"Tring.., ting.. ting...", denting suara piano kembali terdengar. Menerobos kamar di lantai dua rumah kost-an ku. Suara yang selalu ku nanti. Suara yang selalu bisa membawaku terbang tingi, menikmati empuknya awan, terbang jauh, diayun gelombang laut yang menenangkan. Denting suara yang bisa menghapus kedukaan, membawa kegembiraan, dan melupakan sejenak segala sesak yang menghimpit tenggorokan.
Aku berhenti sejenak di sebuah rumah dengan pagar kayu yang tingginya hanya sebatas paha. Rumah yang mengantarkan denting piano ke kamar kostku di seberang jalan. Di halaman rumah yang penuh berisi pot-pot tanaman rapi berjajar itu, ada seorang gadis yang duduk di kursi anyaman rotan, menikmati mentari senja yang lemah bersinar. Kutanya kepadanya,
"Hai.., apakah engkau tahu siapa yang memainkan piano yang selama ini sering ku dengar?". Gadis itu tersenyum.
"Apakah itu permainan pianomu?", tanyaku lebih lanjut. Sang gadis mengangguk. Ia meletakkan majalah yang ia genggam.
"Engkau suka dengan permainan pianoku?", tanyanya.
"Aku sangat suka sekali", jawabku antusias.
Ia hendak masuk ke dalam rumah, melewati sebuah pintu besar berukiran, sebelum akhirnya berkata,
"Kalau engkau mau, engkau bisa ikut masuk dan mendengarkanku memainkan piano". Aku mengangguk cepat, lalu kemudian mengiringinya.
Kini, sang gadis pemain piano itu telah menjadi istriku. Aku merasa sangat bahagia sekali, karena bisa menikmati alunan simfoni yang ia mainkan di setiap hariku. Kebahagiaan yang tidak bertahan lama. Lambat laun, setiap lagu dan nada yang dulu membuai diriku, mulai terasa tidak lagi terdengar merdu di telinga. Pujian yang dulu ku berikan, hampir tidak pernah lagi terlontar dari lisanku, tidak seperti waktu dulu, ketika aku sangat menginginkan dia tuk menjadi pasangan seumur hidupku. Aku rasa, aku mulai kehilangan alasan tuk tetap bersama dirinya.
Di perjalanan sepulang kerja, menuju rumah yang telah dibangun sang gadis pemain piano yang kini telah menjadi istriku, aku mendengar sebuah alunan piano yang berbeda. Terdengar menggoda. Sampai ia memaksa diriku tak pulang ke rumah lagi malam itu. Aku berdiri di depan rumah yang mengeluarkan dentingan indah piano yang baru kudengar sore tadi. Melupakan sang gadis pemain piano yang telah menantiku di rumah, yang dulu telah mengizinkanku tuk masuk ke dalam rumahnya, yang aku telah menghabiskan waktu yang lama bersama dirinya. Melupakan semua janji yang dulu pernah kulontarkan kepadanya, bahwa aku akan setia menemaninya, setiap malam mendengarkan permainan pianonya, sampai kami tua bersama.
Aku mendengarkan permainan indah piano tersebut, sampai pagi datang menjelang. Pagi datang menjelang, sedang hari itu hari kantor, aku harus berangkat kerja lagi, batinku bergumam. Aku membalikkan langkah, memutar arah dari menuju rumah, kembali ke kantor. Begitu terus terjadi selama tiga hari berturut-turut.
Sampai pada hari yang ketiga, seperti biasa, aku berhenti di depan rumah permainan piano baru yang mempesonakanku. Dari dalam rumah tersebut, terdengar sebuah percakapan.
"Aku masih tetap sangat suka sekali dengan permainan pianomu", suara lemah seorang lelaki terdengar, sepertinya ia sudah tua, batinku bergumam.
"Dan aku juga tidak pernah bosan memainkan piano ini untukmu", terdengar jawaban lemah dari dalam, sepertinya yang memainkan piano, yang membuatku tidak pulang ke rumah malam ini, adalah seorang nenek tua yang sedang memainkan piano untuk suaminya, yang juga sudah tua renta.
"Sudah hampir empat puluh tahun kamu memainkan lagu yang sama, lagu yang selalu dapat membuatku terpesona", kata sang pria tua.
"Dan sudah hampir selama itu pula engkau mendengarkanku, dan selalu setia mendampingiku memainkan lagu ini", jawab sang wanita tua.
"Sudah berlalu berpuluh-puluh musim hujan yang deras dan musim panas yang gersang, dan kita tetap masih saja bisa menikmati lagu yang sama", hahahaha, tawa mereka terdengar sampai ke tempat aku berdiri.
Aku tersentak. Lantas segera beranjak pulang. Ku temui rumah sang gadis pemain piano yang kini menjadi istriku, dalam keadaan gelap gulita. Aku mengetuk pintunya, kuat-kuat, namun tidak ada jawaban dari dalam. Ku dobrak paksa, namun ternyata, sudah tidak ada lagi piano kutemui disana. Dan juga, sudah tidak aku temui lagi sang gadis pemain piano yang dulu mempesonakanku, sang gadis pemain piano yang telah setia memainkan nada yang mempesona dalam setiap hari-hariku, sudah menghilang dari rumahnya.
Tanpa sadar aku telah menghancurkan hidupku, dan hidup sang gadis pemain piano itu. Ia telah berkorban banyak untukku, menyerahkan kepercayaannya kepadaku, bahwa hanya aku yang boleh mendengarkan dia memainkan permainan piano indahnya. Menghianati janjiku. Janji kepada bapaknya, dan janji kepada Tuhanku.
Aku bimbang. Apakah aku harus mengejar sang gadis pemain pianoku, yang telah menjadi istriku, ataukah..? Tanya berkelabat dalam dada, yang telah dipenuhi tipu daya.
04082008
-ipin4u-
Untuk sebait doa dalam dada, "Ya Rabbi, terangilah hati kami dengan ma'rifat kepadaMu, hidup suburkan dada kami dalam keimanan kepadaMu, lapangkanlah dada kami dengan ketawakalan kepadaMu"
Ketika seorang wanita telah menyanggupi tuk menjadi pendamping hingga akhir, maka sebenarnya dia telah mempersiapkan dirinya tuk hadapi apapun itu dengan tabah dan hanya bisa berharap pendampingnya adalah orang yang baik baginya. Bagi wanita menikah adalah sebagian besar hidupnya. Semoga bila kelak kau menikah, kau takkan pernah bosan mendengar denting yang sama yaa. (kalau aku sih bakalan belajar banyak lagu kali yaa, biar ndak bosaaan ^_^)
ReplyDeleteperumpaan yg bagus. Kadang kita slalu terpesona oleh rumput tetangga yg lbh hijau. Lupa bersyukur dgn apa yg kita miliki, padahal disitulah syeitan dgn cerdik mengelabui manusia.
ReplyDeleteT_T
hm.. metafora yang bagus..
ReplyDelete[serius nih]
eh, uda bagus kok, mas Ipin. apa ya? ini aja, paragrafnya diperhatiin biar ga binun. contohnya:
ReplyDeleteAku berhenti sejenak di sebuah rumah dengan pagar kayu yang tingginya hanya sebatas paha. Rumah yang mengantarkan denting piano ke kamar kostku di seberang jalan. Di halaman rumah yang penuh berisi pot-pot tanaman rapi berjajar itu, ada seorang gadis yang duduk di kursi anyaman rotan, menikmati mentari senja yang lemah bersinar. Kutanya kepadanya, "hai.., apakah engkau tahu siapa yang memainkan piano yang selama ini sering ku dengar?"
Gadis itu tersenyum.
"Apakah itu permainan pianomu?", tanyaku lebih lanjut.
Sang gadis mengangguk. Ia meletakkan majalah yang ia genggam. "Engkau suka dengan permainan pianoku?", tanyanya.
"Aku sangat suka sekali", jawabku antusias.
Ia hendak masuk ke dalam rumah, melewati sebuah pintu besar berukiran, sebelum akhirnya berkata, "kalau engkau mau, engkau bisa ikut masuk dan mendengarkanku memainkan piano".
Aku mengangguk cepat, lalu kemudian mengiringinya.
terus jangan diulang-ulang nyebut istrina. ini ni: sang gadis pemain piano itu telah menjadi istriku. bias ditemuin di paragraf 3, 4, 7, dan 9.
itu aja.idenya sederhana, tapi eksekusina keren. hehe... uda kaya komentator acara tipi. ga suka, ah. hhehe.. enak jadi pembaca murni aja. *tapi uda susah kayanya. haha*
@mba dyah
ReplyDeleteow, begituh ya ^_^ ok2, makasih atas tambahan sudut pandang wanitanya ^_^
@naila
makasih atas apresiasinya ^_^
rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau (menggoda), terutama bagi kambing2 yang tidak pakai kaca mata hitam dan tidak diikat
*kaca mata yang bisa membatasi pandangannya, dan diikat dengan tali keimanan dalam dada ^_^
@nisa
wah, akhirnya dipuji nisa juga ^_^
deuh, senangnya :D
@desi
wah, makasih banyak atas inputnya ^_^
btw, emang pengulangan itu sengaja saya lakukan, buat melakukan "penekanan" fakta cerita, tapi jadi terkesan jelek ya :D he3x, kira2 diapain ya bagusnya buat melakukan penekanan itu ^_^
ok2, besok2 perlu diperhatikan lagi klo kebanyakan seperti itu ^_^
*tapi salut, sampe benar2 dihitungin di paragraf berapa ajah :D
makasih2 atas masukannya ^_^
mas Ipin kambing? hehe... pis ^^v
ReplyDeleteterlalu panjang aja panggilannya. coba nyari nama panggilan yang pendek, jadi kalau diulang nggak terasa nggangu , tapi malah lebih berasa sedih (halah).
ow, begituh toh ^_^ ok2x ;)
ReplyDeletethanks atas masukannya :D
weks, maksud kambingnya apah tuh :P
saya mah masih belum punya lahan sendiri, jadi masih boleh bebas berkeliaran di rumput manapun juga %peace%
*OOT nih :toe:
*ngetiknya kemaren pas lagi ngigo, jadi harap maklum aja
ReplyDeletewkakakkak...
cerpen ini terhubung dengan [prosa] Saat Ku Berpaling
ReplyDeletehttp://genkeis.multiply.com/journal/item/295
^_^