Dimuat di kolom opini Tribun Kaltim, edisi Sabtu 22 April 2017, halaman 6, tentang Kartini :)
Bisa dicek e-paper Tribun Kaltim edisi 22 April 2017 di link: http://kaltim.tribunnews.com/epaper/index.php?hal=6# (hanya hari ini)
Sebetulnya, karena waktu ngirim draftnya buru-buru sebelum berangkat kerja, jadi endingnya kurang begitu greget. Saya email kirimi ulang revisi 1 sehari setelahnya, tapi sepertinya sudah terlanjur dicetak tim redaksi TribunKaltim.co jadilah yang draft pertama yang diterbitkan.
Versi revisi 1 yang ditulis, saya copas disini:
--------------------
Surat Fiksi Kartini di Masa Kini
Penulis: Syamsul Arifin, SKM. MKKK.
Praktisi dan pengajar K3 Balikpapan
21 April dijadikan sebagai Hari Kartini berdasarkan surat Keputusan Presiden nomor 108 yang diterbitkan pada 1964. Hari itu, adalah hari dimana Kartini lahir, tepatnya 21 April 1879.
Raden Adjeng Kartini terkenal dengan buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Isi buku tersebut adalah kompilasi lebih dari 100 surat-surat beliau kepada sahabat penanya, diantaranya Estella H Zeehandelaar, Nyonya Ovink-Soer, Nyonya RM Abendanon-Mandri, Tuan Prof Dr GK Anton dan Nyonya, Hilda G de Booij, dan Nyonya van Kol.
Sebetulnya, buku Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku versi terjemahan Armijn Pane (terbit 1938) dari buku kompilasi surat-surat Kartini Kartini yang dikumpulkan oleh J.H. Abendanon (Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, terbit 1911) dalam bahasa Belanda berjudul “Door Duistemis Tot Licht”.
Dari surat-suratnya, kita lihat sosok Kartini sebagai sosok yang memiliki pemikiran yang dalam dan peka terhadap apa yang terjadi di lingkungannya.
Dari surat-suratnya, kita lihat sosok Kartini sebagai sosok yang memiliki pemikiran yang dalam dan peka terhadap apa yang terjadi di lingkungannya.
Untuk memperingati hari Kartini. Izinkan penulis membuat surat fiksi, jika saja Raden Adjeng Kartini masih hidup di masa sekarang, melihat kondisi yang ada dewasa ini, dan membuat korespondensi kepada sahabatnya.
---
Dear Stella,
Sekarang sudah tahun 2017, senang rasanya bisa melewati 71 tahun kemerdekaan di negeri kami. Banyak hal yang sudah berubah di negeri ini. Banyak kemajuan telah kami capai, namun tidak sedikit juga catatan hal-hal buruk perlu kami perbaiki.
Aku tidak perlu lagi bercerita kepadamu tentang persamaan gender antara wanita dan pria di Indonesia, karena saat ini sudah sangat jauh lebih baik dari waktu-waktu dulu aku surati kamu. Pendidikan sudah menjadi hak seluruh warga negara, tanpa memandang jenis kelaminnya. Pria maupun wanita, asalkan mereka mampu berprestasi dan unjuk kemampuan, bisa mencapai posisi puncak, baik di tempat kerja profesional, sosial-kemasyarakatan, maupun bidang politik.
Tapi, akan selalu ada sisi pojok gelap walau di ruangan yang terang sekalipun.
Maaf jika aku terkesan seperti mencurahkan isi hatiku kepadamu, tapi aku sedih. Melihat bentuk penjajahan yang kita, kaum wanita, alami di era yang kata modern ini.
Stella sahabatku,
Seperti kata sebuah lagu, “wanita dijajah pria sejak dulu..,” bukan berarti semua pria buruk, tapi boleh jadi, memang kita, kaum wanita, yang mau memposisikan diri sebagai insan yang kalah, terjajah.
Melihat iklan-iklan di koran, majalah, televisi, maupun media internet, miris rasanya melihat seorang perempuan yang seolah-olah tidak nyambung dengan produk yang ditawarkan, malah terkesan iklan tersebut sedang menawarkan sang model wanitanya! Menyebalkan!
Kita, kaum wanita, hanya menjadi obyek, diperlakukan seolah-olah barang dagangan, pemanis saja, boro-boro peran intelek yang dimainkan, tidak lebih dari sekedar peran sensual murahan.
Entah para wanita itu melakukannya karena desakan ekonomi –hanya itu pekerjaan satu-satunya yang bisa mereka lakukan, atau memang mereka menyukai menjadi obyek pusat perhatian –dipandangi penuh gairah, atau aku berpikir bahwa pikiran mereka telah kalah terjajah. Bahwa di dalam benak mereka, citra wanita yang dianggap menarik adalah yang pakainnya ketat, sehingga mereka perlu menurunkan beberapa angka ukuran baju-bajunya –sehingga lebih memperlihatkan lekuk tubuh, menaikkan rok menjadi lebih tinggi, dan tidak jarang memperlihatkan bagian-bagian yang tidak seharusnya terlihat menurut adat ketimuran.
Saat ini kita telah kembali terjajah, kita para wanita belum merdeka sepenuhnya. Pikiran kita terjajah oleh opini-opini menyesatkan mengenai bagaimana kita seharusnya berpakaian, bertingkah laku, dan berperan di masyarakat.
Seharusnya kita sadar, bahwa semua orang –termasuk kaum kita, bisa sukses dan terkenal bukan karena kemolekan tubuh, tapi karena potensi yang kita miliki, karena peran serta yang telah kita sumbangkan, karena kerja keras dan semangat yang kita bagi.
Semoga para wanita itu sadar, bahwa sebenarnya mereka sedang dijajah, tubuh mereka telah “diperjual-belikan”, dihargai dengan nilai yang tak seberapa.
Tapi toh hal itu tidak berlaku umum, masih banyak juga perempuan-perempuan Indonesia yang berprestasi. Prestasi tertinggi di sekolahan-sekolahan umumnya dipegang oleh perempuan, wanita pintar. Tidak sedikit juga bisniswoman yang sukses menjalani usahanya, sebutlah Dewi Motik dan Martha Tilaar dengan perusahaan beromset besarnya. Jabatan prestisius juga dipegang oleh wanita, semisal Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, Walikota Surabaya Tri Risma Harini, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Bahkan Megawati, pernah menduduki Istana Negara sebagai Presiden Republik Indonesia.
Stella kawanku,
Semoga semua wanita menyadari peran utamanya, sebagai pendidik utama di rumah bagi anak-anak, dan peluang beraktualisasi diri yang sejati di ruang publik, bukan sebagai pemanis dekoratif, tapi sebagai pemain utama penggerak pembangunan bangsa.
Balikpapan, April 2017,
Sahabatmu, Kartini (fiksi).
Sahabatmu, Kartini (fiksi).