Jika kita melihat dan mau memperhatikan di sekeliling
kita, ketika berkumpul bersama teman di cafe, makan bersama di restoran atau
mall, berjalan-jalan di pantai atau taman, bahkan ketika rapat kerja, ada saja
orang-orang yang tidak bisa lepas dari ponselnya.
Sebuah survei yang dilakukan pada 2,000 penduduk Inggris
menunjukkan fakta bahwa rata-rata seorang dewasa menghabiskan waktu setara
dengan 20 minggu per tahun di depan layar digital. 30% partisipan survei
mengatakan bahwa mereka memeriksa ponselnya paling tidak setiap 30 menit
sekali. Seperempat partisipan mengatakan bahwa mereka akan merasa bosan dalam
waktu 1 jam tanpa ponsel, sementara hampir 23% mengatakan bahwa mereka akan
merasa gelisah/cemas jika terpisah dengan ponsel.
Stefan Hofmann, professor psikologi di Universitas
Boston, peneliti ahli di bidang emosi, mengatakan bahwa terpisah dari sosial
media bisa menyebabkan kecemasan dan dorongan besar untuk login kembali.
Ada beberapa pertanda atau gejala yang perlu kita periksa
ke diri kita sendiri, apakah kita juga menderita penyakit baru ini, kecemasan
digital.
Meski penulis bukan ahli psikologi, hubungan sosial,
maupun antropologi, saya coba mendaftarkan beberapa indikasi yang bisa jadi merupakan
pertanda kita menderita kecemasan digital:
- Ponsel
sudah seperti menjadi anggota tambahan tubuhmu. Tidak bisa lepas darinya.
‘Menempel’ di paha/dikantungi terus selama 24/7 (24 jam sehari selama 7 hari
seminggu), bahkan tidur pun membawa ponsel
- Asyik
browsing atau interaksi sosial media
di ponsel ketika sedang makan bersama teman atau keluarga tanpa ada yang saling
berbicara satu sama lain
- Sibuk
mengecek ponsel ketika sedang berbicara tatap muka dengan orang lain
- Tidak
bisa menahan diri untuk tidak melihat/mengecek ponsel ketika ada bunyi notifikasi aplikasi sosial media, bahkan
ketika berada di situasi yang bisa membahayakan dirinya sendiri semisal ketika
sedang berkendara
- Merasa
terganggu atau cemas ketika chatting
online dengan teman namun tidak menerima balasan padahal mengetahui pesan
anda sudah terbaca
- Merasa
cemas jika tidak login atau tidak
meng-akses media sosial sehari saja
- Merasa
iri dengan postingan teman (contohnya
jalan-jalan ke luar negeri, makan mewah, beli tas baru, dan lain-lain), muncul
keinginan mengikuti atau melebihi postingan
teman tersebut
- Merasa
terganggu atau cemas ketika posting
foto cantik/ganteng, tanpa ada yang nge-like,
dan terus memantau update postingan tersebut setiap beberapa menit
- Merasa
terganggu atau cemas ketika men-tag
teman tapi tidak ada balasan selama 6 jam
- Merasa
terganggu atau cemas ketika mengirim email dan tidak segera mendapatkan balasan
- Memperhatikan
jumlah followers di Twitter, Instagram atau teman di Facebook, dan merasa terganggu atau
cemas jika angkanya berkurang.
Hadirnya platfom sosial media yang memungkinan sharing teks, foto, dan video online bisa menjadi pedang bermata
ganda, bisa mendatangkan kebaikan, namun jika tidak dikendalikan dengan benar
bisa melumpuhkan pemiliknya.
Psikoterapis Diane Lang mengatakan bahwa jika kita mulai
membandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain (postingan teman online)
yang terlihat lebih baik dari diri kita, bisa menimbulkan rasa iri, kebencian,
dan frustasi dengan hidup kita sendiri.
Ketika kita berpikir bahwa kehidupan orang lain lebih
baik dari kehidupan kita sendiri, bisa jadi muncul perasaan kesepian atau
sedih, dan perasaan bahwa kita tidak memiliki kehidupan sosial.
Seperti kata pepatah, “rumput tetangga terlihat lebih
hijau dari rumput rumah sendiri”. Padahal, seperti ungkapan bijak Jawa, “hidup
itu sawang sinawang (kurang lebih)”, setiap manusia atau keluarga
pasti punya kelebihan dan kekurangan.
Kenyataannya, di media sosial, kebanyakan orang hanya
akan memposting hal-hal yang baik
atau yang terlihat keren saja. Sehingga sebetulnya bukan mereka tidak punya
hal-hal buruk yang menimpa mereka di kehidupan hari-hari, tapi mereka tidak mau
menunjukkannya/men-share-nya saja di media
online. Sehingga tepatlah apa yang
dikatakan Diane Lang tersebut.
Untuk mencegah penyakit kecemasan digital tersebut, ada
beberapa langkah yang patut kita coba.
Pertama, cobalah untuk disiplin log off atau tidak melihat aplikasi sosial media pada waktu-waktu
tertentu. Waktu tersebut misalnya ketika sedang rapat, makan bersama, atau
ketika sedang berbicara tatap muka dengan orang. Hal ini menunjukkan bahwa anda
menghargai pentingnya rapat, mengapresiasi orang yang sedang berbicara, dan
benar-benar terhubung dengan orang nyata yang ada di hadapan anda, bukan sedang
membangun hubungan dengan orang di dunia maya tapi malah menghancurkan hubungan
kongkrit dengan orang-orang di dunia nyata anda.
Waktu terpenting yang patut diprioritaskan kedisiplinan
untuk menahan diri dari melihat ponsel adalah ketika kita sedang bercengkrama
bersama dengan anggota keluarga. Mereka butuh kasih sayang dan perhatian.
Tatapan mata, usapan di kepala, kecupan ringan, dan segala perhatian yang kita
berikan merupakan pelajaran berharga bagi mereka untuk menghargai orang lain.
Kalau kita berbicara dengan anak sembari asyik
berselancar di dunia maya, bahkan terkadang hanya mendengarkan tanpa
benar-benar menyimak apa yang mereka katakan atau apa yang mereka lakukan, maka
janganlah marah jika suatu saat nanti, mereka pun tidak akan memperhatikan anda
ataupun peduli pada anda ketika anda tua nanti.
Waktu yang sebaiknya dihindari lainnya adalah berselancar
online adalah ketika berkendara.
Harga tebusan keingintahuan melihat notifikasi update terbaru dengan harga keselamatan yang bisa membuat diri kita
atau orang lain celaka, tidaklah sepadan. Sehingga, jangan mengecek ponsel
ketika berkendara. Berhenti dan menepi ke sisi jalan, jika memang ada hal
penting yang perlu dilakukan dengan ponsel anda.
Juga, tinggalkan ponsel ketika hendak tidur. Penelitian
baru-baru ini menunjukkan bahwa layar digital yang memancarkan sinar biru dan
putih mencegah otak untuk melepaskan hormon melatonin, sehingga kita akan tetap
terjaga dan menjadi susah untuk tidur. Penelitian lain pada 850 orang Belanda-Belgia
menunjukkan fakta bahwa mempergunakan ponsel setelah mematikan lampu kamar
memiliki kaitan dengan kualitas tidur yang buruk, lebih banyak insomnia, dan
lebih banyak gejala kelelahan (meskipun penelitian itu belum jelas menunjukkan
bahwa penggunaan ponsel menjadi penyebab gangguan tidur).
Kedua, pahamilah, bahwa berita dunia kiamat tidak akan
muncul di timeline facebook. Sehingga
sebetulnya, ketinggalan berita apapun di sana, tidak akan membuat dunia anda
berakhir. Bahkan sebetulnya, terlalu banyak informasi sampah yang membanjiri
kanal sosial media kita, menyebabkan kita kewalahan, mudah terayun emosi, dan
salah dalam bertindak.
Berita hoax yang dipercaya bisa membuat keliru dalam
berpikir, berucap, dan bertindak, yang mungkin nantinya akan kita sesali.
Perbedaan pemikiran politik, bisa membuat orang marah atau memanaskan hati dan
pikiran ketika berselancar. Berita gosip hanya akan menghabiskan waktu dan
menambah dosa saja. Belum lagi godaan kemudahan berbelanja online yang bisa
membuat kita menjadi konsumtif sehingga memperbesar hutang kartu kredit atau
membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan (seperti kata pepatah, besar
pasak dari pada tiang).
Terakhir, luangkan untuk aktifitas fisik ketimbang
aktifitas online. Berjalan ke Pantai
Kemala atau Pantai Mangar, berjalan sehat di Lapangan Merdeka, tentu lebih
menyegarkan pikiran dan menyehatkan badan ketimbang berselancar sepanjang hari
di dunia maya.
---000---
Penulis:
Syamsul Arifin, SKM. MKKK.
Praktisi dan pengajar K3 Balikpapan
Referensi:
---000---