Sorotan
Petani tembakau dari Temanggung dan dari sentra produsen tembakau lainnya berdemo besar-besaran menolak RUU Pengendalian Dampak Tembakau karena dianggap berpotensi mengurangi permintaan terhadap produk tembakau dan akibatnya mengancam kelangsungan hidup mereka. Benarkah logika berpikir ini?
Setidaknya dari studi Lembaga Demografi Universitas Indonesia (2008), dan yang pasti studi di seluruh dunia menggambarkan kecenderungan yang sama, menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani lebih ditentukan oleh relasi bisnis antara petani tembakau dengan pelaku bisnis tembakau lainnya, serta sifat bisnis tembakau itu sendiri.
Pertama, petani memiliki posisi tawar rendah terhadap industri rokok. Petani masih sulit menentukan grade/kelas mutu tembakau yang dihasilkannya sendiri karena standar ditentukan oleh pihak industri. Dalam standar tersebut, terdapat 40 kelas mutu daun tembakau dengan variasi harga mulai dari Rp 500 hingga Rp 25.000 per kg. Petani semakin tidak beruntung karena tembakau termasuk tanaman yang rentan terhadap perubahan cuaca.
Kedua, tembakau hanya mengisi 1,8% campuran rokok kretek sehingga tingkat kemakmuran petani sedikit sekali dipengaruhi oleh tingkat permintaan (baca: konsumsi) produk-produk tembakau seperti rokok.
Ketiga, industri rokok hingga saat ini masih melakukan impor daun tembakau senilai US$ 35 juta atau 42,95 ton per tahun. Sekalipun terjadi penurunan permintaan produk tembakau akibat kebijakan RUU ini, akan sedikit dampak pada serapan tembakau nasional karena mestinya tembakau domestik lebih mendapatkan jaminan penyerapan.
Jadi tidak lah terlalu mengejutkan, data Bappeda Temanggung 2008 menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan di wilayahnya mencapai 33%, naik dari 30% setahun sebelumnya.
Belajar lah dari China, produsen tembakau nomor satu dunia dan negara konsumsi kedua tinggi itu tidak ragu meratifikasi FCTC dan mengimplementasikan kebijakan pengendalian tembakau di negerinya.
Fakta dari banyak negara di seluruh belahan dunia telah menunjukkan, sekuat apa pun advokasi pengendalian tembakau tidak akan berdampak signifikan terhadap penurunan permintaan tembakau. Petani tidak perlu takut kehilangan pekerjaan. Laporan Bank Dunia mengenai Ekonomi Tembakau menyebutkan implementasi efektif regulasi pengendalian dampak tembakau berpeluang menurunkan permintaan sebesar 1-2%, itu pun terjadinya secara gradual selama 1 generasi lebih. Tidak masuk akal?
Rokok adalah produk yang bersifat adiktif (membuat ketagihan). Elastisitasnya tidak seperti barang lain. Dinamika permintaannya akan cenderung linier dengan dinamika pertumbuhan penduduk.
Pengendalian Tembakau menjadi penting untuk negara berkembang seperti Indonesia, yang pertumbuhan penduduknya relatif tinggi, karena bila tidak terkendali maka beban ekonomi dan kesehatan akibat tembakau akan melebihi kemampuan negara tersebut untuk menanggungnya. Saat ini saja biaya kesehatan masyarakat berkaitan dengan penyakit akibat merokok sudah mencapai 180 triliun rupiah, tidak sebanding dengan pendapatan negara dari cukai rokok yang hanya 42 triliun rupiah atau 20%-nya saja.
Sumber: http://www.ylki.or.id/wartaDetails/view/menjawab-kekhawatiran-petani-tembakau
No comments:
Post a Comment