Oleh : Ubaydillah, AN
Pengertian Narsisme
Termasuk narsiskah kalau kita suka memajang foto-foto kita bersama pejabat, artis, tokoh agama, atau kelompok publik figur lain di ruang kerja atau di ruang tamu? Termasuk narsiskah kalau kita menaruh foto kita dan keluarga di desktop komputer di kantor? Termasuk narsiskah kalau kita mengkalungkan aksesoris keagamaan, seperti tasbih, salib, atau lainnya, di mobil atau di leher? Termasuk narsiskah kalau kita kemana-mana mendeklarasikan kesuksesan yang kita raih selama ini?
Kalau melihat definisinya Otto Kernberg (Borderline Condition and Pathological Narcissism: 1975), ternyata jawabannya tidak se-hitam-putih seperti yang selama ini berlaku. Itu bisa narsis dan bisa tidak, tergantung motif dan "nawaitu-nya" (untuk apanya). Menurut Kernberg, narsis itu mencakup berbagai kombinasi dari upaya seseorang dalam mendemonstrasikan ambisi, fantasi-kemewahan, rasa rendah diri, atau kebergantungan secara berlebihan terhadap pengakuan dan penghormatan dari orang lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narsisme didefinisikan ke dalam pengertian yang sangat terkait dengan mitos di Yunani Kuno. Seorang dewa Narcis yang tampan rupawan terkena kutuk karena ulahnya yang kurang empatik dalam menolak cinta Dewi Eco. Akhirnya, meski ganteng, tak satu pun perempuan yang mencintainya. Narcis kemudian berkaca di air dan melihat dirinya sendiri yang tampan itu. Jadilah dia mencintai dirinya sendiri. Karena itu, dalam Kamus itu, narsis adalah hal / keadaan mencintai diri sendiri secara berlebihan, mempunyai kecenderungan seksual dengan diri sendiri.
Jadi, termasuk nariskah bila kita melakukan hal-hal di muka? Kalau mengacu ke literaturnya, itu akan termasuk narsis apabila motif yang mendorong kita adalah rasa takut, rasa kurang, atau rasa kosong, dan tujuannya adalah untuk mendapatkan pemenuhan dari luar (orang lain). Misalnya saja kita sangat takut dikatakan orang miskin. Supaya ini tidak terjadi maka kita menciptakan berbagai modus untuk mengelabuhi diri sendiri dan orang lain agar dibilang orang kaya, orang hebat, atau orang terpandang. Narsisme seperti ini dalam kajian literaturnya dimasukkan ke dalam apa yang disebut personality disorder.
Namun jika motif dan tujuannya tidak seperti itu, mungkin saja tidak. Misalnya kita menaruh foto sukses biar kita termotivasi saat mulai depresi. Kita menceritakan kesuksesan agar orang lain bisa mengambil pelajaran dari pengalaman kita. Dan lain-lain dan seterusnya. Ini mungkin yang membuat Andrew Marisson (The Underside of Narcissism: 1997), berkesimpulan bahwa masih ada narsis yang sehat (healthy narcissism).
Lima Tipe Narsisme
Inti dari narsisme adalah penolakan seseorang terhadap realitas dirinya secara tidak sehat (berbohong kepada diri sendiri), denial of the true self, kata Alexader Lowen. Penolakan ini kita wujudkan dalam bentuk rasa cinta berlebihan terhadap bayangan yang kita ciptakan terhadap diri sendiri (self-excessive love based on self image or ego ).
Misalnya saja kita tidak bisa menerima realitas diri kita di kantor sebagai karyawan. Kita kemudian menciptakan bayangan tentang diri sendiri seolah-olah kita adalah pemilik, orang paling dipercaya, atau orang paling hebat di kantor itu. Karena bayangan ini tidak / belum ada bukti pada diri kita, tentunya kita ingin mendapatkan pengakuan atau penghormatan dari pihak luar. Keinginan itulah yang kerap membuat kita terlalu menonjolkan diri.
Dalam kajian Alexader Lowen, seperti ditulisnya dalam Narcissism, Denial of The True Self (1997), ada lima tipe narsisme itu, yaitu:
- Phallic Narcissistic character: Orang dengan karakter Phallic Narcissitic menginvestasikan energinya untuk merayu dan menarik perhatian. Cirinya antara lain: pede, arogan, elastik, menunjukkan kehebatan, dan seringkali sangat memukau.
- Narcissistic character. Orang dengan karakter narsis, dikatakan punya image hebat dan dasyat tentang dirinya. Meminjam istilah Lowen, they are not just better, they are the best; they are not just attractive, they are the most attractive. Dalam kenyataannya, ada kasus-kasus di mana orang berkarakter narsis ini memang sukses, top, popular dan berprestasi karena dia mampu "bermain dengan baik" di panggung kehidupan. Tapi biar bagaimana pun juga, tetap saja image -nya lebih besar dari orang-nya.
- Borderline personality. Orang ini tidak nyata-nyata mendemonstrasikan kesuksesan, kehebatan, yang bisa saja didukung oleh prestasi riil; karena kekuatan ego nya lebih lemah, malah kerapkali di dominasi rasa minder, merasa rapuh, tidak mampu, di liputi keraguan yang besar. Perasaan hebat dan spesial nya di simpan di dalam diri, jadi seperti memutar dan menonton film sendiri.
- Psychopathic personality: Orang dengan tipe ini dikatakan extreme lack of human fellow feeling - atau bahasa gaulnya no heart feeling, karena bisa mencuri, berbohong, menipu, merusak, bahkan membunuh dengan santai, tanpa dibebani rasa bersalah, atau takut jika ketahuan.
- Paranoid personality. Orang dengan tipe ini merasa dirinya begitu istimewa sampai-sampai tidak hanya menjadi pusat perhatian, plus jadi sasaran konspirasi orang-orang yang tidak suka padanya.
Apa Yang Menyebabkan ?
Apa ada orang yang benar-benar bersih dari kelima tipe narsisme di atas? Kalau benar-benar bersih mungkin terlalu sangat sulit ditemukan. Hampir pada diri semua orang ada narsisme-nya. Bedanya, ada yang terang-terangan dan ada yang disembunyikan. Ada yang masih wajar dan ada yang sudah tidak wajar. Ada yang masih tahu tempat dan waktu, dan ada yang sudah menyatu dengan kepribadian yang dibawa kemana-mana.
Bedanya lagi, menurut Lowen, adalah soal degree atau skala penonjolan kehebatan-diri. Mungkin ada yang masih wajar dalam arti belum sampai membuat seseorang keliru dalam memandang dirinya atau belum sampai pada tingkat yang sudah bisa mengundang kebencian orang lain dan ada yang sudah kebablasan.
Berbicara soal sebab-sebabnya, hampir tidak ditemukan sebab yang single untuk persoalan yang terkait dengan "ketidaknormalan" jiwa manusia. Karena itu, kalau melihat ke literaturnya, sebab-sebab itu selalu dikelompokkan ke dalam dua sebab induk, yaitu sebab personal (psikologis), yang berarti terkait dengan bagaimana kita mengelola jiwa kita (internal management).
Cerita Malin Kundang menggambarkan bagaimana seseorang merefleksikan dirinya setelah melihat realitas di luar dirinya yang baru. Misalnya saja dia berangkat dari kampung ke kota sebagai orang yang semula bukan siapa-siapa tetapi kemudian di kota dia menjadi sosok yang who is who. Perubahan ini membuat dia narsis dalam arti menonjolkan kehebatan-diri secara berlebihan dan mengukur orang lain dari definisi kehebatan yang ia ciptakan berdasarkan fantasinya sendiri. Sampai-sampai ibunya sendiri tidak diterima karena tidak hebat dan tidak kren.
Selain sebab personal, ada sebab yang disebut kultural atau sebab-sebab yang muncul dari faktor eksternal. Termasuk sebab eksternal adalah pola asuh yang diterima dari kecil. Sebuah keluarga yang mendefinisikan orang secara ekstrim (keluarga, tamu, tetangga, dst) dari sisi kaya-miskin, mewah-tidak mewah, atau menutupi kekurangan dengan cara mengelabuhi, akan sangat berpotensi melahirkan pribadi yang narsis. Bahkan, mengistimewakan kedudukan anak di atas yang lain atas nama budaya dan tradisi, itu ibaratnya menabur bibit narsis.
Termasuk sebab eksternal juga adalah lingkungan dimana kita berada. Tempat kerja, komunitas pergaulan atau masyarakat tertentu yang mendewakan budaya hedonisme (serba harus keren, mewah, dan serba materi) sangat mungkin mempengaruhi kita menjadi narsis. Jangan heran kalau misalnya kita punya teman yang gaya hidupnya berubah karena lingkungan pergaulannya berubah.
Secara hukum alamnya, sebab-sebab eksternal (keadaan dan orang lain) itu hanya sebagai pendukung atau pemicu atas munculnya kepribadian yang narsis. Artinya, lingkungan atau pola asuh tidak bisa dijadikan single predictor. Ini karena, yang menjadi penyebab-penentu (the most determinant factor) adalah sebab internal atau diri kita.
Solusi Dari Dalam
Kalau melihat clue-nya, narsisme (unhealty narcissism) itu terkait dengan sedikitnya tiga isu kejiwaan yang sangat mendasar. Pertama, terkait dengan bagaimana kita meresponi suara penolakan diri atau denial of the self karena tidak puas terhadap diri sendiri (dissatisfaction).
Sebenarnya, rasa tidak puas terhadap diri sendiri akan positif kalau kita gunakan untuk memperbaiki diri atau memunculkan dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Inilah yang disebut "learning, growing, improving". Jika kita sudah kehilangan dorongan untuk berubah, berarti proses learning-nya sudah berhenti dan ini sangat membahayakan.
Tapi akan negatif kalau itu kita gunakan untuk melakukan pertengkaran dengan diri sendiri (konflik diri) sampai membuat jiwa kita kosong (feeling of empty), kurang (feeling of lack), dan takut (feeling of fear). Ini semua akan mendorong kita menempuh modus untuk mengelabuhi diri sendiri supaya bisa mengelabuhi orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari fantasi yang kita ciptakan.
Kedua, terkait dengan bagaimana kita menutupi kekurangan, entah kurang kaya, kurang kompeten, kurang keren, kurang mewah, dan seterusnya. Adanya rasa kurang pun ciptaaan Tuhan. Rasa kurang ini bisa kita gunakan untuk menjadi orang yang tawadlu (rendah hati), dekat sama Tuhan atau juga bisa kita gunakan sebaliknya.
Jika rasa kurang itu mendapatkan respon positif, pasti yang akan muncul adalah motivasi plus, misalnya dorongan untuk penyempurnaan, dorongan untuk mengakui kehebatan orang lain, dorongan untuk berubah, dan seterusnya. Tapi bila responnya negatif, akan sangat mungkin memunculkan motivasi minus, misalnya arogan tanpa alasan, membohongi orang lain untuk menutupi kekurangan, dan seterusnya.
Ketiga, terkait dengan sejauhmana kita melatih diri dalam mendengarkan suara naluri universal. Meski teorinya agak sulit membedakan prilaku yang narsis dan yang bukan, tetapi semua manusia punya naluri universal yang bertugas menerima kebaikan dan menolak kejelekan, entah dari perbuatan kita sendiri atau dari perbuatan orang lain. Kesombongan, penjolan diri berlebihan, atau penipuan diri itu pasti ditolak oleh naluri universal manusia.
Artinya, sejauh kita melatih diri untuk mendengarkan naluri universal kita, pasti kita akan lebih mudah "mengobati" benih-benih penyakit narsisme di dalam diri kita. Untuk bisa mendengarkan, syaratnya adalah jangan terlalu lama atau selalu mendengarkan suara dari luar. Idealnya, kita seimbang dalam mendengarkan suara dari dalam dan suara dari luar.
Kesimpulan
Narsisme dalam konteks perilaku, merupakan manifestasi dari pengingkaran diri (denial of the self). Tercermin dalam sikap penonjolan diri yang bersumber dari respon negatif terhadap ketidakpuasan, kekurangan, atau kehampaan di dalam jiwa. Perasaan miskin dan kosong ini, mendorong "pencarian dan perburuan" pengakuan, kepuasan, pujian, perhatian, dsb dengan cara yang tidak sehat.
Sebelum ada akibat buruk pada / dari orang lain, misalnya kebencian, penolakan, atau yang lain, lebih dulu perilaku ini berakibat buruk pada diri sendiri. Tidak akurat dalam menilai diri dapat membuat kita salah mengambil keputusan untuk diri kita. Akibatnya, kalau tidak mandek ya salah jalan.
Hampir tidak ada jiwa manusia yang tidak ada potensi narsisme-nya. Karena itu, kita semua punya kepentingan untuk memperbaiki diri supaya lebih baik selalu. Dan ini bisa kita mulai dari sekarang juga sesuai keadaan dan kemampuan kita.
Semoga bermanfaat.
Sumber: http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=533
makasih kang...
ReplyDeletewow.. kata narsis ternyata punya teori sendiri ya (O.o) jadi semua tergantung niatna ya :) kembali ke orangna masing-masing. thanks for sharing, Mas ^^
ReplyDelete@ayudiahrespatih, sama2 :)
ReplyDelete@mooncatz, biar nambah pengetahuan, bahwa "narsis apabila motif yang mendorong kita adalah rasa takut, rasa kurang, atau rasa kosong, dan tujuannya adalah untuk mendapatkan pemenuhan dari luar (orang lain)"
hidup narsis :D
ReplyDelete