31 January 2008

Ketaatan (yang Kritis Konstruktif) Tanpa Reserve

Oleh: Syamsul Arifin

 

Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve (keberatan) kecuali reserve syar'i yang menggariskan aqidah "La tha’ata limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq", tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Al khaliq. (HSR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim)

-almarhum ustadz Rahmat Abdullah-

 

Melaksanakan sekaligus menjalankan perintah tanpa reserve, baik dalam kelapangan maupun kesempitan, dalam suka maupun duka. (Pasal keenam arkanul bai’ah, -taat)

-Imam As Syahid Hasan Al Banna -

 

---

 

Menjadi pengambil keputusan bukanlah suatu hal yang mudah. Karena kepemimpinan itu adalah amanah, yang kan dimintai pertanggungjawabannya.

 

“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin”. (Mutafaq ‘alaih)

 

Semakin besar kepimpinannya, maka semakin besar pula tanggungjawabnya. Maka dari itu, seorang pemimpin yang baik, pasti tidak akan sembarangan dalam menggariskan kebijakan dan dalam menentukan keputusan.

 

Dan kepemimpinan itu sudah barang tentu tidak akan berjalan mulus tanpa adanya para penasehat yang ahli di bidangnya. Dewan penasehat, majelis syuro, majelis pertimbangan, atau apapun itu namanya, yang berfungsi sebagai ajang/forum perumus agar keputusan yang diambil bisa bersifat adil, bijak, tepat sasaran, efektif, efisien, dan objektif.

 

Sudah terlalu banyak potret sirah kenabian muhammad SAW yang mengajarkan keteladan mengenai prinsip musyawarah dalam pengambilan-pengambilan keputusan, sebagaimana Nabi Daud AS bermusyawarah dengan nabi Sulaiman AS mengenai keputusan pengadilan.

 

Tinggal peran kita sebagai seorang jundi atau prajurit. Apakah kita siap tuk taat terhadap perintah? Ataukan kita masih belum bisa menjadi seorang muslim berkepribadian istimewa?

 

Ketika nabi Muhammad SAW meninggal dunia, khalifah Abu Bakar RA meneruskan amanah Rasulullah dengan tetap memberangkatkan pasikan perang dibawah kepemimpinan Usamah, meskipun banyak pendapat yang menghendaki pergantian Usamah, karena ketaatan Abu Bakar RA kepada Rasulullah SAW.

Pun sudah terlampau banyak contoh-contoh kepahitan dari pembangkangan terhadap kepemimpinan. Perang uhud sudah cukup menyesakkan dada dan memberikan pelajaran yang mahal kepada kaum muslimin mengenai konsekuensi ketidaktaatan.

 

Namun bagaimanapun juga, ketaatan ini tidak serta merta menjadikan sang pemimpin bebas memutuskan tanpa bisa kita beri masukan. Toh, Imam As Syahid Hasan Al Banna pernah berkata dalam pasal keenam ushul syirin beliau,

 

Perkataan seseorang boleh diterima atau ditolak, kecuali perkataan Rasulullah s.a.w yang bersifat maksum. (pasal keenam ushul 20)

 

Dan dalam konteks ijtihad (pengambilan keputusan untuk kasus tertentu), seorang faqih itu mendapatkan ganjaran dua kebaikan jika benar dan dan ganjaran satu kebaikan jika salah.

 

Jadi, kritis itu perlu, bahkan terkadang menjadi sangat diperlukan, sebagaimana terkisah dalam perang badar ketika Al Habbab bin Mundzir mempertanyakan apakah penetapan posisi kaum muslimin itu berasal dari wahyu atau sekedar strategi perang belaka, lalu beliau mengusulkan lokasi/posisi yang lebih baik.

 

Namun, prinsip ketaatan tetap juga harus diutamakan. Sebagaimana para ulama sekelas imam Ahmad bin Hambal, syeikh Ibnu Taimiyah, dan ulama-ulama besar lainnya tetap taat kepada para penguasa yang berulang kali memenjarakan beliau sekalipun berbeda pandangan.

 

Yang saya khawatirkan adalah bahwasanya, keputusan itu menjadi batu ujian para kader tuk menaatinya. Sebagaimana kaum munafikin telah tersaring dari kaum muslimin ketika perang Uhud.

 

Kemudian Nabi saw keluar dari Madinah bersama seribu orang pasukannya menuju Uhud, pada hari Sabtu tanggal 7 Syawwal, tiga puluh dua bulan setelah Hijrah beliau. Ketika di tengah perjalanan antara Madinah dan Uhud, Abdullah bin Ubay bersama sepertiga pasukan umumnya terdiri dari pada pendukungnya melakukan desersi dan kembali pulang dengan alasan yang dikemukakannya : “Dia (Nabi saw) tidak menyetujui pendapatku bahkan menyetujui pendapat anak-anak ingusan dan orang-orang awam. Kami tidak tahu untuk apa kami harus membunuh diri kami sendiri“. Abdullah bin Harram berusaha mencegah mereka dan memperingatkan agar mereka tida mengkhianati Nabi saw. Tetapi mereka menolak, bahkan tokoh mereka menjawab :“Seandainya kami tahu akan terjadi peperangan niscaya kami tidak akan mengikuti kalian.“ (Sirah Nabawiyah, Seri Fiqh Dakwah wa al-Harakah karangan Dr. Muhammad Sa'id Ramadhani Al-Buthy)

 

Semoga kita menang di dunia dan bahagia di akhirat, sebagai mujahid (kader) yang luar biasa dengan amalan-amalan yang kongkrit dan ikhlas, karakter/akhlak yang baik, taat tanpa reserve namun tetap kritis konstruktif dalam bingkai keimanan dan dengan harapan kebaikan/pahala. Insya Allah.

 

 

---

Jakarta, 31 januari 2008

Ilmu yang baik adalah ilmu yang diikuti dengan amalan, dan amalan yang baik adalah amalan yang didasari oleh keilmuan.

1 comment:

  1. aq suka dengan kalimat yang ini :
    "Ilmu yang baik adalah ilmu yang diikuti dengan amalan, dan amalan yang baik adalah amalan yang didasari oleh keilmuan."

    ReplyDelete