06 June 2009

Taujih Syar'i: Menimbang Kemaslahatan Lebih Besar

1. Dinul Islam tidak semata-mata diturunkan melainkan untuk kemaslahatan semesta, sebagaimana firman Allah SWT tentang misi Rasul saw.
QS. Al Anbiya: 107
Dan firmanNya:
QS. Al Maidah: 6

2. Apabila kemaslahatan untuk semua orang tidak dapat dicapai, maka perintah syara’ adalah agar mengupayakan kemaslahatan yang lebih besar. Sebagaimana firman Allah:
QS. Al Baqarah:217

Ayat ini mentoleransi atau bahkan mendispensasi untuk melancarkan peperangan di bulan haram, padahal status hukum asalnya haram, tapi untuk kemaslahatan yang lebih besar bagi da’wah Islamiyah bahkan umat manusia maka mengambil inisiatif menyerang sekalipun adalah langkah yang dibenarkan oleh syara’. Kemaslahatan yang lebih besar itu berupa dapat dilumpuhkan atau dihancurkannya kekuatan yang menghalangi da’wah fisabilillah, zhuhurnya institusi kekufuran, penodaan terhadap tempat suci al Masjidil Haram, pengusiran kaum muslimin dari rumah dan kampung halaman mereka. Dan secara umum setiap bentuk upaya memesongkan manusia dari ‘aqidah Islamiyah merupakan “Fitnah” yang lebih dahsyat dari membunuh musuh di bulan terlarang.

3. Ketika dalam hidup kita harus memilih antara dua perkara yang jaiz atau halal, tetapi tingkat atau dampak kemaslahatannya tidak sama, maka pilihan harus dijatuhkan kepada yang dikalkulasi lebih besar maslahatnya.

Adalah Rasulullah saw manakala diberi pilihan antara dua perkara yang halal, tidak mengandung dosa di dalamnya, maka beliau memilih mana yang lebih maslahat, lebih ringan baik tenaga, waktu atau biayanya. Sebagaimana dinyatakan dalam Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah:

4. Apabila kewenangan untuk mempertimbangkan dan memilih mana yang diperhitungkan akan dapat lebih membawa maslahat itu dimandatkan kepada seseorang melalui TAUKIL atau WAKALAH, maka pihak wakil berhak dan tidak boleh dipersalahkan ketika menjatuhkan pilihan tertentu yang masih dalam lingkup wakalahnya.

Ini berlaku untuk pemberian mandat khusus ataupun mandat umum, meskipun pihak penerima mandat sebagai perseorangan. Terlebih apabila mandat itu diberikan kepada suatu tim, satu majmu’ah atau grup dan struktur yang berposisi sebagai pemimpin (qiyadah) yang terpilih. Ijtihad individual/fardi dari anggota tidak boleh menjadi alternatif bagi ijtihad qiyadah, apalagi melikwidasinya. Di atas otoritas wakalah tersebut, ijtihad dan pilihan yang diambil qiyadah dalam menimbang (muwazanah) antara kemaslahatan, diperkuat pula dengan otoritas kewajiban ta’at (wujubul tha’ah) kepada ulil amri yang diperintahkan Al Quran Surah Annisa, ayat 59.

5. Kemaslahatan itu ada yang berupa khasiat/manfaat sesuatu yang kita pakai atau konsumsi secara fisik, hal ini dipertimbangkan berdasarkan empirik dan keahlian atau spesialisasi.

Taujih al Quran menegaskan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw:
(Al A’raf: 157)

6. Pilihan yang dibuat sering harus diberlakukan juga antara beberapa kemungkinan yang bakal terjadi, melalui analisis konsekuensi atau dampak kedepannya atau kajian “Fiqh al Maalat”. Perbuatan yang jaiz bahkan ada kebaikannya ternyata dilarang oleh al Quran jika berdampak langsung (dzari’ah) menimbulkan hal hal yang jauh lebih merugikan, lebih mafsadat atau madharat.
Al An’am : 108

Dalam hal keniscayaan mempertimbangkan apa yang bakal atau diperhitungkan terjadi di masa yang akan datang, pembenaran terhadap tindakan Khidir dalam al Quran adalah relevan untuk dikemukakan.
Al Kahfi: 80 81

Dalam konteks siyasah syar’iyah, imam Ibnu Taimiyah merekomendasikan pilihan figure untuk suatu pos jabatan publik, baik berupa pasangan atau satu pos tertentu. Ia minta agar mencontoh pasangan para khularaurrrasyidin yang mendapat taufiq Allah. Sosok Abu Bakar yang lembut lebih maslahat berpasangan dengan sosok Umar yang streng. Model Umar yang strik lebih maslahat berpasangan dengan Abu Ubaidah, bukan dengan Khalid bin Walid. Untuk posisi qadhi ia menyarankan sosok ‘alim yang berani meskipun agak kurang amalan sunatnya, untuk mufti ‘alim yang wari’ meski kurang berani. Sedang untuk seorang panglima atau komendan mengajukan orang yang kuat pemberani meskipun kurang ke’aliman dan amalan sunatnya.

7. Contoh dari Ibnu Taimiyah di atas sekaligus cocok untuk wawasan tentang mempertimbangkan mana yang dampaknya pribadi dan mana yang berdampak umum. Kesalehan yang berfsifat pribadi maslahatnya terbatas untuk diri pribadinya, sedang kesalehan atau keshalehan (ketidak salehan) yang akan berdampak umum harus lebih dipertimbangkan. Ini sesuai dengan arahan Rasulullah saw tentang shalat dan jihad bersama seorang imam betapapun juga akhlaqnya.

Jangan tinggalkan shalat berjama’ah bersama seorang sulthan meski ia seorang yang tidak baik (fajir), karena bagi ma’mum tetap untung tidak ada ruginya. Sebab kefajiran pribadi Sulthan dalam hal shalat jama’ah- bisa jadi pengurang pahala bagi dirinya, sedang kemaslahatan serta pahala shalat jama’ah tetap didapat oleh ma’mum tanpa berkurang.

Sama halnya dengan jihad besama Sulthan yang fajir, kefujurannya merugikan dirinya sedangkan kemaslahatan jihad melumpuhkan musuh da’wah adalah untuk umum.

Karena itu, fuqaha membuat kategorisasi antara kebaikan yang terbatas (al khairul qashir) dengan kebaikan yang berdampak luas (al khairul muta’addi). Dalam konteks kemaslahatan umum yang luas “al khairul muta’addi” yang harus lebih dipertimbangkan, sedangkan “al khairul qashir” kalau ada ya tentu lebih baik dan memperelok. Jika tidak terpenuhi kedua-duanya, kebaikan pribadi mungkin bisa diupayakan/didorong dengan perjalanan waktu bahkan bisa ditoleransi. Tidak demikian halnya dengan yang bedapak umum, kepositipan atau kenegatipan, bukan perkara yang bisa ditoleransi dan diserahkan kepada proses waktu.

8. Dalam menapaki “al jihadu sabiluna” menuju “Allahu ghayatuna”, ada keharusan selalu memadukannya dengan do’a, sebaliknya do’a harus berpadu upaya. Di sector siyasah maka jihad siyasi yang kita tempuh dengan sabar punya target idaratul daulah.

Memang ada kesamaan dengan kekuatan politik lain, tapi kita wajib memastikan bahwa jihad siyasi ini berbeda. Sebagaimana araahan Kitabullah SWT:
Assajdah: 24

Ayat ini menegaskan bahwa imam adalah sulthan, sulthan adalah imam.

Keteladanan sebagai imam dalam hal bersih peduli dan professional, kita bina dengan segala kesabaran, untuk mampu membawa masyarakat pada kehidupan yang yang berjalan menurut guidance Allah, sehingga Allah ridha kepada kita dan kitapun ridha kepadaNya.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً


Sumber: www.PK-Sejahtera.org

1 comment:

  1. sabar dan Istiqomah merintis jalan ini yah,*kayak NAsheed
    Thanks.. Thanks..

    ReplyDelete