14 October 2017

Rasialisme, Musuh Kemanusiaan

Mengapa penembakan di Las Vegas yang membunuh 58 orang dan melukai lebih dari 500 orang tidak dilabeli sebagai "serangan teroris"? Apakah mungkin karena penyerangnya berkulit putih dan bukan muslim?

Meski memiliki 47 senjata dan bertindak gila (menembak para korban yang sedang menonton konser dari lantai 32 hotel), tetap saja, dia tidak dianggap teroris.

Rasialis adalah suatu hal yang nyata, termasuk negara yang katanya hebat, Amerika.

Beberapa waktu lalu, penulis menonton Daily Show yang dipandu Trevor Noah, ada episode dimana ideologi pendukung presiden Trump diuji. Terlihat betul bagaimana pendukung presiden ini memiliki pola pikir yang bisa dibilang absurd.

Misalnya, mereka berkata menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, menjaga toleransi, menghormati agama, tapi ketika disebut Islam, tidak akan toleran terhadapnya; menghormati wanita, tapi mencaci Hillary, dll. Bisa dilihat videonya di Youtube (Putting Donald Trump Supporters Through an Ideology Test: The Daily Show).

Bahkan, The Blaze, salah satu media corong konservatif, pendukung presiden US, juga berusaha menjelaskan bahwa label teroris tidak diberikan karena motif pelaku belum diketahui.

Sesederhana itu?

Tidak sederhana sepertinya, karena ada isu pengendalian senjata, undang-undang pembatasan senjata yang sejak zaman Obama berusaha digulirkan, terganjal pebisnis di industri itu. Lobi pebisnis pendukung presiden/partainya, dan mungkin, pada dasarnya, sifat rasialisme yang manusiawi ada dalam diri setiap manusia.

Rasialisme didefinisikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai (1) prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap suku bangsa yang berbeda-beda; (2) paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul. 

Merefleksikan hal tersebut ke dalam diri sendiri. Saya jadi tersadar -bahwa sepertinya- salah satu revolusi besar dalam awal sejarah Islam -menurut saya- bukan tentang penguasaan wilayah-wilayah, tapi bagaimana menghancurkan rasialisme yang telah mengakar kuat di dalam budaya umat manusia. Merasa lebih baik dari orang lain.

Maka tidak heran, ketika dulu Islam muncul, perlawanan terbesar dari para bangsawan yang takut dominasinya akan binasa, karena nantinya mereka akan sejajar dengan orang-orang.

Jauh sebelum revolusi Perancis, sebelum Maximilien Robespierre menggaungkan slogan liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan) -yang sekarang menjadi motto negara, Islam telah mengajarkan prinsip-prinsip kesetaraan. Tidak membeda-bedakan manusia atas warna kulit, asal suku/asal negara, yang dilihat hanyalah keimanannya.

Sedemikian pentingnya hal ini, sampai Nabi Muhammad SAW ketika haji wada, mengingatkan agar menjauhi rasialisme, sepotong khutbah Nabi dari peristiwa akbar itu adalah:

“Wahai sekalian manusia, ingatlah bahwa Rabb kalian itu satu, dan bapak kalian juga satu. Dan ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang ‘Ajam (non-Arab), tidak pula orang ‘Ajam atas orang Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak pula orang berkulit hitam di atas orang berkulit merah; kecuali atas dasar ketaqwaan.”  (HR. Ahmad).

Karena pada akhirnya, lahir dengan warna kulit apa, di kota apa, dari orang tua/keluarga siapa, adalah takdir yang tidak dapat kita pilih. Lain dengan keimanan dan amal shaleh, yang merupakan pilihan bebas kita sebagai manusia merdeka.

Kalau mau beriman, mau belajar agar berilmu, dan mau beramal shaleh, maka kamu akan menjadi orang mulia. Sesederhana itu saja.

Rasialis mungkin sama juga seperti dosa pertama yang mengeluarkan iblis dari surga, karena merasa lebih baik dari Adam yang diciptakan Allah dari tanah -sedang iblis dari api, sehingga menolak perintah Allah untuk sujud (menghormati) Nabi Adam A.S.

Rasialis juga yang menjadikan 'monster' seperti Hitler yang menganggap bangsa Arya lebih baik dari bangsa lain, sehingga merasa berhak menjajah.

Maka, ini pelajaran mahal bagi kita, agar tidak berbuat/bersikap rasialis.

Jangan merasa lebih baik dari orang hanya karena memiliki warna kulit berbeda, suku berbeda, keturunan bangsawan, merasa lebih baik dari orang karena status pekerjaan berbeda, pakaian berbeda.

Ingatlah, hanya iman, ilmu, dan amal, yang akan membuat dirimu tinggi, atau rendah, dalam pandangan Tuhan sang pencipta, tempat kembali kita.



---000---

Syamsul Arifin, SKM. MKKK.
Praktisi K3 Balikpapan

Referensi:
·         British Broadcasting Corporation (BBC). Las Vegas shootings: Is the gunman a terrorist? Diakses di: http://www.bbc.com/news/world-us-canada-41483943
·         The Blaze. A quick look at why the Las Vegas shooting is not being called ‘domestic terrorism’. http://www.theblaze.com/news/2017/10/04/a-quick-look-at-why-the-las-vegas-shooting-is-not-being-called-domestic-terrorism/
·         The Daily Show with Trevor Noah. Putting Donald Trump Supporters Through an Ideology Test: The Daily Show. Diakses di: https://www.youtube.com/watch?v=Y4Zdx97A63s
·         Muslim.or.id. Ahli Bait, Bukan Sekedar Pengakuan. Diakses di: https://muslim.or.id/8782-ahli-bait-bukan-sekedar-pengakuan.html



======================

Postingan ini dimuat juga di kolom opini, halaman 10, Tribun Kaltim, edisi 13 Oktober 2017.


1 comment:

  1. intinya jangan sombong dihadapan manusia lain, karena seringkali apa yang disombongkan biasanya justru mencerminkan kelemahan diri sendiri,

    ReplyDelete