“Termasuk yang berkata bahwa kebersamaan (ma’iyah) ini adalah dengan ilmu-Nya (bukan dengan dzat-Nya) adalah Muqatil bin Hayyan dan diriwayatkan darinya bahwa beliau meriwayatkan dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas”.
“Perkataan ini juga dikatakan oleh Adh-Dhahhak, beliau berkata: ALLAH di atas ‘arsy-Nya dan ilmu-Nya di setiap tempat”.
“Perkataan serupa juga diriwayatkan dari Malik, ‘Abdul ‘Aziz bin al-Majisyun, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq dan selain mereka dari pada imam-imam salaf”.
“al-Imam Ahmad meriwayatkan: terlah bercerita kepada kami ‘Abdullah bin Nafi’, beliau berkata, Malik berkata: ALLAH di atas langit dan ilmunya di setiap tempat”.
“Makna ini juga diriwayatkan dari ‘Ali dan Ibnu Mas’ud”.
“Al-Hasan berkata tentang firman-Nya Ta’ala:
إِنَّ رَبَّكَ أَحَاطَ بِالناَّسِ
Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia (QS al-Israa: 60)
Beliau (al-Hasan) berkata: ilmu-Nya terhadap manusia”.
“Ibnu Abdil Barr dan yang lain menceritakan adanya ijma’ (kesepakatan) ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in tentang ta’wil (tafsir) firman-Nya:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS al-Hadid: 4)
bahwa maksudnya adalah ‘ilmunya”.
“Semua ini mereka maksudkan sebagai bantahan terhadap orang yang berkata: sesungguhnya Dia (ALLAH) Ta’ala dengan dzatnya ada di setiap tempat”.
Sebagian orang yang mengaku pandai beranggapan bahwa apa yang dikatakan oleh para imam tersebut adalah salah, karena ilmu ALLAH adalah sifat yang tidak berpisah dari dzat-Nya. Ucapan ini adalah buruk sangka dengan para imam-imam Islam karena mereka tidaklah bermaksud seperti apa yang dia sangka. Mereka tidak bermaksud kecuali bahwa ilmu ALLAH melekat dengan (meliputi) apapun yang ada di seluruh tempat oleh karena itu apa ada di seluruh tempat tersebut adalah apa yang ALLAH ilmui (ketahui) bukan sifat dari dzat-Nya. Sebagaimana isyarat itu ada dalam al-Quran dengan firman-Nya:
وَسِعَ كُلَّ شَىْءٍ عِلْمًا
Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu (QS Thaha: 98)
dan
رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَىْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا
Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu (QS Ghafir: 7)
serta
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَايَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَايَخْرُجُ مِنْهَا وَمَايَنزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَايَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ
Kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS al-Hadid: 4)”.
“Harb berkata: Aku bertanya Ishaq tentang firman-Nya:
مَايَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. (QS al-Mujaadilah: 7)
Beliau berkata: Di manapun engkau ada, Dia lebih dekat kepadamu dari pada urat lehermu dan Dia terpisah dari makhluknya.
Dan bukanlah sifat dekat ini seperti dekatnya makhluk seperti yang telah diketahui sebagaimana disangka oleh orang-orang yang sesat. Sifat dekat ini adalah dekat yang tidak menyerupai sifat dekat dari makhluk sebagaimana Yang disifati (dengan dekat) adalah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” QS asy-Syura: 11.
Seperti ini juga perkataan tentang hadis-hadis nuzul (turunnya ALLAH) ke langit dunia, sesungguhnya sifat nuzul itu semacam sifat dekatnya Rabb kepada orang yang berdoa kepada-Nya, meminta kepada-Nya dan mohon ampun kepada-Nya.
Hammad bin Zaid pernah ditanya tentang hal teresebut, maka beliau berkata: Dia ada di tempat-Nya mendekat pada makhuqnya sebagaimana yang Dia kehendaki.
Maksudnya bahwa nuzul-Nya tidaklah berpindah dari satu tempat ke tempat lain seperti nuzulnya makhuq-makhluk.
Hanbal berkata: Aku bertanya kepada Abu Abdillah: Apalah ALLAH turun ke langit dunia? Beliau menjawab: betul. Aku berkata: Turun-Nya dengan ilmunya atau dengan apa? Beliau menjawab: Diamlah engkau dari hal ini, ada apa denganmu dengan ini? Beliau berkata: Baiklah, biarkanlah hadis itu atas apa yang diriwayatkan tanpa bagaimana tanpa batasan kecuali dengan apa-apa yang dibawa oleh atsar-atsar (riwayat-riwayat) dan apa-apa yang dibawa oleh al-Kitab (al-Quran). ALLAH berfirman:
فَلاَ تَضْرِبُوا لِلَّهِ اْلأَمْثَالَ
“Janganlah engkau mengadakan persamaan-persamaan bagi ALLAH ...” QS an-Nahl: 74.
Dia (ALLAH) turun (nuzul) sebagaimana yang Dia kehendaki dengan ilmu-Nya, qudrah-Nya, dan keagungan-Nya. Dia -yakni ilmuNya- meliputi segala sesuatu. Orang yang berusaha mensifati-Nya tidak akan mencapai derajat (ketinggian) Nya. Tidak akan jauh dari-Nya ‘azza wa jalla, orang-orang yang berlari (menjauh dari-Nya).
Maksudnya: Bahwa nuzul-Nya Ta’ala bukanlah seperti nuzulnya makhluk-makhluk akan tetapi nuzul-Nya adalah nuzul yang sesuai dengan qudrah-Nya, keagungan-Nya dan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu. Sedangkan makhluk-makhluk tidak bisa meliputi ALLAH dengan ilmu pengetahuan. Mereka hanya mampu sampai kepada apa yang ALLAH khabarkan kepeda mereka tentang diri-Nya dan apa yang dikhabarkan tentang-Nya oleh Rasul-Nya.
Oleh karena itu salaf shalih sepakat atas membiarkan nash-nash ini sebagaimana datangnya tanpa tambahan dan pengurangan. Sedangkan apa-apa yang sudah difahami dari nash-nash (sifat) itu dan apa apa yang terbatasnya akal dalam mengetahui hakikatnya diserahkan kepada yang mengetahuinya.
Selesai ucapan Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah.
al-Qasimi dalam tafsirnya (II/431) menjelaskan makna qarib (dekat):
“Maknanya Yang dekat kepada hamba-Nya dengan cara mendengar doanya, melihat hambanya merendahkan dirinya (sungguh-sungguh memohon), dan dengan ilmu-Nya.”
Dari penjelasan para ulama di atas beberapa pelajaran yang bisa didapatkan adalah:
ALLAH Ta’ala dekat (qarib) dengan hamba-hamba-Nya dengan ilmunya bukan dengan dzat-Nya. Dzat ALLAH ada di atas ‘Arsy-Nya di atas langit sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahahaman para salaf. Sifat dekat ALLAH tidak menyerupai apapun dari makhluknya dan begitu pula sifat-sifat-Nya yang lain.
Manhaj para salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam nama-nama dan sifat-sifat ALLAH adalah membiarkan apa adanya tanpa bagaimana dan batasan-batasan yakni tanpa menanyakan bagaimananya, tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya, tanpa penolakan dan tanpa pengubahan dari makna asalnya.
Disyari’atkan dan diperintahkan berdo’a kepada ALLAH, karena berdoa diperintahkan maka berdo’a adalah perbuatan yang diridhai-Nya sehingga termasuk ibadah. Semakin sering berdo’a maka dia akan mendapat lebih banyak ridha dan pahala dari ALLAH Ta’ala di samping dikabulkan doanya.
ALLAH Ta’ala akan menjawab setiap doa dari hamba-hamba-Nya apabila memenuhi syarat dan tidak adanya penghalang yang mengakibatkan doa seseorang tidak dijawab oleh ALLAH Ta’ala. Jawaban ALLAH atas setiap doa tidak selalu sama persis dengan yang diinginkan hamba-Nya akan tetapi ada tiga kemungkinan seperti telah dijelaskan.
Menjawab seruan ALLAH Ta’ala yakni dengan beriman kepada-Nya dan melaksanakan keta’atan kepada-Nya adalah cara mendapatkan jawaban ALLAH atas doa-doa hamba-Nya. Maka beriman dan ta’at kepada ALLAH yakni dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya adalah salah satu sebab doa-doa hamba-Nya dijawab oleh ALLAH. Menjawab seruan ALLAH Ta’ala dengan keimanan dan keta’atan juga penyebab seseorang mendapatkan petunjuk.
ALLAH Ta’ala A’lam bi ash-shawab
al-faqir ilaa rahmati Rabbihi
NA Setiawan
Sumber: http://noorakhmad.blogspot.com/2009/12/tafsir-surat-al-baqarah-186.html
04 January 2010
Mecca: the Center of the Earth, Theory and Practice
Mecca should become core to measure time zones: scholars
SPEAKERS at a Doha conference on Mecca's importance said that the holy city, not Greenwich, should become the reference point for world time, reigniting an old controversy that started some four decades ago.
A group of Islamic scholars presented on Saturday “scientific evidence” to prove that Mecca was the core of that the zero longitude passes through the holy city and not through Greenwich in the UK.
Greenwich in England has been the home of Greenwich Mean Time (GMT) since 1884. GMT is sometimes called Greenwich Meridian Time because it is measured from the Greenwich Meridian Line at the Royal Observatory in Greenwich. Greenwich is the place from where all time zones are measured.
In a clear support for the call, Islamic scholar Yousuf al-Qaradawi said Islam, “unlike other religions, never contradicted science”.
The participants recommended the unification of the time in the Arab world to the time in Mecca instead of Greenwich. They also called the Arab governments to abandon the new world maps “because they are forged to serve Western interests.”
They also demanded that buildings in the Arab world be directed towards Qibla.
The gathering also urged to organise conferences to promote the idea of “Mecca as the centre of the world's land” and distribution of CDs to support it.
The conference was organised to introduce Saat Makkah (the watch of Mecca). The inventor of the clock, Yasin a-Shouk, said it runs anti-clockwise in the direction of Tawaf, the rotation around Kaaba.
The Switzerland-based award-winning inventor of Palestinian origin said that his invention met a lot of opposition and it took him four years to win the patent.
The moderator of the event, Rabaa Hamo, who is also the wife of the watch's inventor, said “the West imposed on us the invisible Greenwich line” as the world's reference time.
She hoped that an Islamic country would adopt the project to strengthen the belief that Mecca was the core of the world, not theoretically but practically.
Islamic scholar, Zaghloul al-Najjar, said that the West did not like the scientific proofs that “Mecca was located in the centre of our planet, but nevertheless we will go on our research to establish it as a truth”.
Other speakers talked about the privileges of Mecca quoting verses from the Holy Qur'an and the sayings of Prophet Muhammad.
Muslim call to adopt Mecca time
Muslim scientists and clerics have called for the adoption of Mecca time to replace GMT, arguing that the Saudi city is the true centre of the Earth.
Mecca is the direction all Muslims face when they perform their daily prayers.
The call was issued at a conference held in the Gulf state of Qatar under the title: Mecca, the Centre of the Earth, Theory and Practice.
One geologist argued that unlike other longitudes, Mecca's was in perfect alignment to magnetic north.
He said the English had imposed GMT on the rest of the world by force when Britain was a big colonial power, and it was about time that changed.
Mecca watch
A prominent cleric, Sheikh Youssef al-Qaradawy, said modern science had at last provided evidence that Mecca was the true centre of the Earth; proof, he said, of the greatness of the Muslim "qibla" - the Arabic word for the direction Muslims turn to when they pray.
The meeting also reviewed what has been described as a Mecca watch, the brainchild of a French Muslim.
The watch is said to rotate anti-clockwise and is supposed to help Muslims determine the direction of Mecca from any point on Earth.
The meeting in Qatar is part of a popular trend in some Muslim societies of seeking to find Koranic precedents for modern science.
It is called "Ijaz al-Koran", which roughly translates as the "miraculous nature of the holy text".
The underlying belief is that scientific truths were also revealed in the Muslim holy book, and it is the work of scholars to unearth and publicise the textual evidence.
But the movement is not without its critics, who say that the notion that modern science was revealed in the Koran confuses spiritual truth, which is constant, and empirical truth, which depends on the state of science at any given point in time.
Source: http://news.bbc.co.uk/2/hi/7359258.stm
Other reading: http://en.wikipedia.org/wiki/Mecca_Time
Prioritas
Copyright
Hakekat dari Hak Cipta
Assalammu''alaikum wr wb
Ust. Ahmad, saya ingin bertanya...
Pernah saya dengar jika Hak Cipta adalah milk Allah SWT. Apakah benar Hak Cipta hanya milik Allah SWT? Jika benar, bagaimana dengan para pembajak?
Syukron atas jawabannya..
jawaban
Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Istilah ''Hak Cipta'' memang agak sedikit salah kaprah, sebab istilah ''cipta'' punya kesan kuat sebagai wilayah kekuasaan Allah SWT. Mungkin yang agak tepat malah istilah dalam bahasa Inggrisnya, yaitu ''copyright''.
Seharusnya terjemahnya menjadi ''hak untuk mengkopi, memperbanyak atau memproduksi secara massal, ''. Dan bukan hak untuk ''menciptakan'', karena penciptaan adalah hak Allah SWT. Manusia tentu saja tidak bisa mencipta.
Namun karena istilah ''hak mengkopi'' sangat aneh di telinga kita, maka untuk selanjutnya kita sebut saja dulu dengan bahasa aslinya, yaitu copyright. Dan copyright ini juga bukan ke balikan dari ''copyleft''.
Dasar Masyru''iyah
Kalau kita lihat dalam berbagai literatur fiqih klasik, rasanya sulit bagi kita untuk menemukannya. Barangkali karena ''urf di masa lalu belum lagi mengenal kekayaan dalam bentuk itu.
Seiring dengan ditemukannya mesin cetak yang bisa membuat copy secara massal, lalu diikuti dengan mesin-mesin pengganda lainnya, maka apa yang pernah ditulis, digagas atau ditemukan oleh seseoang tiba-tiba langsung menyebar ke berbagai tempat.
Sejak itulah muncul pihak-pihak yang bisa mendapatkan keuntungan berlipat hanya dengan menggandakan, sementara penulis aslinya malah tidak mendapat apa-apa, kecuali sekedar pengakuan.
Lalu ''urf berubah, sesuatu yang awalnya hanya sekedar kekayaan dalam bentuk maknawi, kemudian sudah berubah menjadi kekayaan dalam bentuk mali (harta). Inilah kemudian yang mendasari pada ulama di masa kontemporer untuk memasukkan copyright sebagai hak kekayaan harta.
Maka pada tanggal 10-15 Desember 1988, Majma` Al-Fiqh Al-Islami pada Muktamar kelima di Kuwait telah menetapkan bahwa copyright adalah bagian dari hak kekayaan seseorang. Berikut ini adalah terjemah dari keputusan tersebut:
Keputusan No. 43 (5/5)
tentang Hak-hak Maknawiyah
Majelis MAjma'' Fiqih Islami International dalam muktamar rutin kelimanya di Kuwait dari 1 s/d 6 Jumadil Ula 1409 H/ 10-15 Desember 1988 M, setelah mengkaji beberapa makalah dari para ulama dan para ahli tentang hak-hak maknawiyah, serta setelah mendengar diskusiyang terkait dengan hal itu,
Menetapkan sebagai berikut,
Pertama: nama usaha, merek dagang, logo dagang, karangan, dan penemuan, adalah termasuk hak-hak khusus bagi pemiliknya. Dan di masa sekarang ini telah bernilai sebagai harta kekayaan yang muktabar untuk menjadi pemasukan. Dan hak ini diakui oleh syariah, sehingga tidak dibenarkan untuk melanggarnya.
Kedua: dibenarkan untuk memperjual-belikan nama usaha, merek dagang, atau logo dagang itu, atau mempertukarkannya dengan imbalan harta, selama tidak ada gharar, penipuan dan kecurangan. Karena dianggap semua itu adalah hak harta benda.
Ketiga: hak atas tulisan, penemuan dan hasil penelitian terlindungi secara syariah, para pemiliknya punya hak untuk memperjual-belikannya, dan tidak dibenarkan untuk merampasnya.
* * *
Apa yang telah dijadikan keputusan oleh Institusi ini, sebelumnya juga telah menjadi pendapat Dr. Said Ramadhan Al-Buthi. Ulama besar Syiria ini sebelumnya juga telah menetapkan copyright sebagai bagian dari harta kekayaan milik seseorang yang wajib dihargai dan haram untuk diambil begitu saja.
Sehingga masalah copyright ini tidak bisa dianggap sepele, karena menyangkut kerugian harta pada diri orang lain.
Bahkan dalam syariat Islam, tidak dibedakan apakah hak itu milik muslim atau pun non muslim. Sebab Rasulullah SAW telah menjamin bahwa setiap muslim adalah seorang di mana orang lain akan selamat dari lisan dan tangannya.
Maksudnya, seorang muslim itu tidak akan merugikan orang lain, baik dengan mulutnya seperti fitnah, tuduhan, kedustaan, atau pun juga dari tangannya, seperti pencurian, perampokan dan juga menyabotan hak kekayaan intelektual.
Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Artikel terkait:
1. Antara HaKI, Islam dan Teknologi Informasi (Romi Satria Wahono)
2. Hukum Barang Bajakan (Ustadz Dr. Setiawan Budi Utomo - Eramuslim)
3. Hukum Software Bajakan (Ustadz Ahmad Sarwat, Lc)