18 December 2014

Masa Lalu (Biarlah) Berlalu…

“Saya bukan gay, dan kamu tidak jelek. Tapi ini ngga bener, kita sebaiknya berteman biasa aja.”

Penggalan dialog itu masih saja terngiang ditelingaku. Yusuf, pemuda tampan di sekolah, ketua OSIS pujaan siswi-siswi di SMA itu baru saja memutuskan hubungan kami, padahal kita baru jadian 2 minggu lalu.

Pria lainnya mengejar-ngejar aku untuk menjadi pacar mereka, selain cantik, aku juga ngga membatasi diri dalam berinteraksi, bahkan sudah sering beberapa kali aku ditegur guru karena dianggap kelewatan batas dalam bermesraan dengan mereka, ketangkap basah di kelas ketika jam pelajaran kosong.

---000---

Wajah yang terpampang di baliho pinggir jalan itu tampak begitu familiar. Tertulis dibawah fotonya, Yusuf, ketua HIPMI (Himpunan Pengusaha Muslim Indonesia). Rupanya mereka akan mengadakan seminar gratis di Balikpapan 3 minggu lagi. Wajah itu mengingatkanku akan momen sekolah 15 tahun lalu. Figurnya masih tetap sama, segar tampan, hanya tambah gagah –dulu kurus tinggi.

“Sukses Muda itu Bisa!” itu judul seminarnya, hatiku bimbang, kepingin rasanya hadir, hanya sekedar menyapa, toh acaranya di adakan di hotel yang sama tempat aku bekerja.

---000---

Sayup-sayup kudengar gemuruh tepuk tangan gembira.

Aku menguping dari sisi ruang ballroom hotel. Isi ruangan penuh, kuduga hampir 300 peserta memadati acara.

Itu dia, sepertinya Yusuf ada di depan ruangan.

“Yang pertama harus kita lakukan kalau ingin sukses adalah tentukan akan seperti apa masa depan kita kelak. Bayangkan, apakah kamu akan duduk di depan toko roti milikmu, bercengkrama dengan pengunjung cafe kopimu, atau berkeliling menghabiskan hari di kebun pepaya milikmu.”

“Selanjutnya, dan ini yang terpenting. Mimpi seindah apapun akan tetap menjadi mimpi kalau kita tidak bangun dari tidur kita. Mulailah bangun dan susun rencana kerja. Sama seperti mau ke lantai tertinggi hotel ini, pasti ada anak tangga atau lift. Bangunlah anak tangga itu, dan melangkahlah setapak-demi setapak. Tidak ada yang namanya kesuksesan instan, adanya mie instan dan katanya itu bikin sakit kalau kebanyakan–makanya yang anak kostan, jangan sering-sering makan mie instan,” seisi ruangan tertawa.

“Terakhir, dibutuhkan kesabaranan dalam berusaha. Jangan maunya senang-senang saja di masa muda, bergaul berlebihan, nongkrong sampai malam, sekolah bolos terus, belajar ngga mau, lantas di masa tua mau hidup nyaman dan sukses. Hal itu ngga akan terjadi. Trust me,” suaranya berubah bergetar.

“Ketika SMA, saya sekolah di kota Balikpapan ini. Saya niat pengen masuk Universitas Indonesia. Tapi bukan sekedar masuk UI, tapi masuk UI dan dapat beasiswa. Orangtua saya bukan orang kaya, sudah syukur saya bisa sekolah sampai SMA –itupun karena dapat beasiswa dari Pemprov Kaltim juga. Makanya ketika teman-teman asyik pacaran, main sepulang sekolah, saya tidak melakukan itu. Ketika siang hari jam istirahat, saya menghabiskan waktu di perpustakan, bukan karena suka baca buku, tapi terpaksa baca buku, karena tidak punya uang untuk jajan makan siang.” Tawa membahana mengisi ruangan.

“Ketika banyak teman yang berangkat dan pulang sekolah naik motor atau diantar orangtuanya, atau setidaknya naik angkot, saya sering jalan kaki hampir 2 kilometer, karena uang jajan saya hanya cukup untuk sekali naik angkot saja.”

“Alhamdulillah, karena tidak malu hidup prihatin, jualan kecil-kecilan ke teman-teman, saya jadi mengenal seni marketing di usia muda. Paham siapa segmen pasar saya, bisa memprediksi trend market, terbiasa berpromosi dan bernegosiasi.”

“Sekarang, saya memiliki 100 mobil rental, 21 cabang toko gadget, 11 travel agent, 7 rumah makan, dan 2 pesantren quran.” Tepuk tangan bergemuruh.

Aku ingin berlama-lama mendengarkan cerita Yusuf, tapi aku harus segera kembali ke bagian reception penerima tamu menggantikan temanku.

---000---

Malam itu, dalam perjalanan pulang ke rumah, di dalam angkot yang dentuman musiknya memekakkan telinga, pikiranku hanyut melayang pada kejadian pagi tadi.

Aku kagum akan perjalanan hidup Yusuf. Tidak seperti diriku, masih tinggal di rumah orangtua dalam usia yang beranjak 35, menjadi single parent dengan suami yang entah kemana tidak bertanggungjawab ketika menghamiliku dahulu ketika SMA.

Persetan dengan cinta!

Pria kalau ada maunya saja berlagak seperti pelayan. Kalau sudah menikah, jangankan bersikap romantis, menafkahi cukup saja tidak, bahkan tega-teganya berselingkuh dengan wanita lain!

Seandainya dari dulu aku lebih bisa menjaga diri dan berhati-hati dalam berinteraksi, mungkin keadaan akan jauh lebih baik dari kondisi saat ini.

Dingin angin malam menusuk ke dalam rusuk. Tak terasa, air mataku mengalir perlahan memecah keheningan malam.


---selesai---


Balikpapan, 19 November 2014
Syamsul Arifin


 *cerpen ini dimuat di kaltim post edisi minggu, 14 Desember 2014, bisa dilihat epapernya di: http://epaper.kaltimpost.co.id/arsip/byTanggal/2014-12-14 (hal 22)

No comments:

Post a Comment