20 June 2009

Sepotong Kerinduan di Tanah Rantau

“Tidak sama antara orang yang hanya tinggal di negerinya, puas dengan apa pun yang diberikan iklim negerinya, dengan orang yang membagi usianya ke berbagai negeri, membagi hari-harinya di antara hentakan perjalanan hingga bisa menggali dan mengasah kekuatan yang tersembunyi pada dirinya.” (Petualang Islam terkenal, Ali Al-Mas’udi) -Majalah Tarbawi, halaman 5-


Tidak terasa sudah hampir satu tahun saya berada di tanah Borneo, Kalimantan, Kota Tepian, Samarinda dengan eksotisme Sungai Mahakam yang menawan. Nantinya bahkan akan ke Balikpapan, dan mungkin, Insya Allah akan menetap (lebih lama lagi) di sana.

Membaca Tarbawi edisi 205 berjudul “Bepergian dan Kualitas Kepribadian Kita” memberikan satu penghibur tersendiri bagi diri saya yang terpisah beribu kilometer dari keluarga, orangtua dan sanak kerabat serta teman-teman di Jakarta sana.

Tarbawi telah mengembalikan orientasi niat dalam hati, menyemangati jiwa, dan mencerahkan hari!


Kerinduan

Tempat kita mengawali kehidupan memiliki bagian tersendiri yang istimewa di dalam hati. Pasti ada kerinduan kepada tanah tempat dilahirkan, kepada udara tempat dibesarkan, kepada cinta yang dimiliki keluarga, kepada waktu dan kenangan yang dihabiskan bersama kawan sepermainan/seperjuangan.

Bilal bin Rabbah RA pun memiliki kerinduan kepada kota Mekkah sewaktu beliau berhijrah bersama kaum muslimin ke kota Madinah. Simaklah bait puisi beliau berikut,

O, angan,
Masihkah mungkin ‘kan kulalui malam
Pada lembah dan ada Izkhir mengitariku, juga Jalil
Masihkah mungkin kutandan gemericik air Mijannah
Atau Syamah menampak bagiku,
juga Thafil

Demikian pula dengan Rasulullah SAW. Suatu ketika beliau mendengarkan untaian sajak tentang Mekkah dari Ashil, dan tiba-tiba saja butir-butir air mata beliau bercucuran di celah pipinya. Kerinduan kepada Mekah tampak jelas di permukaan wajahnya. Kemudian beliau berucap, "Wahai Ashil biarkan hati ini tenteram."

Rasa rindu itu mungkin juga bisa tiba-tiba saja muncul dalam diri kita yang berada di tanah perantauan, menjadikan irama hidup kita menjadi sedikit melankolis.

Meski teknologi telah memudahkan komunikasi, perbincangan lewat telepon, SMS maupun chatting, tetap saja ada perasaan yang berbeda kalau tidak bisa bertemu orang-orang yang kita cintai itu.

Maka tidaklah mengherankan jika momen-momen tertentu seperti lebaran dijadikan ajang untuk kembali kepada tanah kelahiran, merajut silaturahim dan ukhuwah dengan orang-orang tercinta. Mengingat ulang jejak langkah pertama bermula.


Di mana pun Kamu Berada…

“Di mana pun kamu berada, itu adalah tanah Allah,” begitu kata pa Sugeng, seorang mekanik tempat saya pernah bekerja dulu.

Tidak jadi persoalan di negeri mana pun kita bermukim/menetap, selama kita masih menjadi seorang muslim, pribadi yang beriman, dan insan yang bertakwa. Tinggikan syiar Islam di mana pun kita menapaki langkah. Janganlah kamu bersedih dan merasa menjadi orang yang asing, karena sesungguhnya kamu sedang berdiri di atas tanah milik Allah juga.



---000---

Samarinda, 20 Juni 2009
Syamsul Arifin
Foto: Festival Erau Kerajaan Kutai, Desember 2008

15 comments:

  1. Subhanallah,, ahirnya ada yg mengulas ulang tentang edisi Tarbawi bulan lalu :)

    terimakasih,,

    ReplyDelete
  2. mmg aslinya mana??
    pengen bget sih pergi merantau..tp ummi pasti g ngijini.....

    ReplyDelete
  3. belum beli majalah tarbawi baru...:(

    ReplyDelete
  4. Lu mang dahsyat kalau nulis braderr.....

    ReplyDelete
  5. @ademataho
    sama2 :)

    @diaryperi & pedeepro
    makasih atas apresiasinya :)

    @zukhruf
    asli tegal, jawa tengah, tapi tumbuh dan besar lama di jakarta, keluarga (ortu dan kakak-adik) juga disana :)
    wah, klo perempuan mah mendingan jangan merantau2 deh, deket2 sama ortu atau yang mahrom ajah, lebih aman dan nyaman :)

    @kakrahmah
    wah, beli yaw ^_^
    btw, kajian tarbawi terbaru tentang "sediakan ruangan untuk dibenci" gituh deh :)

    ReplyDelete
  6. Jd pengen pulang....
    Ketika merantau tetap berharap bertambah kemanfaatan dimanapun berada

    ReplyDelete
  7. asty 2 kali perjalanan jauuuuuh..
    sendirian ajah tuh pin..
    kasian deh kyk anak ilang..
    xixixix

    ReplyDelete
  8. yaaaaaaaaah kak ipin.....
    padahal belum sempat silaturrahim..^_*

    ReplyDelete
  9. @mba yienda
    memang pulangnya kemana mba..? :)

    @asty
    wah... kemana tuh perjalanan jauhnya..?
    pas perjalannya doang kan yang sendirian..? pas udah nyampe, ngga sendirian kan..? :D
    *paling pas nyusul suamimu di amrik sanah..? ya ngga :D

    @hikmah
    walah, sekarang ini saya masih di samarinda kok :D

    ReplyDelete
  10. Ohhh......kakak di Samarinda toh........emangnya kakak aslinya orang mana kak???
    Wah, enak dong pindah pindah mulu......bisa memperbanyak pengalaman dan melihat tempat tempat baru.....hehe :)

    ReplyDelete
  11. hai kaaaaauuuu...
    ah merantau...
    aneh mah langsung dicekal... wkwk

    ReplyDelete
  12. @putraselat
    aslinya orang tegal *baca koment sebelum2nya dunk :P
    tapi tumbuh dan besar (lama) di jakarta, di samarinda baru sejak agustus 2008 :)

    @debukecil
    iya lah, klo perempuan, mendingan ngga usah merantau2, yang deket2 mahrom ajah, biar aman dan nyaman :)

    ReplyDelete
  13. hu uh bener!!
    tp lumanyun Pin..
    30 jam perjalanan sendirian... bener-bener sendirian di antah-brantah ;D

    ReplyDelete
  14. huehueue.. Aminn..
    But as naturally, berat aj meninggalkan orang2 dan lingkungan yang sudah dekat dengan kita.
    padahal tempat baru tentu tantangan baru yang akan seru yah. spt kata pepatah*jadi ikut2an ipin negh
    "dimana langit dipijak, Disitu langit dijunjung"

    ReplyDelete