26 October 2007

[cerpen] Ketika Cinta Harus Menang

Abdullah bin Abu Bakar bercerai dengan istrinya yang terkenal kecantikannya, keluhuran budinya dan keagungan akhlaknya, ketika ayahnya mengamati bahwa kecintaannya terhadap istrinya telah melalaikan Abdullah dalam berjihad di jalan Allah dan memerintahkannya tuk menceraikan istrinya tersebut. Pemuda Abdullah memandang perintah itu dengan kaca mata iman, sehingga dia rela menceraikan belahan jiwanya demi mempererat kembali cintanya kepada Allah SWT. (Artikel "Mencari Cinta Sejati", Ir. Munasri Hadini MSc.)

---

"Saya tidak akan bisa melupakan Hani nih Ham", aku bertutur kepada sahabatku, Ilhamdani, selepas kami mengajar di Taman Pengajian Al-Quran masjid Al Fitrah dekat kompleks rumah, "hmmm... emang begitulah deritanya cinta, makanya jangan bermain api cinta kalau tidak mau terbakar panasnya, hehehe...", dia terkekeh-kekeh. Iiiih, sebel juga nih liat orang yang satu ini, ada saudaranya yang lagi bersedih malah dia ketawa-ketiwi. "Udaah, mendingan kamu lamar si Lenny aja tuh, anaknya bu Sumi, dia kan sudah ngga punya bapak lagi, baru aja meninggal tiga bulan yang lalu, sekalian meringankan beban hidupnya, karena kini cuma dia saja yang menyokong kehidupan ibu dan kedua adik-adiknya, kalo dia jadi sama kamu kan lumayan tuh, bisa sekalian biayain adik-adiknya. Kerja udah, gaji lumayan lah, kontrakan udah ada, tampang... hmmm lumayan keren lah, tinggal cari istri aja akh..", kali ini dia tersenyum ringan.

Hmmm.., memang saya sudah kenal lah dengan Lenny, akhwat alumni STIE Tazkia yang sekarang bekerja di Karim Financial & Syariah Consultan itu memang seorang akhwat yang mandiri dan cerdas, dia terkadang juga ikut aktif di masjid ini, dan dari seorang teman, ku ketahui bahwa dia mahir berbahasa Inggris dan Arabnya juga, tapi ah.., entah kenapa, semenjak si Hani menolah tawaran ta'aruf denganku tiga bulan yang lalu, aku masih belum berminat pindah kelain hati, sepertinya hatiku sudah dipenuhi oleh namanya.

"Kalau kamu mau, nanti biar istri saya yang tanyain ke dia, klo ngga salah, istri satu kelompok pengajian tuh sama dia", Ilham menawarkan bantuannya, ia memang baru menikah enam bulan yang lalu, "ntar dulu deh Ham, mau berkabung dulu nih", aku menjawab sekenanya, "ya udah, tunggu tiga kali quru' ya, hahaha", tawanya meledak, "yeee, emang gua seorang istri yang dicerai suami apa, sehingga harus menunggu tiga kali bersih dari haid", aku menimpalinya. Teringat pelajaran fikh pernikahan yang baru saja kami dapat dua minggu kemarin, mengenai masa iddah (tunggu) seorang wanita jika harus bercerai dengan suaminya.

”Saya mau usahain si dia lagi ham”, ujarku kemudian, “hah, yakin kamu, ntar kalo ditolak lagi gimana..”, ucapannya terdengar meledek, Ilham memang tau bagaimana kisah cintaku yang berakhir tragis ketika Hani menolakku, “ya berarti belum jodoh aja”, jawabku singkat, “yo wis, suka-sukamu lah, tapi ingat, sekali lagi ditolak, bakalan dapet payung cantik kamu pin”, dia tertawa ringan, aku tersenyum tanpa ekspresi.

Sore itu, langit terlihat begitu tenang, perlahan-lahan semburat merahnya memenuhi ufuk cakrawala.

---

"Assalamualaikum Nurul, bagaimana kabarnya?", aku bertanya lewat telpon kepada salah seorang sahabatku sewaktu di kampus dulu, Nurul Husna, akhwat satu yang kuliah sejurusan denganku ketika kami sama-sama kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, dia telah satu setengah tahun menikah dengan seorang ikhwan dari STAN atau Sekolah Tinggi Akuntansi Negri yang berlokasi di Bintaro, ia baru saja pulang dari negeri kangguru setelah menemani suaminya mengambil gelar master di bidang audit akuntansi keuangan selama setahun.

"Alhamdulillah bil khoir(1) akh", dia menyahut,  "gimana, dah berisi belum?”, aku melanjutkan, “insya Allah nih akh, lagi jalan tiga bulan, tapi kayaknya gara-gara kecapean jadi lagi merasa ngga enak badan ginih.”, dia menjawab, “oh gitu ya, wah wah wah, selamat ya”, aku ucapkan dengan nada yang riang, “makasih ya, mohon doanya ya, biar lancar”, dia menyahut, “iya, insya Allah. Ya Allah, semoga kehamilan Nurul baik-baik saja, dan dari rahimnya, terlahir mujahid yang kan dapat meneguhkan kalimat tauhid di muka bumi”, aku mendoakannya langsung agar tidak mungkir dari janji yang telah terucap, “amin” dia berharap dengan tulus.

“Nurul, sebetulnya ada yang ingin ku ingin minta tolong nih”, aku berbicara dengan setengah gugup, “minta bantuan apa”, ia bertanya, “ehm.., mau minta tolong tanyain ke Hani, dia udah siap nikah belum”, aku menjelaskan, glek, ku dengar suaranya yang sedikit tertahan, “Hani teman sekelas kita?”, ia meminta kepastianku, “iya, Hani binti Azkam”, aku memastikannya, hening sejenak mengisi ruang waktu, “ok deh, tapi kau harus siap ya dengan segala apapun jawabannya”, ia menimpali, “insya Allah dah siap lahir batin. Kalau dia bilang dah siap nikah, minta nomor pengajar keislamannya ya, nanti ustadz saya yang hubungi beliau”, aku melanjutkan, “yup, nanti saya telpon dia deh, sabar aja ya..”, Nurul coba menengaskan aku, “siip, syukron(2) ya”, aku merasa lega, “afwan(3)” dia menjawab, “assalamualaikum”, ku akhiri perbincanganku, ‘wassalamualaikum”, dia menutup gagang telpon.

Malam itu, acara Top Ten News terasa tidak menarik lagi bagiku, mataku menerawang menembus kotak ajaib berukuran 21 inci tersebut.

---

Sudah hampir satu bulan Nurul tidak memberikan kabarnya mengenai permintaan tolongku. Hmm.., mungkin dia sibuk kali ya, aku berprasangka baik kepadanya. Teringat salah satu tausyiah Umar bin Khattab menyangkut hal ini, “Senantiasalah bersangka baik terhadap saudaramu sehingga datang kepadamu (berita) yang merubah persangkaan itu.”

Ku tekan nomor telpon rumahnya, “Assalamualaikum, Nurulnya ada bu?”, terdengar suara wanita yang ku taksir usianya sudah paruh baya, “Nurulnya sedang di rumah sakit, dia sedang dirawat karena keguguran”, wanita tersebut menjawab, “innalilahi, sejak kapan bu?”, aku merespon, “baru aja beberapa dua hari kemarin, sepertinya dia kelelahan dengan aktivitasnya”, ibu itu menambahkan, “dirumah sakit mana bu? Dan kamar berapa?”, aku menyerocos terus karena merasa sedikt tidak enak, Nurul ada teman sekalasku selama empat tahun, saya merasa dekat dengannya, karena memang satu jurusan yang S1 reguler hanya ada sepuluh orang. Kami sudah sering sekelompok bareng, dan dia memang akhwat yang sangat terjaga dalam pergaulan, lembut dalam perbuatan, dan aktif di kegiatan kemahasiswaan. “di rumah sakit Bunda Margonda, kamar 201”, ibu itu berkata, “baik bu, terima kasih ya. Assalamualaikum” ku akhiri pembicaraan, “wassalamualaikum”, ia menjawab.

Saat itu pula, ku telpon mantan teman sekelasku, Arief Maulana, Radinal Husein, dan Dendy Prawira, siapa tau ada yang mau ikutan menjenguk bareng. Ternyata hanya Radinal yang bisa menemaniku hari Sabtu besok, yang lainnya sibuk dengan agendanya masing-masing, Arief tidak bisa ikut karena harus mengisi acara kajian, dan Dendy harus menemani adiknya mendaftar ke universitas, mereka semua titip salam saja. Sebetulnya mereka semua ingin datang, sebab mereka tahu betul mengenai hak-hak ukhuwah, yang salah satunya yaitu menjenguk orang sakit(4) namun memang hidup itu perlu skala prioritas, dan mereka adalah orang-orang yang saya kenal sangat matang dalam menetapkan prioritas.

---

Hari Sabtu pagi pukul 9.00, mentari bersinar hangat, ku tunggu Radinal di warung rokok di samping rumah sakit yang baru berdiri pada tahun 2005 itu. Sembari menyedot teh botol dingin yang suhunya menyejukkan genggaman, ku tatap pintu rumah sakit berwarna hijau muda itu, aih.., kapan ya bisa ku antar istriku memeriksakan kandungannya disini, lamunku melayang.

“Hey Syamsul Arifin, kaifa hal(5) akh?”, terdengar suara dengan berseru, ku palingkan wajahku, terlihat akh Dinal sedang memarkirkan motornya, ia tersenyum cerah, ia berjalan kearah ku sembari melepas jaketnya, “Alhamdulillah bil khoir”, ku sambut uluran tangannya dengan mesra dan ku peluk dia, tukang rokok melihat kami dengan tatapan yang aneh. “Afwan(6) ya lama, cari buahnya susah nih. Udah lama nunggu ya?”, ia berkata setelah melepaskan pelukannya, “iya, ngga pa pa kok, baru datang juga kok, yuk kita langsung masuk aja”, aku menjawab, “yuk” kami berjalan memasuki rumah sakit ibu dan anak yang hari itu sedikit ramai dipadati orang.

Tidak ada pertanyaan yang keluar dari mulutku terkait Hani ketika ku menjenguk dirinya, yang ada hanya doa agar ia lekas sembuh dan menanyakan ihwal penyebab keadaanya, selain ku rasa bukan waktu yang tepat tuk menanyakan hal itu, disisiku juga ada Radinah Husein, salah seorang rekan seperjuanganku ketika di Rohis kampus, kami memang sama-sama ketua departeman, Dinal mengepalai departemen Soum atau solidaritas ummat yang mengurusi kegiatan-kegiatan sosial dan aksi-aksi solidaritas keumatan, sedang aku ketika itu membawa departeman kajian yang beberapa kali mengadakan acara seminar, talk show, atau hanya sekedar diskusi informal. Namun dari tatapan Nurul, sepertinya ku yakin dia bisa memahami apa yang tersembunyi di hatiku. Suaminya Nurul menemani kami berbincang, kami berada di sana sekitar 15 menit sebelum akhirnya undur diri.

Sesampainya dirumah, sebuah SMS telah berada di handphone-ku, ketika ku turun dari motor dan merapihkan diri. “Assalamualaikum. Afwan ya akh, ana belum sempat menanyakan mengenai keperluan antum sama Hani. Selain, rasa mual yang menggangu ini (maklum baru pertama), kesibukan dengan pekerjaan proyek kejar tayang pengeditan buku yang harus dipublish, sehingga ana belum sempat kontak dengan Hani. Insya Allah, hari ini juga akan langsung ana hubungi. Sabar dan ikhlas menunggu hasilnya ya. -Nurul-”.

Ku balas SMSnya, “Wassalam, ngga papa kok, iya, saya ngerti, ngga perlu terburu-buru, sebab terburu-buru itu datangnya dari setan, sekarang Nurul konsentrasi menyembuhkan diri saja dulu. Jazakillah(7), dan afwan telah nambahin menjadi beban pikiran juga”.

---

Telepon selularku berdering, lagu Jalan Juang Izzatul Islam terdengar mengalun sebagai ringtone. Ku baca nama pemanggil yang terpampang di layar handphone, Nurul Husna, begitu namanya tertulis. “Assalamualaikum”, aku menyapa terlebih dahulu, “wassalamualaikum, akh ipin, ini Nurul nih”, dia memulai pembicaraan, “iya tau kok, kan namamu ada di hape”, aku menimpal, “ehhmm.., udah ada jawaban tentang Hani nih”, suaranya terdengar pelan dan bimbang, “gimana jawabannya?”, sahutku antusias.

“Maafin ana ya pin, ternyata dia telah menerima khitbah(8) dari orang”, sejenak alam terdengar hening, kebas terasa di jiwa, “maaf banget pin, ternyata Nurul telat kasih tau dia. Dua hari sebelum ana kasih tau dia, ternyata dia baru saja meng-iyakan lamaran yang datang kepadanya. Dan dia sepertinya tau kalau kamu yang meminta bantuan ana. Di hari minggunya, ana mengunjungi rumahnya, dan dia juga cerita tentang bagaimana dulu kamu pernah melamarnya secara langsung dan personal. Namun karena sepertinya kau sudah tidak lagi tertarik dengannya, maka dia putusnya tuk melanjutkan hidupnya, padahal sebetulnya dia juga menyimpan rasa simpati padamu”, ceritanya terdengar dingin menembus hati, “berkali-kali dia menyesali dirinya, andai saja ia mampu sedikit bersabar menanti dirimu…. Dua hari lagi keluarga dari calon mempelai prianya akan silaturahmi ke rumahnya”, suaranya terdengar lirih, dalam benakkku terbayang bagaimana Hani menangis di pelukan Nurul, Astagfirullah hal adzim, bisikku lirih tak terdengar.

“Insya Allah, ngga papa kok, memang bukan jodoh kali, terima kasih ya sudah membantu, maaf jadi merepotkan”, aku mencoba tegar, “afwan, ana yang minta maaf pi”, suaranya terdengar datar, “ngga, ngga ada yang salah kok, wong jodoh itu ada ditangannya. Sekali lagi, makasih ya”, aku tambahkan, “assalamualaikum”, aku akhiri pembicaraan, “wassalamualaikum”, dia menjawab.

Astagfirulla hal adzim… aku terduduk memegang dada. Mata terpejam. Perih terasa di hati, ku tahan sekuat tenaga tuk membendung air yang memenuhi kelopak mata.

"Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku…"(QS. Yusuf: 86)

“dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis” (QS. An-Najm: 43)

“Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri” (QS. Yusuf: 67)



---

Syamsul Arifin
Jakarta, 26 Oktober 2007
“Alhamdulillah, akhirnya kutemukan kembali si cinta”
*Cerpen ini terinspirasi novel “Ayat-Ayat Cinta” Habiburrahman El Shirazy
*Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen "Kegigihan Adalah Nafas Cinta" dan bersambung ke cerpen "Ujian Cinta"

*Maaf buat teman-temanku, yang ku bajak namanya di sini Peace ahhh!


Keterangan:
Ikhwan = saudara laki-laki (saudara dalam Islam), biasanya panggilan ini digunakan untuk menunjukkan hubungan kedekatan
Akhwat = saudara perempuan (saudari dalam Islam), biasanya panggilan ini digunakan untuk menunjukkan hubungan kedekatan
Akh = kependekan dari akhi, yang berarti sebutan/sapaan untuk ikhwan.
Ukh = kependekan dari ukhti, yang berarti sebutan/sapaan untuk akhwat.
Ana = “saya”, namun sering mendapat penyerapan dalam bahasa Indonesia menjadi ane
Anta = “kamu”, namun sering mendapat penyerapan dalam bahasa Indonesia menjadi ente
(1) Segala puji bagi Allah, baik-baik saja
(2) Terima kasih
(3) Ungkapan untuk menjawab perkataan “syukron”
(4) Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Hak seorang muslim dengan muslim lainnya ada enam”. Para sahabat bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah SAW?” Beliau menjawab, “apabila engkau bertemu dengannya ucapkanlah salam, apabila ia mengundangmu penuhilah, apabila ia minta nasehat darimu nasehatilah, apabila ia bersin doakanlah, apabila ia sakit tengoklah, dan apabila ia meninggal dunia maka ikutilah jenazahnya.”  (HR. Muslim)
(5) Bagaimana kabarmu
(6) Afwan juga bisa berarti “maaf”
(7) Jazakillah = semoga Allah membalas kebaikanmu (untuk wanita). Jazakallah (untuk pria). Ungkapan ini lebih tinggi dibandingkan perkataan “syukron”
(8) Khitbah = lamaran

12 comments:

  1. Wah.. lagi semangat nulis nih? keren!
    Aline turut berduka cita deh! he3x...

    ReplyDelete
  2. halah... berduka cita kok diketawain sih...
    *ternyata ada juga tokoh nyatanya yang suka menari diatas penderitaan orang :)

    ReplyDelete
  3. bukankah dari tulisan Mas Ipin tdi, kalau karya2nya cuma fiksi semata?
    Kalau Mas Ipin betulannya yg tertolak dan terlambat (broken heart)... aline sedih betulan deh! Semoga cepat menemukan cintanya. Amin!

    ReplyDelete
  4. ini cerpen apa kisah nyata? pakai nama sungguhan? apa diari dari penulisnya?
    kok judulnya, "Ketika cinta harus menang"? padahal tokohnya ga dapat cintanya.
    Kenapa ga coba diakhiri dengan si tokoh yang mendapatkan cinta sejati dari Allah. Jadinya emang sedih, tapi ada ibroh kalau si tokoh malah mendapatkan cinta dari Allah yang justru lebih indah. Apalagi, kasus di sini di antara kedua tokoh sudah ada "rasa". Dengan pengorbanan mereka, nanti insya Allah akan diberi yang lebih baik.
    Skenario Allah tetap lebih indah.

    *maaf kalau berkesan menggurui.

    ReplyDelete
  5. Sabar ya pin...rencana Allah pasti indah :)


    pin...ngak usah pake ngak ngaku :P

    ReplyDelete
  6. @aline, novi dan linda
    :P
    hayyah, tuh kan dianggap tulisan nyata juga :toe:

    kalau baca potongan artikel di awal cerpen dan sitiran ayat di akhir cerpen, mungkin akan bisa sedikit bisa mengambil sedikit hikmah "yang tersembunyi" :)

    ReplyDelete
  7. Huhuhu... pernah mengalami hal yang sama.. dan dengan reaksi yang sama... yang kunamai Luna TRIPLE SHOCK!!! alias shock dengan tingkat 3x lebih tinggi daripada shock biasa wkkwwwkk... Tapi alhmd sabar aja koq akh, pasti ada jalan.. :)

    ReplyDelete
  8. @lunasoft
    Wow, ternyata ada kejadian nyatanya toh... Padahal cuma ngayal lho... :)
    Nantikan cerpen selanjutnya, pasti akan ada Luna Quartet Shock :)
    Btw, selamat ya, sudah memenangkan cinta :)

    ReplyDelete
  9. eh iya, quadruple shock ya namanya :D hehehe

    ReplyDelete
  10. another love story nih.tp setuju untuk misi: memenangkan cinta-NYA.
    anw, makasih sudah 'membajak' nama ay,. lain kali bilang2 ya :)

    ReplyDelete
  11. weks... ketahuan juga sama salah satu pemeran utamanya :hihi:
    ya gitu deh uls ^_^

    maaf ya nama dan kejadiannya dicatut tanpa izin ^_^
    *habis dikau lagi di japan sih %peace% padahal alasan aja :D hehehehe

    ReplyDelete