Matahari baru saja naik sepenggalan, sinarnya genit menelusup celah jendela. Udara hangat Negeri Kangguru di musim semi menyegarkan sebuah kamar asrama. Seorang gadis yang hari ini memakai jilbab dengan warna favoritnya, biru, tampak sangat ceria, berjalan bagai menari, sesekali terlihat berbicara sendiri sambil tersenyum-senyum, menggumamkan lagu nasyid kesukaannya, Mother.
"La la la la, pulang juga akhirnya", begitu ia berkata.
Terlihat sebuah koper besar berwarna merah tua. Ia masih terus saja asyik mengemasi barang-barangnya. Tidak banyak yang ia akan bawa, karena beberapa sudah terlebih dahulu ia kirimkan lewat paket pos ke rumahnya di Indonesia. Buku-buku pelajaran koleksinya sangatlah banyak, tentunya sangat merepotkan kalau harus dibawa dalam perjalanan. Beberapa barang-barang lainnya ia jual murah kepada adik-adik juniornya yang sama-sama kuliah di Universitas Monash, Australia. Hitung-hitung beramal, begitu pikirnya, toh dulu ia juga begitu.
"Ah, biar hujan emas di negeri orang, tetap lebih enak dinegeri sendiri, meskipun hujan batu, eh, jangan hujan batu deh, hujan salju ajah, karena kan kalau hujan batu, sakit klo kena kepala, apalagi hujan emas", ia terkekeh-kekeh sendirian. Hihihihi
Annisa Ramadhani, meraih gelar sarjana di bidang Perdagangan dengan nilai cum laude, setelah lelah empat tahun ia geluti. Kini, saatnya ia kembali, membangun negeri tempat ia dilahirkan, tempat ia menaruh harapan besar, tempat ia akan membangun sebuah peradaban.
Dari segi postur tubuh, Nisa, begitu teman-temannya memanggilnya, tidaklah jauh berbeda dengan teman-teman kuliahnya, yang kebanyakan adalah para bule berambut pirang dan bermata biru. Tingginya semampai, bukan ‘semeter tak sampai’, 168 cm, warna kulitnya putih, halus, khas asia, dengan lesung pipit yang ada di pipi, semakin menambah manis dara yang memakai jilbab sejak kelas 3 SMA.
“Mungkin nanti bisa ketemu mas Fatih, ia kan tinggal di Jakarta juga”, terbayang dalam benaknya, salah satu sahabat pena yang ia kenal dari situs warnaislam.com, tempat dimana ia biasa menjadi kontributor penulis luar negeri.
Nisa senang dengan korespondensi, itulah juga yang membuat dia senang dengan bidang tulis-menulis, tidak aneh memang, hingga majalah kampus menjadi tempat beraktivitasnya selama kuliah.
Awal perkenalannya dengan Fatih Arya adalah ketika si Fatih, yang lebih tua dua tahun daripadanya, mengirimkan email bertanya-tanya tentang kehidupan mahasiswa di Australia, karena dia sedang menggarap sebuah novel mengenai hal itu. Dua tahun lalu, inisiasi persahabatan itu terjadi, bahkan mereka tetap saling berkomunikasi melalui email, meski novel Fatih yang berjudul “Rembulan Merah di Langit Aussy” telah terbit, mereka tetap saling berkorespondensi.
Sebuah novel yang bercerita mengenai Fitri, mahasiswi School of Commerce, Monash University asal Indonesia yang terkena imbas diskriminasi agama akibat peristiwa 9/11, dramatis dan menggugah hati, namun juga tetap ada unsur romantis di dalamnya; terasa sangat real ketika membacanya, padahal sang penulis belum pernah tinggal ataupun berada disana, hal ini menunjukkan keunggulan sang penulis dalam melakukan riset terhadap novelnya, sangat layak dibaca, bagi yang ingin mengetahui kehidupan kampus Universitas Monas, kehidupan budaya, dan pergaulan sosialnya; begitu endorsement yang Nisa tulis ketika diminta mas Fatih memberikan review kepada novel yang menjadi salah satu novel best seller tahun 2007.
“Fiuh, selesai juga”, keringat kecil-kecil mengalir di dahi Nisa, menetes malu-malu. Selesai berkemas.
Dibukanya amplop yang berisi tiket pesawatnya, diamatinya baik-baik jam penerbangannya, “lima jam lagi, ya.., aku hanya punya waktu lima jam lagi di negeri ini”, ia tersenyum kecil.
“Hayuh, yang mau pulang, senyum-senyum sendirian”, Rina, adik satu tingkat di bawahnya, memasuki kamar, “pasti mau dinikahin ya pas pulang, soalnya kelihatan sumringah gituh”, ia tertawa geli.
“Yeee, bukannya kasih salam dulu sebelum masuk, langsung ngagetin begitu ajah”, sahutnya sembari memasukkan tiket. Satu koper besar, tas hitam back-pack, dan tas genggam kecil, telah siap disamping tempat tidurnya.
“Hehehehe, maaf deh mba”, balas Rina langsung duduk disampingnya, “nanti saya ikut nganter ke bandara ya?”
Nisa menganggukkan kepala.
“Mba, kasih tausyiah dan pesan-pesan terakhir dunk sebelum pulang, yang bisa Rina jadiin pegangan gituh”
“Ah, kamu ini, kamu kan punya buku Kitab Riyadhus Shalihinnya Imam Nawawi, udah cukup banyak tuh disitu pesan-pesannya”, ujarnya sambil melihat sekeliling kamar yang terkesan luas karena melompong tanpa barang-barang, melihat-lihat, apakah ada yang tertinggal.
“Yah mba, bukan gituh, tapi Rina mau pesan khusus wa bil istimewa dari mba”, dipegangnya tangan Nisa manja, mantan ketua keputrian perhimpunan mahasiswa muslim Indonesia di Australia ini terduduk kembali di ranjangnya.
“Ok deh adikku sayang, dengerin baik-baik ya. Ehm..”, dia bergumam sambil mengepal tangannya dan menutupkannya ke mulutnya, terlihat seperti mau pidato saja, setengah bercanda.
Rina memalingkan badannya sempurna. Nisa mulai mengeluarkan suara,
“Hidup ini ibadah, dan ibadah itu baru bisa diterima jika ia merupakan amalan yang ‘baik’ dan ‘benar’. ‘Baik’ karena diniatkan hanya karena Allah semata alias ikhlas, dan ‘benar’ karena ber-i’tiba atau ngikutin Rasulullah SAW. Kita jauh-jauh belajar di negeri orang juga merupakan sebentuk ibadah, Rasulullah SAW pernah bersabda,
Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya, dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat.(1).
Karena kita sedang bertaqarub kepada Allah melalui belajar, maka saya pesankan kamu agar bisa selalu menjaga hari-hari yang dilalui di sini dengan ‘baik’ dan ‘benar’.
Ilmu itu hanya bisa diperoleh melalui belajar(2), karenanya janganlah kamu merasa lelah dalam belajar, jangan mudah menyerah jika ada hal yang tidak kamu pahami, namun jangan pula kamu membebani diri berlebihan. Atur waktu dalam hari-harimu, karena tiap orang memiliki waktu yang sama, 24 jam saja, namun ada banyak orang yang bisa melesat dengan 24 jam yang mereka miliki, dan ada juga orang yang menyia-nyiakan waktu-waktunya. Makanlah makanan yang halal dan baik, atur waktu istirahatmu, dan jangan lupa, berdoa memohon tambahan ilmu pengetahuan dengan doa yang diajarkan Al-Quran(3), kepada sang pemilik ilmu yang maha luas, Allah SWT.
Fear Allah no matter where you are. Do a good deed after an evil one and your good deed will wipe out the evil one; behave well with people.”(4)
Hening sesaat. Nisa tidak lagi dapat melanjutkan kata-kata. Menghirup nafas panjang.
“Segitu dulu ya na... Semoga nanti kita bisa ketemu lagi di Indonesia, dan semoga segala sesuatunya dimudahkan dan dilancarkan untuk kamu disini”, Nisa tersenyum, matanya tampak berkaca-kaca. Sepertinya kesedihan mulai menggerus hatinya, berpisah dengan teman karibnya.
“Amin, makasih mba”, mereka lalu berpelukan erat, erat sekali. Air mata masing-masing membasahi jilbab sahabatnya.
Matahari Australia masih bersinar hangat, sehangat ukhuwah antara dua muslimah yang sedang larut dalam keharuan cinta.
* * *
Deru desing pesawat boeing masih terdengar sampai ke dalam terminal kedatangan Internasional BandaraSoekarno-Hatta, Cengkareng.
“Alhamdulillah, sampai juga di Indonesia”, Nisa melemparkan pandangan ke sekeliling, beragam manusia ada, namun hanya sedikit yang terlihat mengenakan jilbab rapi seperti dirinya, oh, bahkan tidak ada, miris, padahal ini negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Sembari menunggu bagasi, Nisa menyalakan telpon genggamnya. Untuk memudahkan komunikasi dengan keluarga, ia memakai kartu GSM asal Indonesia ketika kepulangannya tiga tahun lalu.
Tut tut tut… nada menandakan ada pesan yang masuk. Ada beberapa pesan singkat yang masuk telponnya.
“Kasih kabar ya kalau sudah mendarat”, pesan dari ibunya.
Ia tersenyum. Ibu dan pamannya telah menantinya. Ah, andai bapaknya masih hidup, tentu ia akan bangga juga, karena bisa menyaksikan anaknya telah menjadi sarjana dari luar negeri.
“Astagfirullah hal adzim, ngga boleh berandai-andai, karena bisa jadi celah pintu syaitan”(5), ia tersadar dari lamunannya.
Ada pesan lain,
“Selamat datang kembali di hutan beton Jakarta” sebuah pesan singkat yang diakhiri ikon senyum, dari mas Fatih…
(bersambung, Insya Allah)
---000---
11 Januari 2009
Syamsul Arifin
(1) Hadits riwayat Ar-rabi
(2) Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar. (HR. Bukhari)
(3) dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaahaa: 114)
(4) Hadits Arba’ain No. 18 Imam Nawawi
(5) Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan kamu dan mohonlah pertolongan Allah, dan jangan lemah semangat (patah hati). Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, "Oh andaikata aku tadinya melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu", tetapi katakanlah, "Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya." Ketahuilah, sesungguhnya ucapan: "andaikata" dan "jikalau" membuka peluang bagi (masuknya) karya (kerjaan) setan." (HR. Muslim)
Match
—n.
1 contest or game in which players or teams compete.
2 a person as an equal contender (meet one's match).
b person or thing exactly like or corresponding to another.
3 marriage.
4 person viewed as a marriage prospect.
—v.
1 correspond (to); be like or alike; harmonize (with) (his socks do not match; curtains match the wallpaper).
2 equal.
3 (foll. by against, with) place in conflict or competition with.
4 find material etc. that matches (another) (can you match this silk?).
5 find a person or thing suitable for another. match up (often foll. by with) fit to form a whole; tally. match up to be as good as or equal to. [Old English]
[Pocket Oxford Dictionary]