05 April 2010

Jadilah Pemberani, seperti Rasulullah SAW

Anas RA berkata, "Rasulullah SAW adalah orang yang paling baik, paling dermawan (murah tangan), dan paling berani". (HR. Ahmad)

Keberanian adalah suatu sikap yang mulia. Kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan berani sebagai berikut: “mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang benar dalam menghadapi kesulitan.”

Rasulullah SAW mengajarkan kita mengenai makna keberanian, bukan sembarang berani, namun keberanian yang patut diapresiasi, karena ditempatkan pada waktu yang tepat, ditunjukkan di kondisi yang semestinya.

Ali bin Abi Thalib menceritakan keberanian Rasulullah sebagai berikut, "Ketika perang sedang berkecamuk dan dua pasukan telah saling membunuh, kami para sahabat berlindung di balik Rasulullah dan tidak ada seorangpun yang lebih dekat kepada musuh kecuali beliau." (HR Al-Baghawi dan Muslim)

Al-Abas bin Abdul Muthalib menceritakan keteguhan Rasulullah dalam Perang Hunain, "Ketika pasukan muslim mundur, Rasulullah tetap menghadapkan kudanya ke arah musuh dan aku memegang tali kekangnya supaya tidak berlari cepat, waktu itu kudengar Rasulullah berkata, `Aku Nabi bukan pembohong aku cucu Abdul Muthalib." (HR Muslim)

Berani Membela Kebenaran

Dibutuhkan banyak keberanian untuk dapat tetap tegak berdiri membela kebenaran, terlebih lagi jika kondisi lingkungan tidak mendukung, berada di tengah sistem yang korup, sendirian saja memegang nilai-nilai kebaikan, tanpa kawan seperjuangan.

Di dunia kerja, beberapa profesi mengharuskan kita -sebagai seorang muslim- memiliki keberanian yang berlapis, melawan arus utama, dan tak jarang harus berhadapan dengan atasan yang bersebrangan. Sulit memang, tapi (harus) bisa dijalani.

Cibiran dan gunjingan memberikan tekanan psikis yang tidak nyaman. Promosi karir jadi terancam. Namun siapa bilang jalan ke surga itu mudah?

Berani menyuarakan kebaikan

Ketika kebatilan berbunyi nyaring, gaungnya bergema dari mana-mana, dibutuhkan keberanian, kemampuan dan kekuatan untuk menjadi penahan laju kemungkaran.

Media massa dikuasai kapitalisme, hedonisme, permisivisme, dan segala isme-isme yang merusak lainnya. Keuntungan pribadi jelas jadi perhitungan. Tidak dilirik pangsa pasar. Dijauhkan, dikucilkan, hukuman pidana dan perdata ancama dari orang-orang yang terusik “kesenangannya”. Ketika inilah, diam tidak lagi menjadi emas, dada harus penuh dipompa keberanian, untuk dapat tetap teguh menyuarakan kebaikan.

Berani mengoreksi penguasa

Penguasa bukanlah malaikat yang selalu benar, terkadang disengaja-ataupun tidak, ada kebijakan dan perbuatannya yang sedikit-banyak menyimpang dari rel. Penguasa memegang kekuasaan tertinggi dari suatu wilayah, tak jarang hukum dipermainkan di tangannya. Para penentang atau bahkan orang-orang yang bersebrangan pandangannya bisa saja mendapatkan hukuman.

Maka dari itulah, Nabi memotivasi kita dengan hadits berikut,

Jihad paling afdhol ialah menyampaikan perkataan yang adil di hadapan penguasa yang zalim dan kejam. (HR. Aththusi dan Ashhabussunan)

Begitu pula dengan atasan kita di tempat kerja, kalau memang tindak-tanduknya menyimpang, luruskan, perbaiki, tentunya dengan perkataan yang baik.


Di Zaman modern seperti sekarang ini, keberanian tetap diperlukan, bukan hanya ketika menghadapi musuh di medan perang, tapi juga menghadapi “musuh” di dunia kerja; melawan “musuh” yang terus lantang menyuarakan opini batil dan kemungkaran di televisi, radio, koran, majalah, dll.

Janganlah takut, karena jika kita memang benar, maka sesungguhnya Allah selalu menyertai kita.



---000---

Balikpapan, 5 April 2010
Syamsul Arifin

4 comments:

  1. saya berani!
    Kalo gak berani?
    Diberani2in..


    Teguran yg menginspirasi..

    ReplyDelete
  2. sebagai penulis mas syamsul berani gak

    ReplyDelete
  3. berkata benar..
    walau itu pahit..

    insya ALLAAH.. syukron pak..=)

    ReplyDelete