BAYAN DEWAN SYARIAH PUSAT PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
NOMOR: 32/B/K/DSP-PKS/1431
TENTANG DHAWABITH SYAR’IYAH MENGENAI BUDAYA MASYARAKAT



PENGANTAR

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat yang sangat besar yang diberikan kepada bangsa dan negara Indonesia. Karunia dari sisi geografis (SDA) yang sangat kaya raya dan dari sisi demografis (SDM) yang mayoritasnya menganut Islam, agama yang diridhai oleh Allah Ta’ala (QS 3: 19). Keislaman inilah yang mewarnai budaya dan karakter bangsa Indonesia. Dan Islam ini jugalah yang merupakan faktor dominan yang menyatukan dan merekatkan NKRI sebagai negara muslim terbesar di dunia.

Nilai Islam telah tertanam begitu kuat dalam budaya bangsa Indonesia. Hal ini telah tertuang baik dalam konstituisi NKRI maupun dalam budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat. Dalam Pasal 31 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tentang Pendidikan dan Kebudayaan diatur bahwa: ’Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem Pendidikan Nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...’ Adapun pada ayat (5) dari pasal tersebut diatur bahwa: ’Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahtraan umat manusia. Selanjutnya dalam Pasal 32 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 diatur bahwa: ’Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya’.

Dalam Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, poin 1 tentang Etika sosial Budaya sebagai berikut:

’Etika Sosial dan Budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, memahami, menghormati, mencintai, dan saling menolong di antara sesama manusia. Sejalan dengan itu, perlu ditumbuhkan budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dan budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin baik formal maupun informal.

Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kembali kehidupan berbangsa yang berbudaya tinggi dengan menggugah, menghargai dan mengembangkan budaya nasional yang bersumber dari budaya daerah agar mampu melakukan adaptasi, interaksi dengan bangsa lain, dan tindakan proaktif sejalan dengan tuntutan glogalisasi’.

Sementara itu, di tengah masyarakat tumbuh dan berkembang budaya Islam, sesuai dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam. Di Aceh secara nama dan UUnya mengacu pada hukum Islam, yaitu UU RI No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dan masyarakat menyebut wilayahnya dengan Serambi Mekkah. Di Provinsi Sumatera Barat, masyarakat menjadikan tradisinya harus berdasar Syariah, sebagaimana ungkapan ’Adat bersendi Syara’ dan Syara bersendi kitabullah’. Di Jawa kantor Desa harus berdampingan dengan masjid. Dan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa Nasional banyak mengambil dari Bahasa Arab. Demikianlah bahwa budaya Islam telah mengakar kuat dalam tubuh bangsa Indonesia yang mayoritasnya muslim.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah Partai atau organisasi yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia. Sebagaimana organisasi lain baik organisasi masa maupun organisasi politik, seperti NU, Muhmmadiyah, Masyumi dan PPP. Dengan meyakini kebenaran Islam dan memahami realitas Indonesia serta nilai Islam yang mewarnainya, maka PKS menetapkan bahwa Islam sebagai landasan organisasi dan jati dirinya. Islam menjadi landasan seluruh pemikiran, moral dan aktivitasnya, termasuk aktivitas politik. Dengan asas dan landasan Islam, PKS hadir di tengah bangsa Indonesia, berinteraksi dan bekerjasama dengan seluruh komponen bangsa Indonesia serta berbuat untuk kemaslahatan bangsa Indonesia. Dan Islam adalah rahmat (kebaikan) bagi bangsa Indonesia dan seluruh alam.

PKS sebagai Partai Islam sekaligus Partai Dakwah bertekad untuk membantu menyelesaikan problem umat dan bangsa ini. Problematika dan akumulasi masalah yang menimpa umat Islam dan bangsa Indonesia, disebabkan oleh karena masih jauhnya umat Islam dan bangsa Indonesia dari nilai-nilai Islam, kebenaran dan keadilan. Oleh karenanya, PKS berusaha memperpendek jarak antara idealitas Islam dan realitas umat Islam Indonesia. Visi PKS adalah mewujudkan masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhai Allah SWT dalam bingkai NKRI. Dalam bidang sosial budaya, PKS telah menetapkan misinya, yaitu ’Membangun kecerdasan manusia Indonesia, kesalehan sosial, dan kemajuan budaya demi mengangkat Martabat bangsa’.

Seiring dengan semakin meluasnya eksistensi dan peran PKS, bersentuhan secara langsung maupun tidak langsung dengan berbagai budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Maka timbullah problematika yang terkait dengan penyikapan dan interaksi terhadap budaya yang berkembang di Indonesia, khususnya budaya yang bersumber dari selain ajaran Islam.

Oleh karena itu, dibutuhan Dhawabith Syar’iyah tentang budaya sebagai sarana bagi kader PKS untuk memahami realitas masyarakat, menyikapi dan berinteraksi secara da’awi.

Untuk mendapatkan sikap hukum yang terkait dengan masalah budaya dalam berbagai bentuknya, maka perlu dilakukan kajian terlebih dahulu terhadap berbagai istilah yang relevan dalam Syariah antara lain istilah al-a`dah, al-urf dan budaya itu sendiri. Karena pada hakikatnya istilah-istilah tersebut saling beririsan satu dengan lainnya, maka mendudukkan istilah-istilah tersebut sebelum melakukan kajian hukumnya dianggap sangat penting mengingat, kaidah: (Menetapkan hukum terhadap sesuatu adalah bagian persepsi tentangnya) sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan hukum akibat salah persepsi. Untuk itu dalam naskah ini, terlebih dahulu dilakukan penelitian peristilahan, kemudian hubungannya satu dengan lainnya, kondisi obyektif dalam implementasinya, batasan-batasan (dhawabith) yang harus diperhatikan terhadapnya, dan pada kesimpulannya dituangkan pula sikap yang harus diambil oleh DSP dalam permasalahan tersebut.

PENGERTIAN BUDAYA, ADAT DAN URF

1. Pengertian Budaya
Budaya yang diterjemahkan oleh Hassan Shadily dalam kamus Indonesia-Inggris ke dalam kata (Culture )1, berasal dari kata Budi dan Daya yang berarti akal (pikiran) dan kekuatan, budaya juga berarti yang telah berkembang, yang maju, sebagaimana jiwa yang berbudaya berarti jiwa yang telah berkembang, maju dan cerdas.

Sedangkan definisi “Kebudayaan” yang oleh Hassan Syadily dalam kamus Bahasa Indonesia Inggrisnya kata tersebut diterjemahkan ke dalam kata (Civilization),2oleh Purwodarminto dijabarkan dalam dua tinjauan yaitu tinjauan hasil dan proses yang masing-masing :
1- Dari tinjaun hasil dia mengatakan, “Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi dsb) manusia seperti kepercayaan, kesenian adat-istiadat dll”.
2- Sedangkan tinjauan proses dia mengatakan, “Kebudayaan adalah kegiatan (usaha) batin ( akal dsb) manusia untuk menciptakan sesuatu yang termasuk kebudayaan”3.

Dalam kaitan dengan definisi Purwodarminto yang pertama Munir Baklabakki dalam kamus Inggris Arab menterjemahkan ke dalam kata tradition yang berarti adat istiadat (kebiasaan yang turun menurun), urf dan hal-hal yang bersifat tradisi. Sedangkan kata culture dia terjemahkan ke dalam kata yang berarti wawasan, pengetahuan, kebudayaan

Dalam terminologi aqidah dan fikih Islam kata budaya lebih dikenal dengan al-adat wa taqalid wa al-Urf.

2. Al-`Adah
Dalam berbagai kamus bahasa Arab (seperti al-Qamus, Lisan al-Arab al-Misbah al-Munir) dijelaskan bahwa makna al-adah dari segi bahasa adalah suatu prilaku yang dilakukan secara berulang ulang atau sehingga menjadi kebiasaan, karakter atau culture. Dalam Lisan dikatakan: adat adalah (terbiasa melakukan, dan membiasakannya ahirnya menjadi adat baginya). Dalam sebuah syair mengatakan ta’awwad salihal akhlaqi, fa inni. Raitul mar`a yaklafu mastaada (Biasakanlah berakhlaq yang terpuji
karena aku melihat seorang akan jinak terhadap kebiasaannya).

Secara terminologi pandangan fuqaha` dan usuliyun terhadap al-‘Adah, yaitu sesuatu yang telah familier, menjadi biasa, dalam masyarakat dan melekat sehingga menjadi tradisi.5. Definisi ini mencakup kebiasan yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok, apakah perkara (adat) tersebut bersumber dari bersifat natural (alam) seperti perubahan iklim, atau perkara (adat) tersebut dari hawa nafsu seperti memakan harta dengan cara yang batal, melakukan kedhaliman kefasikan, kemaksiatan dll.

Imam as-Syathibi dalam al-Muwafaqat membagi adat kedalam dua bagian yaitu adat yang bersifat syar`I dan adat yang tidak bersifat syari`. Adat yang bersifat syari` dapat diukur dengan dalil-dalil syar`I secara langsung, mengingat teks-teks syariah memberikan penjelasan secara langsung baik itu bersifat perintah atau larangan, sedangkan adat yang tidak bersifat syari` lebih dipengaruhi oleh kebutuhan insting dan biologis manusia seperti makan minum berhubungan dengan istri dan situasi alam seperti perubahan iklim dll, atau dengan kata lain adat yang tidak bersifat syari` adalah yang tidak mendapatkan legitimasi dalil syari’ secara langsung.

3. Al-Urf
Kalimat Al-Urf dalam bahasa Arab memiliki makna yang banyak namun secara garis besar kalimat tersebut memiliki makna yang bersifat hakiki dan majazi. Makna Urf secara hakiki menunjukkan tentang kejelasan, ketinggian. dan segala sesuatu yang menurut nurani manusia adalah kebaikan dan membawa ketenangan juga disebut Al-Urf. Ibnu Faris di dalam kamusnya mengatakan bahwa Kalimat Urf berasal dari ‘Arafa atau Arfun yang keduanya menunjukkan sesuatu yang berkesinambungan berhubungan satu dengan lainnya atau membawa ketenangan dan ketentraman. Dalam penggunaannya kalimat Urf lebih mencerminkan kepada kedua makna tersebut yaitu bersifat kantinyu dan berhubungan satu dengan lainnya.

Sedangkan makna Al-Urf secara termonologi memiliki banyak pengertian antara lain yang dikemukakan oleh An-Nasafi (710 H) Yaitu sesuatu yang menetap dalam jiwa yang akal menerimanya dan sesuai dengan tabi’at yang masih bersih. Dalam definisi tersebut mengandung beberapa aspek :

Bahwa Urf selalu sejalan dengan tabiat yang masih bersih. Sehingga jiwa merasa tenang.
a. Dalam prosesnya urf membutuhkan waktu sehingga menjadi kebiasaan yang tetap dan jiwa menjadi terbiasa dengan sesuatu tersebut.
b. Dibenarkan oleh akal dan tidak bertentangan dengan ukuran-ukuran kebenaran dalam sebuah komunitas.

Jadi menetap dan diterimanya sesuatu tersebut karena seringnya dilakukan dan meluasnya dalam suatu komunitas. Ketika sesuatu yang menetap pada jiwa tersebut tidak memenuhi syarat-syarat diatas, misalnya terjadi hanya pada orang tertentu atau belum menjadi sesuatu yang familiar dalam prilaku atau akal tidak membenarkan seperti kebiasaan minum-minuman keras prilaku jahat dan seterusnya itu semuanya tidak termasuk Urf.

Dalam definisi yang lain ditambahkan syarat kesesuaiannya dengan syariah seperti yang kemukakan oleh Ibnu Athiyah bahwa “Urf adalah segala sesuatu yang familiar pada jiwa manusia dan tidak bertentangan dengan syariah”.7 Definisi sejenis juga dikemukakan Ibnu Dhofar (565 H) bahwa Urf adalah sesuatu yang menurut akal dibenarkan dan ditetapkan oleh syariah8. Dalam dua definisi tersebut mengangkat syarat kesesuaian dengan syariah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Jika dilihat dari kronologisnya maka definisi ini merupakan definisi yang belum dikenal sebelumnya oleh karena itu muallif kitab Asar Al-Urf memberikan definisi yang lebih mencakup : bahwa urf adalah sesuatu yang menetap pada jiwa manusia yang dibenarkan oleh akal sehat dan diterima oleh tabi’at yang masih bersih dan bersifat turun-menurun yang tidak bertentangan dengan syariah9.

PERBEDAAN URF DAN Al-`ADAH

Hasil membandingkan dari kedua definisi urf dan adat dapat kita simpulkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama: Antara adat dan urf keduanya harus bersifat terus menerus dan berulangulang dalam masalah yang tidak ada dalil syari` secara eksplisit. Hal itu sesuai dengan pendapat sebagian Ulama’ seperti An Nasafi (710 H), Ibnu Abidin (125 H) dan para Ulama’ lainnya memandang bahwa Urf dan adat merupakan dua istilah yang sama10.

Kedua: Pada dasarnya urf menurut pandangan Ibnu Hamam (861 H) lebih umum dibanding dengan Al Adah karena Urf mencakup qauli dan amali sedangkan adat hanya pada aspek amali saja. Dengan demikian setiap adat adalah urf tetapi tidak setiap urf adalah adat antara keduanya memiliki irisan dimana urf lebih umum.

Ketiga: Adat bisa bersifat pribadi namun urf harus bersifat kolektif. Meski demikian keduanya (Urf dan al Adah) bersifat tiqrar (berulang-ulang), ilfun (mudah dijalankan), adah (kebiasaan), melekat dengan kehidupan masyarakat. Dan yang patut dicatat bahwa dalam prakteknya antara keduanya hampir tidak terbedakan apalagi keduanya harus melalui proses yang sama.

PEMBAGIAN URF DAN ADAT DARI ASPEK KESESUAIAN DAN TIDAKNYA DENGAN SYARIAH

Dalam aspek ini urf dan adat terbagi menjadi dua :

1. Urf Shahih (Kebiasaan atau adat yang benar)
Urf Shahih yaitu urf yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syariah meskipun tidak ada dalil secara spesifik. Dengan demikian seluruh urf yang muncul karena maslahat atau tidak bertentangan kaidah-kaidah syariah baik yang bersifat maslahat maupun menolak mafsadat masuk dalam kategori ini dalam aspek ini contohnya sangat banyak antara lain munculnya berbagai aturan dalam hidup, dalam organisasi, pendidikan, dll. (dikutip dari al Bahusein dalam bukunya al- qaidah muhakkamah).
2. Urf Fasid (kebiasaan atau adat yang rusak atau batal)
Yaitu urf yang bertentangan dengan kaidah-kaidah syariah atau dianggap batal oleh nusus syariah seperti munculnya urf berpakaian yang membuka aurat atau berbagai macam kesenian yang mungkar dan lain-lainnya.

URF DAN ADAT DALAM PANDANGAN PARA FUQAHA

Dalam pandangan fuqaha` Urf dan adat dianggap sebagai sumber hukum yang dapat dipertanggung jawabkan, sepanjang keberadaannya tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar`i. Ibnu Nujaim dalam Bukunya al-Asybah dia mengatakan (mengutip dari al-Bahusen dalam bukunya Qaidah…) : “ketahuilah sesungguhnya adat dan urf menjadi salah satu refrensi dalam fiqih Islam untuk memecahkan berbagai macam persoalan sehingga menjadi salah satu sumber hukum. bahkan Assarokhsi mengatakan “hal-hal yang ditetapkan urf sama kedudukannya dengan hal-hal yang ditetapkan oleh nash”12. Ibnu Qayyim mengatakan bahwa Madzab Hambali dalam berbagai fatwa fiqihnya tidak kurang 100 masalah khususnya dalam bidang muamalat merujuk kepada urf. Sebagaimana madzab Syafi’i juga cukup memiliki perhatian besar dalam menggunakan urf sebagai sumber hukum. As- Suyuti mengatakan: “Bahwa adat dan urf merupakan sumber hukum yang bisa memecahkan dalam berbagai persoalan diantaranya masalah Haid masalah batas dewasa dll “.13

Lebih tegas lagi ketika kita simak perkataan al-Qarafi dalam pandangannya terhadap sikap yang diambil oleh mujtahid ketika menerbitkan hokum, ”Sesungguhnya tindakan memberlakukan hukum berdasarkan adat yang berubah-ubah adalah bertentangan dengan ijmak dan dianggap berlaku bodoh terhadap agama –bukannya demikian-, melainkan ketentuan hukum syariah harus disesuaikan dengan adat/ urf yang berubah-ubah tersebut.

Senada dengan ini apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qoyyim al-Jauzi dalam kitabnya I`lamul muwaqqiin “ Sesungguhnya orang yang berfatwa hanya berdasarkan dalil naqli dan bertentangan dengan tradisi, urf, situasi, dan kondisi masyarakat maka berarti dia telah berlaku sesat dan menyesatkan”.15

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua fuqaha sepakat tentang kedudukan adat dan urf sebagai sumber hukum. Pada konteks ini Madzab Maliki dianggap sebagai madzab yang paling dominan menggunakannya dalam ijtihad hukum fikihnya, dibanding dengan madzab-madzab yang lain, hal itu dikarenakan pertama madzab Maliki meletakkan kemaslahatan sebagai pilar terbesar dalam ijtihadnya, kedua urf yang shahih merupakan amalan yang berpangkal pada kemaslahatan oleh sebab itu madzhab Maliki lebih mendahulukan urf atas analogi (qiyas).

Ketika Imam Al Qurtubi membaca hadits tentang istri Abu Sofyan yang diizinkan Nabi untuk mengambil uang secukupnya sebagai nafaqah, menurutnya tindakan ini dianggap sebagai tindakan urf. Artinya tindakan tersebut bisakah diberlakukan di seluruh dunia maka jawabnya, apakah urf yang berlaku demikian?.

RELEVANSI ANTARA BUDAYA Al-ADAH DAN URF

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan adat dan urf merupakan hal-hal yang beririsan satu dengan yang lain. Pada dasarnya budaya meliputi aspek nadhori (tsaqafah) amali (hadhara) kultur, tradisi dan lain-lain. Dan itu semua menunjukkan bahwa kebudayaan adalah sejak proses hingga menjadi hasil yang ada di tengah-tengah kehidupan sedangkan urf dan adat merupakan hasil dari proses kebudayaan. Disinilah relevansinya pembahasan kebudayaan yang tidak bisa dilepaskan dari adat dan urf.

BERBAGAI MACAM BUDAYA YANG HIDUP DI TENGAH MASYARAKAT

Kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat, khususnya di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam:

1. Tradisi dan budaya yang bersumber dari pemahaman terhadap ajaran Islam, yaitu berkembangnya seni Islam, seperti kaligrafi, rebana dll. Terbentuknya karakter atau prilaku Islami, seperti malu, menutup aurat, bersih, dll. Terbentuknya peraturan perundangan yang Islami seperti UU Zakat dll.
2. Tradisi dan budaya hasil adaptasi dengan ajaran Islam seperti, tahlilan berjamaah setelah kematian, halal bi halal, mudik lebaran dll.
3. Budaya dan tardisi yang bersumber dari agama selain Islam seperti, ruwatan, bertapa, memakai kalung salib dll.
4. Tradisi dan budaya lokal seperti, baju batik, peci hitam, rumah tradisional, kesenian tradisional dll.
5. Tradisi dan budaya asing, seperti, jabat tangan dan cium pipi dengan lawan jenis yang bukan mahram, barongsay dll.

MARATIB/URUTAN BUDAYA

Setelah melakukan kajian diatas, maka tingkatan budaya, adat dan urf adalah sbb:

1. Budaya, adat dan urf yang dapat menjadi sumber hukum dalam Islam
Para ulama menyebutkannya dengan istilah Al-Adah Al-Muhakkamah, beberapa contoh dalam hal ini misalnya besaran nafkah suami kepada istri ditentukan oleh tradisi yang berkembang dan tidak ditentukan oleh teks Al-Qur’an maupun Sunnah. Produk aturan yang ditetapkan organisasi maupun negara dan tidak
bertentangan dengan Syariah masuk dalam kategori Al-Adah Al-Muhakkamah.
Rasulullah saw bersabda,”

“Umat muslim mengikuti syarat (ketentuan, tradisi) mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Dan damai itu dibolehkan antara manusia, kecuali damai yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal” (HR At-Tabrani dan Al-Baihaqi).

2. Adat dan tradisi yang mahmud (baik)
Tradisi dan adat yang baik jika diniatkan karena Allah, maka mendapat pahala, seperti mudik pada hari raya Idul Fitri karena ingin bersilaturahim dengan keluarga dan bertemu dengan teman-teman, tasyakuran dengan disiisi ceramah pada setiap momentum seperti pindah rumah, mendapat rejeki, kuliah Zhuhur dll. Rasulullah saw bersabda:

“ Apa yang dilihat oleh umat Islam baik, maka baik pula disisi Allah. Dan apa yang dilihat oleh umat Islam buruk, maka buruk pula disisi Allah” (HR Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih) .

3. Adat dan tradisi yang mubah,
Secara umum adat dan tardisi adalah mubah, sebagaimana qaidah:

“Prinsip dasar atau hukum dasar pada sesutu adalah mubah”. Prinsip ini berlaku pada masalah umum selain ibadah. Maka tradisi dan adat yang berkembang di suatu masyarakat hukumnya mubah selagi tidak melanggar prinsip-prinsip Syariah, seperti arisan, peci hitam dll. Dalam kaidah dakwah disebutkan:
“Dan prinsip ibadah itu diamalkan dengan kepasrahan total (ta’abud) tanpa mempertimbangkan makna sedangkan dalam adat istiadat maka mempertimbangkan maksud, hikmah dan tujuan” .

4. Adat dan tradisi yang haram
Segala adat dan tradisi yang mengandung unsur kemusyrikan, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah, seperti sedekah bumi, menyembelih untuk sesajen, ruwatan, meminta pada kuburan, merayakan valentine day, menggunakan sihir dan meminta bantuan jin untuk berbagai macam acara semacamnya. Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah (Muhammad), Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan yang keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zhalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS Al-A’raaf 33)

DHAWABITH SYAR`IYAH

Dari kajian di atas dapat dirumuskan batasan-batasan (dhawabith) Syariah tentang budaya, adat dan urf sebagai sarana dakwah atau sarana untuk menyebarkan kebaikan atau sosialisasi Partai Islam, sarana silaturahim dan komunikasi, sbb:

1- Prinsip dasar pada budaya, adat dan tradisi adalah mubah, selagi tidak bertentangan dengan Syariah. Dan Islam adalah agama yang terbuka (inklusif) bagi setiap kebudayaan yang baik. Oleh karena itu, pada dasarnya umat Islam menerima setiap tradisi dan budaya yang wajar (ma’ruf), yaitu yang diterima orang-orang yang baik. Dalam kitab hadits Mushannaf Ibni Abi Syaibah dari Said bin Abi Burdah disebutkan:

“Hikmah adalah barang hilang orang beriman, dia mengambilnya jika menemuinya” .

2- Selaras dengan syumuliyah Islam, bahwa bentuk dan ragam budaya yang diterima adalah banyak dan menjangkau sisi-sisi kehidupan sebagaimana Islam mencakup semua aspek kehidupan. Dan selama memberikan kemashlahatan. Ibnul Qoyyim berkata,’ Dimana ada kemashalahatan maka disitu ada sikap penerimaan’.

“Siapa yang menghidupkan dalam Islam tradisi yang baik, kemudian tradisi tersebut diamalkan oleh orang sesudahnya. Maka dicatat baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya dengan tanpa dikurangi pahala mereka sedikitpun” (HR Muslim)

3- At-Tawasu’ wat Tasamuh. Persoalan budaya sangat erat kaitannya dengan selera dan pilihan komunitas yang cenderung bervariasi, oleh karenanya sikap dasar yang wajar adalah memberikan kelonggaran (tawassu’). Akan halnya terhadap pilihan orang lain yang tidak cocok dengan pilihan sendiri, maka sikap dasarnya adalah toleransi (tasamuh) . Dalam konteks ini prinsip Islam menyebutkan:

“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek-moyangmu Ibrahim. Dia telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dulu dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu menjadi saksi
atas segenap manusia” (QS Al-Hajj 78).

4- Al-Wasathiyah (moderasi), dalam hal memilih bentuk budaya tidak boleh terjebak dalam sikap berlebihan (ifrath) atau kaku (tafrith). Kita hendaknya memilih sikap dan posisi menengah (washati), karena sikap ini lebih sesuai dengan fithrah. Disebutkan dalam atsar Shahabat bahwa,

”Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan »

5- Al-ghayah la tubarriul wasilah. (Tujuan tidak menghalalkan segala cara) . Untuk meraih simpati dan menarik masa tidak dibolehkan dengan menggunakan pendekatan budaya yang diharamkan, karena tujuan harus ditempuh dengan cara-cara yang sesuai Syari`ah sepadan dengan kemuliaan tujuan tersebut. Karena itu sangat tidak tepat jika ingin meraih keridhoan Allah dengan cara yang menyebabkan murka-Nya.

6- Tolok ukur kebenaran itu berada pada Syariah sedangkan adat, budaya dan tradisi adalah sesuatu yang diukur. Sehingga semua adat, tradisi dan budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Syariah harus dihindarkan.

‘Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri’ (QS an-Nahl)

Dan dalam menilai sesuatu yang menjadi parameter adalah esensi bukan namanya. Dalam kaidah dakwah disebutkan :

Istilah yang salah dan sudah mentradisi tidak mengubah hakekat hokum Syariah. Akan tetapi, ia harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan Syariah itu, dan kita berpedoman dengannya. Disamping itu, kita harus berhati-hati terhadap berbagai istilah yang menipu yang sering digunakan dalam pembahasan masalah dunia dan agama. Ibrah atau pelajaran diambil dari esensi di balik suatu nama bukan pada nama itu sendiri.

7- Dar`ul mafasid muqaddam ala jalbil masalih.(Bersikap antisipatif terhadap kemaksiatan atau menolak kerusakan lebih didahulukan atas meraih kemaslahatan). Tradisi yang menimbulkan kerusakan harus dihindarkan, walaupun dapat membawa suatu kemaslahatan.

8- Saddud-dzari’ah. Menutup pintu masuk larangan Allah dengan cara menghindarkan berbagai perbuatan yang dapat membawa kepada kemaksiatan atau penyimpangan Syariah.

9- Segala budaya yang mengarah pada syirik, bid’ah yang sesat dan tasyabuh (menyerupai orang kafir dan fasik), wajib ditinggalkan dan tidak diambil baik untuk diikuti maupun digunakan sarana dakwah atau sosialisasi.

KHOTIMAH

Demikian Dhawabith Syar’iyah tentang Budaya dikeluarkan untuk menjadi Panduan bagi para kader dalam menyikapi tradisi, seni dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat.


Jakarta, 27 Jumadits Tsani 1431 H/12 Mei 2010 M

DEWAN SYARI’AH PUSAT PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

KH. DR. SURAHMAN HIDAYAT, MA
KETUA


http://pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=9048