24 July 2014

Sumber Kebahagian, Eksternal atau Internal?

Dari manakah sumber kebahagiaan? 
Apakah datangnya dari luar (eksternal) ataukah dari dalam (internal) diri kita?
Apakah bentuknya materi saja atau bisa berupa nonmateri?

Beberapa hal yang mungkin bisa membuat diri kita bahagia (dari sumber luar/eksternal), yang sifatnya materi:
- Mendapat uang/gaji besar
- Mendapatkan promosi jabatan
- Punya kendaraan, rumah yang bagus
Sumber kebahagiaan eksternal yang nonmateri:
- Memiliki pasangan hidup yang baik dan cantik
- Punya anak-anak yang baik, sehat dan cerdas
- Melakukan apa yang disenangi (terjun parasut, balap mobil, dll) atau aktifitas yang disukai (kumpul bareng teman cerita2, tertawa2 nonton film, makan, membantu orang, dll)

Menurut saya, kebahagiaan diatas lebih banyak yang bersifat short term/jangka pendek.

Uang banyak pas gajian, langsung hilang ketika ada banyak tagihan yang harus dibayarkan. Jabatan tinggi pusing juga ketika lingkup kerja semakin luas dan makin banyak yang harus diurus. Sebagus-bagusnya rumah tidak akan ditempati 24 jam dalam sehari, begitu juga dengan kendaraan. Istri yang cantik bisa jadi malah membuat tidak bahagia (bikin deg-degan/curiga/cemburu/posesif). Anak-anak juga ada masanya bikin mangkel, kesel atau menguji kesabaran. Aktifitas bisa membuat celaka terluka. Dst.

Kebahagiaan internal lebih bisa diandalkan sebagai sumber kebahagiaan jangka panjang (long term).
Namun apakah sumber internal kebahagiaan kita? Jawabannya adalah hati yang dekat dengan Allah.
Efek kebahagiaan internal ini tidak hanya terasa di dunia, tapi juga di negeri akhirat sana (post-world destination), tempat yang kekal abadi.

Dengan memiliki hati yang dekat dengan Allah, hati kita memiliki optimisme (yakin Allah maha berkuasa atas segala), yakin akan keadilan balasan segala kebaikan yang dilakukan diganjar berlipat dari-Nya/tidak peduli balasan yang diterima oleh orang lain baik sesuai ataupun tidak sesuai dengan pengharapan (misal sudah berbuat baik malah disakiti), hati menjadi pandai bersyukur (berbahagia dengan rezeki yang didapat baik besar maupun kecil), hati yang akhirnya mampu bersabar melewati cobaan.
Jiwanya gagah karena yakin bahwa dunia hanya sementara dan yakin bahwa Allah melihat manusia dari ketakwaannya, bukan dari fisiknya semata.
Jalannya tegak (namun bukan sombong) dan langkahnya mantap mengayun dalam berusaha. Tidak ada yang ditakuti, baik manusia maupun kejadian, karena keimanan bersemi di dalam dadanya.
Ketenangan yang memenuhi hatinya mengusir ketakutan, kekhawatiran, kesedihan, kegundahan, kegalauan -musuh kebahagiaan di dunia.

Jadilah ia memiliki jiwa yang berbahagia, karena dekat dengan Allah, sumber kebahagiaan dunia dan akhirat...

01 July 2014

Puasa di Negeri yang Siang Harinya Panjang

Bagaimana jika kita tinggal di negara yang siang harinya bisa sampai 20 jam, apakah kita akan tetap berpuasa? Indonesia sih enak, paling hanya berpuasa 12-13 jam saja. Tapi bagaimana kalau kita nanti (atas izin Allah) tinggal di negara seperti itu.... Bagaimana ketentuan Islam mengenai ini.

Kalau saya baca fatwa Ibnu Baz, saya ringkas, ada dua opsi:
  1. Kalau hari-harinya masih dapat jelas terbedakan antara siang dan malam, maka ia harus tetap berpuasa mengikuti kondisi siang-malam hari dimana ia tinggal, sebagaimana ibadah shalat yang dilakukan mengikuti siang-malam hari dimana ia tinggal. Kalau tidak kuat, maka ia boleh berbuka dan mengganti puasa di hari lain.
  2. Kalau di tempat tinggalnya, matahari tidak pernah terbenam ketika musim panas dan tidak pernah terbit ketika musim dingin, atau tempat tinggalnya hanya ada 6 bulan siang terus menerus dan 6 bulan malam terus menerus, maka ia harus memperkirakan waktu shalat dengan mengacu kepada negeri terdekat yang jarak waktu antar tiap shalat dapat dibedakan. Demikian juga dengan berpuasa, maka ia harus ngacu waktu mulai berpuasa dan waktu berbuka ke negeri yang terdekat dimana waktu siang dan malam dapat dibedakan.


Saya copas dibawah ini (versi bahasa Inggris-nya):

How should people whose day is very long observe and break Sawm?
Q: What should those people whose day is twenty-one hours long do? Should they work out the time to observe Sawm (Fast)? Similarly, what should those whose day is very short and those whose day lasts for six months and their night lasts for six months do? How should they offer Salah (Prayer) and observe Sawm? 

A: Those whose night and day add up to twenty four hours should observe Sawm that day, whether it is short or long, and that is acceptable from them, Praise be to Allah, even if the day is short. But those for whom the night or day is longer than that, such as six months, should work out the time for Sawm and Salah, as the Prophet (peace be upon him) enjoined what should be done on the day of Al-Masih-ul-Dajjal (the Antichrist) which will be like a year, a month, or a week. The times for Salah should be worked out.
The Council of Senior Scholars in the Kingdom examined this matter and issued a statement no. 61, dated 12/4/1398 A.H. which states:
May Allah grant us success, and may Allah's blessings and peace upon our Prophet Muhammad, his family, and Companions.
The Council of Senior Scholars, in its twelfth round, held in Riyadh on the early days of Rabi` Al-Akhir, 1398 A.H, has reviewed the letter sent by His Excellency the General Secretary of the Muslim World League in Makkah Al-Mukarramah no. 555, dated 16/1/1398 A.H. It contains what is mentioned in the letter of the Chairman of the Islamic Societies in the city of Malu, Sweden. It says that owing to the geographical location of the Scandinavian countries, the day is very long during the summer and very short during the winter. Similarly, the sun never sets in the summer in the north and the opposite happens in winter. The Muslims there are asking how they should offer Salah and Sawm during Ramadan. His Excellency hopes that you would issue a Fatwa (legal opinion issued by a qualified Muslim scholar) in this regard to inform them.
The Council has also reviewed what the Permanent Committee for Scholarly Research and Ifta' prepared and the other views related from the scholars in this regard. Having looked into and discussed the query, the Council has decided the following:
Firstly: Whoever lives in a land where the people can distinguish night from day by the rising of dawn and the setting of the sun, but their day is very long during the summer and very short during the winter, are obliged to offer the five daily Salahs at the times that are known in Shari`ah (Islamic law), because of the general meaning of the Ayahs (Qur'anic verse) in which Allah (Exalted be He) says: Perform As-Salât (Iqamât-as-Salât) from mid-day till the darkness of the night (i.e. the Zuhr, ‘Asr, Maghrib and ‘Ishâ’ prayers), and recite the Qur’ân in the early dawn (i.e. the morning prayer). Verily, the recitation of the Qur’ân in the early dawn is ever witnessed (attended by the angels in charge of mankind of the day and the night). And Verily, As-Salât (the prayer) is enjoined on the believers at fixed hours.
It was authentically reported on the authority of Buraydah (may Allah be pleased with him) that a man asked about the times of Salah where the Prophet (peace be upon him) told him: Offer Salah with us for these two (days)." When the sun disappeared (beyond the meridian), he ordered Bilal to call the Adhan (call to prayer), then he ordered him to pronounce the Iqamah (call to start the prayer) for the Zhuhr (Noon) Salah. He ordered him to call the Iqamah for the `Asr (Afternoon) Salah when the sun was still high, white, and clear. Then, he ordered him to call the Iqamah for the Maghrib (Sunset) Salah when the sun had set. Then, he ordered him to call the Iqamah for the `Isha' (Night) Salah when the twilight had disappeared. Then he ordered him to call the Iqamah for the Fajr (Dawn) Salah when the dawn had appeared. On the second day, he (peace be upon him) told him (Bilal) to delay the Zhuhr Prayer until the extreme heat had passed and he delayed it for a long while. He offered the `Asr Salah when the sun was high, delaying it beyond the time he had previously offered it. He offered the Maghrib Salah before the twilight had disappeared, and he offered the `Isha' Salah when one third of the night had passed; and he offered the Fajr Salah when it was bright. Then, he (peace be upon him) said: "Where is the person asking about the time of the Salah?" The man said: "Here I am, O Messenger of Allah." The Prophet (peace be upon him) said: "The times of your Salahs are between what you have seen. (Related by Al-Bukhari and Muslim)
It is also narrated from `Abdullah ibn `Amr ibn Al-`As that the Prophet (peace be upon him) said: The time for Zhuhr is when the sun passes its zenith and the shadow of a man is equal in length to him, so long as `Asr has not come. The time of `Asr is as long as the sun has not turned yellow. The time for Maghrib is as long as the twilight has not yet disappeared. The time for `Isha' is until halfway through the night. The time for Fajr is from dawn, as long as the sun has not yet risen. When the sun rises, then refrain from offering Salah, for it rises between the horns of Satan. (Related by Muslim in his Sahih) There are other Hadiths which define in word and deed the times for the five daily Salahs, without making any distinction between the length or shortness of daytime so long as the times of Salah can be determined by the signs explained by the Messenger of Allah (peace be upon him).
This is related to determining the times of Salah. With regard to the times for Sawm of Ramadan, those who are Mukallafs (people meeting the conditions to be held legally accountable for their actions) must refrain from eating, drinking, and everything else that breaks the Sawm on every day of the month from the break of dawn till sunset in their country, so long as the day can be distinguished from the night in their country, and the total hours of day and night are twenty four hours. In this way, it will be permissible for them to eat, drink, have sexual intercourse, and the like only during their night, even if it is short. The Shari`ah (Islamic law) is applied to all people in all countries. Allah (Exalted be He) says: ...and eat and drink until the white thread (light) of dawn appears to you distinct from the black thread (darkness of night), then complete your Saum (fast) till the nightfall. If a person is unable to fast the whole day because it is too long, or because he knows from signs, by experience, or on the advice of a trustworthy skilled doctor, or he thinks it most likely that Sawm will cause him to die, become severely ill, make his sickness worse, or will slow down his recovery from sickness, then he should break his Sawm and make up for the missed days during any month. Allah (Exalted be He) says: So whoever of you sights (the crescent on the first night of) the month (of Ramadan i.e. is present at his home), he must observe Saum (fasts) that month, and whoever is ill or on a journey, the same number [of days which one did not observe Saum (fasts) must be made up] from other days. He (Exalted be He) also says: Allâh burdens not a person beyond his scope. And ...and He has not laid upon you in religion any hardship
Secondly: The person who lives in a land where the sun does not set during the summer and the sun does not rise during the winter, or he lives in a land where the day lasts for sixth months and the night lasts for six months for example, should offer the five daily Salahs during each twenty four hours, and he should try to work out their times, based on the closest land to him where the times of the five daily Salahs are distinct from one another, because of what is said in the Hadith about Isra' (Night Journey) and Mi`raj (Ascension to Heaven) that Allah (Exalted be He) prescribed upon this Ummah (nation based upon one creed) fifty Salahs every day and night, then the Prophet (peace be upon him) kept asking his Lord to reduce them until He said: O Muhammad, they are five Salahs everyday and night. However, every Salah is doubled ten times, so they are fifty Salahs (i.e. in reward). It was narrated that Talhah ibn `Ubaydullah (may Allah be pleased with him) said: A man from among the people of Najd with disheveled hair came to the Messenger of Allah (peace be upon him) and we could hear his voice but we could not understand what he was saying, until he drew close to the Messenger of Allah (peace be upon him) where we knew that he was asking about Islam. The Messenger of Allah (peace be upon him) said: You have to offer Salahs perfectly five times in a day and night (24 hours). The man asked: "Is there any more Salahs? Allah's Messenger (peace be upon him) replied: "No, but you can offer supererogatory Salahs.
It was authentically reported on the authority of Anas ibn Malik (may Allah be pleased with him) that he said: We were forbidden to ask the Messenger of Allah (peace be upon him) about anything (useless), so we used to like it when an intelligent Bedouin would come and ask him a question and we hear him. A Bedouin once came and said: "O Muhammad, your messenger came to us and said that you claim that Allah sent you." He said: "He spoke the truth."... To his saying that the man said: “And your messenger claimed that we have to offer five Salahs each day and night.” He (the Prophet, peace be upon him) said: “He spoke the truth.” The man said, “By the One Who sent you, has Allah enjoined that upon you?” He said, “Yes."
Furthermore, it is authentically reported that the Prophet (peace be upon him) told his Companions about Al-Masih-ul-Dajjal where they said: How long will he stay on earth? He said: “Forty days: a day like a year, a day like a month, a day like a week, and the rest of the days like your days.” We said: O Messenger of Allah, on that day which is like a year, will the Salahs of one day be sufficient for us? He said: “No. Work out the time (for Salah). He did not regard that day that will be like a year as being a single day in which five Salahs would be sufficient. Rather, he prescribed observing five daily Salahs every twenty-four hours, and he commanded them to offer them at their due times based on the times on an ordinary day in their country. So, the Muslims in the country who asked about how to define the times for Salahs should work out their times according to the closest country to them in which night is distinct from day, and the times for the five daily Salahs may be known by their Shar`y (Islamically lawful) signs in the closest country in every twenty-four hours.
Similarly, they have to observe the Sawm of Ramadan, and they should work out the beginning and end of Ramadan, and the times to start and end Sawm every day, and the time of dawn and sunset every day in the closest country to them where night is distinct from daytime and the total of night and daytime is twenty-four hours. This is because of the Hadith of the Prophet (peace be upon him) about Al-Masih-ul-Dajjal that we have quoted above, in which he told his Companions how to work out the times of Salah. There is no difference in this case between Sawm and Salah.
May Allah grant us success. May peace and blessings be upon our Prophet Muhammad, his family, and Companions.

===============================================

Penjelasan lain dari ustadz Ahmad Sarwat, Lc. tentang hal yang serupa bisa dilihat di:
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1171327357&=orang-eskimo-dan-hukum-puasa.htm
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1158567820&=adakah-keringanan-berpuasa-di-musim-dingin.htm
Saya copas dibawah ini isinya:

Orang Eskimo dan Hukum Puasa

Assalamualikum pak ustad, yang ingin saya tanyakan tentang hukum universal puasa terhadap semua umat di bumi Allah, bagaimana dengan orang eskimo, di sana musim datang dengan gejala alam yang lain, seperti ada terang terus sepanjang musim panas dan gelap terus sepanjang musim dingin, padahal hukum puasa aturannya berdasarkan terbit dan tenggelamnya matahari.
Karena Islam tidak hanya untuk penduduk yang ada di sekitar kathulistiwa dengan musim yang hampir sama sepanjang tahun, tapi Islam untuk semua umat di dunia ini.
Makasih

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Buat orang yang tinggal di kutub utara atau selatan, secara geografis mereka akan mengalami beberapa 'keajaiban' alam. Terutama terkait dengan waktu terbit dan terbenam matahari. Padahal, waktu-waktu shalat sangat ditentukan dengan terbit dan terbenamnya matahari.
1. Kemungkinan Pertama:
Ada wilayah yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam dalam sehari. Dan sebaliknya, pada bulan-bulan tertentu akanmengalami sebaliknya, yaitu mengalami malam selama 24 jam dalam sehari.
Dalam kondisi ini, masalah jadwal puasa -dan juga shalat- disesuaikan dengan jadwal puasa dan shalat wilayah yang terdekat dengannya di mana masih ada pergantian siang dan malam setiap harinya.
2. Kemungkinan Kedua
Ada wilayah yang pada bulan teretntu tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh.
Dalam kondisi ini, maka yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu shalat `isya`nya saja dengan waktu di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilannya mega merah maghrib. Begitu juga waktu untuk imsak puasa (mulai start puasa), disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua mega itu.
3. Kemungkinan Ketiga:
Ada wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya.
Dalam kondisi ini, maka waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu shubuh meski baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam.
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid... (QS. Al-Baqarah: 187).
Sedangkan bila berdasarkan pengalaman berpuasa selama lebih dari 19 jam itu menimbulkan madharat, kelemahan dan membawa kepada penyakit di mana hal itu dikuatkan juga dengan keterangan dokter yang amanah, maka dibolehkan untuk tidak puasa. Namun dengan kewajiban menggantinya di hari lain.
Dalam hal ini berlaku hukum orang yang tidak mampu atau orang yang sakit, di mana Allah memberikan rukhshah atau keringan kepada mereka.
"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185).
Penjelasan seperti ini bisa kita dapat dari fatwa Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami pada jalsah ketiga hari Kamis 10 Rabiul Akhir 1402 H betepatan dengan tanggal 4 Pebruari 1982 M.
Selain itu kita juga bisa merujuk kepada ketetapn dari Hai`ah Kibarul Ulama di Makkah al-Mukarramah Saudi Arabia nomor 61 pada tanggal 12 Rabiul Akhir 1398 H.
Namun ada juga pendapat yang tidak setuju dengan apa yang telah ditetapkan oleh dua lembaga fiqih dunia itu. Di antaranya apa yang dikemukakan oleh Syeikh Dr. Mushthafa Az-Zarqo rahimahullah.
Alasannya, apabila perbedaan siang dan malam itu sangat mencolok di mana malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau sebaliknya, di mana siang hanya terjadi hanya 15 menit misalnya, mungkinkah pendapat itu relevan?
Terbayangkah seseorang melakukan puasa di musim panas dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit. Atau sebaliknya di musim dingin, dia berpuasa hanya selama 15 menit?
Karena itu pendapat yang lain mengatakan bahwa di wilayah yang mengalami pergantian siang malan yang ekstrim seperti ini, maka pendapat lain mengatakan:
a. Mengikuti Waktu HIJAZ 
Jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Makkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di qutub utara dan selatan.
b. Mengikuti Waktu Negara Islam terdekat 
Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa dan shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat. Di mana di negeri ini bertahta Sultan/ Khalifah muslim.
Namun kedua pendapat di atas masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Karena keduanya adalah hasil ijtihad para ulama.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc



Adakah Keringanan Berpuasa di Musim Dingin?

Assalamualaikum Pak Ustadz,
Saya sekarang sedang berada di AS, pak ustadz. Ini pertama kalinya saya akan menghadapi bulan suci Ramadhan di luar Indonesia. Untuk saat ini saya bekerja di mana ritme kerjanya menurut saya bisa untuk berpuasa dengan lancar (karena kerjanya indoor/dalam ruangan). Tetapi menurut rencana saya akan pindah kerja di luar ruangan/*outdoor di mana menurut estimasi puasa di sini akan dilalui dalam musim dingin/ salju. Dan saya berniat sekali untuk bisa berpuasa sebulan penuh nantinya.
Yang jadi pertanyaan saya:
1. Bagaimana jika nantinya dalam menjalankan ibadah puasa di tengah jalan saya tidak kuat, mengingat kerjanya tidak ada libur dan dalam musim dingin/salju, apakah saya harus membayar dam/denda atau cukup mengganti saja di lain hari setelah habis masa Ramadhan?
2. Apakah sholat saya bisa saya gabung nantinya contohnya: Zhuhur dengan Azhar.Mengingat kerjanya cukup berat dan susah untuk mengatur waktu sholat.
Terimakasih atas jawabannya Pak Ustadz
Wa'alaikumsalam wr. wb.

Jawaban :

Asalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Seseorang yang karena kondisi tertentu tidak mampu berpuasa, dibolehkan untuk berbuka. Sebab pada hakikatnya agama Islam itu tidak memberatkan umatnya.
Namun untuk itu diperlukan syarat mutlak, yaitu ketidak-mampuannya itu memang sudah sampai titik perjuangan terakhir. Sehingga bila diteruskan puasanya, akan mengakibatkan masalah yang fatal atau bersifat madharrat. Adapun bila masih sanggup untuk diteruskan, tentu saja hukumnya haram bila membatalkan secara sengaja.
Dengan demikian, anda wajib berniat sejak malam hari untuk berpuasa dan melakukan puasa terlebih dahulu. Kalau di dalam hari itu ternyata tidak kuat lagi meneruskan puasa, maka barulah pada saat itu saja anda boleh berbuka. Anda tidak boleh sejak awal sudah berniat tidak puasa.
Hal yang sama juga berlaku buat mereka yang kerja kasar, entah kuli angkut di pelabuhan atau penarik becak dan sejenisnya. Boleh berbuka bila memang pada akhirnya tidak mampu, namun syaratnya sejak semula harus berniat puasa dan menjalankannya terlebih dahulu.
Pengganti Puasa
Bila seseorang tidak mampu meneruskan puasa karena kondisi yang payah, maka sebagai penggantinya adalah dengan berpuasa di hari lain sebanyak hari yang ditinggalkannya. Bukan dengan membayar fidyah. Sebab pengganti dalam bentuk fidyah hanya berlaku buat orang yang sudah sama sekali tidak akan mampu berpuasa seumur hidupnya. Seperti orang yang sudah lanjut usia atau jompo.
Sementara orang sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya, maka dia harus mengganti dengan puasa di lain hari. Sebagaimana firman Allah SWT:
Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS Al-Baqarah: 184)
Syarat Menjama' Shalat
Kita memang mengetahui adanya syariat untuk menjama' shalat, yaitu mengerjakan dua shalat wajib yang berbeda di dalam satu waktu. Namun untuk itu harus ada syarat tertentu agar 'fasilitas' ini bisa digunakan.
Di antaranya adalah bila seseorang dalam keadaan safar, atau ketika turun hujan. Sedangkan menjama' shalat karena kesibukan, apalagi terjadi setiap hari, tentu saja tidak boleh dilakukan begitu saja.
Sebab setiap orang pasti sibuk setiap hari, bukan hanya di Amerika saja. Di mana pun kalau mau dituruti selalu ada kesibukan. Kalau begitu maka shalat pun pasti akan dijama' semuanya.
Maka kami berpandangan bahwa menjama' shalat tidak boleh dilakukan hanya karena alasan sibuk. Kecuali bila memang sekali waktu seseorang karena kondisi yang di luar perkiraannya dipaksa oleh keadaan untuk tidak bisa shalat. Maka bolehlah saat itu dia menjama'nya. Itu pun tidak boleh tiap hari.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.