30 October 2007

[cerpen] Ujian Cinta

"Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu” (QS. Al-Hujuraat: 7)

“Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia” (QS. Al-Qiyaamah: 20)

---

Tuk menghilangkan gundah dan kekecewaanku karena ditolak oleh seseorang yang sangat ku harapkan kesediaannya menemani diriku menapaki hidup bersama, ku habiskan banyak waktu dan pikiran dengan pekerjaan dan aktivitas lain yang kuharap bisa menyita waktu, menghabiskan energi, dan mengalihkan perhatian.

Pikiran yang kosong memang dapat dengan mudah dijejali oleh syaitan, batinku dalam hati.

Berbagai acara kajian dan seminar makin sering ku ikuti.

Hari ini, aku akan mengikuti acara Mabit atau bermalam di Masjid Walikota Depok, seperti biasa, dalam acara Mabit, ada kajian bada Isya, shalat Qiyamullail berjamaah, muhasabah (refleksi/introspeksi diri) dan juga kajian bada Subuh. Aku datang tepat sebelum adzan Isya berkumandang, sebelum tadi sempat mampir ke warung rokok di pinggir jalan untuk membeli botol mineral satu liter serta beberapa bungkus makanan ringan tuk menemani malam ini.

Jamaah shalat Isya  tidak telalu ramai, tapi setelah shalat Isya selesai, para jamaah makin banyak berdatangan. Beberapa kali barisan shalat Isya berjamaah dibuat. Semakin lama, masjid semakin dipadati oleh para jamaah yang ingin mengikuti acara. Meskipun hanya diikuti oleh para ikhwan, lantai satu dan dua masjid sudah tumpah ruah oleh jamaah.

Acara dibuka dengan tasmi atau bacaan ayat suci Al-Quran tanpa melihat mushaf (Quran) oleh seorang hafidz (penghafal Quran) muda, tampang dan penampilannya yang biasa saja, sempat membuat ku sedikit meragukan dia, namun ketika ia mulai membaca, subhanallah, suara terdengar begitu merdu dan indah, menyentuh di hati. Malu aku karena telah memiliki prasangka yang tak baik kepadanya.

Terbayang dalam benakku suaranya Nabi Daud as dan kekaguman Nabi Muhammad terhadap bacaannya Salim, Maula Abu Hudzaifah ra. Terlintas dalam pikirku surat Al-A'raaf ayat 204, ku tundukkan sedikit kepala dan ku heningkan sejenak segala perbuatanku, ya Allah.., bacaanya yang ia bawakan begitu indah, lembut menyentuh hati, tak terasa air mataku mengalir perlahan. Ia terus membacakan lantunan surat Al-Anfal sampai selesai, ada suatu sensasi yang tak dapat ku gambarkan, antara semangat, introspeksi diri, dan perdengaran suara yang begitu indah, ku biarkan diriku berada dalam keadaan meneteskan air mata.

Kajian pertama bada Isya kali ini berbicara mengenai Tarbiyah Dzatiyah, atau pembinaan pribadi seorang muslim, bagaimana seorang muslim mampu menjaga dan membina dirinya selalu dalam keadaan baik. Kajian yang dibawakan oleh ustadz Abu Ridho ini terasa sangat bermanfaat bagiku. Kajian dihentikan pukul sebelas malam. Dengan perasaan puas ku mencari posisi yang nyaman untuk tidur, wah, sepertinya shaff pertama yang ada alas karpetnya nyaman nih untuk tidur, aku segera bergegas menuju kesana, sebelum tempat itu dipenuhi orang.

Shalat malam dilakukan pukul tiga pagi, beberapa jamaah terisak-isak dalam shalat, aku merasa hatiku kering dan keras membatu, hingga tidak dapat meresapi bacaan imam yang panjang dan indah terdengar di telinga. Selesai shalat, ada muhasabah, namun aku malah terlelap dalam keremangan masjid yang di buat panita.

Kajian kedua bada Shubuh berbincang mengenai ukhuwah atau persaudaraan, topik ini sudah sering sekali ku dengar, namun kadang aku suka miris juga mendengar celotehan para ikhwah yang masih suka “memakan bangkai saudaranya”(1), ah.., semoga materi kali ini memberikan bekas pada diriku, amin, ku panjatkan doa pelan di hati.

Menjelang materi usai, ketika para peserta sudah pada beranjak pulang, seorang lelaki menghampiriku.

“Assalamualaikum, Syamsul Arifin”, suara yang ku dengar amat familiar di telinga, wah, ternyata Radinal Husein, rekan seperjuanganku di rohis kampus, dua tahun yang lalu, “Wassalamualaikum, Ray”, ku kembangkan senyum terindahku dan menjabat tangannya mesra. Kami duduk sejenak, pertanyaan perihal kabar dan aktivitas masing-masing saling bersilangan.

Mentari perlahan merangkak naik, dan hangatnya hari minggu pagi mulai terasa. Kami berjalan ke luar Masjid, menuju tempat parkir motor. “Akh, doain saya ya.., insya Allah sedang berproses nih”, katanya setengah grogi, “wah wah wah, selamat ya…”, ujarku gembira tak tertahan, “sama siapa akh”, tanyaku kemudian, “hmmm.., sama anak UI juga kok”, sahutnya, “ente kenal kok”, tambahnya, ekspresi gembira di wajahku semakin tak tertahan, “iya, tapi ama siapa?”, tanyaku penasaran, “teman sekelas kita ya?”, tambahku, “iya”, jawabnya pelan, ha ha ha, aku tertawa pelan, “eh gimana menurut ente, bisa berabe nih, ngga boleh ya…?”, tanyanya ragu, “ngga kok, asal prosesnya syar’i mah ngga masalah”, jawabku tersenyum.

“Si Ita ya?”, ku sebut nama seorang akhwat yang dulu menjadi tandemnya di departemen Pelayanan Umat dulu, “bukan”, jawabnya, “si Mutia?”, tebakku lagi, “bukan juga, yah ente sebutin aja semua, nanti juga ketahuan”, guraunya, “iya, habis siapa dong”, ujarku, “si Hani, Hani binti Azkam”, jawabnya mantap, zebbb, alam serasa hening sesaat. Ternyata Radinal Husein telah mendahuluiku, dia telah mengambil seseorang yang namanya tertulis di catatan harianku, terukir di hatiku, dan terbayang di benakku setiap waktu.

Mulailah mengalir cerita mengenai proses yang ia lakukan sampai akhrnya jadi, dia melalui seorang perantara teman yang sudah menikah, Anis Hartanti, seorang akhwat yang juga saat ini sudah memiliki seorang anak usia dua tahun. Huaaah.., ceritanya yang bersemangat dan indah terdengar hambar di telinga, ku pasang topeng kegembiraan di balik raut kesedihan.

Sesampainya di pelataran parkir, cerita lengkap proses akh Radinal dengan Hani tamat sudah, sembari ku persiapankan diri dengan perlengkapan motorku, ku ucapkan selamat kepadanya, “selamat ya akh.., wah wah wah, subhanallah, mantab ente bisa mendapatkan dia, dia memang hebat kok, ngga bakal nyesel deh ente nikahin dia. Semoga proses kedepannya lancar ya”, ku jabat dia hangat, “klo ente kapan pin?”, dia bertanya balik sembari mempersiapkan diri dengan perlengkapan berkendaranya, ia tak mau menyebutkan seorang nama akhwat pun, karena tahu bahwa selama kami beraktivitas, tidak pernah ada nama seorang akhwat yang meluncur dari bibirku, meski hanya tuk sekedar kata pujian, apalagi di depan orangnya. Dia sadar betul, bahwa dalam pandanganku, memuji seorang akhwat di depannya, sama saja dengan mengajaknya nikah dengan terselubung, dan tidak pernah sekalipun ku sebutkan nama seorang akhwat pun yang ku sukai, meski hanya tuk sekedar bercanda. Hanya Allah dan diriku yang mengetahu getaran aneh dalam dada ketika berinteraksi sama akhwat. “Yah, doain aja ASAP(2)”, jawabku singkat. “sekali lagi selamat ya ray. Assalamualaikum”, ucapku setelah melihatnya telah siap dengan motornya. “Wassalamualaikum”.

Perjalanan kali ini merupakan perjalanan paling kering dalam hidupku, sejuknya udara Depok pagi hari tidak mampu menyejukkan hatiku yang tercabik-cabik bagai tertikam pisau belati.

Dari Abu Dzar ra, Rasulullah SAW mengatakan kepadaku, ‘janganlah kalian menganggap remeh satu perbuatan baik sedikitpun, meskipun hanya memberikan senyuman (wajah yang ramah) kepada kepada saudaramu. (HR. Muslim)


---

Jakarta, 30 Oktober 2007
Syamsul Arifin
“Andainya cinta boleh kuberi nama. Maka akan ada namamu di sana” (Cerpen, Pelangi Nggombal Lagi!)
*cerpen ini terinspirasi dari novel "Ketika Cinta Bertasbih"nya Habiburrahman El Shirazy
*Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen "Ketika Cinta Harus Menang" dan bersambung ke cerpen "Perahu Cinta di Tengah Badai"

Keterangan:
(1) “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat: 12)
(2) ASAP = As Soon As Possible (secepat mungkin)

7 comments:

  1. cerpen ini merupakan cerpen lanjutan dari: [cerpen] Ketika Cinta Harus Menang

    Enjoy :)

    ReplyDelete
  2. tags-nya cuma fiksi, berarti ga kejadian beneran dunk

    ReplyDelete
  3. :D halah... pertanyaan ini masih muncul juga... :toe:

    Silakan baca postingan saya yang berjudul "Kenapa Menulis Cerpen?"
    Terima kasih
    :)

    ReplyDelete
  4. kalo soal cinta-cintaan dah manteb koq bang!! Kapan neehhh... :)

    ReplyDelete
  5. Yee... semangat betul nih tulisnya, Kak Ipin! Tularin dikit dong rajinnya... :)

    Betul banget nih. Aline kadang juga seperti itu. Menyembunyikan derita lewat senyuman. Walaupun saya gak suka mendengar cerita teman2, saya harus kadang tertawa dengan kelucuan yg disengaja. Apa munafik namanya?...

    ReplyDelete
  6. @abie
    iyeee, tau deh yang dah nikah :P
    doakan semoga ada yang mau sama daku :D

    @alinasheart
    tularin ya...? hmmm... bisanya nularin flu, mau..? :D hehehe
    *just kidding
    ya dicoba aja atuh, ntar lama2 juga biasa, saya juga ini maksain doang :)
    sedang dalam proses belajar juga
    ditunggu ya hasil karyanya :)

    ReplyDelete
  7. ana yunita...
    akhi subahanallah cerpenya begitu menyentuh semoga kelak bisa menjadi buku yang luar biasa....dan keikhlasan menerima takdir yang ALLAH tentukan..
    karena ALLAH tidak akan menukar jodoh untuk kita

    ReplyDelete