Taufiq Ismail
--
Seminggu lalu datanglah undangan
Untuk kami anak-anak penghuni Panti Asuhan
Diantarkan seorang ibu dan anak gadisnya
Sekolahnya kira-kira di SMA
Mereka naik Corolla biru
Dari pakaian, cara bicara dan perilaku
Kelihatan tamu ini orang gedongan
Golongan yang hidup lebih dari kecukupan.
Mereka mengundang anak-anak Panti Asuhan
Untuk ikut acara ulang tahun
Rebo jam tujuh malam.
Dan berangkatlah kami pada waktu yang ditentukan
Berjumlah dua puluh tiga, termasuk bapak dan ibu asrama
Jalan kaki bersama, karena jaraknya
cuma terpisah sepuluh rumah saja
Rombongan disilakan masuk dengan ramah
Dan anak-anak berusaha duduk di belakang-belakang saja
Tapi disuruh berbaur dengan tamu-tamu lainnya
Para remaja belasan tahun
Mereka sehat-sehat, harum-harum
Berbaju mahal dan tembem-tembem pipinya
Saya berjuang melawan sifat minder saya
Duduk di tengah ruang tamu yang luas
Di atas karpet bersila, pegal dan canggung
Di antara jajaran barang antik dan macam-macam perabotan
Di bawah lampu keristal bergelantungan.
Tapi alangkah aku jadi heran
Tidak ada acara potong kue dan tiup lilin
Tidak ada tepuk tangan mengiringi
Lagu Hepi-Bisde-Tuyu
Hepi-Bisde-Tuyu.
--
Lalu seorang remaja membaca Surah Luqman
Dengan suara amat merdunya
Dan suaranya berubah jadi untaian mutiara
Yang berkilauan jadi kalung di leher pendengarnya.
Kemudian Lia yang berulang tahun
Berpidato sangat mengharukan
”Dalam acara seperti ini
Bukan saya yang jadi pusat perhatian
Diperingati atau dihargai
Tapi mama
Ya, mama kita
Ibunda kita
Dan ayahanda.
Ibunda dan ayahanda
Pusat perhatian kita.
Hari ini, enam belas tahun yang lalu
Mama melahirkan saya
Posisi saya sungsang
Saya terlalu besar
Jadi mama harus sectio Caesaria
Mama dibedah, berdarah-darah
Seluruh keluarga khawatir dan berdoa
Di luar ruang operasi duduk menanti berita
Dalam kecemasan luar biasa
Tapi alhamdulillah kelahiran selamat
Walau pun mama sangat menderita
Sekarang ini, enam belas tahun kemudian
Ulang tahun saya dirayakan
Saya pikir, tidak logis saya jadi pusat perhatian
Harus mama yang jadi pusat perhatian
Mama. Bukan saya
Saya pikir, tidak logis saya minta kado
Harus mama yang diberi kado…”
Anak gadis itu berhenti sebentar
Dia sangat terharu
Kemudian dia mengambil sebuah bungkusan
Kertas berkilat, diikat pita berbentuk bunga
”Mama
Terima kasih mama, terima kasih
Mama telah melahirkan saya
Dengan susah payah
Mama menyabung nyawa
Berdarah-darah
Persis malam ini, 16 tahun yang lalu
Terimalah rasa terima kasih ananda
Tidak seberapa harganya.”
Mamanya berdiri
Terpukau pada kata-kata anak gadisnya
Terharu pada jalan pikirannya
Yang dia tak sangka-sangka
Dia langsung memeluk anaknya
Terguguk-guguk menangis
Keduanya tersedu-sedu
Hadirin menitikkan air mata pula
Suasana mencekam terasa
Dan hening agak lama
--
Kemudian kakak pembawa acara berkata
”Para hadirin yang mulia
Ini memang kejutan bagi kita
Karena dengan tahun yang lalu acara ini berbeda
Lia tidak mau tiup lilin jadi acara
Karena ditemukannya di ensiklopedia
Manusia di Zaman Batu di Eropah
Percaya pada kekuatan nyala lilin, begitu tahayulnya
Bisa mengusir sihir, roh jahat, leak dan memedi begitu katanya
Termasuk sijundai, setan, hantu, kuntilanak dan gendruwo
Dan itu berlanjut ke zaman Romawi kuno
Lalu dikarang lagi berikutnya superstisi
Yaitu apabila lilin-lilin itu sekali tiup nyalanya semua mati
Maka akan terkabul apa yang jadi cita-cita di dalam hati.
Lia tidak mau acara ulang tahunnya oleh tahayul jadi bernoda
Acara yang ditentukan oleh budaya jahiliah zaman purbakala
Katanya: ’Kok tiupan nyala 16 lilin bisa menentukan nasib saya?
Allah yang menentukan nasib saya
Sesudah kerja keras saya
Saya tidak mau dibodoh-bodohi tahayul
Walau pun itu datangnya dari barat atau pun timur juga
Saya tidak mau dibodoh-bodohi budaya mereka
Minta kado dari Papa dan Mama
Minta kado dari keluarga dan kawan-kawan saya.
Saya tidak mau cuma jadi kawanan burung kakaktua
Burung beo yang pintar meniru adat Belanda dan Amerika
Dalam acara ulang tahun kita’
Begitu katanya.”
Sesudah bertangis-tangisan dengan ibunya
Berkatalah yang berulang tahun itu
”Hadiah paling saya harapkan dari kalian
Adalah doa bersama
Sesudah hamdalah dan salawat
Karena saya ingin jadi anak yang baik laku
Jadi perhiasan di leher ibuku
Jadi penyenang hati ayahku
Rukun dengan kakak-kakak dan adik-adikku
Bertegur-sapa dengan semua tetangga
Dan kelak ketika dewasa
Berguna bagi Indonesia.”
--
Anak yatim piatu yang mendapat undangan itu
Lihatlah bersama kawan-kawannya
Disilakan makan bersama-sama
Dengarlah kisah kesannya kini:
”Dalam acara makan kunikmati nasi
Beras Rajalele yang putih gurih
Dendeng tipis balado, ikan emas panggang
Dan udang goreng, besar dan gemuk-gemuk
Belum pernah aku memegang udang sebesar itu
Di asrama ikan asin dan tempe
Seperti nyanyian yang nyaris abadi
Kadang-kadang makan pun cuma sekali sehari.
Ketika kulayangkan pandangku ke depan
Kulihat tuan rumah yang baik hati itu
Bapak dan ibu itu
Berdiri bersama Lia anak gadisnya
Berbicara amat mesranya
Kubayangkan ayahku almarhum
Mungkin seusia dengan bapak ini
Beliau meninggal ketika umurku setahun
Kubayangkan ibuku almarhumah
Wafat ketika aku kelas enam SD
Mungkin seusia pula dengan ibu itu
Tidak pernah aku merayakan ulang tahunku
Tidak pernah.
Semoga sorga firdaus jua
Bagi ibu bapakku
Panas mengembang di atas pipiku
Tak tertahan
titik air mataku.”
1980, 2007.
Sumber: diambil dari sini, tapi masih ngga jelas siap yang ngebuat, ada yang tahu..?
T_T
ReplyDeletepernah membaca ini dan tetap saja terharu...banyak ibroh yang bisa didapatkan dari cerita ini...
ReplyDeleteJFS Mas Syamsul
duuh rabbii... :(
ReplyDeleteindah...di awal seperti sindiran, lama2 mengharukan, lama2 jadi kliatan dilema acara ini, antara kebaikan berbagi kebahagiaan, dan sisi menunjuk-nunjukkan kenikmatan pada yang tidak punya
ReplyDeleteizin copas,ya, mas...
ReplyDeleteT_T
ReplyDeleteIni adalah buah Karya Taufiq ISmail, pan ada diatasnya PIn..
ReplyDeleteTouchy and nice story, make me cry :D