08 June 2020

Belajar dari Kelahiran Pancasila

1 Juni ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila. Sangat menarik kalau kita membaca proses sejarah penetapan dasar ideologi negara ini.

Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar kisahnya, tapi hari ini lebih dari sekedar hari libur.

Beberapa kata kunci dan tokoh yang ada pada proses di belakang lahirnya Pancasila diantaranya #Penjajahan, #Jepang, #BPUPKI, #DasarNegara, #Radjiman Wediodiningrat, M. #Yamin, #Soepomo, #Soekarno, M. #Hatta, AA #Maramis, Abikoesno #Tjokrosoejoso, Abdul Kahar #Muzakir, Agus #Salim, Achmad #Soebardjo, Wahid #Hasjim, #Panitia9, #PPKI, #Pancasila, #UUD1945, #PiagamJakarta, #Nasionalisme, #Kemerdekaan, #Indonesia

Silakan digoogling cerita lengkapnya.

Setelah mengetahui kisah di balik Pancasila, kita sebagai milenial zaman now bisa menarik beberapa pelajaran berharga untuk pengembangan diri.

Pertama, jadilah kreatif/inovatif.

Sidang pertama BPUPKI mulai 29 Mei sampai 1 Juni 1945.

M Yamin (29 Mei) mengusulkan 5 dasar negara: peri kebangsaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.

Soekarno (1 Juni) juga menyampaikan pidato usulan dasar negara: internasionalisme atau peri-kemanusiaan; mufakat atau demokrasi, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; kesejahteraan sosial; dan ketuhanan.

Masih jauh berbeda dari isi Pancasila yang kita kenal sekarang.

Ide kita bisa jadi tidak akan langsung sempurna, tapi ia bisa menjadi bibit yang akan tumbuh seiring waktu.

Inovasi juga tidak mesti muncul dari diri kita sendiri, mintalah pendapat/saran pihak lain, bisa jadi berguna.

Seperti yang dilakukan Soekarno, bisa jadi kita akan mengenal 5 asas negara dengan nama Panca Dharma jika ia tidak mengakomodir saran ahli bahasa.

Kedua, kolaboratif.

Menjadi pintar dalam pencapaian pribadi berbeda konteks dengan kemampuan bekerja sama dengan pihak lain.

Banyak kita temukan individu yang cerdas tapi kesulitan atau tidak mampu bersinar dalam interaksi dinamika tim.

Perumusan Pancasila mengajarkan kita bahwa para bapak (dan ibu) pendiri bangsa adalah pribadi-pribadi yang cerdas dan mampu berkolaborasi secara baik guna mencapai tujuan besar bersama.

Mereka mungkin memiliki pengalaman hidup dan pendidikan yang berbeda, tapi semangat kerja sama tim yang ditunjukkan sungguh patut ditiru.

Ketiga, toleran, persatuan, dan positif thinking.

Dengan rasa saling memahami, pelibatan semua pihak, menghindari egoisme, kita bisa jadi bangsa besar yang merdeka.

Seperti yang terjadi pada sidang PPKI yang heterogen, terdiri dari orang Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan peranakan Tionghoa.

Dikatakan bahwa diversifikasi/keberagaman dalam pemikiran, latar belakang, budaya, dll dapat menjadi kekuatan suatu tim/organisasi, karena bisa mengambil banyak sudut pandang, pengalaman, praktik terbaik yang tersebar pada beragam personil, tapi hal ini butuh toleransi, semangat kebersamaan, dan lingkungan yang saling mendukung.

Itulah sedikit pelajaran yang bisa kita ambil dari lahirnya Pancasila.

Semoga bisa kita ambil hikmah dan melanjutkan semangat yang menjadi pendorong kebangkitan bangsa di masa lalu, agar bisa juga menjadi kebangkitan bangsa di masa kini.

Merdeka!

#BangkitkanEnergiPancasila



---000---

Depok, 1 Juni 2020
Syamsul Arifin.

Kesehatan Mental, Penting Juga Lho

Jika seseorang mengungkapkan secara verbal ataupun non verbal (tulisan/posting sosmed), badan/anggota tubuhnya sedang sakit, kemungkinan besar ia akan mendapat empati (atau minimal simpati), ucapan doa semoga lekas sembuh/GWS (get well soon), dukungan kesabaran*, maupun kalimat penghibur lainnya.

Di sisi lain, jika seseorang mengatakan kalau mental atau psikisnya sedang sakit/menderita (stres, depresi, dll), berapa banyak empati yang akan ia terima?

Ataukah justru perundungan (bullying) dan cemoohan yang akan ia terima, karena dianggap tidak tegar, cemen, lebay, lemah, drama queen, atau sebutan negatif lainnya?

Sangat bertolak belakang ya.

Sakit fisik dapat umpan balik/feed back yang positif, tapi sakit psikis kok malah dapat hal yang negatif?

Sepertinya ada yang salah dengan pola pikir kita.

Kita harus mulai mengakui bahwa sakit psikis itu nyata dan ada.

Hal yang sama harus diberikan juga pada penderita sakit psikis. Pengobatan, dukungan, motivasi, atau setidaknya sedikit simpati.

Banyak hal yang bisa membuat kesehatan jiwa seseorang terganggu. Terutama di era pandemi seperti sekarang ini.

Jangan takut untuk mencari bantuan atau memberitahu orang lain kalau dirimu mengalami depresi.

Dan jangan mem-bully penderita sakit mental. Kita tidak tahu kondisi apa yang telah ia alami/lalui.

Setidaknya dengarkan ia terlebih dahulu. Terkadang, obat terbaik adalah tersedianya telinga yang mau mendengar. Hanya sekedar melepaskan kegundahan dari dalam diri.

Mari hentikan diskriminasi sakit mental/psikis.



---000---

Depok, 31 Mei 2020
Syamsul Arifin.

* Definisi sabar secara aktif yaitu terus berusaha/optimis dalam usaha pengobatannya)

Membangun Normal (ke Dalam) di Zaman Now

Covid-19 telah menjungkirbalikkan banyak hal, kesehatan, bisnis, ekonomi, tak terkecuali praktik beribadah dan tradisi budaya banyak negara -dimana kita tidak imun juga atas dampaknya.

Banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan dalam hidup, apalagi dalam skala pandemi.

Kita perlu fokus pada hal-hal yang BISA kita kendalikan untuk menghindari kecemasan berlebihan.

Salah satunya adalah bagaimana kita akan menjalani praktik ibadah, tradisi berlebaran, dan menghabiskan waktu dalam isolasi mandiri di rumah saja di zaman now, seperti sekarang ini.

Bicara via telpon atau video call kepada keluarga dekat yang berada jauh karena tidak bisa mudik.

Tidak perlu memaksakan diri. Tidak pergi mudik di momen seperti sekarang ini adalah normal. Wajar. Tidak salah alias benar bahkan patut didukung.

Shalat ied di rumah juga boleh. Ada fatwa MUI mendukungnya, banyak ulama juga telah menguatkannya.

Tidak bersalaman fisik dengan tetangga juga normal, justru perlu dikampanyekan di zaman now.

Berlawanan dengan pemikiran kebanyakan orang -bukan hanya sekedar anti mainstream- tapi saya justru menyarankan kita mengelola (membatasi) kuantitas waktu online/screen time ketika berlebaran.

Jangan sampai, dengan alasan ingin mendekatkan diri dengan yang jauh, kita malah justru jadi semakin jauh dengan yang dekat (keluarga yang ada di rumah).

Kita perlu jujur mengevaluasi diri, seberapa besar intensitas kita menatap layar hp, apakah lebih banyak melihat gadget dibandingkan menatap wajah pasangan atau anak?

Tentu menyedihkan kalau iya.

Luangkan waktu, fokus perhatian, dan kedekatan fisik dengan mereka. Jangan hanya mendengar, tapi simaklah perkataan mereka.

Ada perbedaan antara mendengar (hearing) dengan menyimak (listening), perhatian penuh kuncinya. Mendengar sambil main hp beda dengan menyimak sembari menatap mata anak.

Pesan WA di berbagai grup yang diikuti tidak perlu dibaca/balas semua.

Menjaga kesehatan pribadi dan keluarga itu penting. Sehat fisik dan psikis. Luangkan waktu bermain bersama anak, jangan asyik/sibuk sendiri dengan gawai dan sosmed.

Kehidupan mereka (anak-anak) juga berubah. Mungkin jadi tidak bisa main di luar rumah, bertemu teman sekolah, dll. Mereka juga punya jiwa, bahkan mungkin lebih rentan.

Perhatikan tanda-tanda kelelahan mental. Jangan dicekoki terus dengan tayangan tv yang sering tak berguna atau screen time yang tanpa batas.

Bermainlah bersama mereka.

Jadikan momen ini menjadi penguat cinta kasih dalam keluarga.

Minta maaflah dengan tulus atas pengasuhan yang tak sempurna, kurangnya cinta kasih, dan buruknya kepemimpinan dalam keluarga.

Masa-masa sekarang ini tepat untuk menormalkan kembali hubungan dengan terkasih yang ada di dekat kita.

Hubungan yang normal dengan pasangan dan anak, perlu dicari, dibangun, dan dipertahankan.

Jika kita kesulitan mencari bentuk kehidupan yang ‘normal’ di luar sana, setidaknya kita masih bisa merasakan kehangatan normal di dalam (keluarga), di rumah sendiri.

Kalau kita kebetulan masih bisa bekerja dari rumah (dimana banyak orang tidak punya ekslusivitas ini), manfaatkanlah sebaiknya. Sebab waktunya bisa jadi berakhir esok hari, atau entah lusa nanti.



#PertaminaEmployeeJournalism #PertaminaSiagaCovid19 #Energitakberhenti #Berkahdirumah
@pertamina


---000---

Depok, 26 Mei 2020
Syamsul Arifin