Jadi inget bacaan “Ibu yang Cukup Baik”, tentang terkadang sifat perfeksionisme bisa malah menyulitkan diri sendiri. Selengkapnya, baca aja link tulisan tersebut. Saya akan coba sedikit mengubah konteks tulisan itu.
(Bagi yang sudah menikah). Kita pastinya sadar, bahwa kita menikahi seseorang dengan bawaan latar-belakang, pendidikan, pola pengasuhan, interaksinya yang special –baca khas berdasarkan kehidupan yang dijalaninya. Tapi terkadang, sadar ngga sadar, bagi tipikal orang-orang yang perfeksionisme, yang menginginkan segala sesuatunya berjalan sesuai settingan yang diinginkannya, hal ini mungkin akan sering terlalaikan.
Maunya rumah dalam kondisi begini, maunya susunan pengaturan piring-gelas seperti ini, maunya cara melipat pakaian seperti ini, maunya masakannya bercita-rasa seperti ini, maunya meletakkan pakaian kotor seperti ini, dan lain sebagainya.
Kalau hal ini terus menerus dipertahankan, lambat laun pasti akan ada gesekan-gesekan konflik. Karena pasti akan selalu ada saja yang tidak sesuai dengan “keinginan”.
Tiap Individu itu Spesial
Pertama yang harus kita sadari (lagi) bahwa tiap individu itu unik, spesial, istimewa dengan pembawaannya yang khas.
Bukankah perbedaan warna di dalam susunan pelangi akan membuat ia tampak lebih cantik?
Begitu pula dengan semua manusia yang ada. Kepala boleh sama hitam, tapi isi kepala (jalan pikiran) tidak ada yang sama. Namun, bukankah itu juga yang akan membuat hidup ini menjadi semakin menyengkan tuk dijalani, karena kita semua tidak ada yang serupa, pasti berbeda.
Dengan saudara kandung saja kita masih akan dengan mudah menemukan perbedaan-perbedaan. Ada kakak yang suka makan udang, sedang sang adik tidak. Ada adik yang suka main bola, sedangkan kakaknya tidak. Ada yang begini dan ada yang begitu. Apalagi kita dengan pasangan hidup kita..?
Ke-khas-an yang dimilikinya menjadikan dirinya istimewa secara begitu saja.
Prioritas (yang Penting dan yang Ngga begitu Penting) dan Adaptasi
Walaupun demikian, ada beberapa hal yang mungkin memang perlu di-improve dalam diri pasangan kita –maupun diri kita sendiri. Perlu ada perubahan, adapatasi atau penyesuaian.
Tapi tidak semua hal perlu diubah sesuai keinginan kita. Dan perubahan itu ngga akan berjalan semudah membalikkan telapak tangan –instan, kilat, cepat.
Ada beberapa hal yang tidak terlalu esensial yang kita perlu bertoleransi –agar pasangan kita pun tidak kehilangan ‘keistimewaannya’ (shock karena harus ada perubahan karakter drastis). Karena memang tidak semua hal itu penting dan mendesak. Banyak hal memang cuma karena kita dibesarkan dengan settingan demikian, sehingga kadang kita merasa nyaman dengan settingan begitu.
Yang perlu kita lakukan adalah sedikit berkompromi dan menyesuaikan diri, menurunkan kadar toleransi kenyamanan diri.
Nikmatilahh apa yang ada dan perubahan yang terjadi sebagai bagian dari konsekuensi hidup berumah tangga.
Kalau kata evolusionist, “kemampuan beradaptasi menjadi kunci keberlangsungan hidup” -meskipun saya ngga percaya dengan teori evolusi, tapi kata-kata itu bagus juga dipakai dalam coretan ini. Kemampuan beradaptasi (menyesuaikan diri), mengharmonisasikan diri dengan nada (orang lain,-red) yang baru saja memasuki kehidupan kita (mengevolusi sebagian besar hidup kita yang dulunya hidup membujang, sendiri, mandiri, dst) jelas membutukan kemampuan ini juga.
Pasangan yang “Cukup” Baik
Janganlah mengharap bahwa pasangan kita (dan diri kita sendiri) akan menjadi malaikat tanpa cela –sempurna tanpa kekurangan, karena hal itu akan menjadi relatif, tergantung sudut pandang yang digunakan (tergantung kaca mata siapa yang dipakai –tergantung parameter-parameter yang digunakan untuk menilai, bahkan bisa jadi tergantung kedewasaan dan kebijaksanaan orang yang melakukan penilaian itu sendiri!).
Berdamailan dengan “ketidak-sempurnaan” versi kita, karena bisa jadi itu semua cuma keistimewaan yang kita tidak mampu melihatnya.
---000---
Balikpapan 17 Juli 2010
Syamsul Arifin
jadi inget ada seorang yg pernah bilang kira2 begini "saya gak mungkin membahagiakan orang lain 1 x 24 jam , 7 hari dalam seminggu, 365 hari dalam setahun terus menerus"
ReplyDeletepelajaran yg berharga tentang dimana seharusnya kita menempatkan sebuah ekspektasi.
Bunglon..
ReplyDelete:-)
Tks Pin :).
ReplyDeleteGeregetan sih emang kalo liat barang2 yg tidak diletakkan pada tempatnya atau tidak sesuai dengan kebiasaan kita. Sejak kos...mencoba menerima itu semua walau kadang gatel juga untuk merapikannya.
hmmmm.. ini dia yang agak susah, matchingin versi baek kita untuk beradaptasi versi baek orang laen :D
ReplyDelete@musimbunga, yups, kayaknya memang kudu realistis ;)
ReplyDelete@raitodira, maksudnya..?
@siantiek, same2 ;)
@ichamary, nanti dicoba ya... ^_^
maksudnya...
ReplyDeleteGood Joob...
:-)