Penelitian menunjukkan bahwa 10-20% pekerja yang meninggal di tempat kerja terindikasi positif mengkonsumsi alkohol atau narkoba (OSHA).
12.9 juta orang (74.8%) dari sejumlah total 17,2 juta pengguna narkoba yang berusia diatas 18 tahun merupakan pekerja permanen atau paruh waktu. Data tersebut cukup mencengangkan, karena ketika para pekerja itu masuk ke tempat kerja, mereka membawa serta pengaruh dan permasalahan kecanduannya di area operasi.
Problem yang muncul akibat pengaruh narkoba dan alkohol di tempat kerja dibagi menjadi 2 fokus besar:
Pertama, mempengaruhi tingkat absenteisme (ketidakhadiran yang terus-menerus) dan absensi sakit. Di Inggris, alkohol diperkirakan menjadi penyebab ketidakhadiran kerja sebesar 3-5%; menghilangkan 8-14 juta hari kerja tiap tahun.
Kedua, mempengaruhi produktiitas dan keselamatan. Konsumsi alkohol bisa mengakibatkan penurunan kinerja, merusak hubungan pelanggan dan memicu kecemburuan di antara pekerja yang terlimpahi tambahan pekerjaan akibat adanya rekan kerja yang kinerjanya menurun. Alkohol jelas dapat mempengaruhi kesigapan fisik dan kemampuan berpikir. Meminum segelas alkohol sebelum atau ketika sedang melakukan pekerjaan yang “safety sensitive” akan meningkatkan potensi terjadinya kecelakaan.
Sebuah pekerjaan bisa dikatakan “safety sensitive” jika ketidakcakapan pekerja akibat pengaruh narkoba atau alkohol bisa berdampak langsung dan beresiko besar terhadap diri sendiri, pekerja lain atau lingkungan. Ketika menentukan apakah suatu pekerjaan dikategorikan “safety sensitive”, harus dipertimbangkan konteks industri yang dilakoni, lingkungan kerjanya, dan keterlibatan supervisor di dalam pekerjaan beresiko tinggi.
Di bidang transportasi, pilot, supir truk, masinis, kapten kapal, mekanik pesawat terbang, engineer lokomotif dan supir bus adalah contoh posisi “safety sensitive” karena harus selalu waspada dan bisa berpikir logis setiap saat.
Menciptakan lingkungan kerja yang aman adalah salah satu kewajiban pengurus perusahaan. Karenanya, menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari narkoba dan alkohol secara otomatis juga menjadi kewajiban pengurus, sebab narkoba dan alkohol terbukti bisa menimbulkan bahaya di tempat kerja.
Untuk menciptakan lingkungan kerja yang bebas narkoba dan alkohol, dibutuhkan program yang komprehensif. Ada 5 komponen utama: kebijakan, pelatihan untuk supervisor, pelatihan untuk karyawan, bantuan rehabilitas dan test narkoba/alkohol.
Sebuah kebijakan yang baik harus bisa menjawab 13 pertanyaan berikut:
1. Apa tujuan kebijakan?
2. Siapa saja yang tercakup di kebijakan?
3. Kapan kebijakan akan mulai berlaku?
4. Perilaku apa saja yang dilarang?
5. Apakah pekerja diharuskan memberitahu perusahaan jika terlibat kriminal terkait narkoba/alkohol?
6. Apakah kebijakan menjelaskan mengenai penggeledahan?
7. Apakah kebijakan menjelaskan mengenai test narkoba/alkohol?
8. Apa yang menjadi sanksi jika kebijakan dilanggar?
9. Apakah akan ada perjanjian kembali kerja setelah rehabilitasi?
10. Bantuan apa saya yang diberikan perusahaan?
11. Bagaimana meyakinkan bahwa kerahasiaan akan terjaga?
12. Siapa yang bertanggungjawab untuk menegakkan kebijakan?
13. Bagaimana cara mengkomunikasikan kebijakan kepada para pekerja?
Supervisor harus mendapatkan Informasi mendasar tentang program lingkungan kerja bebas narkoba-alkohol dan mengetahui peran mereka pada tahap implementasi kebijakan.
Pelatihan untuk supervisor setidaknya harus mencakup beberapa hal berikut:
·
· Tanggungjawab spesifik seorang supervisor dalam menjalankan kebijakan tersebut, dan
· Langkah-langkah untuk mengenali dan menangani pekerja yang memiliki penurunan kinerja yang mungkin terkait narkoba dan alkohol
Pelatihan untuk karyawan bertujuan untuk memperkenalkan program lingkungan kerja bebas narkoba-alkohol dan menyediakan kewaspadaan mengenai bahaya narkoba dan alkohol.
Pelatihan untuk karyawan bertujuan untuk memberitahu tentang:
· Persyaratan kebijakan lingkungan kerja bebas narkoba-alkohol
· Prevalensi penyalahgunaan narkoba dan alkohol dan dampaknya di tempat kerja
· Bagaimana cara untuk mengenali hubungan antara kinerja buruk dan penyalahgunaan narkoba dan/alkohol
· Jenis bantuan rehabilitasi yang tersedia
Bantuan rehabilitasi atau Employee Assistance Program (EAP) memainkan peranan penting untuk membantu proses identifikasi dan perbaikan masalah produktifitas yang terkait permasalahan individu semisal penyalahgunaan narkoba dan/alkohol.
Ada beberapa tipe EAP, bentuk yang paling umum yaitu:
· Internal. Dimana staf yang menyediakan pelayanan merupakan pegawai perusahaan
· Vendor eksternal. Perusahaan mengontrak provider EAP yang bisa memberikan layanan
· Integrated model. Model gabungan antara internal dan vendor eksternal
· Konsorsium. Biasanya disponsori oleh asosiasi, grup atau beberapa perusahaan yang bergabung untuk berbagi biaya layanan EAP
· Bantuan rekan kerja. Biasanya diorganisir oleh serikat kerja, asosiasi pegawai yang mempergunakan rekan kerja terlatih untuk memberikan layanan EAP.
Test narkoba dilakukan dengan mempergunakan spesimen urine. Spesimen urine hanya boleh diuji di laboratorium yang telah berserfikasi uji narkoba.
Spesimen urine tersebut dianalisa mempergunakan metabolit Marijuana/THC; Cocaine; Phencyclidine (PCP); Amphetamines, Methamphetamine, and Methylenedioxymethamphetamine (MDMA); dan Opiate (Codeine, Morphine, and Heroin).
Jika ditemukan hasil test alkohol antara 0.02-0.039, pekerja tersebut harus diberhentikan sementara dari melakukan pekerjaan “safety sensitive”. Jika ditemukan hasil test alkohol lebih dari 0.04, pekerja tersebut harus dipindahkan dari posisi “safety sensitive”.
Ada beberapa tipe test narkoba atau alkohol:
· Pre-employment: test sebelum direkrut. Test ini juga berlaku bagi pekerja yang ditransfer ke posisi “safety sensitive”
· Random: Test ini setidaknya dilakukan per-empat bulan sekali
· Reasonable Suspicion/Reasonable Cause: test ini dilakukan kepada pekerja yang dicurigai mengkonsumsi narkoba dan/alkohol
· Post-Accident: test dilakukan berdasarkan keputusan supervisor lapangan
· Return-to-Duty: test ini dilakukan kepada pekerja yang telah mengikuti program rehabilitasi
· Follow-up: test ini dilakukan kepada pekerja yang telah kembali bekerja selepas program rehabilitasi. Test ini setidaknya dilakukan 6 kali di 12 bulan pertama jika pekerja itu kembali ke posisi “safety sensitive”.
---000---
Referensi:
· Department of Transportation. What Employers Need To Know About DOT Drug and Alcohol Testing. 2010. Washington, D.C USA
· Department of Transportation. 49 CFR Part 40 Procedures for Transportation Workplace Drug and Alcohol Testing Programs. 2010. Washington, D.C USA
· Occupational Safety & Health Administration. Workplace Substance Abuse. 2007. Washington, DC USA
· Health and Safety Executive. A guide for employers on alcohol at work. 1996. Sudbury, Suffolk UK
Penyusun: Syamsul Arifin, SKM
HES Engineer Chevron Indonesia Company.
Alumni K3 FKM UI angkatan 2001
ternyata lulusan FKM UI juga...
ReplyDelete