13 December 2007

Fikih Global Warming

25 Oct 2007

Saat ini,hampir seluruh penduduk dunia merasakan suhu udara yang semakin panas.Kekeringan terjadi di mana-mana.Musim yang tidak menentu menyebabkan gagal panen,terutama di kalangan petani tradisional. Mencairnya glacier dan bongkahan es telah menyebabkan naiknya permukaan air laut.

Dengan tingkat kenaikan permukaan laut rata-rata hanya 15 cm pada abad ke-20,beberapa pulau di Pasifik seperti Kiribati,Tuvalu,Vanuatu,dan Kepulauan Marshal sudah tenggelam. Menjelang 2100, permukaan air laut bisa mencapai 90 cm dan bisa menenggelamkan Kepulauan Maladewa dan beberapa pulau Indonesia di Samudra Hindia. Jika tidak segera dilakukan langkah penyelamatan, akan semakin banyak species makhluk hidup yang punah. Bisa jadi,”kiamat”akan terjadi lebih cepat karena kerusakan alam yang sangat parah dan berbagai bentuk bencana alam seperti badai,angin topan,dan sejenisnya.

Pada level internasional, gegap-gempita penyelamatan alam semesta sudah dimulai sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro, Juni 1992.Tercatat,154 kepala negara menyepakati hasil Konvensi Perubahan Iklim (Convention on Climate Change) yang mulai diberlakukan pada 1994. Langkah terus berlanjut dengan disetujuinya Protokol Kyoto I dan II,di mana negara- negara industri yang merupakan agent terbesar terjadinya pemanasan global (global warming) harus menurunkan secara sistematis emisi CO2 dan gas rumah kaca. Desember 2007, Conference to the Parties to the Convention (COP) ke- 13 yang akan dilangsungkan di Bali. Dalam konferensi tersebut akan dibahas kelanjutan Protokol Kyoto pasca-2012 dan penyusunan road-map penanganan climate change di Denmark 2009. Harus diakui,langkah-langkah tersebut masih bersifat politis.

Beberapa negara industri yang menyetujui Protokol Kyoto I dan II tidak bersungguh-sungguh menerapkan kebijakan pembangunan yang prolingkungan. Sebagai salah satu negara yang terkena dampak langsung global warming, Pemerintah Indonesia telah berperan aktif dalam percaturan politik internasional, tetapi gema mengenai langkah-langkah pemerintah dalam menangani global warming di dalam negeri justru sayup-sayup. Global warming masih menjadi konsumsi dan wacana elite karena kurangnya sosialisasi informasi kepada masyarakat luas.

Mayoritas kajian akademik dan penelitian tentang global warming baru dilakukan dalam dua perspektif: ilmu pengetahuan-teknologi dan kebudayaan. Sedikit sekali kajian serius yang melihat masalah global warming dari perspektif keagamaan (Islam).Global warming juga belum banyak disinggung dalam ceramah- ceramah agama. Kalaupun ada, pembahasan dan sikap terhadap global warming bersifat retorika normatif, menghakimi, dan tidak jarang yang bernada fatalistik. Global warming dipahami sebagai ”takdir”Tuhan yang tidak bisa dihindari atau diubah oleh manusia. Sebagaimana bencana alam yang terjadi bertubi-tubi, global warming merupakan ujian, hukuman, dan kutukan Tuhan atas dosa-dosa manusia. Solusi yang ditawarkan juga bersifat spiritualistis melalui dzikir verbal dan pertobatan seremonial.

Pemahaman Dikotomis

Mengapa para ulama dan umat beragama terkesan ”dingin” terhadap persoalan global warming? Pertama, pemahaman dikotomis di mana global warming dipandang sebagai wilayah dunia (al-dunya), bukan sebagai wilayah agama (al-din). Agama dimaknai sebagai hal-hal yang terkait langsung dengan ritual ibadah yang berhubungan dengan kewajiban manusia kepada Tuhan dan bekal kehidupan akhirat.Semua hal dan aktivitas di luar ritual ibadah dipahami sebagai urusan dunia yang tidak terlalu penting.Urusan dunia adalah persoalan nomor dua atau nomor sekian setelah urusan agama.

Pemahaman dikotomis seperti ini masih cukup dominan di kalangan umat Islam dan berpengaruh luas dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial-keagamaan. Dalam epistemologi ilmu, sebagian masih membedakan secara dikotomis antara ”Ilmu Agama” versus ”Ilmu Sekuler”. Atau, meskipun tidak bersifat dikotomis, sebagian masih menaati pendapat Imam Al-Ghazali yang membedakan ”ilmu fardhu ain” dan ”ilmu fardhu kifayah”. Tafsir, Hadits, fikih, dan bahasa Arab dikategorikan sebagai ilmu agama dan ilmu fardhu ’ain yang harus dipelajari oleh setiap muslim secara individual karena terkait langsung dengan masalah ibadah.

Sebaliknya matematika,ilmu alam, geografi, bahasa Inggris dan sejenisnya diklasifikasikan sebagai ilmu sekuler atau ilmu fardhu kifayah yang menjadi tidak wajib dipelajari jika sebagian sudah melakukan.Hukum mempelajari ilmu sekuler adalah ”fardhu kifayah”: kewajiban kolektif yang cukup dilakukan oleh salah seorang anggota suatu komunitas. Jika klasifikasi ilmu tersebut diikuti, maka global warming termasuk dalam lingkup ilmu alam yang ”sekuler” dan tidak wajib dipelajari. Sikap dan pandangan dikotomis juga tampak dalam kehidupan sosial-keagamaan. Bagi sebagian besar umat Islam, mendirikan masjid yang megah jauh lebih penting dibandingkan dengan membangun pendidikan yang bermutu.

Menabung untuk menunaikan ibadah haji jauh diutamakan ketimbang menghimpun dana beasiswa bagi generasi berprestasi. Alasannya tiada lain karena masjid dan haji terkait langsung dengan ritual ibadah.Tidak susah menemukan fakta suatu masyarakat yang religius dengan kegiatan ritual-keagamaan yang sangat aktif, tetapi justru miskin dan terbelakang. Kedua, kajian agama yang terpaku pada teks (text-oriented), terutama terhadap kitab fikih klasik. Meski sudah ditulis ratusan tahun silam, karya para ulama fikih seperti Imam Malik, Hanafi,Syafii,dan Hanbali masih terus dikaji dan dijadikan pedoman dalam ibadah dan muamalah.

Karya para imam mazhab dan kitab-kitab syarh (pengembangan atau penjelasan) yang ditulis oleh para murid mereka tidak ada satu pun yang membahas masalah lingkungan hidup dan global warming. Ada dua kemungkinan mengapa permasalahan lingkungan tidak dibahas secara khusus dalam kitab fikih klasik. Pertama, masalah lingkungan tidak dianggap sebagai bagian dari ritual ibadah.Kemungkinan kedua—yang lebih kuat—karena konteks sosial dan kondisi alam. Pada kurun waktu para ulama fikih itu belum terjadi masalah atau kerusakan lingkungan hidup sehingga pembahasan mengenai hal tersebut tidak diperlukan.

Penulis: Abdul Mu’ti Direktur Eksekutif Centre for Dialogue & Cooperation Among Civilisations (CDCC) Jakarta

Sumber: http://www.mui.or.id/mui_in/hikmah.php?id=42

3 comments:

  1. lagi rame ramenyah nih, ada fikihnya juga yak? subahanalloh, maturnuwun infonya

    ReplyDelete
  2. sama2, cuma sekedar copas doang kok :D
    mungkin bisa kita sama2 buat, artikel2 yang berhubungan dengan global warming (sebetulnya sih nama aslinya adalah climate change, cuma lebih tenaran nama global warmingnya).

    klo di islam mungkin akan seperti implementasi "rahmatan lil alamin"
    bukan sama manusia juga, tapi pada seluruh alam (tumbuh2an, binatang, etc)
    bagaimana sikap kita sebagai seorang muslim terhadap lingkungan hidup, alam, etc :)

    ditunggu ya nandri tulisannya tentang hal itu :hihi:
    lho kok malah kasih PR ke orang ya :D

    ReplyDelete
  3. eh ternyata ada PR juga to?? penting juga tuh, wallohu'alam pak

    ReplyDelete