Seorang pemuda bekas budak, miskin dan tidak tampan ditanya Rasulullah, apakah ia sudah menikah, ia menjawab bahwa ia miskin dan buruk, mana ada yang mau menikahkan anak putrinya dengan dirinya.
Ketika ditanya ketiga kalinya dalam waktu yang berbeda, ia menyahut, mau, dan mengharap beliau menikahkannya.
Maka Rasulullah mengutus ia untuk menemui seorang Anshor. Disana ia mengatakan sebagai utusan Rasulullah untuk meminang putrinya sebagai istrinya.
Sang ayah perempuan, awalnya menolak namun si anak yang mendengar, karena tahu ia diutus Rasulullah, mengatakan kepada ayahnya agar menerima, dan mau dinikahkan dengan penuh keridhaan.
Ketika baru akan menikah, ada panggilan jihad, ia bergegas menyambutnya. Pada perang tersebut, ia gugur syahid.
Ringkasan kisah itu mengajarkan kita sesuatu: preferensi rasa.
Apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, lakukan, jalani, karena pasti ia mengandung kebaikan.
Luar biasa pelajaran yang ditunjukkan pemuda dan pemudi itu.
Mereka jadikan selera mereka jauh dibawah perkataan Rasulullah. Preferensi rasa personal tidak dipertimbangkan, dan Rasulullah didahulukan.
Itulah mungkin yang menyebabkan mereka mendapat kemenangan dan kebahagiaan di dunia serta akhirat.
Hari ini, banyak sekali urusan personal, pribadi, masalah cita rasa khas tiap individu yang didahulukan melebihi apa yang telah diajarkan agamanya (Quran dan Hadits).
Bagaimana mungkin kan bermimpi mendapatkan keridhaan Allah (dan Rasul-Nya)? Alangkah jauhnya.
Mungkin sudah saat, kita mengkalibrasi preferensi rasa kita, agar selaras dengan iman, satu frekuensi dengan Islam, dan jadikan apa-apa yang diluar itu, pertimbangan yang relatif tidak berarti kalau Allah dan Rasul-Nya sudah punya ketetapan.
---000---
Jakarta, 23 Agustus 2019
Syamsul Arifin.
No comments:
Post a Comment