myQuran - Komunitas Muslim Indonesia
Menu Spesial => Ramadhan dan Idul Fitri => Topic started by: wisdom on 11 July 2008, 17:23:04
Title: Kumpulan Hadits Dhaif dan Maudhu' Seputar Puasa dan Ramadhan
Post by: wisdom on 11 July 2008, 17:23:04
Kumpulan Hadits-Hadits Dha’if (Lemah) dan Maudhu’ (Palsu) Seputar Puasa dan Bulan Ramadhan
Oleh: Wisdom
Mukadimah
Bulan Ramadhan adalah bulan agung yang memiliki banyak keutamaan. Segenap umat Islam menyambutnya dengan antusias dengan berbagai macam ibadah. Hanya saja, tidak sedikit umat Islam yang terjebak pada rutinitas ibadah yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam agama. Oleh karena tu, Nampak perlu bagi kami untuk mengumpulkan berbagai hadits (semampu kami) yang sering digunakan untuk dasar beribadah dan untuk menghidupkan Ramadhan, baik yang dha’if (lemah, tidak authentic, invalid), dan shahih. Dengan harapan umat Islam bisa beribadah dan mengamalkan agamanya menurut dasar yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
Memang, sebagian ulama ada yang membolehkan menggunakan hadits dha’if dalam rangka menggalakkan amal shalih (Fadha’ilul A’mal) seperti Imam Ahmad, Imam Yahya bin al Qaththan, Imam Abdurrahman bin al Mahdi, Imam an Nawawi, Imam As Suyuthi, dan lain-lain, itu pun dengan syarat tidak terlalu dha’if, tidak bertentangan dengan kaidah umum agama Islam, dan tidak boleh dianggap amalan tersebut adalah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Namun, tidak sedikit ulama yang menentang menggunakan hadits dha’if untuk semua masalah agama, baik aqidah, fiqih ibadah dan mu’amalah, dan fadha’ilul a’mal. Seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ibnu Hazm, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albany, umumnya ulama madzhab hambali kontemporer, dan lain-lain. Bagi mereka, selama masih ada hadits shahih maka hendaknya kita menggunakan yang shahih saja, sebab itulah yang benar-benar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ibarat membaca Koran, tentunya kita lebih percaya dengan berita yang kuat kebenarannya (shahih), dibanding berita yang jelas-jelas ketidakbenarannya (Dha’if/lemah).
Secara ringkas, hadits dinilai dha’if (lemah) jika, pertama, sanad (jalur periwayatannya) terputus (munqathi’), tidak bersambung satu periwayat ke periwayat lainnya, baik tidak bertemu atau tidak mendengar langsung. Kedua, para perawinya (biasa disebut rijalul hadits) adalah orang yang lemah (dha’if) hafalannya, tidak jujur alias pembohong, ahli maksiat (fasiq), pemalsu hadits atau tertuduh pemalsu hadits, riwayatnya bertentangan dengan rijal lain yang lebih terpercaya darinya, atau majhul (tidak diketahui identitasnya).
Jika satu saja dari dua hal di atas terjadi pada sebuah hadits, maka itu bisa membuat hadits tersebut tidak dapat dipercaya. Apa lagi jika kedua-duanya terjadi.
Apa yang saya lakukan ini merupakan nasihat untuk diri sendiri dan segenap pembaca yang mulia, agar senantiasa berpegang kepada As Sunnah Ash Shahihah, dalam menjalankan ajaran agama serta tidak tertipu dengan hadits-hadits lemah dan palsu yang banyak beredar di masyarakat, buku-buku, dan disebarkan oleh para penceramah yang belum memahami seluk beluk kerumitan ulumul hadits (ilmu-ilmu hadits).
******
Hadits Pertama: Allahumma barik lana fi rajaba wa sya’ban wa balighna fi Ramadhan
Hadits ini sangat terkenal, sering terdapat dalam spanduk dan majalah-majalah Islam menjelang datangnya Ramadhan.
Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika masuk bulan Rajab, dia berkata: “Allahumma Barik lanaa fii Rajaba wa Sya’ban wa Barik lanaa fii Ramadhan.” (Ya Allah Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban wa Berkahilah kami di bulan Ramadhan). (HR. Ahmad, Juz. 5, Hal. 260, No hadits. 2228. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, Juz. 9, Hal. 139, No hadits. 4086, dengan teks agak berbeda yakni, “Wa Balighnaa fii Ramadhan.” Al Baihaqi, Syu’abul Iman, Juz. 8, Hal. 331, No hadits. 3654)
Dalam sanad hadits ini terdapat Zaidah bin Abi Ruqad dan Ziyad an Numairi.
Imam Bukhari berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Munkarul hadits.” (haditsnya munkar) (Imam al Haitsami, Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 165. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam An Nasa’i berkata: “Aku tidak tahu siapa dia.” Imam Adz Dzahabi sendiri mengatakan: “Dha’if.” Sedangkan tentang Ziyad an Numairi beliau berkata: “Ziyad dha’if juga.” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 2, Hal. 65)
Imam Abu Daud berkata: “Aku tidak mengenal haditsnya.” Sementara Imam An Nasa’i dalam kitabnya yang lain, Adh Dhu’afa, mengatakan: “Munkarul hadits.” Sedangkan dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak bisa dipercaya.”(Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 3, Hal. 263)
Imam al Haitsami berkata tentang Ziyad an Numairi: “Dia dha’if menurut jumhur (mayoritas ahli hadits).” (Majma’ az Zawaid, Juz. 10, Hal. 388. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Ibnu Hibban mengatakan bahwa penduduk Bashrah meriwayatkan dari Ziyad hadits-hadits munkar. Imam Yahya bin Ma’in meninggalkan hadits-haditsnya, dan tidak menjadikannya sebagai hujjah (dalil). Imam Yahya bin Ma’in juga berkata tentang dia: “Tidak ada apa-apanya.” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 1, Hal. 306)
Sementara dalam Al Jarh wat Ta’dil, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Dha’if.” (Imam Abu Hatim ar Razi, Al jarh Wat Ta’dil, Juz. 3, Hal. 536)
Syaikh al Albany mendha’ifkan hadits ini. (Misykah al Mashabih, Juz. 1, Hal. 306, No. 1369)
Wallahu A’lam
Hadits Kedua: khutbah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang berbagai keutamaan bulan Ramadhan
Dari Salman, dia berkata: “Rasulullah khutbah di depan kita pada akhir bulan Sya’ban, katanya: “Wahai manusia, telah menaungi kalian bulan agung, bulan penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasanya fardhu, shalat malamnya adalah sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri kepadaNya dengan kebaikan, maka ia bagaikan menjalankan kewajiban pada selain bulan tersebut. Barangsiapa yang menjalankan kewajiban ia laksana menjalankan tujuh puluh kewajiban pada selain bulan itu. Dia adalah bulan kesabaran, dan kesabaran ganjarannya adalah surga. Bulan kesantunan, dan bulan ditambahkannya rezeki bagi orang mu’min. Barangsiapa yang memberi buka orang yang berpuasa maka ia mendapat ampunan dari dosa-dosanya dan pembebasan dari api neraka dan baginya pahala sebagaimana pahala orang yang diberinya buka tanpa mengurangi pahala mereka.”
Hadits ini sangat terkenal dan sering dibaca ketika bulan Ramadhan. Padahal hadits ini munkar. Di dalam sanadnya ada perawi bernama Ali bin Zaid bin Jud’an.
Tentang Ali bin Zaid bin Jud’an ini, Imam Sufyan bin Uyainah mendha’ifkannya. Begitu pula Imam Ahmad bin Hambal. Sedangkan Imam Musa bin Isma’il mengatakan bahwa dia tidak terjaga hafalannya. Sementara Imam Hammad bin Zaid mengatakan bahwa dia meriwayatkan hadits-hadits yang terbalik. Sedangkan Yazid bin Zari’ mengatakan bahwa Ali bin Zaid bin Jud’an adalah seorang rafidhi (syi’ah). Imam Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa dia tidak kuat hafalannya dan bukan apa-apa. Sementara Imam Ahmad al ‘Ijili mengatakan bahwa dia tasyayyu’ (condong ke syi’ah) dan tidak kuat hafalannya. Imam Bukhari dan Imam Abu Hatim ar Razi mengatakan: dia tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Imam Ibnu Khuzaimah sendiri mengatakan bahwa Ali bin Zaid bin Jud’an ini tidak bisa dijadikan hujjah karena buruk hafalannya. (Lihat semua dalam kitab Mizanul I’tidal, Imam Adz Dzahabi, Juz. 3 hal. 127)
Dalam Kitab Al Jarh wat Ta’dil disebutkan bahwa Imam Yahya bin Ma’in mengatakan Ali bin Zaid bin Jud’an tidaklah bisa dijadikan hujjah. Imam Abu Zur’ah mengatakan bahwa dia tidak kuat hafalannya. (Imam Abu Hatim ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, Juz. 6 Hal. 187)
Al ‘Allamah Muhamamd Nashiruddin al Albany Rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini munkar. (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 2 Hal. 370, No hadits. 871).
Demikian
Hadits ketiga: Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar
Ini hadits, walau tidak secara langsung berhubungan dengan puasa atau Ramadhan, namun amat sering dibaca ketika bulan Ramadhan. Hadits itu berbunyi:
“Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad besar.”
Berkata Imam Zainuddin al Iraqi:
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” (Imam al ‘Iraqi, Takhrijul Ihya’, Juz. 6 Hal. 216. No hadits. 2567. Markaz Nur Al Islam Li Abhats Al Quran was Sunnah Iskandariah. Al Maktabah Asy Syamilah)
Kita simak pembahasan Al ‘Allamah Al Muhaddits Syaikh Mauhammad Nashiruddin al Albany sebagai berikut:
“Hadits ini munkar. Al Hafizh Al ‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya’ (2/6) mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Takhrij al Kasysyaf (4/114/no.33) -setelah menceritakan ucapan Al Baihaqi: “Itu adalah riwayat ‘Isa bin Ibrahim, dari Yahya bin Ya’la, dari Laits bin Abi Salim, tiga orang dha’if. Imam An Nasa’i dalam Al Kuna menyandarkan hadits itu sebagai ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ablah, seorang tabi’in (generasi setelah sahabat) penduduk Syam.”
Saya (Syaikh al Albany) berkata: “Isa bin Ibrahim nama lainnya adalah Al Barki, Al Hafizh Ibnu Hajar telah berkata tentang dia dalam At Taqrib: “Jujur tapi banyak kebimbangan.” Maka kedha’ifannya adalah mutlak, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dan hadits ini tidak bagus.”
Al Hafizh Ibnu Hajar telah menyandarkan ucapan ini sebagai ucapan Ibrahim ini. Imam As Suyuthi telah berkata dalam Ad Darar (Hal. 170): “Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Tasdidul Qaus: Ini adalah masyhur sebagai ucapannya Ibrahim bin Abi ‘Ablah dalam kitab Al Kuna-nya An Nasa’i.” (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 5, Hal 459, No hadits. 2460)
“Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar: jihadnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya.”
Berkata Syaikh al Albany:
“Syaikh Zakaria al Anshari, dalam komentarnya terhadap Tafsir al Baidhawi (110/1), mengutip ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hadits ini: “Tidak ada dasarnya.”[ Dan dia menetapkan hal itu. Dia berkata dalam halaman lain: “Diriwayatkan oleh Al Baihaqi sanadnya dha’if, ada pun yang lainnya mengatakan: tidak ada dasarnya.” (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 5, Hal 459, No hadits. 2460. Al Maktabah Asy Syamilah)
Catatan:
Hadits yang shahih, tentang jihad paling agung dan paling afdhal adalah sebagai berikut:
“Dari Abu Said al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud, Kitab Al Malahim Bab Al Amru wan Nahyu, Juz. 11, Hal. 419, No hadits. 3781. At Tirmidzi, Kitab al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Jaa’a Afdhalul Jihad …, Juz. 8, hal. 83, No hadits. 2100. Katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan Bab Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu ‘anil Munkar, Juz.12 Hal. 15, No hadits. 4001. Ahmad, Juz. 22 Hal. 261, No hadits. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq (perkataan yang benar) )
Syaikh al
Sedangkan jihad paling afdhal bagi kaum wanita adalah haji mabrur, sebagaimana riwayat shahih berikut:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia bertanya: “Ya Rasulullah kami melihat bahwa amal yang paling utama adalah jihad, maka, apakah kami (wanita) juga berjihad?” Rasulullah menjawab: “Tidak, tetapi jihad paling utama adalah haji mabrur.” (HR. Bukhari, Kitab Al Haj Bab Fadhlu Al Haj al Mabrur, Juz. 5 Hal. 399, No hadits. 1423. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits keempat: Doa berbuka puasa (memiliki beberapa versi)
Versi 1:
“Dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwa dia menyampaikan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; jika berbuka puasa dia membaca Allahumma laka shumtu, wa ‘ala rizqika afthartu.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh:
- Imam Abu Daud, dalam kitab Sunan Abi Daud, Juz. 6, Hal. 309. Bab Qaul ‘Indal Ifthar, No. 2011, dari Mu’adz bin Zuhrah.
- Imam al Baihaqi, dalam kitab As Sunan Al Kubra, Juz. 4, Hal. 239, dari Mu’adz bin Zuhrah.
- Imam ath Thabarani, dalam kitab Al Mu’jam al Awsath, Juz. 16, Hal. 338, No. 7762, dari Anas bin Malik. Lihat juga kitabnya yang lain Al Mu’jam Ash Shaghir, Juz. 3, Hal. 52, No. 912, dari Anas bin Malik
- Imam al Baihaqi, dalam kitab Syu’abul Iman, Juz. 8, Hal. 430, No. 3747, dari Mu’adz bin Zuhrah.
Jadi, hadits di atas diriwayatkan oleh dua jalur; yakni Anas bin Malik dan Mu’adz bin Zuhrah.
Penilaian:
1. Dalam Jalur Anas bin malik, terdapat perawi bernama Isma’il bin Amru al Bajali dan Daud bin Az Zibiriqan. Hadits ini Dha’if. Berkata seorang Imam Ahli hadits masa kini (w. 1999), Asy Syaikh al ‘Allamah Muhammad Nashiruddin al Albany Rahimahullah:
“Aku (Syaikh al Albany) berkata: Dia (Isma’il bin Amru al Bajali) adalah dha’if (lemah). Berkata Imam Adz Dzahabi dalam kitab Adh Dhu’afa: “Yang mendha’ifkan lebih dari satu orang.” Aku (Syaikh al Albany) berkata: “Gurunya, yaitu Daud bin Az Zibriqan lebih buruk darinya. Berkata Imam Adz Dzahabi: Berkata Abu Daud: “Dia (Daud bin Az Zibriqan) adalah matruk (haditsnya ditinggalkan).” Imam Bukhari berkata: “Haditsnya pertengahan”. Imam Al hafizh Ibnu Hajar dalam kitab At Taqrib berkata: “Haditsnya ditinggalkan, dan Al Azdi menganggapnya sebagai pendusta.” Menurut Imam al Haitsami dalam Al Majma’: “Diriwayatkan Ath Thabarani dalam Al Ausath, dalam sanadnya terdapat Daud bin Az Zibriqan, dia adalah dha’if.” (Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albany, Irwa’ al Ghalil fii Takhriji Ahadits Manaris Sabil, Juz. 4, Hal. 37-38. Cet. 2, 1985M-1405H. Maktab Islami, Beirut-Libanon. Al Maktabah Asy Syamilah)
2. Jalur Mu’adz bin Zuhrah, juga dha’if. Hadits ini mursal (riwayatnya tanpa melalui sahabat Nabi). Berkata Syaikh al Albany:
“Aku (Syaikh al Albany) berkata: “Sanad hadits ini dha’if, karena mursal, dan Mu’adz ini adalah tidak dikenal biografinya.” (Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albany, Irwa’ al Ghalil fii Takhriji Ahadits Manaris Sabil, Juz. 4, Hal. 38. Cet. 2, 1985M-1405H. Maktab Islami, Beirut-Libanon. Lihat juga dalam kitab Shahih wa Dha’if Al Jami’ Ash Shaghir, Juz. 20, Hal. 402. No. 9830. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits mursal adalah hadits yang terputus sanad (periwayatannya) setelah generasi tabi’in. Mu’adz bin Zuhrah ini seorang tabi’in, yang tidak langsung mendengar hadits ini dari sahabat nabi.
Doa berbuka puasa Versi 2:
“Bismillah wal hamdulillah, Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu, wa ‘alaika tawakkaltu, subhanaka wa bihamdika taqabbal minni innaka antas samii’ul ‘aliim.”
Hadits ini juga dha’if, dari Anas bin Malik. (Lihat Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albany, Shahih wa Dha’if al Jami’ Ash Shaghir, Juz. 5, Hal. 91, No. 1644. Markaz Nur Al Islam Li Abhats Al Quran was Sunnah, Iskandariah. Al Maktabah Asy Syamilah)
Doa berbuka puasa Versi 3:
Dari Ibnu ‘Abbas:
“Adalah Rasululah jika berbuka, dia mengucapkan: “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu, fataqabbal minni innaka antas samii’ul ‘Aliim.”
Hadits ini juga dha’if. (Syaikh al Albany, Shahih wa Dha’if Al jami’ Ash Shaghir, Juz. 20, Hal. 402, No. 9831. Markaz Nur Al Islam Li Abhats Al Quran was Sunnah, Iskandariah. Al Maktabah Asy Syamilah)
Jika doa-doa di atas dha’if semua, lalu bagaimanakah dengan doa yang sangat terkenal berikut ini:
“Allahumma Barik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘azaaban naar.” (HR. Malik, Juz. 5, Hal. 469, no.1465. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Juz.5, Hal. 565, Ahmad, Juz. 3, hal. 250, No. 1244, pada riwayat Ahmad lafazhnya berbeda: “Bismillahi Allahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa.” Ibnus Sunni, ‘Amalul Yaum wal Lailah, Juz. 2, Hal. 372. No. 456. Teks riwayat Ibnus Sunni agak berbeda:” Allahumma Barik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘azaaban naar, bismillah.”)
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:
“Yang benar, menurut Imam Bukhari hadits ini sangat munkar.” (Imam Ibnu Hajar al Asqalani, Lisanul Mizan, Juz.2, Hal. 385. Al Maktabah Asy Syamilah)
Apakah hadits mungkar itu? Secara ringkas, hadits mungkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang buruk hafalannya, banyak salah dan lalainya, dan nampak kefasikannya, serta bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh orang terpercaya, dan termasuk kelompok hadits dha’if jiddan (sangat lemah). (Syaikh Dr. Mahmud Ath Thahhan, Taisir al Mushthalah al Hadits, Hal. 80-81)
Sedangkan Prof.Dr. Ali
Jika doa berbuka puasa adalah dha’if, tak satu pun yang shahih, begitu pula doa hendak makan, maka dengan apa kita membaca doa hendak makan?
Diriwayatkan dari Umar bin Abi Salamah Radhiallahu ‘Anhu:
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadaku, “Wahai anak! sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah yang terdekat denganmu.” (HR. Bukhari, Juz. 16, Hal. 470, No. 4957. Muslim, Juz.10, Hal. 298, No. 3767. Ibnu Majah, Juz. 9, Hal. 481, No. 3258. Ahmad, Juz. 33, Hal. 70, No. 15740. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
“Beliau bersabda: “Jika salah seorang kalian hendak makan, maka sebutlah nama Allah Ta’ala, jika lupa menyebut nama Allah di awalnya, maka katakanlah: “Bismillahi awwalahu wa akhirahu (Dengan nama Allah di awal dan di akhirnya.” (HR. Abu Daud, Juz. 10, Hal. 209, No. 3275. At Timidzi, Juz. 7, Hal. 55, No. 1781. Dalam teks Imam At Tirmidzi agak berbeda yakni: “Jika salah seorang kalian hendak makan, maka katakanlah, “Bismillah,” jika lupa membaca di awalnya, maka bacalah, “Bismillahi fi awalihi wa akhirihi.” Beliau berkata: hadits ini hasan shahih. Dengan teks serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Juz. 9, Hal. 477, No. 3255. Ahmad, Juz.51, Hal. 111, No. 23954. Al Hakim dalam Mustadrak ‘Alas Shahihain, Juz. 16, No. 412, No. 7187, katanya sanad hadits ini shahih, tapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Syaikh al Albany berkata tentang hadits di atas: shahih. Misykat al Mashabih, Juz. 2, hal. 455, No. 4202. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dalam hadits lain:
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika disuguhkan kepadanya makanan, dia membaca: “Bismillah,” setelah makan ia membaca,”
Demikianlah doa yang shahih, yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika kita hendak menyantap makanan atau minuman, baik pada bulan puasa atau tidak.
Komentar Syaikh al Albany.
“Dalam hadits ini menunjukkan bahwa doa tasmiyah pada awal makan dengan lafaz “bismillah” tanpa ada tambahan apa-apa, semua hadits shahih yang membicarakan bab ini juga demikian tanpa ada tambahan, dan saya tidak mengetahui adanya tambahan itu dalam hadits, dan tambahan itu menurut istilah para fuqaha (ahli fiqih) adalah bid’ah, namun bagi orang-orang yang sudah terlanjur menggunakannya akan mengatakan perkataan yang sudah bisa diketahui: “Bukankah doa ini telah banyak dipakai?!”
Kami katakan: “Segala tambahan yang diberikan kepada pembuat syariat, berupa amalan yang jika memang benar itu bisa mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala, pastilah akan diperintahkan oleh syariat, seandainya itu disyariatkan pasti hal itu dilakukan oleh Rasulullah walau cuma sekali. Hal ini seperti menambahkan shalawat kepada Nabi, bagi orang yang membaca Alhamdulillah setelah bersin.
Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu telah mengingkari tambahan ini sebagaimana dijelaskan dalam Al Mustadrak-nya Imam al Hakim, dan ditegaskan oleh Imam as Suyuthi dalam Al Hawi Lil Fatawa (1/338), bahwa tambahan itu adalah bid’ah tercela.” (Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albany, Silsilah Ash Shahihah, Juz. 1, hal. 70, No. 71. Markaz Nur Al Islam Li Abhats Al Quran was Sunnah, Iskandariah. Al Maktabah Asy Syamilah)
Ternyata, tidak semua dha’if
Untuk doa yang nabi ucapkan ketika ifthar (berbuka puasa), ada yang biasa beliau praktekkan yakni:
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika sedang berbuka puasa dia membaca: “Dzahaba Azh Zhama’u wab talatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” (HR. Abu Daud, Juz. 6, Hal. 308, No. 2010, As Sunan Al Kubra Lil Baihaqi, Juz. 4, Hal. 239, Al Hakim dalam Mustadrak ‘alas Shahihain, Juz. 4, Hal. 67, No. 1484, katanya shahih, sesuai syarat Bukhari-Muslim. Menurut Syaikh al Albany hadits ini hasan, dalam kitab Misykat Al Mashabih, Juz.1, Hal. 450, No. 1993)
Kesimpulan
Jadi, doa hendak makan atau berbuka puasa yang sesuai sunah shahihah adalah membaca “bismillah”, sedangkan ketika berbuka puasa ada tambahannya yakni “Dzahaba Azh Zhama’u wab talatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” Wallahu A’lam
(Catatan: setelah disearching ke lebih dari 50 kitab hadits yang terdapat dalam Al Maktabah Asy Syamilah, belum ditemukan do’a terkenal dengan redaksi, “Allahumma laka shumtu, wa bika amantu, wa ‘ala rizqika afthartu, birahmatika yaa arhama ar raahimin.” Bisa jadi redaksi seperti ini merupakan tambahan dari sebagian manusia, tidak bersumber dari kitab-kitab hadits yang bisa dipercaya. Wallahu A'lam)
Hadits Kelima: hadits tentang pembatal puasa karena benda masuk ke lubang tubuh
Berikut haditsnya:
“Sesungguhnya yang membuat batalnya puasa hanyalah karena sesuatu yang masuk bukan sesuatu yang keluar.”
Bagaimanakah status hadits ini? Berikut pembahasan dari Al Muhaddits al ‘Allamah Syaikh al Albany Rahimahullah:
Dhaif. Dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam “Musnad”-nya: Berkata kepadaku Ahmad bin Mani’, bercerita kepadaku Marwan bin Mu’awiyah, dari Razin al Bakri, dia berkata: Bercerita kepadaku pembantuku yang wanita, bernama Salma binti Bakr bin Wail, bahwa dia mendengar ‘Aisyah berkata: Rasulullah masuk …dan seterusnya, (hingga hadits di atas). Berkata Syaikh al Albany: sanad ini dhaif, lantaran perawi bernama Salma. Dia tidak dikenal sebagaimana dikatakan dalam “At Taqrib”. Sedangkan, Razin al Bakri, jika dia adalah Al Juhni maka dia tsiqah (bisa dipercaya), jika bukan maka dia majhul (tidak dikenal). Al Hatsami telah mengisyaratkan hal itu dalam Al Majma’ (3/167), dia berkata: “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan di dalamnya ada yang aku tidak kenal.” Yang benar hadits ini mauquf (terhenti) pada Ibnu Abbas sebagaimana penjelasan sebelum ini. (Syaikh al Albany, Silsilah Ad Dhaifah, Juz. 2, Hal. 460. No. 961. Al Maktabah Asy Syamilah).
Demikianlah jadi, tidak mengapa ada benda masuk ke lubang tubuh kita, baik mulut, hidung, atau telinga, lantaran kedhaifan hadits yang mengatakan itu. Lagi pula, hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits yang menunjukkan kebolehan berkumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung ketika wudhu), tentu kumur dan istinsyaq, merupakan perbuatan yang membuat ‘benda’ masuk lubang tubuh bukan?
Hadits Keenam: Sedekah paling afdhal adalah saat Ramadhan
“Diriwayatkan dari Shadaqah bin Musa, dari Tsabit, dari Anas, dia berkata: “Wahai Rasulullah, shadaqah apakah yang paling utama?”, Beliau menjawab: “Shadaqah pada bulan Ramadhan.” (HR. At Tirmidzi, Juz. 3, Hal. 72, No. 599. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, Juz.8, Hal. 141, No. 3476)
Imam at Tirmidzi berkata tentang Shadaqah bin Musa (Nama Kun-yahnya Abul Mughirah):
“Menurut mereka (para Imam Ahli hadits), dia tidak kuat (lemah).” (Sunan At Tirmidzi, Juz. 3, Hal. 72, No. 599)
Dalam kitab Mizanul I’tidal disebutkan tentang Shadaqah bin Musa:
“Imam Yahya bin Ma’in mendha’ifkannya, begitu pula Imam An Nasa’i, dan selain mereka berdua.” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal fii Naqdir Rijal, Juz. 2, Hal. 312. Darul Ma’rifah li Thiba’ah wan Nasyr, Beirut-Libanon. Al Maktabah Asy Syamilah)
“Abdurrahman berkata: aku bertanya kepada ayahku tentang Shadaqah bin Musa (Abu al Mughirah), dia menjawab: “Haditsnya lemah, haditsnya sekedar ditulis, tetapi tidak bisa dijadikan hujjah (dalil/argument).” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz.4, Hal. 432)
Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albany telah mendha’ifkan hadits di atas dalam berbagai kitabnya. (Irwa’ al Ghalil, Juz. 3, Hal. 397. Dha’if at Targhib wat Tarhib, Juz. 1, Hal. 155, No. 618. Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmidzi, Juz.2, Hal. 163, No. 663. Al Maktabah Asy Syamilah)
Catatan:
Walaupun hadits di atas dha’if, namun bukan berarti meniadakan nilai dan arti penting bersedekah pada bulan Ramadhan. Sebab beramal shalih, termasuk bersedekah, pada bulan Ramadhan memang dianjurkan untuk digalakkan. Yang jelas, pada bulan apa pun, jika bersedekah dilakukan secara ikhlas dan benar, maka Allah Ta’ala akan memberikan ganjarannya yang setimpal. Tetapi, jika bershadaqah dilakukan tidak ikhlas dan pamer, walau dilakukan pada bulan Ramadhan, tentulah ditolak, karena ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya amal shalih. Wallahu A'lam
Hadits Ketujuh: Doa orang puasa pasti dikabulkan
“Dariِ Abu Mujahid, dari Abu Madal, dari Abu Hurairah, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ada tiga orang yang doanya tidak ditolak: Orang puasa sampai dia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang dianiaya.” (HR. At Tirmidzi, Juz. 12, Hal. 25, No. 3522, katanya hadits ini hasan)
Dalam kitab Silsilah Adh Dha’ifah, Syaikh al Albany berkata:
Berkata Imam at Tirmidzi: “Hadits hasan, Abu Madalah adalah pelayan Ummul Mu’minin ‘Aisyah, dan kami hanya mengenalnya pada hadits ini.”
Saya (Syaikh al Albany) berkata: “Jika demikian keadaannya, maka kaidah yang memenuhi hal ini adalah bahwa dia adalah seorang yang majhul (tidak dikenal), demikian itu sebagaimana yang diterangkan para imam. Berkata Imam Ibnu al Madini (tentang Abu Madalah): “Namanya tidak diketahui, majhul (tidak diketahui identitasnya), yang meriwayatkan darinya hanya Abu Mujahid.”
Saya (Syaikh al Albany) berkata: “Maka, yang seperti ini bukanlah hasan haditsnya, apalagi hadits ini bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah yang telah saya teliti sebelumnya.” (Syaikh al Albany, Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 3, Hal. 357, No. 1358)
Kedha’ifan hadits ini juga diterangkannya dalam kitab Syaikh al Albany lainnya. (Misykat al Mashabih, Juz. 2, Hal. 6, No. 2249. Dha’if Targhib wat tarhib, Juz.1, Hal. 146, No. 583. Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmidzi, Juz. 6, Hal. 25, No. 2525. Al Maktaah Asy Syamilah)
Catatan:
Kedha’ifan hadits ini tidak berarti kita mengingkari doa bagi orang yang berpuasa. Sebab pada prinsipnya, berdoa pada waktu kapan pun, berpuasa atau tidak, selama ikhlas dan memenuhi adab-adabnya, Insya Allah akan dikabulkanNya, sesuai janjinya: Ud’uni astajib lakum, “Berdoalah kepadaku, niscaya akan Aku kabulkan.” Wallahu A'lam
Hadits Kedelapan: Tidur orang puasa adalah ibadah (1)
Dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampunkan.” (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, Juz.8, Hal. 462,No. 3778)
Dalam sanad hadits ini diriwayatkan oleh Ma’ruf bin Hisan dan Sulaiman bin Amru an Nakha’i.
Imam al Baihaqi berkata tentang mereka berdua:
“Ma’ruf bin Hisan adalah dha’if, dan Sulaiman bin ‘Amru an Nakha’i, lebih dha’if darinya.” (Syu’abul Iman, Juz. 8, Hal. 464, No, 3780)
Dalam Takhrijul Ihya’ disebutkan:
“Dalam hadits ini terdapat Sulaiman bin ‘Amru an Nakha’i, salah seorang pendusta.” (Imam Zainuddin al ‘Iraqi, Takhrijul Ihya’, Juz. 2, Hal. 23, No. 723. Al Maktabah Asy Syamilah)
Syaikh al Albany mendha’ifkan hadits ini. (Lihat Shahih wa Dha’if Jami’ush Shaghir, Juz. 26, Hal. 384,No. 12740)
Hadits kesembilan: Tidur orang puasa adalah ibadah (2)
“Orang yang berpuasa senantiasa dinilai ibadah, walau pun sedang berbaring di atas ranjangnya.”
Berkata Syaikh al Albany Rahimahullah:
Diriwayatkan oleh Tamam (18/172-173): Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Yahya bin Abdullah bin Az Zujaj, dia berkata: berkata kepadaku Abu Bakar Muhammad bin Harun bin Muhammad bin Bakar bin Bilal, berkata kepadaku Sulaiman bin Abdurrahman, berkata kepadaku Hasyim bin Abi Hurairah al Himshi, dari Hisyam bin Hisan, dari Ibnu Sirin, dari Salman bin ‘Amir adh dhabi secara marfu’. Sanad ini dha’if karena Yahya az Zujaj dan Muhammad bin Harun tidak saya (Syaikh al Albany) temukan biografinya tentang mereka berdua. Sedangkan yang lainnya tsiqat (terpercaya), kecuali Hasyim bin Abi Hurairah al Himshi, Imam Abu Hatim (4/2/105) telah menulis tentangnya tetapi tidak memberikan pujian atau kritik atasnya. Dia berkata: “Nama asli dari Abi Hurairah al Himshi adalah ‘Isa bin Basyir.” Dalam Al Mizan disebutkan tentang dia: “Tidak diketahui.” Berkata Al ‘Uqaili: “Munkarul hadits.’ Hadits ini juga ada dalam Jami’ush Shaghir-nya Imam As Suyuthi, diriwayatkan oleh Ad Dailami dalam Musnad al Firdaus dari jalur Anas bin Malik. Al Munawi ikut menerangkan dengan ucapannya: “Di dalamnya terdapat Muhammad bin Ahmad bin Sahl, berkata Adz Dzahabi dalam Adh Dhu’afa: berkata Ibnu ‘Adi: “Dia (Muhammad bin Ahmad bin Sahl) termasuk di antara pemalsu hadits.” (Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albany, Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 2, Hal. 230, No hadits. 653. Al Maktabah Asy Syamilah)
Catatan:
Dengan demikian, memastikan bahwa tidurnya orang berpuasa adalah sebagai ibadah merupakan pemahaman yang tidak berdasar. Tidur, kapan pun kita lakukan, baik ketika puasa atau tidak jika dilatarbelakangi oleh niat yang mulia yakni menghindar hal-hal yang tidak bermanfaat, mengumpukan tenaga untuk bisa melakukan ketaatan, dan lain-lain, maka itu semua bernilai ibadah walau tidak sedang puasa, demikianlah tidurnya orang-orang shalih.
Sebaliknya walau pun sedang puasa, namun tidurnya diniatkan untuk ‘menghindar’ rasa lapar sampai-sampai ia meninggalkan hal-hal yang lebih utama karena tidurnya, dan hal ini menunjukkan kemalasannya, maka sama sekali tidak bernilai ibadah. Jadi ibadah atau tidaknya tidur seseorang, dilihat dari apa yang melatarbelakangi atau motivasi dari tidurnya. Selesai.
Wallahu A’lam
Hadits kesepuluh: Nabi tidak pernah menyentuh wajah ‘Aisyah selama berpuasa.
Dari Muhammad bin Asy’at, bahwa ‘Aisyah berkata:
“Rasulullah tidak pernah menyentuh wajahku sekalipun saat aku sedang puasa.” (HR. Ahmad, Juz. 52, Hal. 257, No. 24600. Ibnu Hibban, Juz. 15, Hal. 89, No. 3615)
Secara ringkas saya ambil keterangan dari Syaikh al Albany, beliau berkata: “Mungkar.”
Adapun tentang Muhammad bin al Asy’ats dia juga seorang yang keadaannya tidak dikenal (majhul al hal) (Imam Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, Juz.1, Hal. 587. Darul Maktabah Al ‘Ilmiah
Kesimpulan:
Jadi, larangan mencium isteri ketika puasa adalah tidak berdasar. Justru dalam riwayat shahih disebutkan bahwa hal itu dibolehkan, namun bagi yang tidak bisa menguasai diri sebaiknya dihindari.
Diriwayatkan dari Umar Radhilallahu ‘Anhu:
Suatu hari bangkitlah syahwat saya, lalu saya mencium isteri, saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saya berkata: “Hari ini, Aku telah melakukan hal yang besar, aku mencium isteri padahal sedang puasa.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa pendapatmu jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa?”, Saya (Umar) menjawab: “Tidak mengapa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Lalu, kenapa masih ditanya?” (HR. Ahmad, Juz.1, Hal. 136, 354, No. 132, 350. As Sunan Al Kubra Lil Baihaqi, Juz.4, Hal. 218. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits di atas menerangkan bahwa mencium isteri dan berkumur-kumur hukumnya sama yakni boleh, kecuali berlebihan hingga bersyahwat, apalagi mengeluarkan air mani.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
“Rasulullah mencium saya dan dia sedang puasa dan aku juga berpuasa.”
Syaikh al Albany berkata: “Hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari.” (Syaikh al Albany, Silsilah Ash Shahihah, Juz. 1, Hal. 218, No. 219. Al Maktabah Asy Syamilah)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
Berkata Ibnul Mundzir: Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Aisyah, Atha’, Asy Sya’bi, Ahmad dan Ishaq, mereka memberikan rukhshah (keringanan) dalam hal mencium (isteri).
Madzhab Hanafi dn Asy Syaf’i: Mencium itu makruh jika melahirkan syahwat, dan tidak makruh jika tidak bersyahwat, tetapi lebih utama meninggalkannya.
Dalam hal ini, tak ada perbedaan antara anak muda dan orang tua, yang menjadi pelajaran adalah munculnya syahwat (rangsangan) itu, dan kekhawatiran terjadinya inzal (keluarnya mani). Maka, munculnya syahwat, baik anak muda dan orang tua yang masih punya kekuatan, adalah makruh.. Namun, jika tidak menimbulkan syahwat, baik untuk orang tua atau anak muda yang lemah, maka tidak makruh, dan lebih utama adalah meninggalkannya. Sama saja, baik mencium pipi, atau mulut, atau lainnya. Begitu pula mubasyarah (hubungan-cumbu) dengan tangan atau berpelukan, hukumnya sama dengan mencium. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah , Juz. 1, Hal. 461. Al Maktabah Asy Syamilah)
Perhatian!
Sebenarnya para ulama terbagi atas empat pendapat dalam hal mencium isteri ketika berpuasa, namun pandangan yang lebih kuat adalah yang menetapkan kebolehannya berdasarkan dalil-dalil shahih yang ada, hanya saja bagi yang dikhawatiri tidak bisa menguasai diri lebih baik ditinggalkan.
Keterangan tambahan
Untuk menguatkan pendapat ini saya akan paparkan berbagai riwayat berkenaan tentang itu. Bahwa para orang-orang mulia, yakni Rasulullah, para sahabat dan tabi’in pernah mencium isterinya ketika berpuasa, bahkan lebih dari itu mereka bermubasyarah (bercumbu) pada siang hari, bahkan –maaf- sampai memegang kemaluan isterinya.
Perbuatan Rasulullah dan ‘Aisyah
Rasulullah adalah laki-laki yang paling mampu menahan hawa nafsunya, namun diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha dia berkata:
“Rasulullah bermubasyarah padahal sedang puasa, lalu dia membuat tabir dengan kain antara dirinya dengan kemaluan (‘Aisyah).” (HR. Ahmad, Juz. 49 Hal. 334, No. 23178)
Tentang hadits ini, berkata Al ‘Allamah Muhammad Nashiruddin al Albany Rahimahullah:
“Sanad hadits ini jayyid (bagus). Semua rijalnya (periwayatnya) tsiqat (terpercaya) dan dipakai oleh Imam Muslim, seandainya Thalhah (salah seorang perawinya) tidak mendapat kritikan, saya akan katakan: hadits ini sanadnya shahih. Namun, sebagian ulama ada yang membicarakannya. Berkata Al Hafizh (Ibnu Hajar) dalam At Taqrib: “Dia jujur tapi melakukan kesalahan.”
Selanjutnya, ada faedah penting dari hadits ini, yakni tafsir tentang arti mubasyarah (bercumbu), yakni menyentuh wanita (isteri) selain kemaluannya. Pemaknaan ini mendukung tafsir yang telah dikutip oleh Al Qari. Walau pun dia dalam mengutipnya dengan bentuk kata tamridh (dikatakan ..). Maka hadits ini dapat dijadikan sebagai acuan, dan tidak ada dalil syariat yang menentangnya. Bahkan saya (Syaikh al Albany) telah menemukan prilaku para salaf (generasi terdahulu) yang memperkuat kebolehannya. Di antaranya adalah hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang beliau tafsirkan sendiri, Ath Thahawi telah meriwayatkan (1/347) dengan sanad yang shahih dari Hakim bin Iqal, bahwa dia berkata: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah: ‘Apa yang haram bagiku terhadap isteriku saat aku sedang puasa?’, Dia menjawab: ‘Kemaluannya.’
Hakim bin Iqal ini dinilai tsiqah (terpercaya) oleh Ibnu Hibban. Berkata Al ‘Ijili: “Dia (Hakim) adalah orang Bashrah (nama
Sementara Al Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Ath Thahawi menyambungkan sanad hadits itu melalui Abu Murrah, bekas pelayan Uqail, dari Hakim bin Iqal …” Penyandaran kepada Hakim bin Iqal ini adalah shahih. Hal serupa juga diriwayatlan oleh Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih dari Masruq: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah: “Apa sajakah yang dihalalkan bagi suami yang sedang puasa atas isterinya?” Dia menjawab: “Semuanya halal kecuali jima’ (bersetubuh).” (Syaikh al Albany, Silsilah Ash Shahihah, Juz.1, Hal. 220, No. 221. Markaz Nur Al Islam Li Abhats Al Quran was Sunnah, Iskandariah. Al Maktabah Asy Syamilah)
Pendapat Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu
Beliau adalah maha gurunya para mufassir (ahli tafsir). Ia dijuluki Hibrul Ummah (tintanya umat ini). Namun dia memiliki pandangan yang amat moderat dalam hal ini.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah meriwayatkan:
“ Dari Said bin Jubeir bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Abbas: ‘Aku menikahi seorang putrid anak paman saya, ia seorang yang cantik. Saya membawanya pada bulan Ramdhan. Maka bolehkah bagi saya menciumnya?’ maka Ibnu Abbas menjawab: “Apakah engkau bisa menahan hawa nafsu?’ dia menjawab: ‘Ya,’
Ibnu Abbas berkata: “Ciumlah!”
Laki-laki itu betanya lagi: ‘Bolehkah saya bercumbu dengannya?’
Ibnu Abbas bertanya: ‘Bisakah engkau meredam nafsumu?’
Laki-laki itu menjawab: ‘Ya.’
Ibnu Abbas berkata: ‘Bercumbulah.”
Laki-laki itu bertanya lagi: ‘Bolehkah tangan saya memegang kemaluannya?’
Ibnu Abbas bertanya: ‘Bisakah engkau meredam nafsumu?’
Laki-laki itu menjawab: ‘Ya.’
Ibnu Abbas berkata: ‘Peganglah.”
Ibnu Hazm berkata: “Ini adalah sanad yang paling shahih dari Ibnu Abbas.” (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 6, Hal. 212 Darul Fikr. Tahqiq: Ustadz Ahmad Muhammad Syakir. Al maktabah Asy Syamilah).
Perilaku Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu
Dia adalah seorang sahabat nabi yang termasuk mubasysyiruna bil jannah (dijamin masuk surga) oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri. Dia adalah tokoh utama perang Al Qadisiyah melawan
Imam Ibnu Hazm al Andalusi berkata:
“Dari jalan yang shahih dari Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa dia ditanya: “Apakah engkau mencium (isteri) ketika sedang puasa?” Dia menjawab: “Ya, bahkan aku menggenggam kemaluannya segala.” (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz.6, Hal. 212.Darul Fikr. Tahqiq: Ustadz Ahmad Muhammad Syakir. Al maktabah Asy Syamilah)
Perbuatan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu
Dia ahli membaca Al Qur’an dan tafsirnya, dan menjadi manusia pertama yang berani membaca Al Qur’an di depan ka’bah ketika masa-masa awal Islam.
“Dari ‘Amru bin Syurahbil: “Sesungguhnya Ibnu Mas’ud pernah mubasyarah dengan isterinya pada tengah siang, padahal dia sedang puasa.” (Imam ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, Juz. 8, Hal. 256, No. 9458. Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf, Juz. 4, Hal. 191, No. 8442. Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 6, Hal. 212. Katanya: “Ini adalah jalan yang paling shahih dari Ibnu Mas’ud.”)
Semua atsar (riwayat) di atas, baik Ibnu Abbas, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Ibnu Mas’ud adalah shahih, maka bersenang-senang dengan isteri ketika berpuasa adalah boleh, namun bagi orang yang tidak mampu meredam hawa nafsunya, lebih baik ditinggalkan. Tetapi, kita tidak dibenarkan mengingkari pendapat yang memakruhkan mencium isteri atau lebih dari itu, sebab para ulama yang memakruhkan itu juga para imam agama yang mendalam ilmunya (lihat pembahasan dari Syaikh Sayyid Sabiq sebelumnya).
Komentar Al ‘Allamah al Muhaddits Muhammad Nashiruddn al Albany Rahimahullah
Beliau menguatkan riwayat-riwayat di atas, baginya kebolehan mencium bahkan mubasyarah dengan isteri adalah pendapat yang lebih kuat, walau sebaiknya dihindarkan bagi yang tidak mampu meredam hawa nafsu.
“Atsar (segala perbuatan dan perkataan sahabat dan tabi’in) dari Ibnu Mas’ud ini telah juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/167) dengan sanad yang shahih, sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Sedangkan atsar dari Sa’ad bin Abi Waqqash juga diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dengan redaksi: “Benar, bahkan aku memegang juga kemaluannya.” Sanad ini shahih, sesuai syarat Imam Muslim. Sedangkan atsar Ibnu Abbas oleh Ibnu Abi Syaibah juga disebutkannya, tetapi dengan redaksi yang agak ringkas, yakni:
“Dia (Ibnu Abbas) memberikan keringanan kepada orang itu (yang bertanya) untuk mencium isterinya, bermubasyarah, dan meletakkan tangannya di atas kemaluan isterinya, selama tidak mendorongnya untuk melakukan hal yang lebih dari itu.”
Sanad atsar ini shahih sesuai syarat Bukhari. Ibnu Abi Syaibah (2/170/1) meriwayatkan dari Amru bin Haram: bahwa Jabir bin Zaid ditanya tentang laki-laki yang melihat isterinya pada bulan Ramadhan sampai keluar mani-nya karena syahwatnya, apakah batal puasanya? Beliau menjawab: “Tidak, hendaknya dia menyempurnakan puasanya.”
Hadits ini juga disebutkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, dalam pokok bahasan:
“Bab rukhshah (keringanan) dalam bermubasyarah (bercumbu) yang tanpa disertai jima’ (setubuh) bagi orang yang berpuasa.”
Disertai pula dalil mengenai satu kata yang bisa menghasilkan dua macam perbuatan, ada yang mengatakannya mubah (boleh) dan yang lainnya mengatakan mahzhur (terlarang). (Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albany, Silsilah Ash Shahihah, Juz. 1, Hal. 220, No. 221. Markaz Nur Al Islam Li Abhats Al Quran was Sunnah, Iskandariyah. Al Maktabah Asy Syamilah).
Demikian. Wallahu A’lam
Hadits kesebelas: berbuka puasa dengan tiga butir kurma
Dari Anas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyukai berbuka puasa dengan tiga butir kurma atau apa saja yang tidak terpanggang api.” (HR. Abu Ya’la, Juz. 7, Hal. 331, No. 3217. Al Uqaili, Adh Dhu’afa, Juz.3, Hal. 50)
Dalam rangkaian sanad hadits ini ada perawi bernama Abdul Wahid bin Tsabit al Bahili. Imam Bukhari berkata tentang beliau: “Munkarul Hadits.” (hadits darinya mungkar) (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 2, Hal. 671. Darl Ma’rifah Lithiba’ah wan Nasyr, Beirut-Libanon. Al Maktabah Asy Syamilah)
Tentang hadits di atas, Imam Al ‘Uqaili berkata:
“Hadits ini tidak memiliki penguat.” (Imam Ibnu Hajar al Asqalany, Lisanul Mizan, Juz. 2, Hal. 135. Al Maktabah Asy Syamilah)
Tentang hadits di atas, Imam Nuruddin al Haitsami berkata:
“Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, di dalamnya ada Abdul Wahid bin Tsabit, dia itu dha’if.” (Imam al Haitsami, Majma’ az Zawaid, Juz. 3, Hal. 155. Darul Kutub al ‘Ilmiyah, Beirut-Libanon. 1988M-1408H. Al Maktabah Asy Syamilah)
Sedangkan Syaikh al Albany berkata tentang hadits di atas:
“Sanad ini dha’if jiddan (lemah sekali).” (Syaikh al Albany, Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 2, Hal. 495, No. 996. Al Maktabah Asy Syamilah)
Kesimpulan:
Maka setelah kita mengetahui kedha’ifan hadits tersebut, hendaknya tidak membatasi diri dengan kurma tiga butir atau dengan yang tidak terpanggang. Justru dalam hadits yang hasan, disebutkan bahwa Rasulullah berbuka dengan kurma basah, jika tidak ada maka dengan kurma kering, jika tidak ada maka dengan air. (HR. At Tirmidzi, Insya Allah pada Babnya nanti akan kami bahas) Hadits yang bisa diandalkan ini, tidak menyebutkan jumlah kurma sama sekali. Jadi, hal ini diberi kebebasan. Wallahu A’lam
Hadits kedua belas: Menyembelih unta betina bagi yang sehari tidak berpuasa Ramadhan
Dari Jabir bin Abdullah, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang tidak puasa sehari pada bulan Ramadhan, padahal dia sedang tidak bepergian, maka hendaknya dia menyembelih seekor unta betina. Apabila tidak memilikinya maka hendaklah ia member makan fakir miskin tiga puluh sha’ kurma.” (HR. Sunan Ad Daruquthni, Juz. 6, Hal. 75, No. 2333. Ibnul Jauzi, Al Maudhu’at, Juz. 2, Hal. 196. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits ini maudhu’ (palsu). Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Khalid bin Amru, Al Harits bin ‘Abidah dan Muqatil bin Sulaiman.
Kata Imam Ad Daruquthni, bahwa Al Harits bin ‘Abidah dan Muqatil bin Sulaiman adalah dha’ifan (dua orang yang lemah). (Sunan Ad Daruquthni, Juz. 6, Hal. 75, No. 2333)
Imam Ibnu Hajar mengatakan hadits ini batil, ada tiga hal penyebabnya: yakni, Khalid bin Amru adalah layyin (lemah), gurunya pun juga dha’if. Sedangkan Muqatil adalah laisa bi tsiqah (tidak bisa dipercaya). (Imam Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, Juz. 1, Hal. 362. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 1, Hal. 636. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Waki’, Imam An Nasa’i, dan Imam As Saji mengatakan bahwa Muqatil adalah seorang pendusta, sedangkan Al Harits adalah dha’if (lemah). (Imam Abul Faraj bin Al Jauzi, Al Maudhu’at, Juz. 2, Hal. 196)
Berkata Abdurrahman yakni Ibnu Abdil Hakim al Basyir tentang Muqatil bin Sulaiman, dia menjawab: “Tukang cerita, manusia meninggalkan haditsnya.” Sedangkan Imam Yahya bin Ma’in berkata tentang Muqatil: “Haditsnya tidak ada apa-apanya.” Abdurrahman berkata,”Aku mendengar ayahku berkata tentang Muqatil, “Dia adalah matrukul hadits.” (Al Jarh wat Ta’dil, Juz. 8, Hal. 355)
Matruk adalah semi palsu/ditinggalkan haditsnya.
Syaikh al Albany menilai bahwa hadits ini palsu. (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 2, Hal. 200, No. 623)
Demikianlah kepalsuan hadits ini.
Hadits ketiga belas: Larangan memakai celak mata bagi yang berpuasa
Dari Nufaili, dari Ali bin Tsabit, dari Abdurrahman bin An Nu’man bin Ma’bad bin Haudzah, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa dia memerintahkan memakai celak ketika tidur, dan bersabda:
“Jauhilah celak mata bagi yang sedang berpuasa.” (HR. Abu Daud, Juz.6, Hal. 336, No. 2029. Al Baihaqi, As Sunan al Kubra, Juz. 4, Hal. 262, tetapi lafaz dalam riwayat Al Baihaqi aga berbeda: “Janganlah kalian memakai celak mata siang hari pada saat puasa, pakailah pada malam hari, karena dapat menerangkan mata dan menumbuhkan rambut.”)
Imam Abu Daud berkata: “Yahya bin Ma’in berkata kepadaku, hadits ini munkar.” (Sunan Abi Daud, Juz. 6, Hal. 336. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Yahya bin Ma’in berkata tentang Abdurrahman bin An Nu’man bin Ma’bad bin Haudzah: “Dha’if.” (Imam Abu Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, Juz. 5 Hal. 294)
Syaikh al Albany telah menyebutkan bahwa hadits ini munkar, lantaran kedha’ifan Abdurrahman bin An Nu’man, dan kemajhulan ayahnya. Majhul artinya tidak dikenal identitasnya.
Berkata Syaikh al Albany Rahimahullah:
Ayah An Nu’man bin Ma’bad adalah majhul (tidak dikenal), hal itu telah diisyaratkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam risalah “Shiyam” (Hal. 9, berdasarkan penyelidikan kami), setelah ia menyebutkan pernyataan Al Mundziri: “Tetapi, siapa yang mengenal ayahnya, keadilannya, hafalannya?!” Oleh karena itu Adz Dzahabi berkata: “Dia tidak diketahui.” Berkata Al hafizh Ibnu Hajar: “Majhul.” (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 3, Hal. 13, No. 1014)
Catatan:
Sebenarnya perihal apa hukumnya memakai celak mata (juga suntikan), para ulama berselisih pendapat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang hal itu, sebagaimana yang dikutip oleh Syaikh al Albany berikut:
“Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa celak mata dan suntikan bagi orang berpuasa tidaklah membatalkan puasa, sesungguhnya puasa adalah salah satu ajaran agama kaum muslimin yang harus diketahui tentangnya baik secara khusus atau umum. Seandainya permasalahan ini diharamkan Allah dan RasulNya, dan dapat merusak puasa, niscaya hal itu akan Rasulullah berikan penjelasannya, dan memberikan penjelasan ilmunya kepada para sahabat dan menyampaikannya kepada umat sebagaimana mereka sampaikan seluruh aturan lainnya. Namun, belum ada satu pun ulama yang mengutip dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang hal itu, secara shahih baik yang musnad atau mursal. Telah diketahui bahwa hal itu tidak terbukti. Hadits yang menyebutkan tentang celak pun dha’if, diriwayatkan oleh Abu Daud dan tidak diriwayatkan oleh selainnya, baik musnad Imam Ahmad atau seluruh kitab hadits lainnya.” (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 3, Hal. 13, No. 1014)
Wallahu A’lam
Hadits keempat belas: Larangan bersiwak sore hari bagi orang yang puasa
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
"Jika kalian puasa maka bersiwaklah pada pagi hari dan jangan bersiwak pada sore hari, karena tidaklah bagi mulut orang berpuasa yang menjadi kering pada sorenya, melainkan Allah akan memancarkannya cahaya antara kedua matanya kelak pada hari kiamat.” (HR. Ath Thabarani, Mu’jam al Kabir, Juz.4, Hal. 99, No. 3608. Sunan Ad Daruquthni, Juz. 6 Hal. 139, No. 2397)
Dalam sanad hadits ini terdapat Kaisan Abu Amr dan Yazid bin Bilal. Kaisan Abu Amr ini oleh Imam Ibnu Hibban disebut: “Munkarul Hadits (haditsnya munkar).” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 3, Hal. 105. Tahqiq: Mahmud Ibrahim Zaid)
Begitu juga Imam Al Azdi berkata tentang dia: “Munkarul hadits.” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz.11, Hal. 177. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Yahya bin Ma’in mendha’ifkan dia. (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 3, Hal. 417)
Dalam Takhrijul Hidayah disebutkan bahwa Kaisan ini sangat dha’if. Sedangkan Ibnu Hajar mengatakan para ulama mendha’ifkan dia. (Imam al Munawi, Faidhul Qadir, Juz.1, Hal. 508, Hadits no. 736 )
Sementara Yazid bin Bilal disebut oleh Imam Adz Dzahabi: “Haditsnya tidak shahih.” (Mizanul I’tidal, Juz. 4 Hal. 420, No. 9677)
Imam al Munawi mengatakan: “Al Iraqi berkata dalam Syarh at Tirmidzi: “Hadits ini sangat dha’if.” (Imam al Munawi, Faidhul Qadir, Juz.1, Hal. 508, Hadits no. 736 )
Syaikh al Albany juga mendha’ifkan hadits ini. (Syaikh al Albany, Silsilah Ash Shahihah, Juz. 1, Hal. 478, No. 401)
Demikianlah, sangat jelas kelemahan hadits ini.
Catatan:
Yang benar dalam masalah ini, bersiwak ketika berpuasa pagi sampai sore adalah tidak apa-apa sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i Rahimahullah, sebab justru riwayat shahih menunjukkan kebolehannya.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
Disunahkan bersiwak bagi orang yang berpuasa ketika ia berpuasa, tak ada perbedaan antara di awal siang dan akhirnya. Berkata At Tirmidzi: “Imam Asy Syafi’i menganggap tidak mengapa bersiwak pada awal siang dan akhirnya.” Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersiwak, padahal dia sedang puasa. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1,Hal. 459. Al Maktabah Asy Syamilah)
Beliau melanjutkan:
Dan disunnahkan bagi orang yang berpuasa dan tidak, untuk bersiwak baik di awal siang atau di akhirnya, sama saja.
Diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah Radhiallahu ‘Anhu:
Disebutkan dari Amir bin Rabi’ah, dia berkata: “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersiwak, dan dia sedang puasa, dan tidak terhitung jumlahnya.” (HR. Bukhari, Juz. 7, Hal.18. At Tirmidzi, Juz. 3, Hal. 170, No. 657. Ahmad, Juz.31, Hal. 290, No. 15124. Lafazh ini milik Bukhari. Fiqhus Sunnah, Juz. Hal. 45. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Al Bukhari membuat judul Bab dalam kitab Jami’ush Shahih-nya:
“Siwak dengan yang kayu basah dan yang kering bagi orang Berpuasa”
Imam Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath:
“Keterangan ini mengisyaratkan bantahan atas pihak yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa, yakni bersiwak dengan kayu basah, seperti kalangan Malikiyah dan Asy Sya’bi, dan telah dikemukakan sebelumnya tentang qiyas-nya Ibnu Sirin,bahwa bersiwak dengan ‘kayu basah’ itu seperti air yang dengannya kita berkumur-kumur (yakni boleh, pen).” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 6, hal. 183. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dalam Tuhfah al Ahwadzi disebutkan:
(Sesungguhnya sebagian ahli ilmu ada yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa dengan menggunakan dahan kayu yang basah) seperti kalangan Malikiyah dan Imam Asy Sya’bi, mereka memakruhkan orang berpuasa bersiwak dengan dahan kayu basah karena itu bagian dari makanan. Ibnu Sirin telah menyanggah itu dengan jawaban yang baik. Al Bukhari berkata dalam Shahihnya: “Berkata Ibnu Sirin: Tidak mengapa bersiwak dengan kayu basah, dikatakan “ bahwa itu adalah makanan”, Dia (Ibnu Sirin) menjawab: Air baginya juga makanan, dan engkau berkumur kumur dengannya (air).” Selesai. Ibnu Umar berkata: “Tidak mengapa bersiwak bagi yang berpuasa baik dengan kayu basah atau kering,” diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Aku (pengarang Tuhfah Al Ahwadzi) berkata: Inilah yang lebih benar.” (Syaikh Abdurrahman al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, Juz. 2, Hal.261, No. 657. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dengan demikian tidak mengapa bahkan sunah kita bersiwak ketika berpuasa, baik, pagi, siang, atau sore secara mutlak sebagaimana yang dikatakan dalam Tuhfah al Ahwadzi:
“Dan dengan semua hadits-hadits yang diriwayatkan tentang ini dan keutamaan bersiwak, bahwa keutamaannya adalah mutlak, dan kebolehannya itu pada setiap waktu, setiap keadaan, dan itu lebih shahih dan lebih kuat.” (Ibid)
Adapun pasta gigi, dihukumi sama dengan kayu basah, karena sama-sama mengandung air dan rasa. Dan Imam An Nawawi mengatakan bahwa dengan alat apa pun selama tujuan ‘membersihkan’ telah tercapai, itu juga dinamakan bersiwak, baik itu dengan jari, kain, atau lainnya selama tidak membahayakan.
Dalam Syarh An Nasa’i disebutkan:
“Yaitu alat apa saja yang bisa mensucikan dengannya maka dia menyerupai siwak, karena dia bisa membersihkan mulut, bersuci dan membersihkan, demikian kata An Nawawi” (Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi, Syarh An Nasa’i, Juz. 1, Hal. 7, No. 5. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits kelima belas: keutamaan berpuasa sehari di bulan Muharam (1)
Dari Ibnu Abbas dia berkata, Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang puasa pada hari Arafah, maka baginya penghapusan dosa selama dua tahun, barangsiapa yang puasa sehari pada bulan Muharam maka baginya sama dengan puasa tiga puluh hari.” (HR. Ath Thabrani, Al Mu’jam ash Shaghir, Juz. 3, hal. 100, No hadits. 960. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dalam sanad hadits ini ada periwayat bernama Al Haitsam bin Habib, Salam ath Thawil, dan Laits bin Abi Sulaim. Imam Al Hakim mengatakan tentang Salam ath Thawil: “Hadits-haditsnya palsu.”
Sedangkan Ibnu Kharasy berkata: “dia pendusta.”
Syaikh al Albany mengatakan bahwa hadits di atas adalah maudhu’ (palsu). Salam ath Thawil adalah seorang tertuduh, sedangkan Ibnu Abi Sulaim adalah dha’if. Sementara Imam Adz Dzahabi mengatakan hadits ini batil.” (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 1 hal. 489, No hadits. 412)
Laits bin Sulaim ini pada akhir hayatnya mengalami perubahan, ia banyak lupa dengan haditsnya sendiri. Membolak-balik sanad, memarfu’
Marfu’ adalah hadits yang sanadnya dianggap sampai hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mursal adalah hadits yang sanadnya terputus setelah tabi’in, tanpa melalui sahabat nabi.
Catatan:
Sebenarnya untuk puasa Arafah, ada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan para pengarang kitab Sunan. Lebih baik kita mendasarkan ibadah puasa Arafah kepada hadits shahih tersebut, bukan hadits di atas. Hadits tersebut sangat panjang, saya kutip seperlunya saja, yakni:
Dari Abu Qatadah, dia berkata:
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang puasa Arafah, dia menjawab: “Dapat menghapuskan dosa tahun lalu dan setelahnya.” (HR. Muslim, Kitab Ash Shiyam Bab Istihbab Shiyam Tsalatsah Ayyam min Kulli Syahrin wa Shaum Yaum ‘Arafah, Juz. 6 Hal. 56, No hadits. 1977)
Hanya saja keutamaan puasa ‘Arafah ini tidak berlaku bagi yang sedang wukuf di ‘Arafah. Bahkan Imam at Tirmidzi membuat Bab berjudul:
“Makruhnya puasa ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah.” (Sunan At Tirmidzi, Juz. 3 Hal. 211)
Selesai.
Hadits keenam belas: Keutamaan berpuasa sehari di bulan Muharam (2)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa sehari pada Muharam maka baginya tiga puluh kebaikan pada tiap harinya.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam al Kabir, Juz. 9, Hal. 285, No hadits. 10919)
Menurut Syaikh al Albany hadits ini maudhu’ (palsu).
Imam Al Munawi berkata tentang Al Haitsam bin Habib:
Berkata Imam Nurudin Al Haitsami: “Dalam sanad hadits ini terdapat Al Haitsam bin Habib, Imam Adz Dzahabi telah mendha’ifkannya.” (Imam al Munawi, Faidhul Qadir, Juz.6, Hal. 210. No hadits. 8782. Cet.1, Darul Kutub al ‘Ilmiyah Beirut – Libanon. 1994M-1415H. Al Maktabah Asy Syamilah)
Catatan:
Sebenarnya ada dalil shahih tentang puasa bulan Muharam khususnya tanggal Sembilan (puasa tasu’a) dan sepuluh (puasa ‘Asyura). Keduanya sunah.
Dari Al Hakam bin al A’raj dia berkata: bahwa Ibnu ‘Abbas Radhilallahu ‘Anhu berkata kepadaku:
“Jika kamu melihat hilal (bulan sabit) bulan Muharam, maka hitunglah, dan hendaklah puasa pada hari ke Sembilan. “ Aku bertanya: “Apakah Rasuluallah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berpuasa pada hari itu?” Dia menjawab: “Ya.” (HR. Muslim, Kitab Shiyam Bab Ayyu Yaumin Yushamu fii ‘Asyura, Juz. 5, Hal. 478, No hadits. 1915)
Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:
“Berkata Asy Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, dan Ishaq, dan lain-lain: “Disunahkan berpuasa pada hari kesembilan dan sepuluh secara bersamaan, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada hari ke sepuluh, dan berniat berpuasa pada hari kesembilannya.” (Imam An Nawawi, Syarh ‘alas Shahih Muslim, Juz.4 hal. 121)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan puasa pada hari ‘Asyura. Ketika diwajibkannya puasa Ramadhan, itu hanya bagi yang mau saja, jika mau puasa maka puasalah, jika tidak maka berbukalah.” (HR. Bukhari , Kitab Ash Shiyam Bab Shiyam Yaumu ‘Asyura, Juz.7, Hal. 124, No hadits. 1862)
Dari ‘Aisyah Radhilallahu ‘Anha:
“Orang-orang Quraisy pada zaman jahiliyah berpuasa pada hari ‘Asyura, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga berpuasa. Ketika sampai di Madinah, dia berpuasa dan memerintahkan pada hari itu. Tapi ketika diwajibkannya puasa Ramadhan, dia meninggalkan puasa tersebut. Jika ada mau maka puasalah, jika tidak maka tinggalkanlah.” (HR. Bukhari, Kitab Ash Shiyam Bab Shiyam Yaumu ‘Asyura, Juz.7, Hal. 125, No hadits. 1863)
Imam Ibnu Hajar berkata:
Ibnu Abdil Barr telah mengutip adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa sekarang puasa ‘Asyura tidaklah wajib, mereka ijma’ bahwa itu adalah sunnah. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 6 Hal. 282 No hadits. 1862. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits ketujuh belas: Sunahnya puasa Rabu dan Kamis
Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang berpuasa hari Rabu dan Kamis, maka dia dihindarkan dari api neraka.” (HR. Musnad Abu Ya’ala, Juz.11, Hal. 393, No hadits. 5506)
Dalam hadits ini ada periwayat bernama Abu Bakar bin Abi Maryam, seorang perawi dha’if. Berkata Imam Nuruddin al Haitsami: “Munkarul hadits (haditsnya munkar).” (Imam al Haitsami, Majma’ az Zawa’id, Juz. 1, Hal. 188)
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata tentang dia dalam catatan kaki kitab Al Muhalla: “Dia adalah orang yang buruk hafalannya, banyak keraguan dan haditsnya ditinggalkan, namun tidak satu pun menuduhnya sebagai pendusta.” (Imam Abu Muhammad bin Hazm, Al Muhalla, Juz. 1, Hal. 231. Darul Fikr. Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Imam Asy Syaukani berkata tentang dia: “Dha’if.” (Nailul Atuthar, Juz. 6, Hal. 241)
Imam Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa dia dha’if, sedangkan Imam Abu Zur’ah mengatakan bahwa dia, “Dha’iful hadits munkarul hadits.” (Imam Ibnu Hibban, Al Jarh wat Ta’dil, Juz. 2, Hal. 405)
Syaikh al Albany menyatakan kedha’ifan hadits ini. (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 2, Hal. 57, No. 480)
Catatan:
Selain secara sanad hadits di atas dha’if, teksnya pun bertentangan dengan hadits shahih yang menyunnahkan berpuasa pada hari Senin dan Kamis, bukan Rabu dan kamis.
Seorang pelayan dari Usamah bin Yazid pergi bersama Usamah menuju Wadi al Qurra dalam rangka memungut kekayaan untuknya, saat itu dia sedang puasa Senin dan Kamis, maka pelayannya bertanya kepadanya (Usamah):
“Kenapa Anda berpuasa senin dan kamis, padahal Anda sudah tua?” Dia menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berpuasa hari Senin dan Kamis,” ketika ditanya hal itu dia menajwab: “Sesungguhnya amal para hamba dicatat pada hari Senin dan Kamis.” (HR. Abu Daud, Kitab Ash Shaum Bab Fii Shaumi al Itsnain wal Khamis, Juz. 6, Hal. 416, No hadits. 2080. Syaikh al Albany berkata: Shahih. Lihat Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud, Juz. 5, hal. 436, No hadits. 2436)
Berkata Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi:
“Hadits ini menunjukkan disunahkannya puasa hari Senin dan Kamis, karena kedua hari itu adalah waktu dicatatnya amal.” (Imam Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 5 Hal. 316 No hadits. 2080) Selesai
Hadits kedelapan belas: Puasanya orang bepergian dinilai sama dengan orang yang tidak puasa ketika mukim
Dari Abdurrahman bin ‘Auf Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Puasa Ramadhan bagi orang yang sedang safar, sama halnya dengan yang tidak puasa ketika mukim.” (HR. An Nasa’i, Kitab Ash Shiyam Bab Dzikr Qaulihi Ash Sha’im fis Safar kal Mufthir fil hadhara,Juz. 7, Hal. 427, No hadits. 2247. Ibnu Majah, Kitab Ash Shiyam Bab Maa Ja’a fil Ifthar fis Safar, Juz. 5, Hal. 171, No hadits. 1656. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, Juz. 4, Hal. 244)
Imam al Baihaqi berkata:
Hadits ini mauquf, sanadnya terputus. Sedangkan yang riwayat marfu’ sanadnya dha’if. (Ibid)
Hadits mauquf adalah hadits yang hanya sampai atau terhenti pada sahabat nabi saja, tidak sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Syaikh al Albany berkata:
“Sanad hadits ini dha’if karena dua faktor. Pertama, sanadnya terputus, lantaran Abu Salamah tidak pernah mendengar langsung dari Ayahnya sebagaimana diterangkan dalam “Al Fath.” Kedua, Usamah bin Zaid lemah hafalannya, dan yang lebih terpercaya darinya telah menyelisihi dirinya yakni Ibnu Abi Dzi’b, dan Ibnu Syihab Az Zuhri telah meriwayatkan darinya secara mauquf. (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz.2 Hal. 75, No hadits. 498)
Imam Asy Syaukani mengutip dari Imam Ibnu Hajar , juga mengatakan bahwa sanad hadits ini terputus, karena Abu Salamah belum pernah dengar langsung dari ayahnya tentang hadits ini. (Nailul Authar, Juz. 7, Hal, 99. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits kesembilan belas: Berpuasa Ramadhan di Madinah lebih baik …
“Ramadhan di Madinah lebih baik dibanding seribu Ramadhan di tempat lain dan melakukan shalat Jum’at di Madinah lebih baik seribu kali Jum’at dibanding Jum’at di tempat lain.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, Juz. 1, Hal. 493)
Dalam sanad hadits ini terdapat Abdullah bin Katsir.
Imam Adz Dzahabi berkata: “Dia (Abdullah bin Katsir) tidak diketahui. Hadits di atas batil dan sanadnya sangat gelap (tidak jelas). Imam Dhiya’uddin tidak menempatkan hadits ini dalam hadits-hadits pilihan, karena Abdullah bin Katsir meriwayatkannya secara tunggal dari Abdullah bin Ayyub al Makhrami.” (Imam Adz Dzahabi, Mizan al I’tidal, Juz. 2 Hal. 473. Darul Ma’rifah Lithiba’ah wan Nasyr,
Perkataan Imam Adz Dzahabi di atas juga disepakati oleh Imam Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Lisanul Mizan, Juz. 2, Hal. 55. Al Maktabah Asy Syamilah
Syaikh al Albany Rahimahullah mengkategorikan hadits ini sebagai hadits batil, walau pun ada riwayat lain yang serupa, namun semua riwayat tersebut diriwayatkan oleh perawi dha’if (lemah hafalannya), majhul (tidak dikenal) bahkan pemalsu hadits. (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 2, Hal. 330, No. 83) Selesai.
Hadits kedua puluh: Puasa Ramadhan di Mekkah lebih baik …
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan di Mekkah dan shalat malam sesuai kemampuannya, maka dia dicatat seperti melakukan seratus ribu kali puasa Ramadhan di luar Mekkah, dan dicatat baginya setiap hari seperti membebaskan satu budak, dan malamnya seperti membebaskan satu budak, dan setiap harinya mendapatkan pahala orang yang mempersiapkan kuda perang fisabilillah, dan setiap hari adalah satu kebaikan dan setiap malam satu kebaikan pula. (HR. Sunan Ibnu Majah, Kitab Al Manasik Bab Shiyam Syahri Ramadhan bi Makkah, Juz. 9, Hal. 265, No hadits. 3108)
Dalam sanad hadits ini terdapat Abdurrahim bin Zaid al ‘Ammy.
Imam Yahya bin Ma’in berkata tentang dia: “Dia bukan apa-apa.” Sementara Imam Abu Zur’ah mengatakan: “Dha’iful Hadits (haditsnya lemah).” Abdurrahman bertanya kepada ayahnya tentang dia: “Haditsnya ditinggalkan.” (Imam Abu Hatim ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, Juz. 5 Hal. 339-340. Al Maktabah Asy Syamilah)
Sementara dalam Taqribut Tahdzib, disebutkan bahwa Imam Yahya bin Ma’in menyebut Abdurrahim bin Zaid al ‘Ammy adalah pendusta dan matruk (ditinggalkan haditsnya/semi palsu). (Imam Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, Juz. 1, Hal. 598. Dar al Maktabah al ‘Ilmiyah,
Sementara Syaikh al Albany mengatakan hadits ini maudhu’ (palsu). Beliau berkata:
“Ini adalah maudhu’ (palsu), barangkali kepalsuannya sangat nampak, yaitu terlihat pada kecacatan Abdurrahim. Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Pendusta yang busuk.” Imam An Nasa’i berkata: “Tidak bisa dipercaya dan tidak amanah.” Berkata Ibnu Hibban (2/152): “Dia meriwayatkan dari ayahnnya keanehan-keanehan yang tidak diragukan lagi sebagai hadits buatannya sendiri, dikerjakannya, dan semuanya terbalik.” Kemudian saya (Syaikh al Albany) melihat hadits ini dalam kitab Al ‘Ilal (1/250) karya Abu Hatim dia berkata: “Hadits ini munkar, dan Abdurrahim bin Zaid adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan/tidak dipakai).” (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 2, Hal. 331, No hadits. 832. Lihat juga Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 2 hal. 161)
Catatan:
Dengan jelasnya kelemahan (bahkan palsu) hadits-hadits keutamaan puasa Ramadhan di Mekkah dan Madinah, maka kita simpulkan bahwa keutamaan puasa Ramadhan ditentukan oleh kualitas puasa itu sendiri. Sedangkan, untuk keutamaan shalat di masjidil haram (Mekkah) dan masjid nabawi (Madinah) telah diterangkan dalam hadits shahih. Hadits shahih itulah yang kita jadikan alasan.
Hadits-hadits tersebut adalah:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Shalat di masjidku ini (masjid nabawi) lebih baik seribu kali shalat di masjid lainnya, kecuali masjidil haram.” (HR. Bukhari, Kitab Al Jum’ah Bab Fahdlush Shalah fi Masjid Makkah wal Madinah, Juz. 4 Hal. 377 No hadits. 1116)
Kenapa dikecualikan masjidil haram? Karena shalat di masjidil haram justru seratus kali lebih utama dibanding di masjid nabawi. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Shalat di masjidku (masjid nabawi) ini lebih utama seribu kali shalat dibanding shalat di masjid-masjid lainnya, kecuali masjidil haram. Sedangkan shalat di masjidil haram lebih utama seratus kali shalat di masjidku ini. (HR. Ahmad, Juz. 32 Hal. 343, No hadits. 15533. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban, lihat Fathul Bari, Juz. 4, Hal. 191. Syaikh al Albany mengatakan: Shahih. Lihat Shahih wa Dha’if Al Jami’ Ash Shaghir, Juz. 16, Hal. 10, No hadits. 7288. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits Keduapuluh satu: Puasa Ramadhan tidak sampai Allah Ta’ala tanpa zakat
“Bulan Ramadhan tergantung antara langit dan bumi, tidak sampai kepada Allah kecuali dengan zakat fitrah.”
Hadits ini dha’if. Imam Ibnul Jauzi berkata dalam Al Wahiyat:
“Tidak shahih, di dalamnya ada Muhammad bin ‘Ubaid Al Bashri, dia majhul (tidak dikenal).” (Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, Juz. 4, Hal. 219)
Imam Ibnu Hajar berkata:
“Hadits ini tidak ada penguatnya.” (Imam Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, Juz. 2, Hal. 432)
Al ‘Allamah Syaikh Muhammad Nashirudin al Albany mengatakan hadits ini dha’if. Dia juga mengatakan:
“Jika hadits ini shahih, maka menurut zhahirnya menunjukkan bahwa ibadah puasa baru diterima jika sudah mengeluarkan zakat fitrah, bagi yang belum menunaikan zakat fitrah maka puasanya tidak diterima, saya tidak mengetahui satu pun ulama yang berpendapat demikian. Pemahaman yang saya kutip barusan saya ambil dari Al Muqaddasy adalah takwil yang sangat jauh dari teks hadits, itu jika haditsnya shahih, ternyata haditsnya tidak shahih.
Saya katakan demikian, karena saya mengetahui bahwa sebagian mufti (ahli fatwa) ada yang menyebarkan hadits ini ketika masuknya bulan Ramadhan. Itu adalah salah satu bentuk menggampangkan masalah yang saya khawatirkan, padahal seharusnya mereka hati-hati dalam mengutarakannya!” (Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 1, Hal. 120, No. 43). Wallahu A’lam
Demikian ... semoga bermanfaat . Alhamdulillahirrabbil 'alamin
Sumber: http://myquran.org/forum/index.php/topic,41141.0.html
No comments:
Post a Comment