Melanjutkan postingan “Kesetiaan (Opiniku tentangnya)”, pertanyaan yang kemudian muncul, mungkinkah terjadi konflik prioritas antara kesetiaan kita kepada Allah dengan kesetiaan kita kepada sesama makhluk?
Misalkan –semoga tidak terjadi- suami/istri kita adalah koruptor, apakah kita akan dianggap setia kepadanya kalau kita menyembunyikan aibnya dan ikut kabur bersamanya ke luar negeri dalam pelariannya dari kejaran aparat penegak hukum –kayak di tivi gituh-, apakah itu kesetiaan?
Contoh lain, ‘kesetiaan’ kepada perusahaan mengharuskan kita untuk melakukan pemalsuan dokumen-dokumen tender atau melakukan aksi penyuapan untuk memenangkan proyek, atau tetap diam terhadap tindakan seperti ini merupakan contoh kesetiaan kepada perusahaan?
Tentu tidak.*) (cek tambahan utk revisi)
Setia kawan, sering menjadi tekanan kelompok (peer pressure) bagi seorang remaja untuk ikut terjerumus dalam keburukan yang dilakukan oleh teman-teman sepermainannya, walau bisa jadi mereka tahu hal tersebut salah.
Seperti yang saya tuliskan di postingan sebelumnya “Kalau kita sudah setia kepada-Nya dalam berbagai aspek kehidupan, sudah pasti kita akan setia pula pada yang lainnya (dalam hal kebaikan)”, kesetiaan kita kepada selain Allah hanya untuk urusan yang ma’ruf, jika melampaui batas syar’i atau membuat kita melanggar komitmen kesetiaan kepada Allah SWT, maka kesetiaan kita kepada Allah lebih layak diutamakan.
"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah." (HR Ahmad)
Di postingan terdahulu, saya sudah menuliskan bahwa kesetiaan menurut KBBI berarti: keteguhan hati; ketaatan (dl persahabatan, perhambaan, dsb); kepatuhan;
Bahkan kepada penguasa/raja/presiden sekalipun, kalau membuat kita menodai kesetiaan kepada Allah, kita harus berani mengutamakan Allah -tempat kembali kita- di atas segalanya. Para tukang sihir yang melawan Nabi Musa AS adalah contohnya:
Maka tatkala ahli-ahli sihir datang, mereka bertanya kepada Fir'aun: "Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang?" Firaun menjawab: "Ya, kalau demikian, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku)".
Berkatalah Musa kepada mereka: "Lemparkanlah apa yang hendak kamu Lemparkan". Lalu mereka melemparkan tali temali dan tongkat-tongkat mereka dan berkata: "Demi kekuasaan Firaun, sesungguhnya kami benar-benar akan menang". Kemudian Musa melemparkan tongkatnya maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu.
Maka tersungkurlah ahli-ahli sihir sambil bersujud (kepada Allah). Mereka berkata: "Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, (yaitu) Tuhan Musa dan Harun". Firaun berkata: "Apakah kamu sekalian beriman kepada Musa sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu); sesungguhnya aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu semuanya". Mereka berkata: "Tidak ada kemudaratan (bagi kami); sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami, sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman". (QS. Asy-Syuaraa': 41-51)
Sampai di sini, saya ingin menekankan sekali lagi, bahwa kalau ada aksi ‘kesetiaan’ kita kepada sesama makhluk-kelompok-organisasi atau kepada siapapun yang bertentangan dengan kesetiaan kita kepada Allah SWT, maka kita harus memiliki sikap yang kukuh untuk mengutamakan kesetiaan kita kepada Allah di atas segalanya.
Karena tidak ada yang namanya kesetiaan di neraka nanti. Tidak ada yang namanya kesetiaan pada partner in crime, sebab masing-masing orang akan mempertanggungjawabkan kesalahannya sendiri-sendiri. Bahkan sobat/pasangan/pengikut setia akan saling menyalahkan jika sudah dimasukkan ke neraka nanti.
Di atas kita sudah membaca bagaimana para penyihir Firaun akhirnya menyadari kesalahan mereka dan memulai komitmen kesetiaan yang lebih utama. Selanjutkan kita akan melihat bagaimana kesetiaan para pengikut kepada pemimpin yang durhaka dikisahkan Al-Quran:
(Dikatakan kepada mereka): "Ini adalah suatu rombongan (pengikut-pengikutmu) yang masuk berdesak-desak bersama kamu (ke neraka)". (Berkata pemimpin-pemimpin mereka yang durhaka): "Tiadalah ucapan selamat datang kepada mereka karena sesungguhnya mereka akan masuk neraka". Pengikut-pengikut mereka menjawab: "Sebenarnya kamulah. Tiada ucapan selamat datang bagimu, karena kamulah yang menjerumuskan kami ke dalam azab, maka amat buruklah Jahanam itu sebagai tempat menetap". Mereka berkata (lagi): "Ya Tuhan kami; barang siapa yang menjerumuskan kami ke dalam azab ini maka tambahkanlah azab kepadanya dengan berlipat ganda di dalam neraka." (QS. Shaad: 59-61)
Tidak akan beruntung orang yang setia kepada makhluk jika menghianati Allah SWT, dan tidak akan merugi orang yang setia kepada Allah SWT meski apapun yang terjadi di dunia.
---000---
Balikpapan, 6 April 2012
Syamsul Arifin
Gambar: Cangik dan Limbuk, dua tokoh klasik dalam jagat pewayangan, yang menggambarkan orang yang setia kepada junjungannya, diambil dari sini.
*)tambahan (8 April 2012): Setelah mengendap, saya revisi sedikit coretan diatas.
Tindakan seorang yang patuh kepada seseorang, meski mencederai kesetiaan kepada Tuhan-nya, semisal setia kepada suami dalam bersekongkol kabur ke luar negeri ketika dikejar-kejar KPK, atau membantu suami/istri dalam melakukan kejahatan (semisal penipuan-atau bahkan pemerkosaan-seperti yang pernah saya baca beritanya-naudzubillahhimindzalik), atau kesetiaan seseorang pada perusahaan dalam memalsukan dokumen/berbuat curang agar menang tender atau tetap setia bareng teman-teman melakukan maksiat yang nyata –atau semisalnya, itu semua adalah contoh kesetiaan, namun kesetiaan yang MUNGKAR dan dan wajib dilanggar.
Karena itulah, jika ada kesetiaan yang mungkar seperti itu, harus diluruskan –jika mampu- dan tidak boleh setia dalam perkara yang seperti itu –sebagaimana coretan di atas akhirnya melanjutkan.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA dia berkata: Aku mendengar Rosululloh SAW bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Kalau kita memang memiliki kesetiaan yang sejati, jika orang yang kita cinta berbuat mungkar, maka sudah tentu kita akan berupaya sekuat tenaga untuk mencegahnya, karena kita ingin orang tersebut (semoga) bersama-sama kita menikmati surga (dalam keabadian), bukan terpisah dan menderita di neraka, toh?
No comments:
Post a Comment