30 June 2008

[flash fiction] Istana Kematian

*cersanpendes = cerita yang sangat pendek sekaliiiiiiiiiiiiiih Peace ahhh!

 

Jeruji ini begitu rapat, aku tidak bisa melewatkan tubuh gempalku menembusnya. Tapi entahlah, aku merasa nyaman disini. Makanan yang sangat cukup terlimpah, tempat tidur yang selalu bersih, dan bahkan tersedia alat fitnes disini, olah raga favoritku, yang dengannya aku bisa tetap berlari-lari menembus keterbatasan ruangan yang mengurung, membuang keringat dan membentuk otot-otot tubuhku.

Tapi satu hal yang pasti, satu persatu kawan-kawanku di tempat ini mulai menghilang, sedikit demi sedikit, hari demi hari. Apakah mungkin mereka sekarang sedang menghirup udara kebebasan? Ah apakah diluar sana mereka mendapatkan fasilitas yang serupa disini? Atau nasib apa ya yang menimpa mereka ketika mereka diambil olehnya?

Tetangga sebelahku yang mendapatkan fasilitas yang sama, baru saja meninggal kemarin lusa. Dan begitu pula dengan tetangga sebelahnya yang mendahuluinya beberapa hari yang lalu.

Ya, mungkin giliranku akan juga datang kok. Namun, sampai masa itu hadir menjelang, aku akan menikmati apa yang ada disini, berleha-leha, menikmati makanan dan ruangan yang nyaman, dan berolah raga.

Terbaca di atas ruangan mereka "Mencit Percobaan # 1, dosis 50%", sedang di ruanganku tertulis 35%, entah itu apa artinya.....

 

 

 

 

 

 

 

*lagi pake sudut pandangan binatang percobaan di laboratorium Ngikik.. Yiiihaaaa! Peace ahhh!

[puisi] Al-Araaf

Pathetic
Menyaksikan orang-orang tertipu dunia
Menyedihkan
Memandang bayanganmu berkubang kehinaan

Dapatkah aku tersenyum paling akhir
Di atas menara pemisah
Al-araf yang mulia

Astagfirullah hal adzim
Semoga bukan aku yang dipandang dalam kerendahan
Penuh penyesalan dan azab yang berkekalan... Mewek..

-ipin4u-
30062008



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al A'raaf Ayat 46
http://ccc.1asphost.com/assalamtafsir/Alquran_Tafsir.asp?pageno=3&SuratKe=7#Top

وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌ وَعَلَى الْأَعْرَافِ رِجَالٌ يَعْرِفُونَ كُلًّا بِسِيمَاهُمْ وَنَادَوْا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ أَنْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ 


Dan di antara keduanya (penghuni syurga dan neraka) ada batas; dan di atas Araaf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk syurga:` Salaamun alaikum `. Mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya). (QS. Al A'raaf: 46) 

Ayat ini menerangkan bahwa antara penghuni surga dan penghuni neraka ada batas yang sangat kokoh sekali. Batas itu berupa pagar tembok yang tidak memungkinkan masing-masing mereka untuk membuat jalan keluar dan untuk berpindah tempat. Di atas pagar tembok itu ada suatu tempat yang tertinggi, tempat orang-orang yang belum dimasukkan ke dalam surga. Mereka bertahan di sana menunggu keputusan dari Allah. Dari tempat yang tinggi itu mereka bisa melihat penghuni surga dan bisa pula melihat penghuni neraka. Kedua penghuni itu kenal dengan tanda yang ada pada mereka masing-masing. Seperti mengenal mukanya yang telah disifatkan Allah dalam Alquran. Firman Allah:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُسْفِرَةٌ ضَاحِكَةٌ مُسْتَبْشِرَةٌ وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ أُولَئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ


Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira. Dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu. Dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang yang kafir lagi durhaka. (QS. Abasa: 38-42)

Mereka yang tinggal di tempat yang tinggi di atas pagar batas itu mempunyai kebaikan yang seimbang dengan kejahatannya, belum bisa dimasukkan ke dalam surga tetapi tidak menjadi penghuni neraka. Mereka sementara ditempatkan di sana sambil menunggu rahmat dan karunia Allah untuk dapat masuk ke dalam surga.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

توضع الموازين يوم القيامة فتوزن الحسنات والسيئات فمن رجحت حسناته على سيئاته مثقال حبة دخل الجنة ومن رجحت سيئاته على حسناته مثقال حبة دخل النار قيل: ومن استوت حسناته وسيئاته قال: أولئك أصحاب الأعراف لم يدخلوها وهم يطمعون


Diletakkan timbangan pada hari kiamat lalu ditimbanglah semua kebaikan dan kejahatan. Maka orang-orang yang lebih berat timbangan kebaikannya daripada timbangan kejahatannnya meskipun sebesar biji sawi/atom dia akan masuk surga. Dan orang yang lebih berat timbangan kejahatannya daripada timbangan kebaikannya meskipun sebesar biji sawi/atom ia akan masuk neraka. Dikatakan kepada Rasulullah, "Bagaimana orang yang sama timbangan kebaikannya dengan timbangan kejahatannya?" Rasulullah menjawab: "Mereka itulah penghuni A`raf, mereka itu belum memasuki surga tetapi mereka sangat ingin memasukinya." (HR Ibnu Jarir dari Ibnu Mas'ud)

Sesudah itu Ibnu Masud berkata: "Sesungguhnya timbangan itu bisa berat dan bisa ringan oleh sebuah biji yang kecil saja. Siapa-siapa yang timbangan kebaikan dan kejahatannya sama-sama berat, mereka penghuni A'raf, mereka berdiri di atas jembatan.

Kemudian mereka dipalingkan melihat penghuni surga dan neraka. Apabila mereka melihat penghuni surga, mereka mengucapkan: "Keselamatan dan kesejahteraan bagimu." Dan apabila dipalingkan pemandangan mereka ke kiri, mereka melihat penghuni neraka seraya berkata: "Ya tuhan kami janganlah jadikan kami setempat dengan orang-orang zalim." Mereka sama-sama berlindung diri kepada Allah dari tempat mereka. Berkata Ibnu Masud: "Ada orang yang mempunyai kebaikan, mereka diberi cahaya yang menerangi bagian depan dan kanan mereka. Tiap-tiap orang dan tiap-tiap umat diberi cahaya setibanya mereka di atas jembatan, Allah padamkan cahaya orang-orang munafik laki-laki dan munafik perempuan. Tatkala penghuni surga melihat apa yang di hadapan orang-orang munafik, berkata: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah cahaya kami." Adapun penghuni A'raf, cahaya mereka ada di tangan mereka, tidak akan tanggal-tanggal.

Di waktu itu berfirman Allah swt.:

لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ


Mereka belum lagi memasuki sedang mereka ingin segera (memasukinya). (Q.S Al A'raf: 46)

Inilah yang dimaksud dalam ayat ini, bahwa penghuni A'raf itu menyeru penghuni surga mengucapkan selamat sejahtera, karena kerinduan mereka atas nikmat yang telah diberikan Allah kepada penghuni surga. Mereka belum juga dapat masuk ke dalamnya, sedang hati mereka sudah sangat rindu untuk masuk.

28 June 2008

[puisi] Sebait Pinta

tersungkur aku dalam sujud
keberlimpahan nikmat yang terzalimi
dengan coretan dosa yang memburamkan hati
astagfirullah

bilakah datang masa itu
disaat aku kan bisa terdiam dalam istiqomah
ataukah aku harus terus terombang-ambing dalam kebodohan dan nafsu diri
ya muqallibal qulub, tsabbit qulubana

dunia yang pasti binasa
dan akhirat yang kekal adanya
Hakim Agung yang pasti dijumpai
di hari yang menyesalkan jiwa-jiwa
semoga hamba mendapat kemenangan hakiki
rabbana atina fiddunya hasanah
wa fil akhirati hasan
wa qina adzabannar

kapankah datang masa yang dinanti
kerinduan berjumpa sang kekasih
dengan harapan yang membuncah
dan kecemasan yang mencekam
ya Rasulullah, semoga diri ini bisa menjumpaimu
wahai Izrail, kapankah kita kan bertemu..?
jemput aku dari dunia ini, bawa aku menemui kerinduan-kerinduanku

ya Rabbi, limpahkanlah hidayahMu, sirami keberkahanMu, cintai diri ini, tuntunlah hamba, dan wafatkanlah hamba bersama orang-orang yang berbakti...

27 June 2008

Bleed inside of me...

Bleeding inside, though I’ve seen plenty of others blood before, so this wound should never gonna make me cry. Be great brother, just like the way you wanna be !


Dying due to my own fear, it’s our fear that kills us, not things that we fear of.

Repent oh you sinner, why do you still making sins, do you have no shame for His power, aren’t you afraid of Him, aren’t you willing not to change since He had give you a lot of chance to return and means of become a good servant..?

Repent oh you sinner, and don’t turn backward again.

Astagfirullah hal adzim
Rabbana zalamna anfusana wa illam taghfirlana watarhamna lanakunana minal khasiriiin.

Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinaa adza banner
(amin)

26 June 2008

Gaung Ramadhan 1429 H VS Isu Pemilu 2009 M

Oleh: Syamsul Arifin

 

Anif Mulyazam: insya Alloh Ramadhan tinggal 65 hari
Syamsul Arifin: yup
Anif Mulyazam: bagaimana persiapan kita
Anif Mulyazam: jangan kalah dengan isu pemilu 2009
Anif Mulyazam: kita perlu gaungkan juga bahwa Ramadhan telah dekat
Anif Mulyazam: setuju bro?

 

Demikianlah petikan obrolanku dengan seorang ikhwah, salah seorang guru spiritualku semasa kuliah dulu. Ah, kalimat sederhana itu benar-benar menyentuh hatiku. Melembutkan kembali kerasnya hati ini. Setelah sekian lama ia haus akan sentuhan-sentuhan ruhiyah.

 

Di sebuah majalah yang pernah kubaca, pernah diangkat tema mengenai Ramadhan yang kan hadir di tengah-tengah kita dalam waktu tiga bulan lagi. Namun, sahabatku itu mengingatkan ulang diri ini tuk mengembalikan orientasi diri, di tengah carut marut keadaan politik-ekonomi-sosial bangsa Indonesia tercinta.

 

Persiapan Pemilu 2009 M (282 Hari Lagi)

 

Hajatan politik besar-besaran bangsa ini masih satu tahun lagi akan dilaksanakan, 282 hari lagi kalau mengutip situsnya Komisi Pemilihan Umum, namun kita telah disuguhkan pada persiapan dan penyambutan yang luar biasa meriah bagi para pemeran utama hajatan tersebut.

 

Partai-partai politik sudah menggerakan mesin-mesin politknya, disana-sini kita sudah bisa melihat bendera-bendera partai politik berkibar dimana-mana, banyak. Para tokoh-tokoh partai memasang iklan mempromosikan diri dan partainya serta saling unjuk diri, menunjukkan siapa saja para pendukungnya di televisi, koran, dan bahkan mungkin radio, mulai mendekat lagi ke rakyat.

 

Persiapan Ramadhan 1429 H (65 Hari Lagi)

 

Namun kontras dengan persiapan bulan yang dimuliakan dalam Islam, bulan yang lebih baik dari seribu bulan, bulan Ramadhan. Bulan yang dimana Rasulullah SAW pernah bersabda,

 

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu: Adalah Rasulullah SAW memberi kabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda: "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa didalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat; juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa." (HR. Ahmad dan An-Nasa'i)

 

Rentang jarak pelaksanaan pemilu 2009 dan Ramadhan 1429 H sangatlah jauh berbeda, lalu, sudah seberapa meriah pula kita mempersiapkan diri tuk menyambutnya..?

 

Penghargaan seseorang terhadap sesuatu mencerminkan urgensi hal tersebut.

 

Bukankah kita akan bersiap jauh-jauh hari sebelumnya jika tahu bahwa akan ada sebuah hal besar yang kan hadir mengisi/mempengaruhi hidup kita..? Jika akan ada presiden yang akan bertamu ke rumah kita..? Jika akan ada ujian yang kan mempengaruhi kelanjutan masa depan pendidikan atau pekerjaan kita..? Sudah sebaik apa penghargaan kita terhadap bulan Ramadhan dibandingkan dengan pemuliaan kita terhadap hal-hal lain..? Inilah bulan yang harusnya kaum muslimin agungkan, dan sudah seberapa besar pemaknaan kita terhadap bulan Ramadhan ini..?

 

Mari sama-sama kita tengok ulang diri kita masing-masing. Jangan malu kalau memang baru sebatas ucapan di lidah kelu sebentuk pengagungan terhadap Ramadhan, namun ternyata hati ini tetap dingin membeku dalam mempersiapkannya.

 

Astagfirullah...

 

---
26 Juni 2008
”Syukron katsiran akhi atas pengingatannya...”

24 June 2008

[puisi] Bulan Sepi Bahagia

 

 

menatap bulatnya purnama malam ini
berangkulan dengan sepi yang telah lama menemani
entahlah, aku menikmati saat-saat seperti ini
ketika dingin malam tak lagi mampu mengusik diri
ketika hanya ada kebahagiaan di dalam sunyi



23062008
-ipin4u-

23 June 2008

[cerpen] Hati yang Berkhianat

Tuit-tuit-tuit, sebuah pesan singkat masuk ke handphone-ku.

“Mohon doa restu dan kesediaanya tuk menghadiri pernikahan kami, Minggu, 27 Juli 2008, pukul 12.00-15.00 di Komplek Mabad, jln Anggrek 12, belakang Universitas Pancasila, Srengseng Sawah. Sarah-Rudi”

Hening, semesta alam serasa kehilangan suaranya. Perlahan, kucoba menguatkan diri, meraih kepingan-kepingan diriku yang hancur berantakan.

“Selamat ya, semoga pernikahannya bahagia. Aku akan mengusahakan tuk bisa datang”

Sebuah SMS balasan singkat terkirim.

“Sebetulnya lelaki seperti dirimu yang kuinginkan tuk menjadi pendamping hidupku kak, baik dan bertanggung-jawab, dan aku yakin bahwa aku akan berbahagia bersamamu. Tapi…” [Pesan terpotong]

Pesan SMS balasan darinya terpotong, menciptakan sebuah tanda tanya besar dalam dada. Aku tidak menduga pesan itu yang ku baca, sebuah pesan yang membangkitkan kembali sebuah rasa dari dasar jiwa, sebuah rasa yang ternyata masih tetap hidup menyala.

---

Aku mengenal Sarah Azizty sejak dari kuliah di Institut Pertanian Bogor, berarti sudah enam tahun yang lalu. Kami sekelas di jurusan Teknologi Pangan, dan sama-sama aktif dalam berbagai aktivitas kemahasiswaan. Dia anak yang cerdas, lembut perasa, dan ceria. Satu hal yang kuingat dari dirinya adalah senyum di wajahnya yang putih bersinar. Sangat mengikat jiwa.

Meski dekat, namun kami tidak pernah berpacaran, entah mengapa, aku tidak mengucapkan satu hal yang bisa membuatnya terikat denganku ketika itu, sebagaimana umumnya para mahasiswa dan mahasiswa lain biasa saling terikat dalam hubungan yang bernama pacaran. Meski aku merasa sangat nyaman dengan kedekatan kami.

Benar kata orang, bahwa dalam kebahagiaan dan kesenangan, waktu kan terasa begitu cepat berlalu. Tanpa terasa kami sudah diwisuda, lulus dan kini sudah memiliki langkah hidup masing-masing.

Dia masih tetap menempati sebilik ruangan di hatiku, sebuah ruangan yang takkan pernah dapat tergantikan oleh siapapun. Sebuah tempat yang kuyakini dia miliki pula di dalam hatinya untuk diriku, ya.., hanya untuk diriku.

---

Hari Minggu, 27 Juli 2008, aku berangkat ke komplek Mabad dengan mengendarai mobil city car-ku, sebuah kendaraan dengan transmisi otomatis dan berukuran mini, sebuah kendaraan yang sangat nyaman digunakan di kota metropolitan yang penuh dengan kemacetan dan prasarana jalan yang tidak memadai seperti Jakarta.

Terlihat janur kuning melambai-lambai di sebuah gang, memanggil-manggil para tamu undangan tuk bersama-sama berbagi kebahagiaan dengan anak pemilik rumah, tertera disana sebuah tulisan kecil “Sarah-Rudi” dilingkari tanda hati/love, perasaan aneh menjalari hatiku, panas.

Tenda tinggi warna biru dengan balutan kain merah-muda melindungi para tamu dari sengat mentarai yang mengusik, musik Sunda mengalun pelan mengisi keriuhan suasana, para pamong tamu berusia paruh baya yang mengenakan pakaian adat mengarahkan para tamu dengan senyum mengembang. Aku mengisi daftar tamu, terlanjur. Ingin rasanya aku melangkahkan kaki memutar arah, kembali pulang.

Pengantin sedang berganti kostum ketika aku datang, aku menikmati terlebih dahulu makanan khas Lamongan yang tersaji, Soto Lamongan.

Di tengan keasyikanku menyantap makanan, pengantin kembali naik ke pelaminan. Sarah terlihat sangat cantik hari ini, cantik sekali. Beribu memori memenuhi kepalaku, berjuta rasa memenuhi hatiku. Gaya jalannya, teduh matanya, manis senyumnya, masih tetap sama.

“Kenapa mas?”, sebait suara memecahkan lamunanku.
“Ah, ngga kenapa-kenapa kok, cuma jadi ingat ketika kita menikah dulu”, aku mencoba menenangkan suaraku.*)

Aku mengalihkan pandangan ke arah wanita yang berada disisiku. Seorang wanita yang perutnya mulai membesar sejak empat bulan lalu karena mengandung darah-dagingku. Sebuah senyuman ku kembangkan untuk seseorang wanita bernama Annisa Ramadhani.

Ah, tidak pantas aku masih menyimpan rasa ini untuk Sarah, aku telah menghianati Annisa secara diam-diam, berselingkuh meski dalam hati saja. Semenjak ibuku meninggal dunia dua tahun lalu, seharusnya hanya Nisa sajalah satu-satunya cinta yang ada dalam dada, bertahta dan berkuasa dalam jiwa.

Melihat perut Nisa yang mulai terlihat membesar, aku merasa sangat malu sekali. Menyesal, perasaan berdosa mulai terasa. Kepalaku terasa seperti dipukul palu besar, sebuah kesadaran menempati posisinya.

Astagfirullah, lembaran-lembaran itu harus dimusnahkan, dan ia tak boleh menjadi lebih dari sekedar kepingan masa lalu memoriku. Lembaran kehidupan baru telah lama dibuka, dan aku akan menggoreskan tinta kebahagiaan di dalamnya.

“Nis, maafkan aku ya kalau belum bisa membuatmu bahagia”, tiba-tiba mulutku bersuara.
“Eh, maksudnya..?”, istriku menyahut.
“Ya, ntahlah nis, tiba-tiba mau ngomong itu aja”, aku menatapnya, “maafkan aku ya kalau belum bisa menjadi suami yang baik untukmu”, sebuah permohonan maaf bagi seseorang yang telah terbukti mencintaiku dengan tulus.

Ah, andai saja dia tidak sedang memegang piring dan tiada seseorangpun disini, tentu aku sudah memeluknya dengan erat.

Aku cinta kamu, maafkan segala kesalahanku. Aku berjanji akan berusaha dengan sekuat tenaga tuk menjadi suami yang terbaik untuk dirimu dan bapak yang terhebat untuk anak-anak kita. Aku mencoba menahan air yang akan menitik dari sudut mata.


---OOO---
22 Juni 2008
Syamsul Arifin

*) Rasulullah Saw membolehkan dusta dalam tiga perkara, yaitu dalam peperangan, dalam rangka mendamaikan antara orang-orang yang bersengketa dan pembicaraan suami kepada isterinya. (HR. Ahmad)
Penjelasan: Bila dikhawatirkan ucapan suami yang benar dapat berakibat buruk, maka suami boleh berdusta kepada isteri untuk memelihara kerukunan.

19 June 2008

Berani Terima Tantangan?

Kejenuhan kerap terjadi bila pekerjaan dianggap tidak menantang lagi. Tapi, masak menyerah, sih? Tri Evita Aryani, Direktur HRD PT. Tunas Ridean memberi kiat agar pekerjaan Anda terasa lebih menyenangkan dan menantang.

TARGET AMBISIUS
Berapa target pekerjaan yang mesti diselesaikan dalam sehari? Satu atau dua? Coba buat target yang lebih ambisius, misalnya menyelesaikan tiga pekerjaan dalam sehari. Lakukan terapi ini secara bertahap. Misal, minggu ini Anda menyelesaikan dua pekerjaan, minggu berikutnya tiga pekerjaan, dan seterusnya. Cara ini dapat memacu Anda untuk lebih produktif dan merasa tertantang untuk memenuhi target. Rasakan kepuasannya saat Anda dapat melampaui target yang Anda buat sendiri.

HASIL TERBAIK
Meski pekerjaan Anda tidak lagi menarik, selesaikan pekerjaan dengan hasil terbaik. Kalau Anda bekerja asal kelar dan ternyata salah, Anda akan makin terbebani dan kekesalan Anda pada pekerjaan akan kian memuncak. Sebaliknya, jika Anda menyelesaikan pekerjaan tepat wakktu dan memberikan kualitas sekali jadi, Anda mempunyai waktu lebih untuk beristirahat. Pekerjaan yang diselesaikan dengan baik akan menghasilkan kepuasan batin. Untuk memperbaiki mutu pekerjaan, Anda dapat menetapkan standar baru dengan tujuan mengungguli diri sendiri.

BOLEH SALAH, KOK!
Berbuat salah dalam bekerja tidak lantas membuat karier Anda tamat. Maka itu, tak ada salahnya sesekali Anda membuat kesalahan-kesalahan kecil dalam pekerjaan yang mungkin terlihat lucu atau bodoh di mata orang lain. Tapi perlu diingat, jangan melakukan ini untuk hal-hal penting, karena salah-salah Anda malah kena pecat! Cara ini secara tidak langsung akan merangsang kreativitas dan imajinasi Anda dalam bekerja. Anda pun akan tergerak untuk memperbaiki kesalahan dengan cara yang berbeda dari biasanya.

SENTUHAN PRIBADI
Biasanya, pekerjaan yang Anda terima dari atasan disertai dengan pedoman atau aturan-aturan. Kalau Anda melakukan pekerjaan tersebut sesuai pedoman yang ada, akan terkesan kaku. Kreativitas Anda tidak berkembang. Coba berikan sentuhan pribadi Anda pada pekerjaan, sehingga pekerjaan jauh lebih menarik dan tidak membosankan. Karena bersifat personal, maka tidak ada juklak yang mengaturnya.
Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk memperindah pekerjaan mereka.

MINTA TANGGUNG JAWAB
Anda dapat menemui atasan untuk meminta tanggung jawab lebih. Misal, selama ini wewenang tugas Anda hanya sampai tahap membuat laporan, namun karena Anda merasa sudah menguasai pekerjaan tersebut, tak ada salahnya Anda meminta atasan untuk melimpahkan tugas di proses berikutnya kepada Anda. Atasan pasti akan menyambut baik keinginan Anda ini. Dan tantangan baru dengan sendirinya akan tercipta.

BERI LEBIH
Bila pekerjaan yang Anda berikan selalu bernilai standar, mulai sekarang cobalah memberikan hasil kerja lebih dari yang diharapkan atasan. Cari tahu apa yang bos bakal suka dan harapkan dari pekerjaan yang Anda buat. Misal, dalam setiap laporan yang Anda buat, berikan lampiran berupa data pendukung atau analisis yang lebih dalam yang memperkuat laporan Anda. Reaksi atasan yang terlihat puas, dapat memacu semangat Anda untuk mencintai pekerjaan.

KELUAR PAKEM 
Anda juga bisa mengubah-ubah urutan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Misal, standar baku Anda dalam menyelesaikan suatu pekerjaan adalah A, B, C, D, kali ini cobalah urutannya dibalik, menjadi B, A, C, D. Cara ini akan membuat Anda merasa tertantang setiap hari. Karena, meski tugasnya sama, tapi Anda dapat menyelesaikannya dalam setiap cara yang berbeda.

RANGSANG OTAK 
Otak meningkatkan kapasitasnya untuk memroses informasi seraya kita bertumbuh. Untuk itu, Anda harus memuaskan otak Anda akan informasi baru dengan mempelajari hal-hal baru. Banyak hal yang bisa dipelajari, misal tentang hubungan antarmanusia, peralatan pekerjaan yang Anda gunakan, sampai kepada metode-metodenya. Banyaklah membaca buku tentang semua hal yang menyangkut pekerjaan Anda. Semakin Anda merasa ahli, Anda akan merasa puas, sehingga setidakmenarik apa pun pekerjaan Anda, akan selalu terlihat menantang setiap hari.


Ika Nurul Syifaa
Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/19/13214979/berani.terima.tantangan.

18 June 2008

Cinta Sejati

 
Cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya.

Cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.

Bahkan lebih "keren"nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi "pelindung" dan "pengayomnya". Bahkan "mengambil alih" kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.

 

Quote from: http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/6768
*dengan sedikit modifikasi*

Agungnya Hak Suami & Mulianya Hak Istri

Oleh: Jundi Taqi Zuhdi (ID di myQuran)

http://myquran.org/forum/index.php/topic,34494.0.html

 

 

-Muqadimmah-

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,

Ikhwah fiddin -rahimani ya allah wa iyyakum-, segala puji hanya bagi allah -subhanahu wata'alaa- yang telah mengaruniakan bagi manusia kehidupan yang fitrah, kehidupan berpasang-pasangan yang dengannya baik suami maupun istri menjadi tentram fisik dan jiwanya dikarenakan rasa cinta yang bersemi melalui ikatan yang suci dalam proses akad nikah, yang dengannya tumbuh dan berkembang rasa kasih dan sayang yang menentramkan sang suami maupun istri dikarenakan pondasi ketaatan pada allahu azza wa jalla.

Sudah menjadi sebuah tujuan pernikahan dari kedua belah pihak, yaitu menggapai kehidupan rumah tangga yang samarah (sakinah mawaddah wa rahmah).
Setelah cinta bersemi, maka ikrar yang sucipun terucap dari lisan sang pengantin pria kepada wali pengantin wanitanya. Setelah juga melalui proses taaruf, nazhar dan khitbah serta mengadakan pesta walimah yang syar'ii, sederhana dan berwibawa... maka suami istri yang baru ini layaknya seperti biduk kecil yang hendak berlayar ke tengah samudera kehidupan.

Ikhwatul-kiram wa akhawatul-karimat, Begitu pentingnya bagi kedua belah pihak (suami maupun istri), untuk memahami hak2nya yang agung dan mulia. Suaminya mempunyai hak yang agung dalam islam, begitupun sang istri juga mempunya hak yang mulia dalam Islam. Allahu akbar, indah banget :-)

Silahkan menyimak hak-hak pasangannya masing2, agar bisa mencurahkan kewajiban2nya dengan ilmu dan keridhaan.
Barakallahu fikum!


Agungnya Hak Suami

Jika seorang istri yang shalihah boleh mengungkapkan isi hatinya, maka perasaannya akan bergumam :

Betapa agungnya hakmu terhadapku. Andai ada manusia yang boleh ku bersujud kepadanya, engkaulah yang tertuju, sebuah pengandaian yang kuketahui dari Rasulku. Namun aduhai diri ini, alangkah sesalku… betapa kurangnya memenuhi hakmu. Hanyalah pengampunan Rabbku, kemudian pemaafanmu atas segala celaku…

Sebuah pernyataan yang memang semestinya terucap dari lisan seorang istri yang tahu ‘kadar’ seorang suami berikut haknya.
Bagaimana tidak, sementara Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةََ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain1, niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya2. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya jima’) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).”3 (HR. Ahmad 4/381. Dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa` Al-Ghalil no. 1998 dan Ash-Shahihah no. 3366)

Al-Hushain bin Mihshan rahimahullahu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan.
Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya:

أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341 dan selainnya, lihat Ash-Shahihah no. 2612)

Catatan Kaki:
1 Sujud kepada sesama makhluk.

2 Namun tidak dibolehkan bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

3 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian berkaitan dengan penuturan Abdullah ibnu Abi Aufa berikut ini: “Ketika Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Sekembalinya ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu’.”

 

 

Di antara sekian banyak hak suami, beberapa di antaranya dapat kita rinci berikut ini:

1: Ditaati dalam selain perkara maksiat.

Suami memiliki hak terhadap istrinya untuk ditaati dalam seluruh perkara asalkan bukan perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ

“Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 4742)

Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memperingatkan:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Ahmad 1/131, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam syarah dan catatan kakinya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad dan dishahihkan pula dalam Ash-Shahihah no. 181)

Sehingga bila suami memerintahkan istrinya untuk berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti disuruh keluar rumah dengan tabarruj, wajib bagi si istri untuk menolaknya. Bila ia menaati suaminya berarti ia berbuat dosa sebagaimana suaminya berdosa karena telah memerintahkannya bermaksiat.
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya istri menaati suaminya adalah adanya perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala agar suami memberikan ‘pengajaran’ kepada istrinya bila ia enggan untuk taat, dan sebaliknya Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang seorang suami untuk menyakiti istrinya bila si istri taat kepadanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاللاَّتِي تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً

“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuz4nya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur, dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa`: 34)

Ayat di atas menunjukkan, ‘pengajaran’5 diberikan kepada istri dikarenakan ia tidak taat kepada suaminya, yang berarti taat kepada suami itu wajib.
Termasuk taat yang wajib ditunaikan kepada suami adalah memenuhi panggilan suami ke tempat tidur serta tidak boleh menolak “hasrat”-nya.
Istri yang menolak “ajakan” suaminya diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتََهُ إِلَى فِِِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak untuk datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 3524)

Dalam riwayat Muslim (no. 3525) disebutkan dengan lafadz:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.”

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, Hadits ini merupakan dalil haramnya seorang istri menolak mendatangi tempat tidur suaminya tanpa ada udzur syar’i. Dan haid bukanlah udzur untuk menolak panggilan suami karena suami punya hak untuk istimta’ (bermesraan/bernikmat-nikmat) dengan si istri pada bagian atas izarnya6. Makna hadits di atas adalah laknat terus menerus diterima si istri hingga hilang maksiatnya dengan terbitnya fajar sehingga suami tidak membutuhkannya lagi, atau dengan taubatnya si istri dan kembalinya dia ke tempat tidur.” (Al-Minhaj, 9/249)

Dalam hadits ini pun ada bimbingan kepada istri untuk membantu memenuhi kebutuhan suaminya dan mencari keridhaannya. (Fathul Bari, 9/366)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyatakan, wajib bagi istri untuk taat kepada suaminya sebatas kemampuannya dalam perkara yang diperintahkan suami, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kaum lelaki. Sebagaimana dalam ayat:

الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa`: 34)

Dan ayat:

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Dan kaum lelaki memiliki kedudukan satu derajat di atas kaum wanita.”

Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan, bila ia menaati suaminya atau mendurhakainya. (Adabuz Zifaf, hal. 175-176)


Catatan Kaki:
4 Nusyuz ini bisa berupa ucapan atau perbuatan, ataupun kedua-duanya. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan: “Nusyuz istri adalah ia tidak menaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau keluar rumah tanpa minta izin kepada suami, dan perkara semisalnya yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu’ Fatawa, 32/277)
Termasuk nusyuz istri adalah enggan berhias sementara suaminya menginginkannya. Juga meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. (An-Nusyuz, Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan)

5 Dalam wujud diboikot di tempat tidur atau dipukul (yang tidak meninggalkan cacat).

6 Izar bisa kita maknakan dengan kain yang menutupi bagian kemaluan si istri karena hanya bagian ini saja yang diharamkan ketika si istri sedang haid. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Berbuatlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah (maksudkan jangan melakukan jima`).” (HR. Abu Dawud no. 2165, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

 

 

2: Istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami.

Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz, bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)

Bahkan beliau (Ibnu Taimiyah) juga berkata: "Jika isteri keluar rumah suami tanpa seijinnya maka tidak ada hak nafkah dan pakaian".

Nabi bersabda yang artinya: "Tidak halal bagi seorang wanita untuk berada di rumah suaminya sedangkan suaminya tidak suka (ridha) dan janganlah ia keluar rumah dalam keadaan suaminya tidak ridha. Janganlah mentaati seorangpun di rumah suaminya (selain suaminya), janganlah ia menjadikan suaminya gusar, janganlah ia menjauhi ranjang suaminya dan janganlah ia merugikan suaminya walaupun ia (suaminya) lebih dhalim darinya (wanita) sampai (si isteri) mencari keridhaan suami. Maka jika suami ridha dan menerimanya, maka itu suatu kenikmatan baginya (wanita). Allah akan menerima udzur-udzurnya dan akan berserilah wajahnya dan ia tidak berdosa, tapi jika suami menolak untuk ridha kepadanya maka sungguh ia telah menyampaikan udzur-udzurnya." 7

Sekalipun demikian diperbolehkan bagi seorang wanita untuk ikut shalat di masjid, karena sabda Rasul, "Jika isteri salah seorang di antara kalian minta ijin untuk ke masjid maka janganlah melarangnya." 8

Dalam hadits di atas ada petunjuk bahwa, keluar (ke masjid) adalah harus dengan ijin suaminya, kalau suami melarangnya, suami tidak berdosa menurut pendapat terpilih dari pendapat para pentahqiq. Dan sungguh al-Baihaqi telah berkata: "Itu adalah pendapat umumnya para ulama."

Adapun hadits: "Janganlah kalian larang hamba-hamba perempuan Allah untuk pergi ke masjid." 9

Maka perintah ini tidak menunjukkan wajib, jika seandainya wajib, maka hadits tentang minta ijin tidak akan ada artinya. wallahu a'lam.

Bersamaan dengan diperbolehkannya wanita keluar untuk ke masjid maka sesungguhnya shalatnya di rumah lebih utama daripada ikut berjamaah. Karena sabda Rasul:
"Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama dari shalatnya di kamarnya, shalatnya di bilik khususnya lebih utama dari shalatnya di rumahnya." 10

Diperbolehkan bagi wanita untuk keluar ke pasar dan sebagiannya untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap mempunyai rasa malu yang besar dan harus komitmen dengan pakaian syar'i dan menjaga anggota badan dari melakukan kemungkaran-kemungkaran.

Karena hadits 'Aisyah yang berkata: "Telah keluar Saudah bintu Zam'ah pada suatu malam, maka Umar melihatnya dan mengenalinya, kemudian dia berkata: "Demi Allah, sesungguhnya engkau tidak tersembunyi dari kami". Maka kembalilah Saudah kepada Nabi, kemudian Saudah menceritakan hal itu kepada Rasulullah, ketika itu beliau berada di rumahku ('Aisyah -red) sedang makan malam dan di tangan beliau ada tulang, maka turunlah wahyu kepada beliau, yang memberikan keringanan terhadap masalah itu, Beliau berkata: "Sungguh Allah mengijinkan kalian (para wanita) untuk keluar memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian." 11


Catatan Kaki:
7 Hadits Hasan dikeluarkan Baihaqi dalam "Sunan"nya (7/293) dan Hakim (2/189-190) dari jalan 'Atha bin Abu Muslim al-Khurasany dari Malik bin Yakhamir as-Saksaky dari Mu'adz bin Jabal secara marfu' maka ia menyebutkannya.

Dan 'Atha al-Khurasany banyak wahm-nya ia seorang mudalis dan sungguh ia telah meriwayatkan hadits dengan 'an'anah (dari Fulan, dari Fulan -red). Hakim berkata: Sanadnya shahih. Tetapi Adz-Dzahabi membantahnya dengan perkataan: "Bahkan ia munkar dan sanadnya terputus."

Dan dikeluarkan Thabrani dalam "Mujamnya" dengan sanad yang dikatakan oleh al-Hafidz al-Haitsami dalam "al-Majma'" bahwa: Para perawi salah satu sanadnya orang-orang tsiqah.

Hadits ini mempunyai syahid dari hadits Ibnu 'Umar Dikeluarkan Ath-Thayalisi (1951) dan dari jalan itu juga dikeluarkan al-Baihaqi (7/292) dan Ibnu 'Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/231) dari jalan Laits bin Abu Sulaim dari 'Atha' dari Ibnu 'Umar dengan sebagian lafadznya. Dan pada riwayatnya:
... Dan hendaknya isteri tidak keluar dari rumah suaminya kecuali dengan ijinnya, maka jika ia berbuat demikian (keluar tanpa ijin) malaikat melaknatnya, baik malaikat kemurkaan ataupun malaikat rahmat hingga ia (isteri) bertobat dan kembali. Dikatakan: "Walaupun suaminya dhalim? " Rasul menjawab: "Walaupun suaminya dhalim".
Baihaqi berkata: "Laits bin Abu Sulaim menyendiri dengan lafadznya". Aku berkata: "Dia (Laits) lemah hafalannya, maka aku berharap haditsnya menjadi syahid yang balk yang menguatkan hadits tersebut. wallahu a'lam

Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Ibnu 'Abbas. Dikeluarkan Bazzar (2/177/1464) dengan sanad yang didalamnya ada Husain bin Qois dan ia dhaif sebagaimana dikatakan al-Haitsami (4/307).

8 Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (2/347 -Fathul Bari), Muslim (442), Abu 'Awanah (2/56,57), Abu Dawud (566), Nasa'i (2/42), Tirmidzi (570), Ibnu Majah (16), ad-Darimi (1/235), Ibnu Hibban (3/486-487), Ahmad (2/7,9), Ibnu Khuzaimah (1677) (1678), Ibnu 'Abdil Barr dalam "Al-jami'" (2/195), Abdul Razzaq dalam "AI-Mushonnaf" (5107,5108,5122), Al-Baihaqi (3/133), Ibnu Hazm dalam "AIMuhalla" (3/130), ath-Thobrany dalam "AI-Kabir" (13350,13471,13472,13565,13570), dan al-Baghawi dalam "Syarhus-Sunnah" (3/439-440) dari beberapa jalan dari Ibnu 'Umar. Aku menyebutkan nya secara terpisah di "Badzlul-Ihsan" (713).

9 Hadits shahih dikeluarkan Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain sebagaimana telah aku tahqiq dalam kitab "AI-Mashdarus-Sabiq".

10 Hadits shohih diriwayatkan Abu Dawud (570), Ibnu Khuzaimah (1685, 1688, 1690), Hakim (1/209), Al-Baihaqi (3/131), Ibnu Hazm dalam "Al-Muhalla" (3/136-137), al-Baghawi dalam "Syarhus-Sunnah" (3/441-442) dari jalan Hamam dari Qatadah dari Mauruq al-'Ajli dari Abu al-Ahwash dari Ibnu Mas'ud secara marfu'. Al-Hakim berkata:
"Shahih dengan syarat Asy-Syaikhani (Bukhari-Muslim) dan sungguh keduanya berhujjah dengan al-Mauruq al-'Ajli"
Dan telah disepakati oleh adz-Dzahabi.

Aku berkata: Akan tetapi Qatadah mudallis dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Ibnu `Umar secara marfu': Janganlah kalian larang isteri-isteri kalian untuk me masjid-masjid dan rumah-rumah mereka adalah lebih baik buat mereka"

Dikeluarkan oleh Abu Dawud (567), Ibnu Khuzaimah (1/92-1684), Hakim (1/209), Baihaqi (3/131), Al-Baghawy dalam "Syarhus-Sunnah" (3/441), Ahmad (2/76-77) dari jalan al-'Awwam bin Hausyab dari Habib bin Abu Tsabit dari Ibnu 'Umar, maka ia menyebutkan haditsnya. Hakim berkata: "Shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim" Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Aku berkata: "Seandainya saja Hubaib bin Abu Tsabit bukan seorang mudallis, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban mensifati demikian."

Dan hadits yang lain adalah dari Ummu Salamah. Dikeluarkan Ahmad (6/391), Ibnu Khuzaimah (1683), al-Hakim (1/209), al-Baihaqi (3/131) dari jalan Darroj Abus-Samhi dari as-Saib budaknya Ummu Salamah secara marfu':
Sebaik-balk masjidnya wanita adalah dalam rumah mereka".

Aku berkata: "Darraj adalah dhaif dan as-Saib budaknya Ummu Salamah tidak diketahui keadaannya. Ibnu Khuzaimah berkata: "Aku tidak mengetahui keadilannya dan cacatnya."
Dan syahid yang lain dari hadits isterinya Abu Hamid as-Sa'idi ia berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku senang shalat bersamamu", maka Rasul menjawab:
"Sungguh aku tahu engkau senang shalat bersamaku, tapi shalatmu di rumahmu lebih balk dari shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih balk dari shalatmu di masjidku".

Di sana (yakni dalam kitab "al-Insyirah fi Adab an-Nikah" karya Syeikh Abu Ishak al-Huwaini al-Atsari -red. vbaitullah.or.id) masih ada riwayat-riwayat lain yang berdasarkan syawahidnya shahih, hadits ini secara umum adalah shahih, dapat diterima, demikian ringkasnya. -pent.

11 Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (9/337) dan lafadznya milik Bukhari, (juga dikeluarkan) Muslim dan Ibnu Sa'ad (8/125-126), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (22/25), Ahmad (6/56), al-Baihaqi (7/88).

 

 

3: Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya.

Bila seorang istri hendak mengerjakan puasa Ramadhan, ia tidak perlu meminta izin kepada suaminya karena puasa Ramadhan hukumnya wajib, haram ditinggalkan tanpa udzur syar’i. Bila sampai suaminya melarang, ia tidak boleh menaatinya. Karena tidak boleh menaati makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
Namun bila si istri hendak puasa sunnah/tathawwu’, ia harus meminta izin kepada suaminya.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman. Demikian yang diterangkan dengan jelas oleh kalangan ulama dari madzhab kami.” (Al-Minhaj, 7/116)
Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/367).

Adapun sebab/alasan pelarangan tersebut, wallahu a’lam, karena suami memiliki hak untuk istimta’ dengan si istri sepanjang hari. Haknya ini wajib untuk segera ditunaikan dan tidak boleh luput penunaiannya karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda. (Al-Minhaj, 7/116)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mengatakan: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib, sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/357)

 

 

4: Istri tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke rumah suami kecuali dengan izinnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal ini dalam sabdanya:

وَلاَ تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak boleh seorang istri mengizinkan seseorang masuk ke rumah suaminya terkecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 2367)

‘Amr ibnul Ahwash radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabda beliau:

أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائكُِمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ

“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)

 

 

5: Mendapatkan pelayanan (khidmat) dari istrinya.

Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh12.” (HR. Al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)

Demikian pula khidmat Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)

Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu, menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir:

فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا -

“Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 3623)


Catatan Kaki:
12 1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil.

 

 

6: Disyukuri kebaikan yang diberikannya.

Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seselesainya dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat:

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka13.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka pada suatu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 2106)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan: ‘Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.’

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan hak suami terhadap istri dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala14, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itulah diberikan istilah kufur atas perbuatannya. Akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)

Dalam kitab Ash-Shahihain disebutkan bahwa pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda:

“Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Salah seorang wanita yang hadir di tempat tersebut bertanya: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Demikianlah, wahai para istri yang shalihah, beberapa hak suami yang dapat kami sebutkan. Tunaikanlah dengan sebaik-baiknya. Dan mohonlah pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menunaikannya.



Catatan Kaki:
13 Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur ashghar (kufur kecil) yaitu kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Pelakunya tetap seorang muslim. Namun karena dosa yang diperbuat, pantas mendapatkan siksa di dalam neraka walaupun tidak kekal di dalamnya sebagaimana pelaku kufur akbar (kufur besar). Kufur ini yang diistilahkan kufrun duna kufrin.
Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata dalam syarahnya sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu: “Maksud penulis (Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu) membawakan hadits ini (seperti dalam kitab Al-Iman bab Kufranil ‘Asyir wa Kufrin duna Kufrin) adalah untuk menerangkan bahwa sebagaimana ketaatan diistilahkan dengan iman, maka demikian pula perbuatan maksiat diistilahkan dengan kufur. Akan tetapi kufur yang disebutkan dalam hadits ini bukan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.” (Fathul Bari, 1/106)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bolehnya memberikan istilah kufur kepada orang yang mengkufuri/mengingkari hak-hak orang lain terhadapnya sebagai satu celaan bagi si pelaku, walaupun ia tidak kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Syarh Shahih Muslim, 6/213)

14 Maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan bila boleh bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya istri akan diperintah sujud kepada suaminya. Namun mendapatkan sujud dari para hamba hanyalah merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu pun makhluk-Nya yang berserikat dengan-Nya dalam hak ini.


Demikian secara umum, hak-hak agung dari seorang suami yang shalih, untuk dapat kiranya dipenuhi oleh istri tercintanya yang shalihah dalam sebuah kewajiban dalam Islam. Selanjutnya, mari kita simak mulianya hak istri yang harus juga dipenuhi oleh suami terkasihnya.

 

 

 

Mulianya Hak Istri

Banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri sering kali diabaikan oleh para suami. Padahal jika kita runut, percikan konflik dalam rumah tangga berakar dari diabaikannya hak-hak istri/suami oleh pasangan mereka. Lalu apa saja hak-hak istri yang mesti ditunaikan suami?

Dalam kitab mulia yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi rahimahullahu menyatakan dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/Tafsir Al-Qurthubi, 3/82)

Karena itulah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”

Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)

Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)

Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu.
Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟

“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ

“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya1, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)

Ketika haji Wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan manusia.
Di antara isi khutbah beliau adalah:

أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ

“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dari ayat di atas berikut beberapa penafsirannya serta dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita memahami bahwa dalam Islam, kedudukan seorang istri dimuliakan dan diberi hak-hak yang harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini termasuk kebaikan agama ini yang memang datang dengan keadilan, di mana wanita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya namun juga diberikan hak-hak yang seimbang.
Dalam rubrik Mengayuh Biduk kali ini ataupun rubrik Bahtera Keluarga Sakinah, kami sengaja mengangkat pembahasan tentang hak istri sebagai pengajaran kepada mereka yang belum tahu dan sebagai penyegaran ilmu kepada mereka yang sudah tahu. Setelah selesai membahas hak istri, kami akan lanjutkan pembahasan tentang hak suami dalam edisi mendatang, Insya Allah. Mungkin terlontar tanya, kenapa hak istri lebih dahulu dibahas daripada hak suami? Kami jawab, memang semestinya hak suami lebih dahulu dibicarakan daripada hak istri bahkan hak suami harus dikedepankan. Namun karena tujuan kami adalah ingin menunjukkan pemuliaan Islam kepada kaum wanita dan bagaimana Islam memerhatikan hak-hak wanita, maka kami pun mendahulukan pembicaraan tentang hak istri, tanpa mengurangi penyunjungan kami terhadap hak suami.


Catatan Kaki:
1 Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)

 

 

rehat dulu sebentar, insya allah dilanjutkan...
Hem.. hak-hak seorang istri yang shalihah yang wajib dipenuhi oleh suami tercintanya ternyata lebih banyak dari hak-hak seorang suami!

Keindahan dalam islam menaungi pintu-pintu sebuah keluarga islami yang sederhana namun kaya akan keberkahan dan kebahagiaan baik di dunia, dan kelak di akhirat... insya allah. Indah banget! ^_^

 

 

1: Mendapatkan mahar

Dalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya.
Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4)

فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً

“…berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (An-Nisa`: 24)

Dari As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang shahabatnya yang ingin menikah sementara shahabat ini tidak memiliki harta:

انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ

“Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu, walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)2

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)

Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِيْنًا

“Dan jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri yang lain3, sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri tersebut) harta yang banyak4, maka janganlah kalian mengambil kembali dari harta tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?” (An-Nisa`: 20)


Catatan Kaki:
2 Secara lengkap haditsnya dibawakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengangkat pandangannya kepada wanita tersebut untuk mengamatinya, kemudian beliau menundukkan kepalanya. Ketika si wanita melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memutuskan apa-apa dalam perkara dirinya, ia duduk.
Berdirilah seorang lelaki dari kalangan shahabat beliau lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bila engkau tidak berminat kepadanya maka nikahkanlah aku dengannya.” Rasulullah balik bertanya, “Apa engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?”
“Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah,” jawab si lelaki. “Pergilah kepada keluargamu, lalu lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” titah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Laki-laki itu pun pergi. Tak berapa lama kemudian ia kembali seraya berkata, “Aku tidak mendapatkan apa-apa, demi Allah.” Rasulullah bersabda, “Lihatlah dan carilah walau hanya sebuah cincin dari besi.”
Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali lalu berkata, “Tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, walaupun cincin dari besi. Tapi ini ada izarku (kain penutup tubuh, –pent.), setengahnya sebagai mahar untuknya –kata Sahl, “(Sementara) laki-laki itu tidak memiliki rida` (pakaian, sejenis mantel, jubah, atau gamis –pent.)”-. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dapat engkau perbuat dengan izarmu? Kalau engkau pakai berarti ia tidak mengenakan sedikitpun dari izar ini, sebaliknya kalau ia yang pakai berarti engkau tidak dapat menggunakannya sedikitpun.”
Si lelaki terduduk. Ketika telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ia pergi, maka beliau menyuruh orang untuk memanggilnya. Ketika si lelaki telah berada di hadapan beliau, beliau bertanya, “Apa yang engkau hapal dari Al-Qur`an?” “Aku hapal surah ini, surah itu –ia menyebut beberapa surah–,” jawabnya.
“Apakah engkau hapal surah-surah tersebut dari hatimu (di luar kepala, –pent.)?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. “Iya,” jawabnya. “Kalau begitu pergilah, aku telah nikahkan engkau dengan si wanita dengan mahar surah-surah Al-Qur`an yang engkau hapal.”

3 Maksudnya: menceraikan seorang istri dan menggantikan posisinya dengan istri yang baru (menikah lagi).

4 Kalian tidak boleh mengambil mahar yang telah kalian berikan kepadanya, walaupun pemberian kalian itu berupa harta yang sangat banyak.
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

 

 

2: Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak mulia

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”

Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya.
Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Masih keterangan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “(Termasuk cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah shalat ‘Isya, biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

 

 

3: Mendapat nafkah dan pakaian

Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya:

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”(Al-Baqarah: 233)

Demikian pula firman-Nya:

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا

“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)

Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas.
Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah radhiyallahu ‘anha, istri Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ

“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit5. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya6.” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada istri.” (Al-Minhaj, 11/234)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat.
Kemudian bersabda:

أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً، أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ

“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri)7 karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu8, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata9. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama).
Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا

“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)


Catatan Kaki:
5 Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Karena betapa banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada istrinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)

6 Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:
فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟
“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”

7 Al-Qadhi berkata: “Al-Istisha’ adalah menerima wasiat. Maka, makna ucapan Nabi ini adalah ‘aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)

8 Maksudnya selain istimta’ (bercumbu dengannya), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)


9 Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)

 

 

4: Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggal

Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (An-Nisa`: 19)

adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah. Dan karena rumah menjadi ladang utama, arena jihad seorang wanita (istri) pada hakikatnya, sehingga baktinya pada suami bisa dipersembahkan di dalam rumah mungilnya, dengan penuh kebebasan dan ketenangan. Yang tanpa rumah (tempat bernaung), sang istri akan tidak terjaga kehormatannya dan tidak bisa mengerjakan kewajiban-kewajibannya.

 

 

5: Wajib berbuat adil di antara para istri (bagi yang berta'addud)

Bila seorang suami memiliki lebih dari satu istri, wajib baginya untuk berlaku adil di antara mereka, dengan memberikan nafkah yang sama, memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam.
Keharusan berlaku adil ini ditunjukkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُوْلُوا

“…maka nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara para istri nantinya maka nikahilah seorang wanita saja atau dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Siapa yang memiliki dua istri10 lalu ia condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad 2/347, Abu Dawud no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil dari seorang suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari yang lain. Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku adil, seperti dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian giliran. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, datangnya si suami dalam keadaan seperti yang digambarkan dalam hadits disebabkan ia tidak berlaku adil di antara dua istrinya, menunjukkan berlaku adil itu wajib.
Kalau tidak wajib niscaya seorang suami tidak akan dihukum seperti itu. (As-Sailul Jarar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada`iqil Azhar, 2/314)

Keharusan berbuat adil yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada suami ini tidaklah bertentangan dengan firman-Nya:

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيْلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung.” (An-Nisa`: 129)

Karena adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di antara para istri dalam perkara yang dimampu oleh suami. Adapun adil yang disebutkan dalam surah An-Nisa` di atas adalah berbuat adil yang kita tidak mampu melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan hati dan cinta.

Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berkata, “Kalian, wahai para suami, tidak akan mampu menyamakan di antara istri-istri kalian dalam hal rasa cinta di hati kalian kepada mereka, sampai pun kalian berusaha adil dalam hal itu. Karena hati kalian tidak bisa mencintai sebagian mereka sama dengan yang lain. Perkaranya di luar kemampuan kalian. Urusan hati bukanlah berada di bawah pengaturan kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil di antara mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)
Masih kata Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu, “Maka janganlah kalian terlalu cenderung (melebihkan) dengan hawa nafsu kalian terhadap istri yang kalian cintai hingga membawa kalian untuk berbuat dzalim kepada istri yang lain dengan meninggalkan kewajiban kalian terhadap mereka dalam memenuhi hak pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan ma’ruf. Akibatnya, istri yang tidak kalian cintai itu seperti terkatung-katung, yaitu seperti wanita yang tidak memiliki suami namun tidak juga menjanda.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)

Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil dalam perkara jima’, karena jima’ ini didorong oleh syahwat dan adanya kecondongan. Sehingga tidak dapat dipaksakan seorang suami untuk menyamakannya di antara istri-istrinya, karena hatinya terkadang condong kepada salah seorang istrinya sementara kepada yang lain tidak. (Al-Mughni Kitab ‘Isyratun Nisa`, Al-Majmu’, 16/433)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Jima’ bukanlah termasuk syarat dalam pembagian giliran. Hanya saja disenangi bagi suami untuk menyamakan istri-istrinya dalam masalah jima’….” (Al-Majmu’, 16/433)


Catatan Kaki:
10 Misalnya ia punya dua istri. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)

 

 

6. Dibantu untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menjaganya dari api neraka dan memberikan pengajaran agama

Seorang suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya, terlebih lagi bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang mencukupi, dimulai dari meluruskan tauhidnya dan mengajarkan amalan-amalan ibadah yang lainnya. Sama saja baik si suami mengajarinya sendiri atau membawanya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (At-Tahrim: 6)

Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma’ani, 138/780,781)

Hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu juga menjadi dalil pengajaran terhadap istri. Malik berkata, “Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami.
Setelahnya beliau bersabda:

ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَمُرُوْهُمْ

“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 630 dan Muslim no. 1533)

Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada istrinya agar si istri berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam Islam. Si istri dilarang bertabarruj, ikhtilath, dan keluar rumah dengan memakai wangi-wangian, karena semua itu akan menjatuhkannya ke dalam fitnah.
Apatah lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا بَعْدُ، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)

 

 

7. Menaruh rasa cemburu kepadanya

Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.
Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.
Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:

لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفِحٍ

“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (yang tumpul)11.”

Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelanya. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي

“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menyebutkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dikisahkan bahwa tatkala turun ayat:

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ

“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4)

Berkatalah Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”
Mendengar ucapan Sa’d, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”
Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis. Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat.”
Sa’d berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/348)

Islam telah memberikan aturan yang lurus berkenaan dengan penjagaan terhadap rasa cemburu ini dengan:
1.
Memerintahkan kepada wanita untuk berhijab

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)

2. Memerintahkan wanita untuk menundukkan pandangan matanya dari memandang laki-laki yang bukan mahramnya

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…” (An-Nur: 31)

3. Tidak membolehkan wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami dan laki-laki dari kalangan mahramnya.

وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“… janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (An-Nur: 31)

4. Tidak membiarkannya bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar12?” Beliau menjawab, “Ipar itu maut13.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)

5. Tidak memperhadapkannya kepada fitnah, seperti bepergian meninggalkannya dalam waktu yang lama atau menempatkannya di lingkungan yang rusak.

Seorang suami hendaklah memerhatikan perkara-perkara di atas agar ia dapat menjaga kehormatan istrinya sebagai bentuk kecemburuannya kepada si istri.


Catatan Kaki:
11 Sa’d memaksudkan ia akan memukul laki-laki itu dengan bagian pedang yang tajam bukan dengan bagian yang tumpulnya. Orang yang memukul dengan bagian pedang yang tajam berarti bermaksud membunuh orang yang dipukulnya. Beda halnya kalau ia memukul dengan bagian yang tumpul, tujuannya berarti bukan untuk membunuh tapi untuk ta`dib (memberi pengajaran agar jera). (Fathul Bari, 9/298)

12 Atau kerabat suami lainnya. (Al-Minhaj, 14/378)

13 Ipar dikatakan maut, maknanya kekhawatiran terhadapnya lebih besar daripada kekhawatiran dari orang lain yang bukan kerabat. Kejelekan dan fitnah lebih mungkin terjadi dalam hubungan dengan ipar, karena ipar biasanya bebas keluar masuk menemui si wanita dan berduaan dengannya tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri/saudara. Beda halnya dengan ajnabi (lak-laki yang bukan kerabat).
Yang dimaksud dengan al-hamwu di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-laki suami, karena dua yang disebutkan terakhir ini merupakan mahram bagi si wanita hingga mereka boleh berduaan dengan si wanita dan tidak disifati dengan maut.
Adapun yang disifati dengan maut adalah saudara laki-laki suami, keponakan laki-laki suami, paman suami, dan anak paman suami serta selain mereka yang bukan mahram si wanita (dari kalangan kerabat suami). Kebiasaan yang ada di kalangan orang-orang, mereka bermudah-mudahan dalam hal ini sehingga ipar dianggap biasa bila berduaan dengan istri saudaranya. Inilah maut, dan yang seperti ini lebih utama untuk disebutkan pelarangannya daripada pelarangan dengan ajnabi. (Al-Minhaj, 14/378)


Demikian penulisan artikel Agungnya Hak Suami dan Mulianya Hak Istri, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat demi ketaatan kepada allahu subhanahu wata 'alla dan nabinya shalallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah rumah tangga islami.

 

Amin, semoga keberkahan tercurah dalam sebuah rumah islami yang didalamnya bernaung cinta dan kasih karena Allah dan Rasul-Nya.

Barakallahu fikum.