27 March 2009

Takalluf Politik

Kata `takalluf’ berasal dari akar kata `ka-la-fa’ yang berarti beban. Dari akar kata ini, berkembang menjadi `kallafa’ dan taklif (tugas),selain berkembang menjadi takallafa dan takalluf. Yang terakhir ini dapat diartikan sebagai memaksakan diri untuk memikul kewajiban di luar batas kemampuan. Di dalam Islam, takalluf tergolong sifat yang tercela alias tak terpuji.

Takalluf berbeda dengan taklif yang berarti tugas. Taklif adalah amanah yang dipikulkan oleh pihak yang lebih tinggi untuk dijalankan sesuai dengan batas kemampuan. Biasanya yang menugaskan itu adalah Syari’ (Allah SWT dan rasul-Nya), seperti shalat, shaum dan jihad. Tidak kita dapatkan Syari’ membebankan kewajiban kepada manusia di luar batas kemampuannya. Prinsip ini diterangkan Allah di dalam Al Qur’an (QS. al-Baqarah: 286), dimana Allah tidak membebankan kepada setiap diri kecuali sebatas kemampuannya.

Praktik takalluf tidak hanya tercela dalam soal-soal dunia, tapi juga tercela dalam konteks beragama. Sebab sikap ini tergolong memaksakan diri.Dalam konteks dunia pun demikian keadaannya. Kalau seorang hanya mampu melakukan tiga pekerjaan, maka tidak boleh memaksakan empat ataulima pekerjaan.

Jika persoalan ini kita tarik ke arena politik, maka masalahnya akan lebih kompleks. Misalnya, seseorang atau partai berambisi untuk merebut kekuasaan dalam pilkada, sementara ia tidak memiliki modal yang cukup secara finansial untuk berlaga dalam perlombaan itu.Kemudian orang itu menggaet calon lain yang bisa menutup kekurangannya.

Di sinilah muncul berbagai persoalan baru. Apakah orang yang digaet ini mempunyai visi dan misi yang sama dengan orang itu atau hanya seorang oportunis.

Dari politik melayani masyarakat, menjadi politik memanfaatkan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat pun dilakukan dengan motivasi untuk mendapatkan dukungan suara. Di sini sudah mulai menyentuh wilayah akidah. Sulit memisahkan antara niat Lillahi Ta’ala dengan niat mencari simpati pemilih. Padahal dalam melakukan suatu amal, Allah tidak menerima niat yang mencampurkan keduanya.

Biasanya setelah terpilih, kedua figur itu tak bertahan lama untuk sejalan. Masing-masing memilih jalannya sendiri-sendiri. Yang terjadi kemudian adalah pecah kongsi. Kalaupun sejalan, maka di sana akan terjadi banyak pergeseran cara berpikir dan menilai. Yang tadinya sangat menjaga batas-batas halal-haram, sekarang sudah tidak mempersoalkan itu lagi. Yang tadinya teriakan “itu haram” begitu keras, maka teriakan itu sekarang sudah sayup-sayup hampir tak kedengaran.

Para anggota dikerahkan menghimpun dana sebanyak-banyaknya, tak peduli dari manapun sumber dana itu didapat: dari koruptorkah, pengusaha judikah, bandar narkobakah. Ambil saja uangnya, lalu konon katanya untuk mendanai dakwah. La hawla wala quwwata illa billah. Kalau pelakunya orang lain, perbuatan itu haram dan kotor. Tapi kalau pelakunya kita, ia menjadi halal. Fiqh apakah ini? Inilah namanya fiqh berdasarkan syahwat. Na’uzubillah.

Belum lagi kehidupan beberapa aktivis yang mendadak berubah menjadi borjuis. Memiliki beberapa mobil mewah, perhiasan mewah, sementara pekerjaan resmi sebagai wakil rakyat bisa dihitung berapa pemasukannyayang halal dan logis. Lalu dari manakah sumbernya?

Perjuangan seperti ini tidak bakal direstui oleh Allah SWT dan mereka ini tidak lagi pantas membawa-bawa nama dakwah.Padahal Nabi saw jelas-jelas melarang sumber dana yang haram bagi setiap aktivitas seorang Muslim, seperti hasil jual-beli anjing, hasil perdukunan, dan upah pelacuran.

Pernahkah Rasul menggunakan dana dari kafir Quraisy dan musyrikin lainnya untuk perjuangan Islam? Tak satu pun sumber yang menyebutkan bahwa Nabi pernah menerima bantuan dari kaum kafir. Bahkan ketika seorang musyrik menawarkan diri untuk ikut dalam sebuah jihad, Nabi saw mengujinya, apakah Anda beriman kepada Allah? Nabi spontan menolaknya dengan mengatakan, “Aku tak akan pernah meminta bantuan kepada musyrik.” Kenapa sensitivitas terhadap halal dan haram ini terus melemah?

Ini semua gara-gara melakukan tindakan takalluf dalam berpolitik.Apa beratnya mengakui jika memang tidak punya dana untuk ikut pilkada? Bersikaplah sebagai pemain pasif, pengontrol dan pemberi nasehat. Tidak akan ada pihak yang menyalahkan sikap ini. Tetapi, jika memaksa maju dengan segala keterbatasan, di ujung ia akan dinilai. Inilah contoh orang-orang yang memaksakan dirinya.

 

Sabili No. 70 TH. XV, 6 Syawal 1428 H, hlm. 88-89

Sumber: http://daudrasyid.com/index.php?option=com_content&task=view&id=53&Itemid=31

4 comments:

  1. ehm...ow gitu ya...
    InsyaAllah dananya dari sumber yang halal dan semoga menjadi berkah. Semoga bukan menjadi golongan yang memaksakan diri ya(loh siapa nih maksudnya ??) )II(

    ReplyDelete
  2. Artikel ini ditujukan buat partai yg mana ya? Apakah penulis pny bukti yg konkrit ttng sumber2 dana tsb?

    ReplyDelete
  3. ada kasus caleg yang "stres" hingga terkena stroke :(

    ReplyDelete