05 July 2008

[cerpen] Gentleman

Di suatu siang, di jalan raya yang cukup padat dan lebar, dekat sebuah kampus biru di daerah Bandung Utara. Mentari agak terik bersinar, debu-debu berhamburan menari-nari hampir di sepanjang jalan, terlihat sebagian besar mahasiswa sedang asyik menikmati makan siang yang dijajakan oleh para pedangan di pinggir jalan, ada penjaja mie ayam, ketoprak, gado-gado, dan ada juga para mahasiswa yang memasuki warung-warung makan disisi jalan. Beberapa dari mereka serius menyantap makanan, terdengar beberapa tawa dan obrolan dari mereka, ramai, sebagian mahasiswa lain sedang mengantri fotokopi, terlihat agak kegerahan, peluh menetes dari beberapa orang. Jalan raya yang padat dan angkutan umum yang sering berhenti sembarangan, menambah padat siang itu.

“Wah, ada ukhti Aira tuh”, batin Yudi, mahasiswa tingkat akhir yang mengambil studi di bidang komunikasi, ia mulai berdiri dari duduknya dan membayar minuman yang ia gunakan tuk mendinginkan badan.

“Assalamualaiku ukhti”, sapa Yudi ketika mendekat kepada Aira.

“Wa’alaikumsalam”, jawab akhwat yang mengenakan jilbab warna putih selaras dengan warna kulit wajahnya.

“Wah, bawaannya banyak juga ya, mau dibantuin bawa ngga?”, ujar Yudi yang melihat Aira sedikit kerepotan karena membawa banyak sekali buku bacaan, sepertinya ia baru dari perpustakaan, mungkin bahan-bahan untuk mengerjakan skripsinya, begitu duga Yudi.

Yudi memang sedang mendekati Aira, siapa tau jodoh, begitu Yudi berharap. Maklum, sedikit lagi ia pun akan lulus, dan dia berharap bisa memiliki pendamping hidup seperti Aira, sesosok wanita yang cantik, cerdas, dan shalihah, ditambah lagi, dari informasi teman-teman dekat Aira, ternyata Aira itu juga pandai memasak, sebuah nilai lebih yang bisa mengisi hobinya yang suka makan.

“Makasih, saya masih bisa sendiri kok”, jawab Aira sembari tersenyum tenang dan terus berjalan.

“Ngga apa-apa kok, saya bantuin ya, mumpung saya lagi baik nih”, kata Yudi membujuk, ia menggerakan matanya keatas.

“Makasih banyak, tapi saya memang masih bisa bawa sendiri kok, kalau mau bantuin, mending tuh bantuin nenek-nenek yang ada di sisi jalan itu tuh, sepertinya ia sedang kebingungan”, kata Aira sambil menatap seorang nenek yang ada sepuluh meter di hadapannya.

“Yah, ngga dapat Aira, masa dapetnya nenek-nenek”, begitu Yudi membatin, “kayaknya motto, ngga ada rotan akarpun jadi, ngga seharusnya sampe segininya deh”, tubuhnya melemas.

Aha, siapa tau dengan membantu nenek tersebut, ia bisa mendapat nilai plus di mata Aira, seorang pria yang ringan tangan suka menolong tanpa pandang bulu. Sepertinya juga si nenek tersebut ingin menyebrang jalan, yang terkadang jadi kesulitan tersendiri bagi beberapa orang dikarenakan ramainya lalu lalang kendaraan.

Seketika, Yudi berjalan lebih cepat, mendahului Aira, badannya ditegapkan, ia mendekati nenek tersebut, memegang tangan nenek tersebut dengan tangan kirinya, dan mengangkat tangan kanannya untuk memberi tanda agar kendaraan-kendaraan berhenti.

“Waduh, sepertinya nenek ini susah juga nih, dibantuin, kok seperti ketakutan gituh, dibantuin nyebrang juga”, gumam Yudi dalam hati ketika sang nenek sepertinya menahan-nahan dirinya dari menyebrang.

“Tenang aja nek, santai aja, saya dulu pernah jadi polantas cilik waktu SMP kok nek”, kata Yudi menenangkan. Yudi berada di bagian dimana ia berhadapan langsung dengan kendaraan, dan ia berpindah posisi ke arah sebaliknya ketika sampai di jalur yang berlawanan, agar ia bisa berhadapan langsung dengan kendaraan.

Dengan setengah menarik-narik, dan kerja keras yang berkepanjangan, terlihat beberapa kali nenek tersebut ingin bersuara, dan akhirnya Yudi dan nenek itu sampai juga di seberang jalan.

“Nah, hati-hati ya nek”, kata Yudi sambil menunggu-nunggu ucapan terima kasih sang nenek. Dia ingin sekali mengucapkan sebaris dialognya Akhirul Azzam di novel Ketika Cinta Bertasbih-nya Kang Abik yang menyatakan “tidak perlu berterima kasih untuk sebuah kewajiban”.

Dengan suara yang sedikit bergetar nenek tersebut berkata, “nak, saya tidak ingin menyebrang jalan, tapi sedang menunggu bus, dasar kamu ini anak yang tidak berguna”, sang nenek berkata sembari memukulkan tasnya ke badan Yudi. Gubraks. Nenek tersebut kembali menyebrang jalan dengan santai.

Haduh, sakit dipukulnya sih tidak seberapa, tapi malunya itu lho, beberapa mahasiswa melihat adegan tersebut sembari menahan tawa.

Dilihatnya kembali ke sisi jalan, ternyata Aira pun sudah tidak ada. Yah, gagal semua deh. Ia meratapi nasib.

 

----

Jakarta, 5 Juli 2008
Syamsul Arifin
*just kidding ya, jangan ditanggapi serius %peace%

9 comments:

  1. wayyah...yudi2....

    caper banget dah....:D

    ReplyDelete
  2. hahaha...kasian bgt si yudi, kirain yudi itu kamu pin... :p

    ReplyDelete
  3. hmm..
    koq settingannya kampusku ya..
    bdg utara n almamater warna biru...

    ReplyDelete
  4. niat baik ternyata ga cukup ya...tul gaaaa...salam kenal

    ReplyDelete
  5. Ayo yudi! Semangat!
    Hehe..
    %peace%

    ReplyDelete
  6. ...mm... *clingukan nyari2 ipin yang cengengesan ngliatin yudi*

    ReplyDelete
  7. wah gawat nih. ceu aira yang jadi korban pak ipin sekarang ^_^

    BTW, yudi apa Budi pak??? ( ^_^) jangan2 maksudnya mengarah ke sana yah!

    ReplyDelete
  8. hiks hiks akhir yang menipu

    ReplyDelete