22 December 2009

Hari Ibu (opiniku)

Berbuat baik kepada orangtua, khususnya ibu, merupakan suatu hal yang sangat dianjurkan dalam agama Islam,

Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. (QS. An-Nisaa': 36)

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. (QS. Al-An'aam: 151)

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (QS. Al-Israa': 23)

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 14)

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). (QS. Al-Ahqaaf: 15)


Rasulullah SAW sendiri pun secara khusus menganjurkan umatnya agar berbakti kepada kedua orangtua, terutama ibu,

Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Artinya : Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’. [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim dalam Kitabul Iman (no. 85), an-Nasa-i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), ad-Darimi (I/278), Ahmad (I/351, 409, 410, 439)]

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” [Hadits Riwayat Muslim 2551, Ahmad 2:254, 346]


Sebetulnya tidak perlu moment khusus seperti hari ibu untuk bisa mempersembahkan sesuatu yang spesial atau istimewa buat beliau. Karena dalam setiap hari, kita sebagai seorang muslim dituntut untuk menjadi anak yang berbakti dan berbuat baik kepada mereka. Seperti halnya contoh para ulama-ulama shaleh berikut,


[Quote from: http://kaspo.wordpress.com/2008/08/11/bakti-kepada-ibunda]
Dari muhammadi bin Sirin, dia berkata: “Pada zaman kekhalifahan ‘Utsman bi Affan satu pohon kurma pernah mencapai harga tertinggi seribu dirham. Pada waktu itu Usamah bin Zaid bin Haritsah melukai sebuah pohon kurma dan mengeluarkan jummarnya (seuatu seperti lemak yang terdapat diujung atas pohon kurma) untuk ekmudian diberikan kepada ibunya. Orang-orang sampai terheran dan berkata kepadanya: “Mengapa kamu sampai melukai pohon kurmamu? Bukankah kamu tahu bahwa harganya sekarang mencapai seribu dirham?” Usamah menjawab: “Jika ibuku telah meminta sesuatu kepadaku maka aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali harus memenuhi permintaannya tersebut.” [shifatush-Shafwah (I/522)].

Dari Abdullah bin Al Mubarak, dia berkata: Muhammad bin Al Munkadir berkata: “Pada malam hari Umar mengerjakan shalat. Sedangkan aku pada malam itu sedang merawat kaki ibuku yang sedang sakit. Namun aku merasa malamku itu lebih menyenangkan daripada malamnya (yang dipebuhi dengan ibadah shalat).” [Shifatush-Shafwah (II/143)].

Ibnu ‘Aun pernah bercerita, “Syahdan, ada seorang lelaki yang ingin menemui Muhammad bin Sirin di rumah ibunya. Pada waktu itu beliau sedang berada disisi ibunya (dalam keadaan menunduk seperti orang yang sedang sakit). Lantas orang itu bertanya, ‘Sebenarnya apa yang sedang menimpa Muhammad? Apakah dia mengeluhkan sesuatu?’ Orang-orang di situ menjawab, ‘Tidak, memang seperti itulah gaya Muhammad bin Sirin jika berada di sisi ibundanya.” [Shifatush-Shafwah (III/245)].

Dari Hisyam bin Hassan, dari Hafshah binti Sirin, dia berkata: “Diantara kebiasaan Muhammad bin Sirin jika menghadap ibunya adalah tidak berani mengajaknya bicara terlebih dahulu. Semua anggota tubuhnya menunjukkan rasa hormat kepadanya.” [Shifatush-Shafwah (III/245)].

Dari Ibnu ‘Aun dikisahkan bahwa ibunya pernah memanggilnya. Maka beliau pun menjawab panggilan tersebut. Ternyata beliau baru sadar bahwa suara sahutannya lebih keras dibanding suara ibunya. Karena itulah dia menebus kesalahannya itu dengan cara memerdekakan dua orang budak. [Siyar A’lamin-Nubalaa’ (VI/366)].

Dari Hisyam bin Hassan, dia berkata: Hafshah binti Sirin berkata, “Putraku Hudzail biasa mengumpulkan kayu bakar pada musim panas untuk dikuliti. Ia juga mengambil bambu dan membelahnya. Aku tinggal mendapatkan enaknya saja.Bila datang musim dingin, ia membawakan tungku dan meletakkan dibelakang punggungku, sementara aku sendiri berdiam di tempat shalatkku. Setelah itu ia duduk, membakar kayu bakar yang sudah dikupas kulitnya, berikut bambu yang telah dibelah sebagai bahan bakar yang asapnya tidak mengganggu, tapi bisa menghangatkan tubuhku. Demikianlah yang dia lakukan dari waktu ke waktu.“ Hafshah kembali berkata: “Jika aku hendak berpaling darinya, maka aku akan berkata: “Wahai putraku, kurasa sudah cukup. Kembalilah kamu kepada keluargamu.” Setelah itu baru aku akan meninggalkannya.

Hafshah berkata: “Ketika Hudzail akan meninggal dunia Allah memberikan rezeki kepadanya berupa kesabaran. Hanya saja aku menjumpai seperti ada sumbatan di kerongkongannya yang tidak bisa hilang. Pada suatu malam aku membaca surat An-Nahl. Aku pun sampai pada ayat berikut: “Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada disisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (An-Nahl: 95-96). Setelah aku membaca ayat ini aku tidak lagi menjumpai ada sumbatan di kerongkongannya seperti sebelumnya.

Hisyam berkata: “Dulu Hudzail memiliki seekor unta yang sangat banyak air susunya.” Hafshah berkata: “Putraku Hudzail selalu mengirimkan susu perahan unta itu setiap pagi. Aku pun berkata kepadanya: “Wahai putraku, sesungguhnya kamu tahu bahwa aku tidak meminum susu. Aku sekarang ini sedang berpuasa.” Hudzail berkata: “Wahai ummu Hudzail sesungguhnya susu yang paling baik adalah susu yang sudah bermalam di kantong susu unta. Oleh karena itu biarkan susu ini padamu atau berikanlah kepada orang yang kamu kehendaki.” [Shifatus-Shafwa: (IV/25)].

Abdurrahman bin Ahmad menyebutkan sebuah berita dari ayahnya bahwa ada seorang wanita yang datang menghadap Baqi. Dia berkata: “Sesungguhnya anakku sekarang ini sedang dijadikan tawanan. Aku bingung mencari jalan keluar untuk membebaskannya. Seandainya saja kamu bisa menunjukkan kepadaku orang yang kira-kira bisa menebusnya. Sesungguhnya aku sekarang ini benar-benar bingung.” Baqi menjawab: “Baiklah, menyingkirlah kamu dulu dari hadapanku sampai aku bisa menemukan solusi untuk permasalahanmu itu.”

Lalu Baqi menundukkan kepalanya dan menggerakkan bibirnya untuk berdo’a. Tidak lama kemudian wanita itu kembali datang bersama putranya. Anak yang semula menjadi tawanan itu berkata: “Tadi aku berada dalam kekuasaan Raja. Ketika itu aku disuruh bekerja, tiba-tiba besi yang membelengguku terlepas. Dia sangat ingat bahwa hari dan jam ketike terlepasnya besi itu mungkin bertepatan dengan do’a sang Syaikh (maksudnya adalah Baqi). Anak itu kembali berkata: “Lantas hal itu diberitahukan kepada penjaga. Dia kebingungan dan akhirnya memanggil seorang tukang besi. Dia kembali mengelas besiku yang lepas tadi. Namun setelah berjalan beberpa langkah, tiba-tiba besi tersebut kembali lepas. Lantas mereka memanggil para rahib mereka. Rahib-rahib itu pun bertanya kepadaku: “Apakah kemu memilki seorang ibu?” Aku menjawab: “Iya”. Mereka berkata: “Kalau begitu lepasnya besi itu bertepatan dengan dikabulkannya do’a ibumu.”

Peristiwa ini sebenarnya diberitakan oleh Al Hafizh Hamzah As-Sahmi, dari Abul Fath bin Ahmad bin Abdul Malik, dia berkata: Aku telah mendengar Abdurrahman bin Ahmad, kami diberitahu ayahku yang menyebutkan kisah itu. Didalam rangkaian ceritanya juga disebutkan bahwa para rahib itu berkata: “Allah telah membebaskan dirimu. Oleh karena itu kami tidak mungkin lagi membelenggu dirimu.” Akhirnya mereka memberiku bekal untuk kemudian mengrimku pulang kepada orang tuaku.” [Siyar A’lamin-Nubalaa’ (XIII/290)]
[/end of quote]


Sehingga menurut saya, kalau mau berbuat baik pada ibu, khususnya di hari ibu, boleh-boleh saja, tapi tentu akan jauh lebih baik lagi, kalau kita bisa berbuat baik kepada beliau -dan ayah kita- di sepanjang hari setiap tahun. Menjadi anak yang shaleh/shalehah, kebanggaan mereka, di dunia dan akhirat. Insya Allah.

Sip, mantap! 

 
 
---000---
 
Balikpapan, 22 Desember 2009
Syamsul Arifin

5 comments:

  1. Betul. Dan bukan sekedar kata, tapi realisasi dlm keseharian tentang ksh syng pada ortu, terutama ibu :)

    ReplyDelete
  2. setujuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu...^^

    ReplyDelete
  3. yups, bagiku, tiap hari adalah hari ibu ^_^

    ReplyDelete