05 October 2010

[cerpen] Langkah Nisa

Mentari menampakkan sedikit sinarnya di pagi yang tak cerah.

"Heh, kalau kamu mau, kamu bisa bekerja di sini, nemenin tamu-tamu yang datang ke kafe ini. Uangnya lumayan banyak, tapi kamu harus lepas tudung kepalamu itu. Kamu lumayan cantik, pasti banyak yang mau ditemenin olehmu."

Tawaran kerja di kafe -diskotik- itu terbayang lagi. Senyum Pa Misran, pemiliki kafe -diskotik- yang menawarkan kegembiraan pelepas stres pada orang-orang yang haus kebahagiaan, mengembang senang.

Mungkin Tuhan akan memaafkan dosaku. Bukankah Ia maha pemaaf? Jika aku (mengambil tawaran) kerja itu, toh juga karena paksaan takdirNya -yang membuat aku mencicipi profesi nista. Humm, tidak nista ah, kan hanya menemani pengunjung yang datang minum bir -sebotol atau dua botol-, tapi kan aku tidak minum bir juga, hanya duduk saja menemani mereka.

Walaupun akalnya mengatakan hal demikian, tapi hatinya berontak, ia masih ingat betul pelajaran fiqh yang ia terima di madrasah tsanawiyah -yang tak sempat sampai lulus- bahwa orang yang duduk di meja yang sama dengan para peminum khamar, juga mendapatkan dosa yang sama.

Rasulullah SAW telah melaknat terkait dengan khamar ini 10 orang: yang memerasnya, yang minta diperaskan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan, yang menuangkan, yang menjualnya, yang mendapat keuntungan dari jual belinya, yang membelinya, yang dibelikan (HR At-Tirmizy dan Ibnu Majar dengan rawi yang tsiqah)

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah duduk pada meja yang diedarkan di atasnya khamar. (HR Ahmad dalam musnadnya)


Wajah teduh Ustadz muda Amir ketika dulu menyampaikan hadits-hadits itu terbayang di wajah Annisa Ramadhani.

Ah.., mungkin ia memang harus mengubur dalam-dalam imannya, untuk sementara waktu, demi menyelamatkan adiknya, agar tidak terus menerus tersiksa dengan kondisi tanpa anus!



***

Hari ini adalah hari pertama Nisa bekerja di kafe -diskotik-nya pa Misran. Ia mematut-matutkan diri di hadapan cermin yang sedikit terlihat kusam, walau cermin itu terlihat bersih -tanda terawat- tapi beberapa goresan di sisi dan pudarnya pantulan menandakan bahwa cermin itu sudah uzur. Pun begitu, wajah Annisa Ramadhani yang sebening awan masih tetap tampak mempesona ter-copy di balik cermin.

"Huh..," ia menghela nafas panjang.

Bismillah, seharusnya ucapan itu yang semestinya terucap sebelum melakukan aktivitas bekerja. Tapi untuk pekerjaan yang terbayang akan dilakukan di kafe -diskotik-nya pa Misran, ucapan Istigfar malah berkali-kali terlontar.

Ragu membayangi. Apakah ia akan melepas tudung kepala yang sudah setia menemaninya menjalani hari? Apakah ia harus meletakkan di balik lemari, simbol keshalehan dirinya kali ini? Apakah nanti pa Misran akan marah kalau ia datang dengar berpakaian seperti yang sekarang ini?

"Oh..," tak tega rasanya ia melepaskannya.

Dikuatkan niat, bahwa ia akan datang dengan memakainya, nanti kalau pa Misran marah, barulah ia akan melepaskannya. Astagfirullah..!

Ayunan langkah Nisa menapaki jalan yang tak pasti. Terlihat jelas kegalauan sinar wajahnya. Lambat laun, ia sampai juga di tempat kerja -kemaksiatan- yang belum pernah sama sekali ia datangi. Untuk yang pertama kali -dan bisa jadi selanjutnya ia akan terbiasa menyambangi tempat ini.

Pandangan matanya diarahkan mengelilingi ruangan yang samar-samar tidak begitu terang. Suara musik house berdentum. Beberapa orang sedang asyik berkaraoke menyanyikan lagu tidak jelas -terlihat mereka sedikit mabuk, ada dua wanita berpakaian seronok yang menemaninya.

"Oh tidak! Apakah aku akan menjadi seperti itu nanti?"

Pandangan matanya terhenti pada sesosok orang yang telah ia kenal lama.

"Masya Allah!1) Itu adalah ustadz Amir, guru fiqhnya di Tsanawiyah dulu," batinnya terkejut, "sedang apa ia disini?"

Dua botol minuman bergambar topi merah tergeletak di meja, satu sudah kosong, satunya lagi masih ada setengah.

Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya;2)

Terbayang juga salah satu episode dimana ketika ia masih dibimbing Ustadz tersebut semasa sekolah dulu, dirinya pernah disentuh-sentuh olehnya. Bukan hanya dirinya, bahkan beberapa teman-teman wanitanya juga mendapatkan perlakuan yang sama. Cabul! Sehingga akhirnya kelakuannya menyebabkan ia dikeluarkan dari sekolah. Ntah bagaimana nasibnya setelah itu. Ternyata kali ini dia kembali bertemu lagi dengan ustadz cabul yang membuatnya trauma belajar agama. Dilihatnya pria itu sedang mengelus-elus tubuh wanita yang sedang menemaninya. Naudzubillahininzalik!

Segera ia berlari keluar, sambil menangis. Air matanya berderai menetesi tanah. Berkali-kali ia beristigfar memohon ampunan-Nya.

Di tengah jalan, ia bertabrakan (lagi) dengan seseorang ibu paruh baya. Ibu yang waktu itu pernah ditabraknya juga di pasar!

Brak!!! "Aduh, maaf bu saya tidak sengaja," Nisa mencoba menghapus air matanya. Pandangannya tertunduk.

"Aduh! Kamu ini! Lain kali hati-hati dunk!" sang ibu memperhatikan wajah gadis yang menabraknya. "Lho kamu..? Wah, sepertinya kita tidak bisa tidak bertemu selain dengan bertabrakan seperti ini ya..?" sang ibu itu sedikit tertawa melihat gadis yang menabraknya adalah Nisa, gadis yang sama yang menabraknya sewaktu di pasar dulu.

"Lho lho lho.., kamu kenapa nangis?"

"Ngga apa-apa bu," jawab Nisa tersengal-sengal, sesekali nafasnya beradu cepat meredakan tangisan.

"Hayuh-hayuh, ke tempat ibu dulu, kita bicara disana."


* * *

Segelas teh hangat berada di dalam genggaman Annisa Ramadhani.

"Oh, jadi itu toh ceritanya sehingga kamu menangis sampai seperti itu."

Nisa bercerita semua hal tentang dirinya, mulai dari kenapa ia akhirnya harus menerima tawaran pa Misran.

"Ah, mungkin kamu bisa bekerja di toko komputernya Alif, anak sulung ibu, siapa tahu dia punya posisi yang pas untuk kamu," ujar si ibu optimis. "Sabar ya anakku, ingatlah bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba di luar batas kemampuannya3). Kamu shalat, berdoa dan berusaha cari kerja lain yang lebih baik ya.., nanti klo ibu sudah ada kabar dari Alif, ibu akan hubungi kamu," senyum ibu itu hangat mengembang.

Benar kata ibu itu, Allah tidaklah luput melihat hamba-hambaNya. Ia tahu. Dan sungguh Ia maha berkuasa atas segala sesuatu.




---bersambung?---

27-05-2010 & 31-05-2010
Syamsul Arifin

foot note:
1) Ucapan masya Allah untuk keterkejutan sesungguhnya bukanlah suatu hal yang tepat. Masya Allah lebih tepat untuk ekspresi kekaguman. Untuk keterkejutan karena sesuatu yang buruk, perkataan "Innalilah" atau "Astagfirullah" lebih tepat. Lihat QS. Al Kahfi: 39
2) QS. Fathir: 8
3) Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. 2: 286)

*pernah diposting di sini & sini

4 comments:

  1. @zaffara, yups...
    @qhorieniezt, wah knp nih..?

    ReplyDelete
  2. Yaaaah bersambung..kapan sambungannya akan diposting pak..
    * mata saya udah berkaca kaca T_T

    ReplyDelete