08 February 2009

[cerpen] Ditawarin jadi Mantu

Suara mesin pabrik terdengar samar masuk ke dalam ruangan besar ketika pintu kantor terbuka. Beberapa sekat-sekat pemisah meja, membagi divisi-divisi yang ada, produksi, personalia, perencanaan, marketing, maintenance, mekanik, support, dan lain-lain. Dari level supervisor ke atas, ada ruangan-ruangan khusus yang disediakan di sekeliling ruangan besar ini.

Aku menempati salah satu meja diantara sekian banyak meja-meja tersekat yang ada. Menarik kursi yang beroda, dan duduk disitu. Satu-dua keringat turun di dahi, baru dari tempat produksi, monitoring kerjaan.

Sebentar lagi makan siang, jam komputer menunjukkan angka 11.25.

"Ali, ke ruangan saya dulu yuk, ada yang mau saya bicarakan", Pa Syarif menepuk pundakku.

"Eh, iya pak", aku mengangguk dan mengikuti langkahnya, menuju ruangannya. Manajer produksi.

Aku menutup pintu ruangan, mengambil posisi duduk di sofa kecil berwarna biru, di sebelah pa Syarif. Sofanya berdesain simple, sederhana, namun nyaman dan empuk.

Satu meja kayu kecil ada di tengah. Di depan, ada meja kerja lebar dan kursi untuk lawan bicara. Pigura di dinding bergambar harimau dengan sebuah kalimat tertulis di sana, "kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas."

"Gimana kabar keluargamu di Bandung?", pa Syarif memulai perbincangan.

"Alhamdulillah baik-baik aja pa"

"Ibu dan adik-adikmu?", beliau menyambung.

"Iya, baik-baik aja pa"

"Begini, kita ngobrolnya bukan dalam kerangka kerja nih, jadi santai aja", beliau melanjutkan, sambil bersandar ke sofa.

Aku mengangguk-angguk pelan.

"Kamu kenal anak bapak, si Nisa, kan..?", beliau bertanya.

Memoriku melayang ke acara family gathering perusahaan yang berlangsung selama dua hari di Pantai Carita sebulan yang lalu.

Annisa Ramadhani, anak tunggal pa Syarif, wanita dengan tinggi yang semampai, 165 cm, putih, cerdas, supel, dan berjilbab rapi.

"Iya, kenal pa, yang kemarin ikut ke Carita kan?", aku mengkonfirmasi.

Beliau mengangguk.

"Begini, Nisa kan sudah lulus tahun kemarin, dan sekarang juga sudah bekerja", jeda sesaat, "dia sepertinya sudah cukup umur untuk menikah."

Nafasku serasa tertahan, mencoba menerka akan kemana pembicaraan ini mengarah.

"Kamu sudah punya calon istri, pacar..?", beliau bertanya.

"Belum pak", aku menjawab pelan, jujur.

"Ya sudah, begini, saya mau menikahkan kamu sama si Nisa, kamu mau tidak..?"

Deugh... terperanjat mendengar ucapan pa Syarif.

"Maksudnya pa..?", aku coba menenangkan diri, menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Mungkin aku sedang bermimpi atau berkhayal.

"Nisa, insya Allah adalah anak yang taat pada orangtua, dan bapak tahu persis bahwa dia tidak sedang pacaran atau dekat dengan seseorang. Bapak melihat kamu sebagai anak yang baik, shalat kamu rajin, ngga neko-neko. Makanya bapak mau kamu jadi suaminya Nisa."

Pikiranku langsung bercabang. Menikah memang sudah saatnya, tapi bagaimana dengan ibuku di kampung halaman sana, juga adik-adikku yang masih sekolah, sedang bapak sudah tidak ada. Akulah yang selama ini mensupport mereka.

Sebuah tawaran yang sangat menggiurkan. Nisa terlihat memang sangat baik, kelewat baik bahkan jika untukku. Pa Syarif, ayahnya, juga orang yang cukup baik, sebagaimana saya mengenal beliau dalam keseharian. Namun.., ah, pikiranku berkecamuk.

"Ok, kamu pikirkan dulu baik-baik. Saya harap bisa ada keputusan yang terbaik dari kamu dalam waktu seminggu ini", mungkin pa Syarif sedikit bisa menangkap kebimbangan dalam hatiku.

"Iya pa, akan saya pikirkan dulu satu minggu ini",

* * *

Haduh, inilah keberuntungan besar. Harta karun. Annisa Ramadhani, alumni UGM jurusan manajemen, tiga tahun dibawahku, cantik dan shalihah, ditawari langsung kepadaku, oleh bapaknya sendiri.

Tidak pernah terbayangkan!

Tapi.., kenapa aku malah jadi bimbang begini ya, hati kecilku bersuara.

Aku tahu bahwa keluarga pa Syarif bukanlah keluarga yang suka berfoya-foya, bahkan cukup bersahaja, meskipun beliau memiliki posisi yang cukup tinggi di perusahaan.

Secara perhitungan matematis, kalau mau diajak hidup sederhana, sepertinya cukup saja. Dan akupun sudah cukup siap untuk berkeluarga?

Tapi.., ah... aku menghela nafas panjang, berbaring bimbang di kamar kostanku yang kecil.

Besok adalah hari ketujuh semenjak perbincangan itu. Hari terakhir dimana aku harus memberikan jawaban.

Namun...

Ah...

???


---000---

Samarinda, 8 Februari 2009
Syamsul Arifin

*fiksi, only in my imagination ^_^

25 comments:

  1. *fiksi, only in my imagination ^_^

    ReplyDelete
  2. Ide sederhana yang sudah biasa....:)
    Anyway..bagus kok mengemasnya....:)

    ReplyDelete
  3. @nuricant
    begitu ya.. hmmmm

    @ivoniezahra
    kritikannya dunk, biar makin bagus lagi kedepan2nya klo buat cerpen ^_^

    @ri2nzmeow
    hmmmm (juga) :)

    @luvlylya
    belum diputuskan ly jawabannya, masih dipikirin dulu...
    *serasa tokoh utama*
    *ngarep mode: on ^_^

    ReplyDelete
  4. Rasanya koq pengalaman pribadi ;-)

    ReplyDelete
  5. hua!!!!!!!!!!!!!!!!!!11 gue kira beneran!!! tpi saiah rasa ini beneran terjadi deh
    kikikik..
    kak ipin... kak ipin...

    ReplyDelete
  6. Coba klimaksnya dibikin penasaran dikit,jangan menjelaskan dulu kalau Pak Syarif punya anak perempuan kak, soalnya dari situ nanti sudah bisa ditebak arahnya...:)

    ReplyDelete
  7. *fiksi, only in my imagination ^_^

    Dipertegas nich...? Kalo emang real, kenapa ga...? ^_^

    ReplyDelete
  8. sip d^^b paragraf2 awalnya diambil dari tempat kerja mas Ipin, ya? terasa real dan ga terlalu mengawang2 lagi--untuk setting dan suasana kerjanya ^^

    ReplyDelete
  9. Terima aja Ali, kesempatan gak datang dua kali bukaan?

    masih ada kelanjutannya ya? ^_^

    ReplyDelete
  10. kayaknya kang ipin makin laku keras di tanah seberang :)

    ReplyDelete
  11. ah ipin.. eh ali..

    kok namaku disebut-sebut lagi sih.. aq kan jadi malu

    awas kalo gak diterima

    regards, Annisa Ramadhani

    ReplyDelete
  12. Wah keren pin

    *msh inget janji minjemin kipas angin

    ReplyDelete
  13. moga moga terjadi beneran yah....hehehe

    ReplyDelete
  14. he..he..tar banyak yg cemburu lho...

    ReplyDelete
  15. Xixixi..
    Terima!
    Terima!
    Wkwkwk..
    He'em.. Temanya kok umum ya.. Dan juga udah ketebak, xixixi...

    ReplyDelete
  16. ngamatin perjalanan ali selanjutnya...............

    ReplyDelete
  17. ^_^ kayaknya beneran deh ini....

    Diterima kah?

    ReplyDelete
  18. Aq terpesona dgn komentar bang nissa D.H

    Btw pin, annisa ramadhani kan nama tanteku alumni smun 70 ang 2000

    Tp dia kul di jerman, bkn ugm

    Nama bpknya nusa bela

    Dan tante icha jg sdh nikah

    Itu tanteku bkn ya?

    Huehehehe

    ReplyDelete
  19. ini mah pengalaman sndiri, hehehe... hayooo ngaku... ;p

    ReplyDelete