14 October 2007

[cerpen] Berikan Aku “Madu”

Innalilahi wa inna lilahi rojiun, begitu ucapku ketika pertama kali mendengar diagnosa yang dilakukan oleh dokter Maren Sp OK. Ternyata.., istriku termasuk salah satu diantara 200 ribu wanita Indonesia yang menderita penyakit kanker tertinggi di bangsa ini. Tidak pernah ku duga bahwa kami rentan terhadap penyakit yang menjadi momok bagi para wanita.

Hal ini baru ketahuan setelah ku paksa Rina memeriksakan kondisi kesehatannya, setelah ia sering sekali mengeluhkan sakit akibat perdarahan vagina yang tidak normal, terutama diantara dua mentruasi, setelah melakukan hubungan seksual dan terkadang dengan periode mentruasi yang lebih lama dan lebih banyak dari biasanya.

Kanker serviks atau leher rahim. Suatu kalimat yang baru pertama kalinya kami dengar, sehingga kami harus cermat menyimak penjelasan dokter wanita spesialis kandungan dan penyakit kelamin yang berjilbab rapi yang sebentar lagi akan menikah. Dokter Maren dengan sabar menjelaskan secara detail namun jauh dari kesan ilmiah, sehingga kami mudah mencerna apa yang ia sampaikan. Yups, menjadi lebih paham bahwa penyakit ini merupakan penyakit yang tidak mudah, serius dan berat. Astagfirulla hal adzim…

---

Sudah enam minggu ini kami bolak-balik Rumah Sakit Cipto Mangunkusuno untuk menjalani kemoterapi, Rumah Sakit yang kental aroma kematiannya itu selalu membuat langkah kakiku gentar. Ah, sungguh, kita tidak perlu jauh-jauh datang ke perkuburan untuk mengingat kematian, disini dapat dengan mudah tercium bau malaikat Izrail yang sudah sering berkunjung.

---

Sudah jarang kami bisa shalat malam bersama-sama, selain kondisi fisiknya yang semakin lemah sehingga terkadang ku kadang tidak tega memerciki wajahnya dengan air, sebagaima biasa kami lakukan dulu sewaktu nostalgia pernikahan kami masih terasa mesra. Entah dia yang terkadang membangunkan diriku dengan memerciki air juga atau kita memang janjian bareng sebelum tidur, namun kenangan itu masih terngiang indah di benakku.

Kali ini kubacakan surat Al-Anbiya dalam shalat kami. Hingga sampai ayat ke delapan puluh tiga, tersedu aku dibuatnya.

Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah. (QS. Al-Anbiyaa’: 83-84)

Dadaku bergemuruh, air mata jatuh membasahi jenggotku yang tipis. Kudengar pula suara lirih satu-satunya makmum di belakangku.

Kami memang sudah hampir lebih dari delapan tahun menikah, namun belum juga dikarunia anak, apalagi dengan ujian yang telah Allah berikan ini, tentu semakin mengecilkan rasa harap yang kami miliki, dan juga usaha yang telah kami rintis semenjak lima tahun lalu perlahan mulai tidak bisa diharapkan lagi, karena satu demi satu harus digadaikan tuk membiaya pengobatan yang harganya mencekik dan selangit.

Ku ulang-ulang ayat tersebut, sehingga semakin menjadilah kami larut dalam kesyahduan pengaduan kami terhadap Rabb Pemilik Semesta Alam.

"(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang"

---

Pagi harinya, hari minggu yang cerah. Ku ajak istriku, Rina Utami, tuk berjalan-jalan di taman dekat komplek rumah.

Setelah berjalan mengelilingi taman yang berukuran sedang itu, kami duduk di sebuah bangku batu yang banyak tersedia di taman itu. Taman banyak berisi anak-anak yang sedang bermain berbagai aneka atraksi yang tersedia, dan diramaikan oleh beberapa penghuni kompleks yang sedang berlari-lari pagi mengelilingi taman yang rindang dan nyaman.

Kami duduk bersebelahan. Ia memegang tanganku erat. Cukup lama kami terdiam dalam menikmati udara taman yang segar.

“Mas, berikan aku madu”, dia memecahkan keheningan. Ku menoleh perlahan, “maksudnya?”, “nanti ya kalo kita sudah dirumah”, ku jawab sekenanya, memang selain terapi modern, kami juga menggunakan terapi ala Nabi, yaitu dengan mengkonsumsi Habatussaudah yang diselingi dengan madu. Karena saya pernah membaca hadits riwayat Bukhari mengenai biji hitam dan juga membaca surat An-Nahl ayat 69 yang berbicara mengenai keutamaan madu sebagai obat yang menyembuhkan.

“Bukan madu yang itu mas, aku ingin kau mencari istri kedua”, dia melanjutkan perkataannya. Deng..., terkejut juga aku mendengar ucapannya yang datar. “Sebagai seorang wanita, aku sudah tidak bisa optimal dalam menjalankan peranku sebagai seorang istri, dan apalagi dengan penyakit ini, semakin kecillah harapan tuk kita memiliki anak”, dia menambahkan, “apalah yang ingin dicari bagi orang yang menikah, selain kebahagiaan dan hadirnya buah hati yang dapat mendoakan kedua orangtuanya”. Ku tangkap kesedihan yang berat dari suaranya yang dipaksakan ikhlas itu.

Ku genggam erat tangannya, “dek, sungguh, sekalipun tidak pernah terlintas hal tersebut dalam pikiranku”, ku kecup mesra tangannya yang kurus dan kering, ku tempelkan tangan tersebut di pipiku, terasa sekali beban itu tidak hanya di fisik, tapi juga berat di psikologis. “Engkau telah setia menemaniku ketika ku sedang merangkak perlahan, kau tidak pernah menginggalkanku ketika kita berada dalam titik terendah dalam kehidupan, dan engkau tak pernah bosan menyemangatiku dengan cinta dan kasih sayangmu ketika ku sedang lelah dan merapuh. Duh Rina, sungguh cintamu telah memenuhi seluruh ruang hatiku, dan tidak pernah terbayangkan dalam kehidupanku hadirnya madu lain tuk memaniskan cinta ini. Jikalaupun nanti ku memasuki surga dan diberikan tujuhpuluh bidadari, tentu kan ku tolak mereka semua, hanya tuk bisa bersamamu menikmati keindahan surga”. Ia menatapku pelan, matanya mulai berkaca, sebutir kristal bening melaju turun di pipinya. Ah.., andai tidak ditempat umum, tentu kan ku peluk erat dirinya. Pegangan tangan kami semakin erat. Hangatnya mentari pagi menelusup hatiku yang basah oleh air mata.

“Ya Allah, kekalkanlah cinta kami di dunia maupun di akhirat, dan janganlah ujian dunia melemahkan kami dalam meraih keridhoanMu” (amin)



---000---

Jakarta, 14 Oktober 2007
Syamsul Arifin
"I had love you with a sense of responsibility"

5 comments:

  1. Assalamualaikum, bagus cerpernya.

    ReplyDelete
  2. wassalamualaikum
    terima kasih atas pujiannya, tapi masih kurang greget kayaknya deh...

    mohon masukannya :)

    ReplyDelete
  3. waduh nama tokohnya kok sama denganku :D

    ReplyDelete
  4. :D he3x. Iya, tau deh yg namanya sama.
    Tp smg ga kena penyakit yg sama meskipun sy doakan smg suaminya bertipe yg sama seperti itu atau bahkan lebih baik lg ^-^

    ReplyDelete
  5. Oh ini toh..yang dibilang Syamsul cerpen tentang poligami? Cuma nyrempet doang...
    nama dokternya kayak kenal gituh...
    Ma kependekan dari Mahuan? Halah...

    ReplyDelete