“Kak, si Anto sudah punya baju lebaran”, Dika bersuara pelan, dia duduk di kursi panjang anyaman bambu, di samping kakak perempuannya, tangannya masih asyik memaju-mundurkan mobil-mobilan dari kulit jeruk bali-nya.
Sang kakak menghentikan sejenak pekerjaan memarut kelapanya. Dua hari lagi lebaran.
“Dia ingin dibelikan baju baru juga, seperti teman-temannya”, batin Ifa bergumam.
Ibunya masih di belakang, mencuci baju-baju tetangganya. Semenjak ayahnya meninggal, praktis ibunya Ifa yang menanggung semua kebutuhan keuangan.
Matahari pagi masih hangat menembus bilik-bilik kayu rumah mereka. Ifa menatap adiknya, dia tersenyum tenang,
“Baju lebaran mah ngga terlalu penting, yang penting sekarang Dika sudah bisa puasa penuh selama sebulan, ngga setengah hari lagi
Dia mengenggam kedua tangan adiknya yang masih berusia tujuh tahun, badan mereka berhadap-hadapan. Menanti tanda persetujuan. Lama, sang adik mengangguk.
Tidak tega ia meminta kepada ibunya, tunggakan bayaran sekolahnya pun sudah dua bulan belum juga diberikan.
***
Hari lebaran.
“Dika hayo bangun, kamu mau ikutan shalat eid ngga?”, sang kakak mengguncang-guncangkan tubuhnya.
Dika tetap tiduran. Mungkin malu karena tidak punya baju baru.
Sang ibunya pun sudah berusaha membangunkan, tapi perasaan para ibu memang tercipta halus, tahu dan paham alasan-alasan ketika anak mereka bertingkah. Raut wajahnya terlihat sedih. Tidak bisa membelikan baju baru.
Ifa membuka lemari pakaiannya, mencari-cari pakaian yang masih layak untuk hari raya. Dilihatnya sebuah rok warna hijau yang tidak terlalu lusuh, dia memang sudah mempersiapkan sebelumnya, mencucinya bersih, menyetrikanya rapi.
***
Selepas shalat Ied.
Semarak suasana lebaran, bersalam-salaman, anak-anak kecil berlari-larian, wangi baju baru, lekukannya saja masih terlihat, sepatu dan sandal baru, sarung, peci dan baju koko baru.
Ifa menatap rok hijaunya, ada sedikit jahitan di ujungnya.
“Lho, mana baju barunya fa?”, pa Eko, sang ketua RT menyapa setelah Ifa bersalaman, mencium tangannya.
“Ketinggalan pak”, sahutnya pendek.
“Ketinggalan dimana?”
“Masih ketinggalan di toko baju pa”, Ifa mengelak, sedikit tertawa, mereka sama-sama tertawa.
Dika, adiknya Ifa masih mengunci diri di kamar rumah, malu. Ifa masih bisa tersenyum melewati jejeran baju-baju baru yang berlarian dan berseliweran kesana-kemarin, bersalam-salaman.
---000---
Samarinda, 04102008
Syamsul Arifin
Walau mungkin kisah nya fiktif, tp masih banyak realita yang seperti itu. Menyedihkan.. smg mengetuk pintu hati semua.
ReplyDeleteklo cuma komen sedih kayaknya krg berguan yah.....
ReplyDeletesetidaknya jd sedikit pelajaran bagi qta untuk tdk senang sendirian saat idul fitri
@ilasyegaf
ReplyDeleteyup, memang dibuat miris :)
semoga bisa :)
@lyliena
yup, mungkin seperti itu :)
makasih atas apresiasinya ^_^
sebetulnya sih ada pesan yang ingin disampaikan lewat cerpen ini, yaitu bahwa ramadhan telah mengajarkan mengenai sensitifitas/kepekaan terhadap kebutuhan orang yang membutuhkan (ada pelajaran mengenai kelaparan di puasa), dan seharusnya sekolah ramadhan bisa menjadikan para alumninya menjadi lebih bersifat sosial.
lebaran adalah hari kemenangan, gong-nya dari bulan puasa, tapi bisa jadi dan mungkin saja, pada hari raya tersebut, masih ada mereka yang membutuhkan, dan kita pun harus bisa membantu mereka, bukan hanya dengan pertolongan yang tabrak lari, tapi pertolongan yang kontinu di bulan2 selanjutnya, contoh yang saya angkat adalah kebutuhan biaya sekolah sang tokoh utama yang yatim, yang disini digambarkan menunggak sampai beberapa bulan
semoga, sekolah ramadhan bisa menjadi kita (para alumninya) menjadi pribadi yang lebih baik (amin) ^_^
*sebuah pesan bagi diri pribadi*