23 January 2008

Kisah-Kisah Pernikahan Kader PKS

KASTIAN IDRIAWATI – HIDAYAT NUR WAHID (Ketua  MPR RI)

Awalnya, saya belum terlalu mantap

Saya dilamar suami 3 tahun sebelum waktu nikah. Waktu dia datang pertama kali untuk mengenalkan diri, dia sebenarnya inginnya kami langsung menikah. Namun saya belum siap, karena saya orangnya masih tradisional dan juga masih belum mengerti. Pikiran saya saat itu, saya belum mau menikah kalau kakak saya belum menikah. Jadi memang agak lama juga saya memberi waktu, padahal maunya dia kan segera menikah. Memang kita tuh suka lupa terhadap takdir, padahal menikah itu adalah kehendak dan pilihan Allah, dan itu adalah yang terbaik untuk kita. Akhirnya kami menikah pada Agustus 1989 saat itu umur saya 26 tahun dan bapak 28 tahun. Bapak belum selesai S2 di Saudi dan saya juga masih kuliah di IAIN Yogyakarta.

Dan sesungguhnya, waktu pertama kali ketemu, saya memang nggak langsung tertarik. Belum terlalu mantep dengan dia. Apalagi ketika datang pertama kali penampilan dia juga tidak meyakinkan. Istilahnya nggak oke!

Beberapa waktu setelah itu, ketika bapak datang lagi, saya sudah siap. Apalagi, usia saya sudah di atas cukup. Orang tua sendiri sangat mendorong terutama ayah. Beliau ingin sekali menikahkan saya dengan suami. Kayaknya orang tua saya tuh sudah mantep banget dengan dia, sehingga saking semangatnya, kayaknya yang mau nikah itu ayah saya saja.
 
Proses perkenalan saya dengan bapak mengalir begitu saja. Sebenarnya waktu itu dia mau dijodohkan sama kakak saya, tetapi kakak saya meminta agar dengan saya saja. Sebenarnya pula, banyak yang sudah meminta atau melamar bapak, baik dari temannya maupun dari kyainya yang di Gontor, tapi memang sudah jodoh kali ya, kalau jadinya justru saya dengan dia.

Saya bisa mengenal dia lebih jauh, adalah lewat teman-teman. Kebetulan temen-temen dia yang di Gontor adalah temen saya juga, sekaligus temen kakak saya di IAIN. Dari mereka itu saya mendapat informasi siapa dia. Mereka bilang,”Hidayat tuh orangnya kutu buku, nilainya bagus-bagus”.

Proses pernikahan kami berlangsung sederhana, hanya mengundang orang sekampung yang masih saudara semuanya. Akadnya di rumah saya dan walimahnya di rumah dia. Mahar yang saya terima adalah seperangkat alat sholat. Sementara biaya acara walimah semuanya dari dia.

Dulu dia itu nggak pernah berusaha tampil rapi. Bahkan juga saat mau menikah. Sampai-sampai pikir saya waktu itu, “Ini orang mau nikah, mau penganten, kok acak-acakan begitu”. Tapi dari sisi hati dan pikiran saya, orang seperti dia itu memang pilihan saya. Apalagi bapak punya kelebihan dari segi agama.

Ada yang menarik saat saya menikah. Waktu itu ayah punya prinsip, bahwa pernikahan tidak boleh mengganggu waktu sholat. Karena itu akad nikah kami berlangsung pukul 7 pagi dan selesai sebelum zuhur. Akibatnya, jadi omongan orang sekampung. Tetapi memang begitulah ayah saya, sangat menjaga waktu sholat.

 

YOYOH YUSROH (Anggota DPR-RI Fraksi PKS) – BUDI DHARMAWAN

Proses Pernikahan Kami hanya Dua Pekan

Saya menikah pada usia hampir 23 tahun sementara suami 24 tahun. Kami sama-sama masih kuliah, saya di tingkat akhir IAIN Jakarta dan suami di Psikologi UI. Yang memotivasi menikah adalah ingin menjalankan sunnah Rasul, mempunyai pendamping hidup. Saya pikir dengan menikah dakwah saya akan lebih aktif, karenanya pendamping yang saya harapkan adalah yang bisa memberi dorongan untuk dakwah saya. Alhamdulillah, Allah memberikan pendamping yang saya harapkan, pak Budi – suami saya – sangat mendorong aktifitas saya dalam dakwah. Allah mempertemukan kami dengan semangat dakwah yang sama.

Sebelum menikah dengan pak Budi, sebenarnya saya sudah disiapkan calon suami oleh orang tua saya, masih keluarga, dan sedang belajar di Timur Tengah. Tetapi ia bukan seorang aktivis dakwah.

Pada satu waktu, laki-laki yang dicalonkan oleh ayah saya tersebut akan datang pada hari Kamis untuk melamar saya. Saat teman saya – sesama aktivis – mengetahuinya, merekapun sepakat segera mencarikan calon sesama aktivis seperti yang saya harapkan, untuk saya. Didapatlah pak Budi.

Pak Budi pun datang melamar pada malam Kamis, tepat sehari sebelum kedatangan calon dari ayah saya. Maka, walaupun sempat marah karena tiba-tiba datang calon lain untuk saya, ayah saya akhirnya menerima lamaran Pak Budi. Hal itu dikarenakan Ayah saya adalah seorang yang memahami nilai-nilai Islam, dan alhamdulillah pak Budi dan teman-temannya yang datang begitu meyakinkan ayah saya tentang hal itu, bahwa mereka paham agama, bahkan bicaranya pun masalah agama.

Alhamdulillah saya merasa puas. Karena buat ayah saya, yang penting memang itu. Menjodohkan saya dengan keluarganya yang di Timur Tengah juga karena itu.

Ketika mengetahui saya sudah dilamar orang, calon yang bermaksud melamar saya pada hari Kamis akhirnya tidak jadi datang. Alhamdulillah mereka memahami bahwa tidak boleh mengkhitbah orang yang sudah dikhitbah.

Ada cerita menarik seputar proses pernikahan saya itu. Misalnya adalah ketika Pak Budi datang ke tempat kos saya – saat itu saya masih kos – untuk sauatu keperluan, beliau datang bersama empat orang temannya. Saya pikir bukan pak Budi yang melamar saya – karena ada beberapa orang yang datang – saya menyangka salah satu diantara mereka. Bahkan sampai saat beliau melamar, saya masih menyangka bukan pak Budi orangnya. “Saya memang nggak ngeh. Ada satu orang yang saya lihat, saya pikir mungkin itu yang dijodohkan buat saya”. Dan kebetulan lagi yang mengantar itu tidak memperkenalkan yang mana Pak Budi.

Setelah mereka pulang, saya baru bertanya ke teman dekat saya.”Yang mana sih yang melamar saya”, ternyata bukan orang yang saya duga.Tetapi saya percaya dengan teman yang mencarikan jodoh untuk saya itu, seorang yang dapat dipercaya dan objektif mencarikan jodoh untuk saya. Karena kalau saya mencari sendiri mungkin subjektivitasnya lebih bermain, dan Insya Allah teman saya itu mencarikan jodoh yang sesuai dengan kriteria.

Hal lain yang berkesan dari proses pernikahan saya berkaitan dengan nama pak Budi. Saat itu, yang satu, yang akan melamar saya juga bernama Budi, maka ketika ayah bertanya Budi siapa? Saya sebut Budi Sudarsono. Baru kemudian ketika dikasih cincin saya tahu bahwa namanya Budi Dharmawan karena tertera di dalam cincin. Jadi tahu namanya Budi Dharmawan ya di situ, pada hari Kamis sesudah dikhitbah. Juga tadinya saya pikir dia orang Betawi seperti saya. Ketika dikhitbah barulah saya tahu bahwa dia itu orang Solo.

Memang, waktu itu saya hanya berfikir yang penting adalah kepahaman nilai, bukan masalah suku atau masalah lain. Saya enggak mempermasalahkan itu. Dan mungkin itu juga yang mempermudah urusan. Tidak melihat latar belakang budaya, suku dsb. Apalagi saya melihat bahwa hidup yang paling enak adalah kalau kita mengikuti Rasulullah. Rasulullah kan mengatakan memilih pasangan itu karena empat hal, karena agamanya, karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya. Maka pilihlah yang berdasarkan agama. Niscaya akan menjadi rumah tanga berkah.

Kalau menikah karena kecantikan atau ketampanan, hal itu bisa hilang, karena ada batasnya. Pada usia tertentu saja kan orang tampan atau cantik, nanti tidak lagi. Kekayaan juga relatif, keturunan pun demikian. Tapi iman lain, bahkan tak dapat diwarisi. Alhamdulillah kami dulu membenarkan itu.

Proses pernikahan kami begitu cepat dan mudah. Malam Selasa ketemu, malam Kamis pak Budi datang, dua pekan kemudian kami menikah yaitu pada tanggal 17 April 1985, di Tangerang.

Memang ada hambatan sedikit, berkaitan dengan masalah adat pernikahan. Ayah saya tadinya menolak pernikahan dengan adat Islam, di mana acara resepsi pernikahan itu dipisah antara laki-laki dan perempuan, juga tidak tabaruj dll. Ayah sampai heran, nikah kok seperti orang shalat. Tapi setelah saya jelaskan, Alhamdulillah akhirnya ayah dan keluarga besar menerimanya. Bahkan karena ayah seorang penceramah, beliau menjadikan cara pernikahan itu sebagai topik ceramahnya. Jadi beliau justru mempopulerkan pernikahan seperti itu di daerah saya.

 

SITARESMI SOEKANTO (Anggota DPR-RI, Fraksi PKS) – TAUFIK BAKHTIAR

Bagian dari Perjuangan Dakwah

Sebelum menikah (April 1984) saya pernah menulis artikel di majalah Fakultas Sastra UI bahwa tidak ada pacaran dalam Islam. Saat tulisan itu terbit, beberapa teman memprotes saya karena artikel itu. Mereka bilang tulisan itu tidak realistis, tidak membumi. “Memangnya menunggu jodoh dari langit. Pacaran itu kan ikhtiar,” kata mereka.

“Ikhtiar itu enggak harus menempuh jalan yang tidak diridhoi Allah. Pacaran, pada dasarnya kan jadi tempat melakukan kemaksiatan, investasi dosa dan seterusnya,” jawab saya waktu itu.

Beberapa bulan setelah peristiwa itu, saya dilamar oleh suami saya, Taufik Bakhtiar. Waktu itu, ia adalah seorang aktivis dakwah di Fakultas Sastra UI. Cara suami saya melamarpun cukup unik. Yaitu melalui surat lamaran yang isinya surat Al-Baqarah. Saya kaget karena sebelumnya tidak ada sinyal apa-apa. Saya merasa bahwa surat itu adalah isyarat. Saya sempat melakukan introspeksi apakah selama ini saya salah. Namun, setelah ditegaskan olehnya bahwa sebenarnya dia mempunyai kecenderungan dan do’a ingin segera menikah untuk meluruskan motivasi yaitu ikhlas karena dakwah, hati saya pun lega.

Awalnya, perasaan saya sendiri terhadap dia biasa-biasa saja, bahkan, sampai saatnya menikah. Saya hanya simpati pada akhlaknya karena dia terkenal sangat waro’. Di tengah kehidupan mahasiswa sastra yang terkenal borjuis, dia tetap tampil sederhana. Saya tidak berani menolak lamarannya karena takut kepada Allah. Saya teringat hadits yang mengatakan bahwa bila ada pemuda yang datang melamar dan kamu kenal baik akhlaknya, maka mendatangkan fitnah jika kamu tolak.

Bulan Pebruari 1998, saya menikah. Alhamdulillah, terjawablah semua pertanyaan teman-teman saya. Mereka tahu bahwa saya dan calon suami saya, Taufik Bakhtiar, mesti satu fakultas, tidak pacaran. Kami memang sama-sama aktif di kampus, kadang kerja sama dalam peringatan hari besar Islam, sama-sama merintis dakwah di sastra, dan lain-lain. Namun selama kegiatan-kegiatan itu saya justru tidak pernah akrab dengannya.

Saat menikah, usia kami 21 tahun. Pernikahan kami berlangsung sederhana, - dengan mahar Mushaf Al-Qur’an – karena begitulah keinginan kami. Kami tidak ingin ada unsur kemubaziran, bermegah-megahan, ikhtilath, dan segala macam. Pokoknya kami ngin mendapatkan keberkahan dan ridho dari Allah. Semangat kami memang masih “ekstrim” , tapi “ekstrim” yang kurang pengetahuan. Sampai-sampai dokumentasi pun tidak ada sama sekali. Sekarang, kami menyesal juga karena tidak ada dokumentasi.

Kesan yang dirasakan para tamu yang dating dalam pernikahan kami adalah sederhana, religius dan khusyu’. Saat menjadi pengantin saya mengenakan baju abaya putih yang dijahit ibu teman saya, dengan harga benar-benar murah. Tanpa olesan make up sama sekali. Ada sebagian teman yang ngebecandain, katanya saya seperti malaikat lewat. Karena semua yang saya kenakan saat itu, dari jibab sampai kaus kaki, putih semua.

Satu hal yang unik, waktu itu saya ingin yang ceramah pada pernikahan saya adalah ustadz “A”. Namun, ternyata beliau sedang ke luar kota. Saya pun menunggu, karena saya mau beliau yang khotbah. Sampai detik terakhir saya masih istikharah, “Ya Allah kalau detik-detik terakhir ini dia tidak baik untuk saya, maka jauhkanlah”. Saya sempat berpikir, apakah ini pertanda bahwa pernikahan kami akan gagal karena ustadz tak kunjung datang. Ternyata ustadz datang dan memberi khotbah nikah. Selesai khotbah teman-teman kami teriak Allahu Akbar, Allahu Akbar. Nuansa jihadnya sangat terasa.

Sesuatu yang selalu kami syukuri ialah, dengan menikah kami bisa meningkatkan daya juang. Bahwa pernikahan itu adalah bagian dari perjuangan dan penegakan dakwah, serta kalimatullah di muka bumi. Sejak awal kami sudah mengawali pernikahan ini dengan nafas religius dan kedekatan kepada Allah.


Sumber : majalah UMMI edisi 5 tahun 2002 yang ditulis ulang di Blog seorang kawan
http://aaganztenk.multiply.com/tag/pernikahan

Sumber saya: http://rullyaguscandra.multiply.com/journal/item/9/Kisah2_Pernikahan_Kader_PKS

30 comments:

  1. duh kok ente bisa tau begitu....
    btw, ente nih apanya ya?
    hebat bisa tau perjalanan beliau
    sukron atas infonya!!

    ReplyDelete
  2. copas doang kok ^-^
    *sumber saya saya tulisakan dibagian paling bawah artikel :)

    ReplyDelete
  3. ths sharing nya. copas nya :)
    T k p .

    ReplyDelete
  4. jadi inget sama ustdzh Yoyoh dan pak Budi...mereka pernah ngasih hadiah ke indah... ^__^
    Oooo..jadi begitu yah prosesnya mereka....makasih dah bagi2....

    ReplyDelete
  5. subhanallah AllahuAkbar !!!

    ReplyDelete
  6. aq denger 3bulan lagi dikau menyusul jejak mereka
    ipin........ditunggu undangannya :)

    ReplyDelete
  7. waaahhh..
    hebatnya.
    eh, ipin mo merit?

    ReplyDelete
  8. waaah subhanalloh, dah dapet reperensi nih yak? hmmm pak ipin mo nyusul nih

    ReplyDelete
  9. TFS yah pin
    udh mo nikah jg neh kykna?...

    ReplyDelete
  10. ditunggu ustad syamsul arifin vs annisa ramadhani %peace%

    ReplyDelete
  11. ditunggu ustad syamsul arifin vs annisa ramadhani %peace%

    ReplyDelete
  12. ditunggu ustad syamsul arifin vs annisa ramadhani %peace%

    ReplyDelete
  13. ipin... asty tunggu undangan.. yipee..
    jangan2 ipin mw bkin pembentukan panitia nih...

    ReplyDelete
  14. Assalamu alaykum,salam kenal dari keluarga Genc. Senang sekali membaca proses pernikahan tanpa pacaran...InshaAllah semua yg membaca dan generasi berikut2nya selalu dijaga Allah dan tidak pernah pacaran..tapi kalau pacaran sesudah nikah (sudah suami istri yg sah) boleh yaaa..;)

    ReplyDelete
  15. @mattajogja & happyaisyah
    sama2 :)

    @indah
    ow.. dikasih hadiah apa ndah sama mereka? :)

    @mujayanah
    :)

    @andiddt
    semoga bermanfaat

    @eche &chicbee
    ya iyalah, siapa sih yang ngga mau nikah :P
    *tapi "kapan"nya itu lho :D

    @nandri
    ada sumbernya di bagian paling bawah kan :)
    insya Allah ASAP (semoga - amin) ^-^

    @sieems
    wew :P hehehe

    @asty
    doakan aja :)

    @nuelsa
    wassalamualaikum. salam kenal juga ^-^
    hmmm... seperti itu ya :)

    ReplyDelete
  16. ^_^... *no comment dari alin, Kak! :)

    .... cuma mau ingatin Kak Ipin saja, jangan lupa ya undangannya juga satu lembar buat Alin :D

    ReplyDelete
  17. wah....alhamdulillah...kalo saya pas 2 minggu

    ReplyDelete
  18. no comment ah...blum cukup umur..hhe.. :D

    ReplyDelete
  19. saya kasihan dengan idola saya Pak Hidayat. Istrinya baru-baru ini meninggal. Mudah-mudahan Pak Hidayat tabah dan Istrinya diterima di sisi Allah. Amiin.

    ReplyDelete
  20. Maha suci Allah akan keindahan skenario-Nya

    ReplyDelete
  21. Wah.... Sy bangeeets nih.. Narsis Mode On...

    Kayak gimana ya.. kisah pernikahan saya.. hehehe...

    Anyway.. mau nikah ya mas???? atau malah udah nikah???

    ReplyDelete
  22. Bulu kuduk berdiri pas baca yang ini...

    ReplyDelete
  23. @alin
    insya Allah

    @pangerans
    wew.. kerenz... gimana ceritanya mas ? ^-^
    share dunk ^-^

    @mba chair
    semoga mba
    *doakan semoga dimudahkan ^-^

    @fathia
    yang belum cukup umur belum boleh masuk sini :P
    hehehe :D

    @penjelajah waktu
    semoga beliau diterima disisiNya

    @moslemalda
    yups, maha suci Allah

    @ariomuhammad
    hayuuu, gimana kira2 :D

    ReplyDelete
  24. amin... mudah2an bisa nambah artikel di atas dengan kisahnya ipin sendiri :)

    ReplyDelete
  25. Subhanallah mudah2an pernikahan mereka menginspirasi kita,

    ReplyDelete
  26. lagi iseng ngegoogle,coba mau cari nama ibu saya (sita). eh nemu artikel ini..makasi udah ngeupload. jadi tau kisah merekaa.. langka niih.. thx again. :)

    ReplyDelete
  27. @allicaneat
    :D itu ibumu toh ^_^
    wah, emang ngga pernah minta ceritain ke mereka kisah cintanya :D

    btw, bu sitaresmi juga ngajar di fakultas saya lho :D

    @seambimadina
    yups, inspiring :)

    @mba chair
    halah2.... :D doakan sajah :D

    ReplyDelete