08 February 2009

Mengomentari Fatwa atau Mengomentari MUI..?

Minggu, 25 Januari 2009, di Aula Diniyyah Puteri Padang Panjang, setelah melakukan serangkaian sidang ijtima' ulama bidang fatwa, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan beberapa hal, diantaranya terkait dengan hukum merokok, golput dan senam yoga.

Berbagai komentar menyikapi hasil sidang para ulama se-Indonesia tersebut. Ada yang pro/setuju/sepakat dan ada juga yang kontra/tidak setuju/menolak.

Selain dukungan dan pujian, komentar-komentar yang aneh, nyeleneh, menghina bahkan kurang ajar pun sampai terlontar. Naudzubillah!

Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang seharusnya jadi perhatian kita semua.

Pertama, Mereka adalah Ulama

Untuk menjadi bagian dari Majelis Ulama Indonesia, pastinya ada ketentuan, persyaratan dan kompetensi yang wajib dimiliki. Tidak sembarangan orang bisa jadi bagian dari MUI. Ilmu Al-Quran, hapalan Quran, ilmu mengenai hadits dan hapalan haditsnya, mengenai hukum-hukum fiqh, dan bukan hanya mengenai keilmuan syariah saja, tapi juga mengenai keilmuan muamalah, sosial kemasyarakatan, dll menjadi bagian dari keilmuan mereka. Dan pastinya, mereka harus bijaksana, karena fatwa itu tidak mudah, sepele atau ringan, perlu pertimbangan yang matang. Kombinasi antara ilmu dan amal juga menjadi suatu hal yang wajar. Takut kepada Allah dan mengharap hanya kepada ridho-Nya.

Yang cukup unik, bahwa orang-orang yang berkomentar "menyerang" MUI adalah orang-orang yang bahkan perlu dipertanyakan integritasnya. Sudah seberapa banyakkah hapalan Qurannya..? Sudah pernah belajar ilmu syariah dimana saja..? Dan sudah seberapa istiqomah dengan ajaran agamanya..? Bahkan saya pribadi meragukan tilawah mereka, apakah sudah benar tajwidnya atau tidak!

Kedua, Tidak akan Bersatu kecuali dalam Hidayah

Ya, MUI hanyalah sekumpulan manusia biasa yang mungkin saja khilaf atau salah, tapi perlu dicatat, bahwa mereka memutuskan tidak secara sepihak atau sendirian saja, tapi SEKUMPULAN, bersama-sama, setelah didiskusikan, dimusyawarahkan dan dirembukkan oleh sekumpulan orang-orang yang memiliki kompetensi syariah di dalam otak mereka, yang memiliki rasa takut dan keikhlasan kepada Allah dalam hati mereka, yang pikirannya bijaksana jauh melintasi masa depan dan logika.

Dua orang lebih baik dari seorang dan tiga orang lebih baik dari dua orang, dan empat orang lebih baik dari tiga orang. Tetaplah kamu dalam jamaah. Sesungguhnya Allah Azza wajalla tidak akan mempersatukan umatku kecuali dalam petunjuk (hidayah) (HR. Abu Dawud)

Peserta yang mengikuti Ijtima’ selama tiga hari (24-26) itu berjumlah lebih 750 orang ulama yang datang dari berbagai daerah mencakup seluruh propinsi mulai dari Aceh hingga Papua. Sebuah angka yang tidak bisa dianggap sedikit.

Ketiga, MUI dan Legitimasi Pemerintah

Sidang Ijtima' MUI di Padang Panjang dibuka langsung oleh wakil presiden RI, bapak Yusuf Kalla. Hal ini menunjukkan adanya legalitas dari pemerintah, selaku pelaksana negara. Pemerintah dalam hal ini terkesan mengakui MUI sebagai badan resmi yang memiliki kewenangan dalam aspek agama, di samping departemen agama yang telah ada. Kita sering mendengar kutipan ayat berikut,

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisaa': 59)

Dan kita pun sering mendengar bahwa ulama adalah pewaris-pewaris Nabi, mereka mewarisi ilmu pengetahuan.

Terakhir, Tong Kosong Nyaring Bunyinya

Slogan itu mungkin tepat jika harus disematkan kepada mereka yang dengan sembarangan dan gegabah menjelekkan citra para ulama. Tanpa malu dan mungkin ngga pernah ngaca dengan diri mereka sendiri. Itulah mereka, yang lidahnya lebih panjang dari otaknya, yang omongannya lebih dahulu terlontar dari pada akalnya, ngga dipikir dulu. Bicaranya lantang, keras, dan menantang, sebagaimana sebuah tong yang kosong, selalu nyaring bunyinya!

Naudzubillahimindzalik, semoga saya dan kita semua terhindar dari kejelekan seperti itu (amin).


---000---

Samarinda, 8 Februari 2009
Syamsul Arifin

Maafkanlah dosa orang yang murah hati, kekeliruan seorang ulama dan tindakan seorang penguasa yang adil. Sesungguhnya Allah Ta'ala membimbing mereka apabila ada yang tergelincir. (HR. Bukhari)

2 comments:

  1. benar,,,sudah selayaknya kita menghargai para ulama....sikap seorang awam seperti kita adalah bertanya kepada para ahlinya (ulama) dan menghormati fatwanya,,,tidak melecehkan dan merendahkan...
    kalau ada orang yang berani melecehkan ulama semisal MUI biasanya karena adanya faktor kepentingan pribadi, kesenangan pribadinya yang terganggu karena adanya fatwa tsb....lalu melakukan berbagai pembenaran pribadi,,,,
    terlebih pula MUI adalah gabungan dari semua ulama dari latar belakang kelompok jama'ah masing2....ada yang dari NU, Muhammadiyah, Persis dll...sehingga fatwa mereka lebih merepresentasikan pemikiran yang berasal dari latar belakang fikroh, manhaj yang 'beda-beda;,,,sehingga kesepakatan MUI pun lebih kredibel....

    ReplyDelete
  2. sepeti lagunya izzis..

    ...........
    ulama ikhlas di hina-hina
    fatwanya seruannya di cela-cela
    semua bertindak seenak perutnya
    setan iblis gembira,riang tertawa

    beda pendapat sengit berdebat
    tapi kaum kafir menjadi sahabat
    mengaku kokoh umat, silang sengketa
    disangkanya surga miliknya semata
    ..........

    semoga kita bisa lebih dewasa dari hari kemarin...

    ReplyDelete