05 November 2019

Sustainable Environment di Hulu Migas

Oleh Syamsul Arifin, SKM. MKKK.


Minyak dan gas bumi (migas) bisa menghasilkan bermacam produk bermanfaat bagi kehidupan manusia, mulai dari bahan bakar pesawat, mobil, truk; bahan bakar kompor gas; sampai produk  turunan petrokimia berupa plastik dan obat-obatan.

Meskipun produk migas telah membuat hidup menjadi lebih mudah; menemukan, memproduksi, mengolah, dan transportasi minyak mentah menjadi produk jadi telah terbukti memiliki ancaman yang serius bagi lingkungan.

Tumpahan minyak, polusi perairan, kerusakan daratan, pelepasan gas berbahaya, ledakan dan kebakaran telah mewarnai industri migas di beberapa tempat.

Untungnya, perkembangan teknologi, pengetatan peraturan keselamatan dan perlindungan lingkungan telah membuat kecelakaan atau kejadian yang tidak diinginkan dapat terhindar dan semakin menurun frekuensinya.

Di bawah ini adalah beberapa potensi gangguan lingkungan pada aktifitas migas.

Aktifitas
Potensi gangguan Lingkungan
Seismik
Kebisingan
Pengeboran eksporasi
Pembebasan lahan/vegetasi, emisi udara dan limbah cair dari hunian sementara dan operasi pengeboran, gangguan sosial-ekonomi dan budaya
Pengembangan lapangan dan produksi migas
Penempatan lahan dalam jangka panjang, peningkatan volume transportasi kendaraan, meningkatnya kepadatan penduduk sekitar, perubahan pada habitat lokal, perubahan air permukaan, meningkatnya kebutuhan suplai air, pengolahan air limbah, kebisingan dan getaran dari peralatan

Jika kita mau secara sederhana menganalisis bagaimana industri migas mengelola dampak lingkungan, dapat dibagi menjadi 3 fase: pra-operasi, operasi, dan pasca operasi.

Pertama, pra-operasi.

Ada banyak hal yang harus dipatuhi oleh perusahaan sebelum melakukan kegiatan fisik di lapangan, baik berupa seismik, pengeboran, konstruksi fasilitas, produksi, maupun transportasi migas.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) - institusi yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi- mewajibkan perusahaan untuk melakukan kajian awal saat akan mengoperasikan sebuah wilayah kerja melalui penyusunan Rona Lingkungan Awal (Environmental Baseline Assessment/EBA). Persyaratan ini tertuang dalam Pedoman Tata Kerja (PTK) Nomor 005 tahun 2018 tentang Pengelolaan Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Lindungan Lingkungan di Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup juga mewajibkan perusahaan untuk memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan.

Proses penyusunan AMDAL melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat, pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan membutuhkan kajian-kajian yang teknis pada lingkungan termasuk sosial-kemasyarakatan.

AMDAL ini merupakan produk hukum turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

Kedua, ketika operasi.

Dalam menjalankan bisnisnya, pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh Perusahaan migas diawasi ketat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Mengikuti peraturan yang berlaku dan persyaratan yang tertuang dalam izin lingkungan untuk operasinya, ada banyak baku mutu dan aktifitas yang harus dijaga serta dilakukan untuk memastikan limbah atau buangan yang diproduksi tidak merusak lingkungan.

Beberapa baku mutu tersebut dapat dilihat pada PermenLH P.68 tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik, PermenLH 05 tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah, dan PermenLH 19 tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi.

Pemantauan atau monitoring berkala wajib dilakukan perusahaan secara rutin pada air terproduksi, emisi udara, kebisingan, dan pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun). Saat ini, laporan diserahkan kepada KLHK melalui SIMPEL (Sistem Informasi Pelaporan Elektronik Lingkungan Hidup).

Sewaktu-waktu, Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) LHK dapat melakukan inspeksi mendadak dan menyetop operasi jika ditemukan pelanggaran.

Di fase ini juga, Perusahaan wajib mempersiapkan kapasitas yang mumpuni jika terjadi hal yang tidak diinginkan, semisal tumpahan minyak. Ada personil tanggap darurat yang terlatih, organisasi tim manajemen terpadu, latihan yang sistematis, peralatan yang handal guna mendukung respon dan penanganan kejadian darurat.

Ketiga, Pasca Operasi.

Perusahaan migas diwajibkan melakukan pemulihan bekas penambangan (site restoration) jika sumur migas sudah tidak berproduksi lagi.

Area yang sebelumnya menjadi bagian aktivitas usaha hulu migas harus dikembalikan ke kondisi semula seperti saat sebelum kegiatan eksplorasi dimulai. Perusahaan wajib mencadangkan dana ASR (abandonment and site restoration) saat menyusun rencana pengembangan lapangan (Plan of Development/POD) untuk keperluan restorasi dan rehabilitasi wilayah kerja.


SKK Migas mengeluarkan PTK 040-PTK-XI-2010 mengenai Abandonment and Site Restoration, dan desain teknis cara menyumbat sumur migas secara selamat dapat ditemukan pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 13-6910 tahun 2002 tentang Operasi Pemboran Darat dan Lepas Pantai yang Aman di Indonesia.



Itulah sebagian kecil gambaran pengelolaan lingkungan di industri hulu migas. Sebetulnya, di samping itu semua, masih banyak pedoman teknis internasional/industry code yang harus diterapkan guna meminimalisir jejak gangguan lingkungan dan memastikan kesinambungan lingkungan di tempat operasi migas.

Di antaranya yaitu layout fasilitas produksi (facility sitting); standar desain peralatan dari American Petroleum Institute (API) semisal API Spec 12J Specification for Oil and Gas Separators, API Std 650 Welded Tanks for Oil Storage, API Std 2000 Venting Atmospheric and Low-pressure Storage Tanks, API Std 2350 Overfill Protection for Storage Tanks in Petroleum Facilities dll; sistem manajemen lingkungan dan dokumen rencana penanganan tumpahan dari International Organization for Standardization (ISO) 14001:2015 tentang Environmental Management Systems dan Panduan International Maritime Organization (IMO) untuk Shipboard Oil Pollution Emergency Plans (SOPEP).

Dengan itu semua, industri migas akan lebih harmonis dengan lingkungan, minimal footprint (dampak/gangguan lingkungan), untuk menyediakan energi yang terjangkau bagi pembangunan bangsa.



Referensi:
Oil Industry International Exploration and Production Forum (E&P Forum) and the United Nations Environment Programme Industry and Environment Centre (UNEP IE). Environmental management in oil and gas exploration and production. 1997. UK
American Petroleum Institute (API). Guidelines for Commercial Exploration and Production Waste Management Facilities. 2001. UK
Global oil and gas industry association for environmental and social issues (IPIECA). Mapping The Oil and Gas Industry to The Sustainable Development Goals. 2017. UK
U.S. Energy Information Administration (EIA). Oil and the environment. 2019. Diakses di: https://www.eia.gov/energyexplained/oil-and-petroleum-products/oil-and-the-environment.php (5 November 2019)
BUMN.go.id. Peran Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi terhadap Lingkungan Hidup. 2015. Diakses di: http://bumn.go.id/pertamina/berita/0-Peran-Industri-Hulu-Minyak-dan-Gas-Bumi-terhadap-Lingkungan-Hidup (5 November 2019)


#pertaminaemployeejournalism
#EnergiUntukMaju

No comments:

Post a Comment