16 November 2009

[cerbung] Soul Match - Bagian IV: Pertemuan

Drop Banner berukuran 2 x 3 meter menjadi latar sebuah sofa besar lebar berwarna krem, sebuah sofa kecil yang hanya muat diduduki satu orang berada serong di samping kanannya, meja kayu panjang setinggi dudukan sofa berada di tengah, setangkai bunga lili putih berdiri cantik dalam vas bening kristal di tengah meja. Terbaca tulisan di di banner tersebut, “Workshop Penulis Muda komunitas myQuran.org. Langkah Kecil untuk Menjadi Penulis Besar”.

Sekitar lima puluhan bangku-bangku tersusun rapi menghadap susunan sofa yang akan menjadi tempat para pembicara. Ada jeda jarak di tengah-tengah. Ruangan aula masjid Sunda Kelapa tampak penuh, beberapa orang sudah menempati tempat duduk, beberapa panitia tampak sibuk lalu-lalang, ada yang sedang mengetes microphone, ada yang sedang memeriksa lensa kamera, eh, ternyata ada juga panitia yang sedang asyik ngupil dipojokan sana, sambil sarapan roti pula :toe:

Udara pagi masih sejuk dan baru beranjak menghangat, terang. Pukul 8.25 WIB.

Seorang pria yang mengenakan kemeja casual dilapis sweater tanpa lengan berwarna merah gelap maju kedepan, mengambil microphone, acara akan segera dimulai.

Annisa Ramadhani melangkahkan kaki memasuki ruangan aula berbentuk oval, terbagi dua bagian, sebelah kanan untuk para pria, dan sebelah kiri untuk para wanita. Ia mengisi buku tamu, mendapatkan souvenir kecil, lumayanlah untuk kenang-kenangan.

Pembukaan oleh MC, sambutan dari Novi Khansa, sang ketua panitia yang menjadi dalang utama pelaksanaan workshop, menjelaskan latar belakang diadakannya acara ini, mungkin dia akan menjelaskan pula mengenai latar depan kegiatan ini, udah kayak pekarangan rumah aja, ada latar belakang dan latar depan! eh maksudnya harapan bagi para peserta setelah menyelesaikan workshop penulisan myQ.

Selesai sesi-sesi (tak penting) yang mengawali pembukaan acara, tibalah salah satu bagian workshop bagian satu bertema “Idealisme dalam Menulis”, Fatih Arya, sang penulis novel “Rembulan Merah di Langit Aussy”, yang menjadi teman korespondensi Nisa sewaktu dia masih kuliah di Australia, dipanggil maju ke depan.

“Ow, begini toh penampakan aslinya si Arya,” Nisa bergumam pelan. Tampak kalem, dengan sorot mata yang tajam, berenergi, badannya tidaklah terlalu berisi namun ia tampak tegap.

Sang moderator memperkenalkan singkat biodata dirinya, dan sedikit mencadainya tentang statusnya yang masih single.

“Menulis merupakan suatu hal yang mudah. Dari kecil kita sudah bisa menulis, sedari masih di Sekolah Dasar dulu bahkan. Tapi kemudian ketika kita beranjak besar, diri kita sendirilah yang memberikan batasan atas kemampuan penulisan kita, mematikan karunia yang telah Allah berikan bagi diri kita, merekam bahasa dalam bentuk tulisan.

Dari sesi-sesi workshop yang nanti akan kalian dapatkan, ada beberapa skill penulisan yang tentunya sangat berguna, mulai dari pembahasan mengenai penulisan fiksi, proses kreatif, dan seterusnya, dengan narasumber yang oke-oke punya lagi.

Panitia meminta saya membawakan tema yang menurut saya memang harus menjadi salah satu dasar dalam menulis. Ibarat ibadah, tema ini adalah bab Niat dari sebuah prosesi ibadah. Sebagai seorang muslim, kita tentu menginginkan setiap aktivitas-aktivitas kita sebagai bagian dari proses yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah toh? Begitu juga dengan menulis, harus bisa menjadi amal yang akan memberatkan timbangan kebaikan kita di akhirat kelak. Makanya tema awalnya ini agak-agak sedikit berat, tapi insya Allah akan memjadikan kita semakin termotivasi dan bersemangat dalam menulis.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia lengkap, idealisme adalah aliran filsafat yang menganggap bahwa pikiran, angan-angan atau cita-cita adalah satu-satunya hal yang benar. Atau menurut kamus online Wikipedia, idealism is the doctrine that ideas, or thought, make up either the whole or an indispensable aspect of any full reality, so that a world of material objects containing no thought either could not exist as it is experienced, or would not be fully “real”.

Sedangkan pelakunya disebut idealis. Pengertian idealis sendiri beragam. Ada yang mengatakan bahwa idealis adalah seorang penulis atau artis yang menyokong atau mengamalkan idealisme dalam senit atau tulisannya, ada yang mengatakan idealis adalah seorang yang dipandu oleh idealisme, terutamanya seorang yang meletakkan idealisme sebelum pertimbangan praktikal, dan ada juga yang mengatakan idealis adalah seseorang yang membawa pemikiran sesuai yang dipahaminya jika bertemu seorang idealis dari ‘aliran’ lain.

Apa pun pengertiannya, sangat jelas bahwa idealisme sangat penting karena saat menghadapi kenyataan, maka akan ada kecenderungan untuk ikut arus yang ada. Di bidang apa pun, tanpa idealisme, seseorang akan terombang-ambing. Oleh karena itu, idealisme harus dimiliki oleh siapa pun yang ingin berhasil. Begitu juga dengan seorang penulis.

Tidak ada satu penulis pun yang berhasil tanpa idealisme. Idealisme yang diusung oleh setiap penulis atau suatu komunitas berbeda-beda. Menulis juga merupakan sebuah sarana untuk mengungkapkan idealisme; memindahkan budaya lisan ke tulisan, dan sarana untuk merasionalisasikan budaya visual bahwa di balik sebuah tontonan ada tulisan yang berbentuk script atau naskah.

Konsekuensi untuk menjadi seorang idealis memang berat di tengah-tengah dunia yang pragmatis. Yang serba instant. Penulis yang terus menulis walaupun banyak tulisan-tulisannya ditolak media atau penerbit. Dan justru banyak penulis yang berhasil karena keuletan mengusung idealisme mereka. Bagaimana mentransfer dari budaya popular ke menulis, tidak menjadi konsumen, memberi jarak dengan apa yang kita tonton atau dengar sehingga ahrus ada output yang kemudian akan menjadi ide untuk sebuah tulisan. Dari sebuah produk mentah yaitu multimedia, menjadi sebuah produk jadi yaitu cerpen, puisi, novel, skenario dan sebagainya.

Demikian juga penulis. Sebagai seorang muslim, penulis berdakwah melalui pena. Melalui tulisan-tulisannya yang dapat mencerahkan dan menyebarkan kebaikan kepada orang lain yang membacanya. Seperti yang kita teladani dari pribadi Rasulullah yang penuh kelembutan yang memang demikianlah hukum asal dalam berdakwah.  Walau adakalanya sikap tegas dan keras diperlukan untuk menasihati seseorang yang pada dasarnya memiliki keikhlasan dalam beragama namun berbuat sesuatu yang tidak pantas ia kerjakan.

Seorang penulis dalam berdakwah sebaiknya tidak akan melalaikan dari dzikrullah. Justru mereka selalu mengingatkan kita akan kebesaran Allah dalam tulisan-tulisan, artikel-artikel, puisi, dan sajak-sajak mereka, dengan tanpa menggurui tentunya.

Bawalah ideologi keislaman dan keimanan kalian ketika menggoreskan pena, atau ketika mengetik di keyboard. Jadilah bagian dari komunitas sastra yang mencerahkan dunia.

Tidak mudah memang membuat karya yang menginspirasi, memotivasi, menggerakkan orang dalam kebaikan dan sekaligus enak untuk dikonsumsi, tapi toh jalan menuju surga butuh perjuangan bukan?

Tetap semangat dalam memberikan persembahan terbaik bagi umat, melalui tulisan-tulisan kalian!"

* * *

“Tidak rugi rasanya menghadiri acara ini, semangat menulisku terpompa lagi nih,” Nisa memanggut-manggut kepalanya.

Ia teringat membawa novel yang pernah menjadi hadiah dari Fatih, karena bantuannya dalam menceritakan tentang kehidupan kampus di Australia yang menjadi latar novel menjadi best seller itu.

Sesi pertama selesai sewaktu jam istirahat makan siang, sayangnya Nisa tidak bisa melanjutkan sesi-sesi selanjutnya, dia sudah janji mau mengadakan acara masak-masak bareng bersama adik-adik binaan pengajiannya di komplek rumah.

“Minta tanda tangan dulu ah ke penulisnya langsung.”

Dia mendekati Fatih, sedikit canggung, karena ada banyak orang juga yang berada di dekatnya, menanti moment yang tepat.

“Mas, minta tanda tangannya dunk di novel ini,” katanya malu, Fatih sedang bersama seorang panitia yang menemaninya mengambil makan siang.

Ditandatangi novel “Rembulan Merah di Langit Aussy” yang disodorinya, sedikit memberikan coretan pesan juga di situ.

“Makasih ya,” sambil tersenyum ia berkata, “saya Annisa Ramadhani,” sambil menyatukan kedua tangan tangannya di depan dadanya.

“Saya rasa saya ngga perlu memperkenalkan diri, sudah kenal saya kan?” Fatih menyengir.

“Hehehe, oke deh, makasih buat undangan ke sini ya,” diterimanya kembali novel yang sudah ditandatangi sang penulisnya, “maaf ngga bisa ngikutin acara sampai selesai, mau pulang duluan. Assalamualaikum.” Nisa bergegas membalikkan badan, berjalan sedikit cepat.

Fatih Arya kembali berbincang dengan panitia sambil melanjutkan santap siangnya.

“Ow.., jangan-jangan dia itu si Nisa yang sering koresponden-an bareng saya lagi,” tersentak ia tersadar, mengejar keluar ruangan. Namun tidak ditemukannya lagi sosok wanita berjilbab biru itu.

“Ah.., payah, klo benar itu dia, mau berterima kasih banyak secara langsung nih, karena atas bantuannya dia, novel saya itu jadi terlihat sangat realistis,” batin Fatih berkata. “Ya, klo memang sudah ditakdirkan, pasti akan bertemu lagi kok,” ia kembali masuk ke ruang aula.



---000---

Balikpapan, 16 November 2009
Syamsul Arifin

Cerbung ke IV ini merupakan kelanjutan dari cerbung-cerbung Soul Match lainnya:
- Soul Match - Bagian III: Mimpi-Mimpi
- Soul Match - Bagian II: Rumah
- Soul Match - Bagian I: Kepulangan

Presentasi Fatih Arya tentang “Idealisme dalam Menulis” dikutip dari makalahnya mba Lia Octavia yang disampaikan pada saat inagurasi pramuda FLP DKI angkatan 12 pada Ahad, 11 Januari 2009 di Situgintung, Ciputat.

3 comments:

  1. wah... keren ini hasil karya mas sendiri kah

    ReplyDelete
  2. iya, ini coretan saya, idenya udah lama ngga dikembangin, semoga aja bisa selesai sampai ending nih cerbung :D
    tapi kontent presentasi si Fatih tentang Idealisme dalam Menulis itu mengutip tulisannya mba Lia (dengan sedikit modifikasi)
    makasih atas apresiasinya ^_^

    ReplyDelete
  3. waaah kereeen! ^^*
    aku baru lihat postingannya mas ipin yg ini.. ^^*
    terima kasih banyak ya.. semoga bermanfaat bagi teman-teman semua ^^*

    ReplyDelete