23 August 2019

Kalibrasi Preferensi

Seorang pemuda bekas budak, miskin dan tidak tampan ditanya Rasulullah, apakah ia sudah menikah, ia menjawab bahwa ia miskin dan buruk, mana ada yang mau menikahkan anak putrinya dengan dirinya.

Ketika ditanya ketiga kalinya dalam waktu yang berbeda, ia menyahut, mau, dan mengharap beliau menikahkannya.

Maka Rasulullah mengutus ia untuk menemui seorang Anshor. Disana ia mengatakan sebagai utusan Rasulullah untuk meminang putrinya sebagai istrinya.

Sang ayah perempuan, awalnya menolak namun si anak yang mendengar, karena tahu ia diutus Rasulullah, mengatakan kepada ayahnya agar menerima, dan mau dinikahkan dengan penuh keridhaan.

Ketika baru akan menikah, ada panggilan jihad, ia bergegas menyambutnya. Pada perang tersebut, ia gugur syahid.

Ringkasan kisah itu mengajarkan kita sesuatu: preferensi rasa.

Apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, lakukan, jalani, karena pasti ia mengandung kebaikan.

Luar biasa pelajaran yang ditunjukkan pemuda dan pemudi itu.

Mereka jadikan selera mereka jauh dibawah perkataan Rasulullah. Preferensi rasa personal tidak dipertimbangkan, dan Rasulullah didahulukan.

Itulah mungkin yang menyebabkan mereka mendapat kemenangan dan kebahagiaan di dunia serta akhirat.

Hari ini, banyak sekali urusan personal, pribadi, masalah cita rasa khas tiap individu yang didahulukan melebihi apa yang telah diajarkan agamanya (Quran dan Hadits).

Bagaimana mungkin kan bermimpi mendapatkan keridhaan Allah (dan Rasul-Nya)? Alangkah jauhnya.

Mungkin sudah saat, kita mengkalibrasi preferensi rasa kita, agar selaras dengan iman, satu frekuensi dengan Islam, dan jadikan apa-apa yang diluar itu, pertimbangan yang relatif tidak berarti kalau Allah dan Rasul-Nya sudah punya ketetapan.

---000---

Jakarta, 23 Agustus 2019
Syamsul Arifin.

22 August 2019

Merdeka adalah Rasa Jiwa

Pada tingkatan terendah, merdeka adalah bebas secara fisik, tidak terbelengguh pagar, jeruji, tembok atau batas sekat lainnya.

Di tingkat selanjutnya, kebebasan adalah masalah rasa jiwa.

Orang yang fisiknya tersandera, belum tentu merasa terkungkung. Maka tidak heran, ketika dulu para ulama dipenjara, mereka malah berkomentar, "mereka bisa memasukkanku ke mana saja, tapi mereka tidak bisa membuatku berada di tempat dimana tidak ada Allah di sana".

Badiuzzaman Nursaid bahkan mengatakan, "siapa yang mengenal dan menaati Allah ﷻ, maka ia akan bahagia walaupun berada di dalam penjara yang gelap gulita. Dan siapa yang lalai dan melupakan Allah, ia akan sengsara walaupun berada di istana yang megah mempesona.”

Orang yang secara fisik terlihat merdeka pun, terkadang tidak bisa bebas menyuarakan hati nuraninya, tidak bisa lepas berbeda pendapat, pandangan, tindakan.

Bahkan tidak jarang, orang yang menyerukan kebebasan justru orang yang terpasung opini kebanyakan orang, mengikuti maunya sponsor/uang/kekuasaan.

Inilah cantik, hebat, tinggi derajat, kaya, mulia menurut mereka. Bukan karena pilihannya sendiri.

Bahkan bisa jadi, seseorang tidak merasa, dirinya telah diperbudak syahwatnya sendiri.

Yang cukup kontradiktif adalah orang beriman. Apakah mereka dianggap merdeka dalam kepatuhannya terhadap Tuhannnya?

Jangan dianggap orang yang beriman itu tidak merdeka. Ia merdeka dengan kemerdekaannya yang hakiki.

Memilih jalan kesenangan itu mudah, semua orang pasti bisa.

Memilih yang enak-anak saja, sepertinya bukan pilihan, itu insting di semua makhluk hidup.

Memilih untuk mengeluarkan energi, melakukan usaha, menghabiskan waktu dan harta untuk sebuah reward yang tidak kasat mata, itu baru pilihan.

Tidak peduli omongan orang. Tidak takut celaan orang yang suka mencela. Cuek mengamalkan kebenaran berdasarkan referensi yang ia pahami/yakini/imani.

Dulu perbudakan fisik terlihat nyata, saat ini, berbudakan pemikiran meski tak nampak, namun kental terasa.

Orang yang beriman merdeka dalam bingkai ketundukannya terhadap Allah saja.

---000---

22 Agustus 2019
Syamsul Arifin