Sabtu, 20 Okt 07 11:47 WIB
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..
Ustadz, banyak yang sering menyebutkan bahwa umat Islam di Asia Tenggara menganut Mazhab Syafi'i. Orang-orang di sekitar saya juga sering mengatakan kita bermazhab Syafi'i dari empat mazhab yang ada.
Yang menjadi tanda tanya bagi saya, apa yang dimaksud dengan Mazhab? Apa perlu kita bermazhab? Padahal pada masa Rasulullah. SAW dan Sahabat Beliau tidak pernah menyinggung hal ini.
Terima kasih atas tanggapan Ustadz sebelumnya.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Wahdan Hidayat
wahhid
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Mazhab fiqih bukanlah sekte atau pecahan kelompok dalam agama. Mazhab fiqih adalah metologi yang sangat diperlukan dalam memahami nash-nash agama.
Mengatakan kembali kepada Quran dan Sunnah memang mudah, tetapi dalam kenyataannya, ada banyak masalah yang muncul dan tidak terpikirkan sebelumnya. Dan ujung-ujungnya, tiap orang akan berimprofisasi sendiri-sendiri dalam berpegang kepada Quran dan Sunnah, bahkan variannya akan menjadi sangat banyak tidak terhingga.
Munculnya aliran sesat semacam Islam Jamaah, Ahmadiyah, serta kelompok nyeleneh lainnya adalah akibat dari tidak adanya sistem istimbath hukum yang baku dalam menarik kesimpulan hukum yang benar dari Quran dan sunnah.
Semua jamaah sesat selalu mengklaim bahwa mereka merujuk kepada Quran dan sunnah. Untuk itu dibutuhkan rule of the game dalam menggunakan Quran dan sunnah, agar hasilnya tidak bertentangan dengan esensi keduanya.
Mazhab Fiqih Adalah Sebuah Upaya Memudahkan
Kita mengenal Al-Quran dengan 6000-an ayatnya, serta mengenal jutaan hadits nabawi. Tentunya, tidak semua orang mampu membaca semuanya, apalagi sampai menarik kesimpulan hukumnya.
Apalagi mengingat bahwa Al-Quran tidak diturunkan dalam format kitab undang-undang atau peraturan. Al-Quran berbentuk prosa yang enak dibaca sebagai bentuk sastra. Tentunya, menelusuri 6000-an ayat untuk dipetakan menjadi sebuah kitab undang-undang yang rinci dan spesifik membutuhkan sebuah kerja berat.
Maka para ulama pendiri mazhab itulah yang berperan untuk menyelesaikan proyek maha raksasa itu. Satu demi satu ayat Quran dibaca, ditelaah, diteliti, dikaji, dibandingkan dengan ayat lainnya, lalu dicoba untuk ditarik kesimpulan hukum yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan hadits nabawi yang berjumlah jutaan itu, lebih repot lagi menanganinya. Sebab sebelum ditarik kesimpulan hukumnya, hadits-hadits itu masih harus mengalami proses validisasi terlebih dahulu, serta ditetapkan status derajat keshahihannya.
Hasil dari penelusuran panjang baik dari ayat Quran maupun jutaan butir hadits itu kemudian ditulis dengan susunan yang mudah, dengan bahasa yang lebih teknis dan komunikatif oleh para ulama mazhab itu. Dengan mengikuti sebuah pola tertentu yang sudah distandarisasi sebelumnya secara ilmiyah. Ada puluhan bahan ratusan ulama ahli dan ekspert di bidangnya yang bekerja 24 jam sehari untuk melakukan proses ini sepanjang zaman. Sehingga menghasilkan kesimpulan dan rincian hukum yang sangat detail dan bisa menjawab semua masalah syariah sepanjang zaman.
Produknya telah berjasa besar sepanjang perjalanan hidup umat Islam sejak abad kedua hingga abad 15 hijriyah ini.
Dan semua itu kita sebut mazhab fiqih!!!
Kalau ada orang yang dengan lugunya mengatakan mengapa harus menggunakan mazhab dan tidak langsung saja mengacu kepada quran dan sunnah, jelaslah bahwa orang ini tidak tahu persoalan.
Dan ketika orang ini nantinya mengambil kesimpulan hukum sendiri langsung dari Quran dan sunnah, tanpa sadar dia sedang mendirikan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab dirinya sendiri. Dan begitulah, setiap kali ada orang membaca Al-Quran atau sunnah sebagai sumber hukum, maka apa yang disimpulkannya adalah mazhab. Mazhab itu bisa saja mazhabbaru, karena belum ada orang yang memahami dengan cra demikian sebelumnya, atau bisa juga mazhab lama, karena sebelumnya sudah ada yang menyimpulkan seperti kesimpulannya.
Mengapa Ada Banyak Mazhab?
Banyaknya mazhab itu tidak ada kaitannya dengan perpecahan, apalagi permusuhan di dalam tubuh umat Islam. Sebaliknya, banyaknya mazhan dan pendapat itu justru menunjukkan sangat dinamisnya syariat Islam, serta sangat luasnya wilayah ijithad.
Semakin banyak mazhab justru kita semakin bangga, bukan semakin sedih. Sebab mazhab itu tidak seperti sekte atau pecahan-pecahan yang saling bermusuhan. Adanya mazhab-mazhab itu menunjukkan kecanggihan dan keistimewaan syariah Islam.
Kita bisa ibaratkan sebuah organisasi, semakin banyak departemen dan bidang-bidangnya, menunjukkan semakin banyak besar dan semakin luas jangkauan organisasi itu. Dan tentunya semakin profesional.
Latar Belakang Perbedaan
Ada banyak latar belakang perbedaan pendapat yang menyebabkan banyaknya versi kesimpulan hukum, di antaranya adalah:
- Adanya nash-nash yang secara zahir saling bertentangan, baik antara Quran dengan Quran, atau antara Quran dengan hadits, atau antara hadits dengan hadits.
- Adanya celah penafsiran dan kesimpulan hukum yang berbeda di dalam satu dalil yang sama
- Adanya perbedaan status dan derajat keshaihan suatu hadits, sehingga sebagian ulama menerima suatu hadits karena menurutnya shahih bisa dijadikan dalil, namun sebagian lainnya menolak keshahihan hadits itu dan tidak mau menjadikannya sebagai dalil.
- Adanya metode istimbath hukum yang berbeda antara satu ulama dengan lainnya. Prakek penduduk Madinah (amalu ahlil Madinah) adalah metode atau sumber hukum yang diterima oleh Imam Malik, namun ulama lain tidak mau menggunakan metode ini.
- Adanya perbedaan dalam penggunaan istilah-isitlah fiqih di antara masing-masing mazhab. Sehingga meski sekilas kelihatannya salin berbeda, namun boleh jadi esensinya justru sama dan sejalan.
- Adanya 'urf dan kebiasaan masyarakat yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Hal ini mengingat bahwa kesimpulan hukum itu seringkali terkait dengan realitas sosial yang berkembang pada suatu masyarakat tertentu.
Dan masih banyak lagi penyebab perbedaan pandangan di kalangan ulama. Hal seperti ini tidak bisa dihindarkan, bahkan sudah terjadi semenjak nabi SAW masih hidup. Bahkan nabi SAW sendiri pernah berbeda pendapat dengan para shahabat dalam hasil ijtihadnya, dan justru ijtihad shahabatnya yang dibenarkan Allah SWT.
Maka kesimpulan dari jawaban ini adalah bahwa bermazhab itu adalah bentuk paling benar dari slogan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan bahwa berbeda pandangan yang terjadi di dalam masing-masing mazhab itu adalah sebuah keniscayaan yang mustahil dihindari. Namun perbedaan itu haram untuk dijadikan dasar perpecahan dan permusuhan, sebaliknya harus menjadi sebuah khazanah kekayaan syariah Islam yang luas dan luwes.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz/dll/6b21085053-apa-mazhab-apa-perlu-kita-bermazhab.htm
Mengapa Ada Perbedaan Mazhab dan Pendapat Ulama?
Selasa, 20 Peb 07 09:53 WIB
Saya dan banyak teman lainnya seringkali merasa aneh dengan perbedaan di kalangan ulama. Seringkali ketika membaca tulisan yang terkait dengan kajian fiqhiyah, kamidapati isinya merupakan penjabaran perbedaan pendapat di kalangan ulama. Bahkan tidak jarang disebutkan ada mazhab A, mazhab B, atau ulama ini dan ulama itu. Masing-masing datang dengan pendapatnya sendiri-sendiri yang nyaris tidak pernah sama.
Mohon maaf kalau seringkali kami bukannya menjadi paham, tapi malah tambah bingung. Mohon pak Ustadz bisa menjelaskan duduk perkaranya. Seringkali banyak hal yang belum terjawab di otak saya. Seperti: Bukankah agama ini satu? Bukankah syariat ini satu? Bukankah kebenaran satu tidak berbilang? Bukankah sumbernya pun satu juga? Yaitu wahyu Allah.
Tapi kenapa terjadi perbedaan sehingga dalam satu masalah ada pendapat lebih dari satu dan tidak satu pendapat antara madzhab sehingga umat Islam lebih mudah mengambil pendapat, karena mereka adalah umat yang satu?
Terkadang ada yang menduga bahwa perbedaan ini menyebabkan kontradiksi dalam syariat atau kontradiksi dalam sumber syariat atau perbedaan akidah, seperti perbedaan aliran-aliran dalam agama selain Islam seperti golongan Kristen Ortodoks, Katolik, Protestan.
Sukmawati
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Perbedaan antara madzhab fiqh dalam Islam merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam. Khazanah kekayaan syariat yang besar ini adalah kebanggaan dan izzah bagi umatnya. Perbedaan fuqaha hanya terjadi dalam masalah-masalah cabang dan ijtihad fiqh, bukan dalam masalah inti, dasar dan akidah.
Tak pernah kita dengar dalam sejarah Islam, perbedaan fiqh antara madzhab menyeret mereka kepada konflik bersenjata yang mengancam kesatuan umat Islam. Sebab perbedaan mereka dalam masalah parsial yang tidak membahayakan.
Perbedaan dalam masalah akidah sesungguhnya yang dicela dan memecah belah umat Islam serta melemahkan eksistensinya.
Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat berbeda antara pemahaman manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum, menangkap rahasia syariat dan memahami illat hukum.
Semua ini tidak bertentangan dengan kesatuan sumber syariat. Karena syariat Islam tidak saling bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan terjadi karena keterbatasan dan kelemahan manusia. Meski demikian tetap harus beramal dengan salah satu pendapat yang ada untuk memudahkan manusia dalam beragama sebab wahyu sudah terputus.
Namun bagi seorang mujtahid ia mesti beramal dengan hasil ijtihadnya sendiri berdasarkan interpretasinya (dhzan) yang terkuat menurutnya terhadap makna teks syariat. Karena interpretasi ini yang menjadi pemicu dari perbedaan. Rasulullah saw bersabda, ”Jika seorang mujtahid berijtihad, jika benar ia mendapatkan dua pahala dan jika salah dapat satu pahala, ”
Kecuali jika sebuah dalil bersifat qathi’ (pasti) dengan makna sangat jelas baik dari Al-Quran, Sunnah mutawatir atau hadis Ahad Masyhur maka tidak ruang untuk ijtihad.
Adapun sebab perbedaan ulama dalam teks yang bersifat dhzanni (lawan dari qathi) atau yang lafadlnya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu adalah sebagai berikut:
1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Arab.
Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadl tersebut umum (mujmal) atau lafadl yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadl memiliki arti umum dan khusus, atau lafadl yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain.
Contohnya, lafadlquru’ memiliki dua arti; haid dan suci (Al-Baqarah:228). Atau lafadl perintah (amr) bisa bermakna wajib atau anjuran. Lafadl nahy; memiliki makna larangan yang haram atau makruh.
Contoh lainnya adalah lafadl yang memiliki kemungkinan dua makna antara umum atau khusus adalah Al-Baqarah: 206 “Tidak ada paksaan dalam agama” apakah ini informasi memiliki arti larangan atau informasi tentang hal sebenarnya?
2. Perbedaan Riwayat
Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada beberapa, di antaranya:
- Hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai kepada perawi lainya.
- Atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada lainnya dengan jalan perawi yang kuat.
- Atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang ahli hadis melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan itu kuat.
- Atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadis. Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi sebagai pembawa hadis.
- Atau sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal dengan hadis itu. Seperti hadis mursal.
3. Perbedaan Sumber-sumber Pengambilan Hukum
Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat, istishab, saddu dzarai' dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber tersebut.
4. Perbedaan Kaidah Usul Fiqh
Seperti kaidah usul fiqh yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah (pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan dasar", "tambahan terhadap nash quran dalam hukum adalah nasakh (penghapusan)" kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan ulama.
5. Ijtihad dengan Qiyas
Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal (masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas di samping juga ada kesepakatan antara ulama.
6. Pertentangan (kontradiksi) dan Tarjih antar Dalil-dalil
Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab ini ada yang berpegang dengan takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang bertentangan, penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.
Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas, atau antar sunnah baik dalam perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau dalam penetapan-penetapannya. Perbedaan sunnah juga bisa disebabkan oleh penyifatan tindakan Rasulullah saw dalam berpolitik atau memberi fatwah.
Dari sini bisa diketahui bahwa ijtihad ulama – semoga Allah membalas mereka dengan balasan kebaikan – tidak mungkin semuanya merepresentasikan sebagai syariat Allah yang turun kepada Rasulullah saw. Meski demikian kita memiliki kewajiban untuk beramal dengan salah satu dari perbedaan ulama. Yang benar, kebanyakan masalah ijtihadiah dan pendapat yang bersifat dlanniyah (pretensi) dihormati dan disikapi sama.
Perbedaan ini tidak boleh menjadi pemicu kepada ashobiyah (fanatisme golongan), permusuhan, perpecahan yang dibenci Allah antara kaum Muslimin yang disebut Al-Quran sebagai umat bersaudara, yang juga diperintah untuk berpegang teguh dengan tali Allah.
Para sahabat sendiri berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya disebut hukum Allah atau syariat Allah. Namun mereka menyebut, "Ini adalah pendapatku, jika benar ia berasal dari Allah jika salah maka ia berasal dari saya dan dari setan, Allah dan Rasul-Nya darinya (pendapat saya) berlepas diri."
Di antara nasehat yang disampaikan oleh Rasulullah saw, kepada para pasukannya baik dipimpin langsung atau tidak adalah, "
Jika kalian mengepung sebuah benteng, dan mereka ingin memberlakukan hukum Allah, maka jangan kalian terapkan mereka dengan hukum Allah, namun berlakukan kepada mereka dengan hukummu, karena engkau tidak tahu, apakah engkau tepat dalam menerapkan hukum Allah kepada mereka atau tidak, " (HR Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah)
Ini menegaskan tentang ketetapan ijtihad atau kesalahannya dalam masalah cabang fiqh.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz/dll/7220094327-mengapa-ada-perbedaan-mazhab-pendapat-ulama.htm
Definisi Madzhab
Senin, 12 Mar 07 07:39 WIB
Assalamu 'alaikum Wr Wb
Pertanyaan saya bagaimana sebuah madzhab dapat terbentuk, definisinya, pada abad keberapa dan di mana letak madzhab bila disejajarkan dengan dasar hukum Islam yang lain.
Terima kasih banyak, semoga Allah SWT memberikan pahala yang besar bagi anda.
Wasalamu 'alaikum Wr Wb
Bernadi
mustadafin_85
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Rasulullah saw. tidak meninggalkan dunia ini, kecuali setelah bangunan syariat Islam lengkap dengan nash yang tegas dan jelas. Allah SWT berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 3)
Namun demikian Rasulullah saw. tidak meninggalkan “buku fiqh tertulis” yang berisi hukum-hukum Islam baku. Namun beliau meninggalkan sejumlah kaidah global, sebagian hukum-hukum juz’i (penggalan masalah), dan hukum-hukum pengadilan yang ada di Al-Quran dan Sunnah. Sebagian kecil dan ringkas ini hampir mencukupi untuk menata hidup mereka. Namun (umat) Islam berkembang dan memenuhi jazirah Arab dan sekitarnya. Mereka menemukan realitas dan tradisi yang sebelumnya tidak di alami. Kondisi ini menuntut ijtihad fiqh untuk meletakkan dasar-dasarnya (kaidah) untuk mengaturnya sesuai dengan syariat Islam. Kaidah-kaidah yang kemudian disebut kaidah fiqh itu merupakan nilai yang diambil dari Al-Quran.
Kejadian dan peristiwa semakin berkembang seiring semakin bertambahnya populasi umat Islam. Kebutuhan terhadap fiqh dan kaidah-kaidah umumnya pun semakin meningkat. Terutama di negara dan wilayah baru yang dibuka oleh umat Islam. Kian hari fiqh kian berkemang dari generasi ke generasi sehingga fiqh menjadi disiplin ilmu tersendiri yang sangat luas dan sistematis. Jika diteliti, fiqh sejak zaman Rasulullah hingga masa-masa berikutnya melalui sejumlah fase pertumbuhan yang berbeda-beda dalam empat generasi atau empat abad pertama (hijriyah).
Diawali dari penulisan (kodifikasi) fiqh madzhab, dilanjutkan syuruh (penjelasan rinci), ihtisharat (ringkasan), penulisan matan (teks inti pendapat seorang imam), mausuat (eksiklopedi) fiqh, penulisan kaidah fiqh, ashbah wan nadlair (masalah-masalah yang memiliki kesamaan dan perbedaan dalam tinjauan fiqh), fiqhul muqorin (fiqh perbandingan), nadlariyah fiqhiyah (teori fiqh), hingga fiqh menjadi ketetapan undang-undang dan hukum Islam. Fase I:
Berikut adalah fase-fase tersebut:
Masa Risalah dimulai dan diakhiri selama Rasulullah saw. hidup hingga wafat. Di masa ini bangunan syariat dan agama telah sempurna.
Fase II:
Masa Khulafaur rashidin hingga pertengahan abad pertama hijriyah. Dua fase I dan II adalah fase pengantar penulisan fiqh.
Fase III:
Diawali sejak pertengahan abad pertama hijriyah hingga awal abad kedua hijriyah. Ilmu fiqh menjadi disiplin ilmu tersendiri. Di fase ini sekolah-sekolah fiqh tumbuh pesat yang sesungguhnya adalah setiap sekolah itu sebagai media bagi setiap madzhab fiqh. Fase ini bisa disebut sebagai fase peletakan dasar bagi kodifikasi fiqh.
Fase IV:
Diawali dari pertengahan abad keempat hijriyah hingga pertengahan abad empat hijriyah. Di fase ini fiqh telah sempurna terbentuk.
Fase V:
Diawali pertengahan abad lima hijriyah hingga jatuhnya Baghdad, ibu kota daulah abbasiyah sebagai pusat ilmu dan peradaban Islam ke tangan Tartar di pertengahan abad tujuh. Di fase ini fiqh mulai memasuki masa statis dan taqlid dalam penulisan fiqh.
Fase VI:
Diawali dari pertengahan abad tujuh hijriyah hingga awal abad modern. Fase ini adalah fase kelemahan dalam sistematika dan metodologi penulisan fiqh.
Fase VII: diawali dari pertengahan abad 13 hijriyah hingga sekarang. Di fase ini studi fiqh, terutama studi perbandingan fiqh berkembang.
Sekilas tentang ahli fiqh (fuqaha) madzhab
Al-Faqiih, mufti atau mujtahid, adalah orang yang sudah memiliki kemampuan mengambil kesimpulan hukum-hukum (istinbathul ahkam) dari dalil-dalilnya. Sementara yang dimaksud madzhab, secara bahasa adalah tempat pergi atau jalan. Secara istilah adalah pandangan seseorang atau kelompok tentang hukum-hukum yang mencakup sejumlah masalah.
Benih madzhab muncul sejak masa sahabat. Sehingga dikenal ada madzhab Aisyah, madzhab Abdullah bin Umar, madzhab Abdullah bin Masud. Di masa tabiin juga terkenal tujuh ahli fiqh dari kota Madinah; Said bin Musayyib, Urwah bin Zubair, Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, Abu Bakr bin Abdullah bin Utbah bin Masud, Sulaiman bin Yasar, Ubaid bin Abdillah, Nafi’ Maula Abdullah bin Umar. Dari penduduk Kufah; Alqamah bin Masud, Ibrahim An Nakha’i, guru Hammad bin Abi Sulaiman, guru Abu Hanifah. Dari penduduk Basrah; Hasan Al-Basri.
Dari kalangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cukup terkenal; Ikrimah Maula Ibnu Abbas dan Atha’ bin Abu Rabbah, Thawus bin Kiisan, Muhammad bin Sirin, Al-Aswad bin Yazid, Masruq bin Al-A’raj, Alqamah An Nakha’i, Sya’by, Syuraih, Said bin Jubair, Makhul Ad Dimasyqy, Abu Idris Al-Khaulani.
Di awal abad II hingga pertengahan abad IV hijriyah yang merupakan fase keemasan bagi itjihad fiqh, muncul 13 mujtahid yang madzhabnya dibukukan dan diikuti pendapatnya. Mereka adalah Sufyan bin Uyainah dari Mekah, Malik bin Anas di Madinah, Hasan Al-Basri di Basrah, Abu Hanifah dan Sufyan Ats Tsury (161 H) di Kufah, Al-Auzai (157 H) di Syam, Syafii, Laits bin Sa’d di Mesir, Ishaq bin Rahawaih di Naisabur, Abu Tsaur, Ahmad bin Hanbal, Daud Adz Dzhahiri dan Ibnu Jarir At Thabary, keempatnya di Baghdad.
Namun kebanyakan madzhab di atas hanya tinggal di kitab dan buku-buku seiring dengan wafatnya para pengikutnya. Sebagian madzhab lainnya masih tetap terkenal dan bertahan hingga hari ini. Berikut adalah sekilas tentang madzhab-madzhab tersebut:
1. Abu Hanifah.
Nama aslinya An Nu’man bin Tsabit (80-150 H); pendiri madzhab Hanafi. Ia berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa, Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut Tabiin (tabi’utabiin), sebagian ahli sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’in. Beliau pernah bertemu dengan Anas bin Malik (Sahabat) dan meriwayatkan hadis terkenal, ”Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim, ”
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai terdepan dalam “ahlu ra’y”, ulama yang baik dalam penggunaan logika sebagai dalil. Beliau adalah ahli fiqh dari penduduk Irak. Di samping sebagai ulama fiqh, Abu Hanifah berprofesi sebagai pedagang kain di Kufah. Tentang kredibelitasnya sebagai ahli fiqh, Imam Syafi’i mengatakan, ”Dalam fiqh, manusia bergantung kepada Abu Hanifah, ”. Imam Abu Hanifah menimba ilmu hadis dan fiqh dari banyak ulama terkenal. Untuk fiqh, selama 18 tahun beliau berguru kepada Hammad bin Abu Sulaiman, murid Ibrahim An Nakha’i. Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadis dan lebih banyak menggunakan Qiyas dan Istihsan. Dasar madzhab Imam Abu Hanifah adalah; Al-Quran, As Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan. Dalam ilmu akidah Imam Abu Hanifah memiliki buku berjudul “Kitabul fiqhul akbar” (fiqh terbesar; akidah).
Beberapa murid Imam Abu Hanifah yang terkenal:
- Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim dari Kufah (113 – 182 H). Beliu menjadi hakim agung di masa Khalifah Harun Al-Rasyid. Beliau juga sebagai mujtahid mutlak (mujtahid yang menguasai seluruh disiplin ilmu fiqh).
- Muhammad bin Hasan Asy Syaibani (132 – 189 H). Lahir di Damaskus (Syuriah) dan besar di Kufah dan menimbah ilmu di Baghdad. Pernah menimba ilmu kepada Abu Hanifah, kemudian Abu Yusuf. Pernah menimba ilmu kepada Imam Malik bin Anas. Ia juga termasuk mujtahid mutlak. Ia menulis kitab “dlahirur riwayah” sebagai pegangan madzhab Abu Hanifah.
- Abu Hudzail Zufar bin Hudzail bin Qais (110 – 158 H) ia juga sebagai mujtahid mutlak.
- Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu’iy (w 204 H). Dalam urusan fiqh beliau belum mencapai Abu Hanifah dan dua muridnya.
2. Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi (93 – 179 H)
Beliau adalah pendiri madzhab Maliki. Beliau adalah Imam penduduk Madinah dalam urusan fiqh dan hadis setelah Tabi’in. Beliau dilahirkan di masa Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik dan meninggal di masa khalifah Al-Rasyid di Madinah. Beliau tidak pernah melakukan perjalanan keluar dari Madinah ke wilayah lain. Sebagaimana Abu Hanifah, Imam Malik juga hidup dalam dua masa pemerintahan Daulah Umawiyah dan Abbasiyah. Di masa dua Imam besar inilah, kekuasaan pemerintahan Islam meluas hingga Samudra Pasifik di barat dan hingga Cina di timur, bahkan ke jantung Eropa dengan dibukanya Andalusia.
Imam Malik berguru kepada ulama Madinah. Dalam jangka cukup panjang beliau mulazamah (berguru langsung) kepada Abdur Rahman Hurmuz. Beliau juga menimba ilmu kepada Nafi’ maula Ibnu Umar, Ibnu Syihab Az Zuhri. Guru fiqh beliu adalah Rabiah bin Abdur Rahman.
Imam Malik adalah ahli hadis dan fiqh. Ia memiliki kitab “Al-Muwattha’” yang berisi hadis dan fiqh. Imam Syafi’i berkata tentangnya, ”Malik adalah guru besarku, darinya aku menimba ilmu, beliau adalah hujjah antaraku dan Allah. Tak seorang pun yang lebih banyak memberi ilmu melebihi Malik. Jika disebut ulama-ulama, maka Malik seperti bintang yang bersinar, ”
Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar; Al-Quran, As Sunnah (dengan lima rincian dari masing-masing Al-Quran dan As Sunnah; tekstualitas, pemahaman dlahir, lafadl umum, mafhum mukhalafah, mafhum muwafakah, tanbih alal illah), Ijma’, Qiyas, Amal ahlul madinah (perbuatan penduduk Madinah), perkataan sahabat, Istihsan, Saddudzarai’, muraatul khilaf, Istishab, maslahah mursalah, syaru man qablana (syariat nabi terdahulu).
Murid Imam Malik tersebar di Mesir, utara Afrika, dan Andalus. Di antara mereka adalah Abu Abdillah; Abdur Rahman bin Al-Qasim (w 191 H) ia dikenal murid paling mumpuni tentang madzhab Malik dan paling dipercaya. Ia juga yang mentashih kitab pegangan madzhab ini “Al-Mudawwnah”. Murid Imam Malik lainnya adalah Abu Muhammad (125 – 197 H) ia menyebarkan madzhabnya di Mesir, Asyhab bin Abdul Aziz, Abu Muhammad; Abdullah bin Abdul Hakam, Muhammad bin Abdullah bon Abdul Hakam, Muhammad bin Ibrahim. Murid Imam Malik dari wilayah Maroko; Abul Hasan; Ali bin Ziyad, Abu Abdillah, Asad bin Furat, Yahya bin Yahya, Sahnun; Abdus Salam dll.
3. Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (150 – 204 H)
Beliau adalah pendiri madzhab Syafi’i. Dipanggil Abu Abdullah. Nama aslinya Muhammad bin Idris. Nasab beliau bertemu dengan Rasulullah saw. pada kakek beliau Abdu Manaf. Beliau dilahirkan di Gaza Palestina (Syam) tahun 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H.
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al-Ashma’i berkata, ”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris, ” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Di Mekah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Beliau mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Beliau memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i, ”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al-Quran dan As Sunnah, ” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i, ”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah, ”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap, ”
Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat, ”. Penduduk Baghdad mengatakan, ”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah), ”
Kitab “Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Sementara kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya, ”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok, ”
4. Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani (164 – 241 H)
Beliu adalah pendiri madzhab Hanbali. Beliau dipanggil Abu Abdillah. Nama aslinya Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Adz Dzhali Asy Syaibani. Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh besar di sana hingga meninggal pada bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, Syam.
Beliau berguru kepada Imam Syafi’i ketika datang ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid mutlak mustaqil. Gurunya sangat hingga mencapai ratusan. Ia menguasai sebuah hadis dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Bukhari (104 – 183 H).
Imam Ahmad adalah seorang pakar hadis dan fiqh. Ibrahim Al-Harbi berkata tentangnya, ”Saya melihat Ahmad seakan Allah menghimpun baginya ilmu orang-orang terdahulu dan orang belakangan, ” Imam Syafi’i berkata ketika melakukan perjalanan ke Mesir, ”Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu Hanbal (Imam Ahmad), ”
Di masa hidupnya, di zaman khalifah Al-Makmum, Al-Mu’tasim da Al-Watsiq, Imam Ahmad merasakan ujian siksaan dan penjara karena mempertahankan kebenaran tentang “Al-Quran kalamullah” (firman dan perkataan Allah), ia dipaksa untuk mengubahnya bahwa Al-Quran adalah makhluk (ciptaan Allah). Namun beliau menghadapinya dengan kesabaran membaja seperti para nabi. Ibnu Al-Madani mengatakan, ”Sesungguhnya Allah memuliakan Islam dengan dua orang laki-laki; Abu Bakar di saat terjadi peristiwa riddah (banyak orang murtad menyusul wafatnya Rasulullah saw.) dan Ibnu Hambal di saat peristiwa ujian khalqul quran (ciptaan Allah), ”. Bisyr Al-Hafi mengatakan, ”Sesungguhnya Ahmad memiliki maqam para nabi, ”
Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, saddudzarai’.
Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadis. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau munkar.
Di antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal (w 266 H) anak terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (213 – 290 H). Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadis. Murid yang adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad (w 273 H), Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran (w 274 H), Abu Bakr Al-Khallal (w 311 H), Abul Qasim (w 334 H) yang terakhir ini memiliki banyak karangan tentang fiqh madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz/dll/7310142907-definisi-madzhab.htm