13 September 2008

[cerpen mini] Ramadhan di Tanah para Anbiya, Palestina yang (masih) Ternoda

Adzan magrib sebentar lagi berkumandang.

Namun aku belum juga dapat mempersiapkan hidangan berbuka puasa bagi Hafsah dan Zaid, istri dan anak laki-laki tiga tahun tercintaku.

Mengelilingi pasar yang sepi dari penjual, ramai pembeli, dengan harga barang yang setinggi langit. Aku mengurungkan diri. Uang di kantong sudah pasti tidak akan cukup, meski hanya untuk membeli sepotong roti keras dan minyak zaitun.

Jalanan berbatu, angin berdebu.

Adzan magrib akan berkumandang, sedang aku masih tertahan di pos pemeriksaan. Tentara zionis dengan senjata berat menggeledah kami satu persatu. Lama. Sepertinya aku tidak akan bisa berbuka puasa bersama keluargaku. Toh juga tidak ada yang dapat kami makan tuk berbuka hari ini.


---000---
13092008
*refleksi... Mewek..

6 comments:

  1. Allahu Akbar........semoga sebaik-baik kampung akhirat balasannya....

    ReplyDelete
  2. Yang kubah emas itu bukan mesjid al-aqsho...

    ReplyDelete
  3. Aku menatap mentari senja. Begitu merah. Suamiku tercinta belum juga pulang. Ah. Aku sudah menyadari bahwa takkan ada yang dapat ia bawa pulang hari ini. Tapi tekad di matanya yang membara itu sedikit menyulutkan semangat pada hatiku. Allah Mahakaya.

    Mata polos Zaid menatapku. Aku tau ada seribu pertanyaan berkecamuk pada batinnya. Apakah kami bisa berbuka hari ini, setelah sahur tadi kami hanya bisa menikmati separuh air keruh yang tak bisa dimasak karena minyak begitu mahal? (di sana pakai minyak tanah nggak ya?)

    Adzan itu tiba juga. Sudahlah. Mahasuci Engkau ya Allah. Alhamdulillah Azizah tetanggaku tadi di tengah kekurangannya ia masih peduli memberikan kami segelas susu. Azis begitu kehausan. Setengah gelas ia habiskan.

    Aku haus sekali. Perut ini juga merintih kelaparan. Separuh susu di depanku menggodaku tuk meneguknya. Tidak! Susu itu untuk suamiku. Kasihan ia. Belum tentu ia dapat makanan untuk berbuka.

    Tapi rasa itu kian menyerangku. Sakit. Perih. Seteguk air keruh yang tadi kuminum membuat tenggorokanku jadi sakit. Suamiku bisa jadi sudah berbuka tadi. Saat ini sudah tiga jam bergerak dari maghrib. Pastilah ia sudah berbuka.

    Kuulurkan tanganku. Alhamdulillah. Setidaknya rasa lapar ini bisa sedikit terobati. Gelas sudah mencapai bibirku. Tidak! Bagaimana kalau suamiku belum berbuka? Ah... sakitnya perut ini. Akankah kuminum?

    Malam setelah tarawih suamiku baru pulang. Ia begitu lusuh. Wajahnya pucat.
    "Abi sudah berbuka?"
    Ia hanya menggeleng. Aku tersenyum. Alhamdulillah. Separuh susu yang tersisa tidak jadi aku minum tadi. Kuberikan susu itu padanya. Ia menatapku.
    "Umi sudah berbuka?"
    Ah, apa yang harus kukatakan.
    "Sudah abi."
    Ia menatapku lagi.
    "Sudah abi. Cepatlah di minum. Kasihan abi begitu lelah." Mataku memandang susu itu. Semoga keberkahan yang banyak untukmu suamiku tercinta.
    Ia tetap menatapku.
    "Untuk umi saja. Abi tidak haus." Aku menggeleng kencang.
    "Kalau abi tidak mau. Susu itu kita berikan saja pada orang lain."
    Ia tersenyum penuh cinta menatapku. Diminumnya setengah gelas susu itu.
    Mahabesar Engkau ya Allah. Rasa lapar itu sirna karena kebahagiaanku atas kebahagiaanya.

    ReplyDelete
  4. serasa larut di dalam cerita itu......Allahuakbar...

    ReplyDelete