Deru mesin pabrik masih tetap sama seperti hari-hari sebelumnya, suara yang telah menjadi bagian keseharian pekerjaanku selama bertahun-tahun. Aku hampir-hampir hafal setiap detail dan sudut pabrik otomotif seluas 3 hektar ini, tempat aku mencari nafkah selama hampir lebih dari 8 tahun.
Aku memasuki sebuah ruangan besar, agak terpisah dari tempat produksi. Beberapa sekat-sekat pemisah meja, membagi divisi-divisi yang ada, produksi, personalia, perencanaan, marketing, maintenance, mekanik, support, dan lain-lain. Dari level supervisor ke atas, ada ruangan-ruangan khusus yang disediakan di sekeliling ruangan besar ini.
Seorang pemuda berusia 26 tahun, tinggi, putih, dan cukup tampan, menarik kursi meja kerjanya yang beroda, terlihat beberapa butir keringat meluncur dari dahinya.
"Ali, ke ruangan saya dulu yuk, ada yang mau saya bicarakan", aku menepuk pundaknya.
"Eh, iya pak", ia mengangguk dan mengikuti langkahku, menuju ruanganku, manajer produksi.
Ali, karyawan cerdas dengan tinggi 183 cm itu menutup pintu ruangan, mengambil posisi duduk di sofa kecil berwarna biru, di sebelahku. Aku suka desain sofa ini, aku yang memilihkannya sendiri, simpel dan nyaman. Simplicty is modernity, begitu slogan yang aku suka.
"Gimana kabar keluargamu di Bandung?", aku membuka perbincangan.
"Alhamdulillah baik-baik aja pa", ia menjawab.
"Ibu dan adik-adikmu?", aku meneruskan bertanya. Ali adalah pemuda yang bertanggungjawab, ibu dan adik-adiknya ada di kampung halaman, selama ini, ia yang mensupport mereka semua.
"Iya, baik-baik aja pa", sahutnya.
"Begini, kita ngobrolnya bukan dalam kerangka kerja nih, jadi santai saja", aku menyandarkan tubuh ke sofa, mencoba mencairkan suasana.
Ia mengangguk pelan.
"Kamu kenal anak bapak, si Nisa, kan..?", aku bertanya. Pemuda yang kuajak bicara, Ali, pasti mengenal anak gadisku, Annisa Ramadhani, sebulan yang lalu, aku mengajaknya ikut acara family gathering perusahaan di Pantai Carita.
"Iya, kenal pa, yang kemarin ikut ke Carita kan?", dia mengkonfirmasi.
Aku membenarkannya dengan anggukan.
"Begini, Nisa kan sudah lulus tahun kemarin, dan sekarang juga sudah bekerja", jeda sesaat, "dia sepertinya sudah cukup umur untuk menikah."
Aku mengenal Ali sudah cukup lama, kira-kira hampir setahun ini ia berada dibawah kepemimpinanku. Ia pemuda yang baik, kepribadiannya menarik, ibadahnya rajin, pekerjaannya pun lancar-lancar saja.
Aku ingat perkataan Hasan bin Ali RA ketika ditanya oleh seseorang mengenai suami bagi anak putrinya. Hasan bin Ali RA menjawab, "Seorang laki-laki yang bertakwa kepada Allah. Karena jika ia senang, ia akan menghormatinya dan jika ia sedang marah, ia tidak suka berbuat zalim kepadanya". Pemuda seperti Ali inilah yang tepat untuk jadi suami Nisa, anakku satu-satunya.
"Kamu sudah punya calon istri, pacar..?", aku bertanya.
"Belum pak", ia menjawab pelan. Pertanyaan retorika.
"Ya sudah, begini, saya mau menikahkan kamu sama si Nisa, kamu mau tidak..?", akhirnya, kuungkapkan maksud dan tujuanku berbicara dengan dirinya.
Deugh... ia terlihat terperanjat mendengar perkataanku.
"Maksudnya pa..?", Ali mencoba menenangkan diri, menggaruk-garuk kepalanya, kikuk.
"Nisa, insya Allah adalah anak yang taat pada orangtua, dan bapak tahu persis bahwa dia tidak sedang pacaran atau dekat dengan seseorang. Bapak melihat kamu sebagai anak yang baik, shalat kamu rajin, ngga neko-neko. Makanya bapak mau kamu jadi suaminya Nisa."
Ali Imran, dia sudah siap untuk menikah kok, usianya sudah mencukupi, ia pun memiliki pekerjaan. Apalagi yang kurang? Kurang pendamping hidup, itu saja.
"Ok, kamu pikirkan dulu baik-baik. Saya harap bisa ada keputusan yang terbaik dari kamu dalam waktu seminggu ini", aku memberinya cukup waktu untuk berpikir, karena pernikahan memang bukan sebuah hal yang sepele, perlu pertimbangan yang matang.
"Iya pa, akan saya pikirkan dulu satu minggu ini", katanya.
* * *
Jodoh bagi anakku adalah tanggungjawabku, begitulah Imam Al-Ghazali di dalam kitab Ihya' berpesan, agar berhati-hati menjaga hak anak perempuan, karena setelah menikah, ia akan sangat terikat, sedang suaminya bebas menceraikannya kapan saja ia suka.
Annisa Ramadhani, ah.., tidak kusangka, ia sudah dewasa dan harus memulai langkahnya sendiri bersama suaminya. Ah, si cantik yang sangat mirip almarhum ibunya yang lembut bagaikan awan, harus dan akan terpisah dari diriku. Air mataku mengalir, terbayang wajah istriku yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak bisa terbayangkan, bahwa suatu saat nanti, aku pun akan berpisah dan berjauhan dengan jelmaannya, Annisa Ramadhani.
Huff...
Besok adalah hari ketujuh semenjak perbincangan itu. Hari terakhir dimana aku akan mendapatkan jawaban dari tawaranku kepada Ali.
Ah... aku menghela nafas panjang.
---000---
Samarinda, 10 Februari 2009
Syamsul Arifin
*Sudut pandang ke II dari cerpen "Ditawari jadi Mantu", still "only in my imagination" ^_^
Lumayan....:)
ReplyDeletehmm... syamsul ALI arifin... jadi gimana? mo nikah sama nisa? ;)
ReplyDeleteOuw....
ReplyDeleteSelamat ya nak Ali..
Uhuk..uhuk...nenek cuma bisa do'a in kamu nak...
:D
ternyata...mas ipin-ali hasan...
Udah..terima aja....
Hehe..
@ivoniezahra
ReplyDeletekritik dan saran dunk ^_^
@itsumoganbattery
weleh... gubraks deh, ini kan cuma fiksi :)
@ida
hehehe, iya nek, lagi dipikirin dulu :P
*fiksi2x :D
Seorang pemuda berusia 26 tahun, tinggi, putih, dan cukup tampan......huehehehe...semoga bukan bukti kenarsisan ya...^_^,.....
ReplyDelete@isyana
ReplyDeletewaduh, saya ngga narsis kok ^_^
mungkin itu hanya kesamaan karakter, fisik, dll-nya ajah :D hehehe
ALI..pin, sekarang mah udah lewat 7 hari. Lekas dijawab, atuuuh... :p
ReplyDeleteAto abis ini mau ngundang Nisa yang nyeritain?
nisa datang,
ReplyDelete"Bapak, jangan jodoh-jodohkan saya.. Bapak sendiri belum menikah (untuk yang kedua kali).. sesama jomblo dilarang menjodoh-jodohkan!!! "
"ahhh.. tidakkk... saya cuma mau sama nicholas saputra, pakk..."
@nverad
ReplyDeleteweleh, its just a fiction :P
@nisa
halah2x, kamu kan nisa dhauly, bukan annisa ramadhani :P
weks, itu komentar di postingan sebelah tuh :P
ada cerpen "ditawarin istri" gak?
ReplyDelete