26 December 2008

Apa yang Harus Dirayakan, Kenapa Harus Gembira? Tahun Baru?

Dalam beberapa hari kedepan, akan ada keramaian yang rutin dan semarak di dunia ini. Yups, sebuah perayaan tahunan memperingati pergantian tahun.

Perayaan besar-besaran di semua negara, di hampir segala tempat dengan beragam hiburan dalam waktu yang bersamaan, dan hanya dalam waktu itu saja.

Musik, tarian, kembang api, terompet, sudah dapat dipastikan menjadi bagian dari acara. Jutaan orang di dunia ini akan terlibat dalam perayaan tersebut, tak terbayang berapa banyak uang yang dihabiskan dalam waktu satu malam tersebut.

Ada juga beberapa orang yang tidak berhura-hura, berpesta-pesta, atau bergembira secara berlebihan pada hari itu. Mereka lebih memilih melakukan evaluasi terhadap apa-apa yang telah mereka lakukan pada tahun itu diakhir tahun.

Mencoba menilai ulang pencapaian-pencapaian yang telah diraih, mencoba menghitung-hitung pelajaran hidup yang telah dilalui selama setahun ini dan membangun rencana untuk tahun depan.

Kenapa sih mesti ada sebegitunya perayaan terhadap pergantian tahun? Merayakan sesuatu?

Dalam kamus seorang muslim, hari perayaan yang terbaik adalah ketika Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Jumat.

Dari Nabi saw., beliau bersabda: dua bulan yang terdapat hari raya, harinya tidak berkurang; hari raya Ramadhan dan bulan Zulhijah (HR Bukhari Muslim)

Dari Thariq bin Syihad bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada Umar: Sesungguhnya kamu sekalian membaca suatu ayat yang andaikata diturunkan kepada kami, niscaya hari itu kami jadikan hari raya. Umar berkata: aku tahu dimana dan di hari apa ayat itu diturunkan serta di mana Rasulullah saw berada ketika ayat itu diturunkan. Ayat tersebut diturunkan di Arafah saat Rasulullah saw sedang wukuf di Arafah. Sufyan berkata: aku ragu-ragu apakah hari itu Jumat atau bukan. Ayat tersebut adalah “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (HR Bukhari Muslim)

Jadi jelas kan dimana hari raya kita, hari dimana kita bergembira, memakai pakaian baru, dan bersuka cita.

Lalu, bagaimana jika tahun baru masehi kita jadikan perayaan sebagai bentuk pencapaian-pencapain kita selama setahun? Bukankan itu suatu hal yang boleh-boleh saja, jika kita mau sedikit merayakan kesuksesan dan pencapaian kita?

Perayaan itu tidak harus berupa hura-hura, bahkan kalau kita mau berpikir jernih, terlalu banyak uang yang dihamburkan tuk sebuah perayaan yang bernama perayaan dalam rangka tahun baru, yang itu semua lebih banyak kesia-siaanya. Terkadang kita mendengar berita tentang pembuatan pesta kembang api yang biayanya bisa mencapai jutaan rupiah, padahal di sisi lain jalan, ratusan ribu rakyat berada dalam kondisi kelaparan dan kesusahan.

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al-Israa': 27)

Lalu dengan berkaca pada kondisi Indonesia yang sedang banyak dilanda bencana dan kesulitan, apakah kita masih mau membiarkan diri kita menari-nari sedangkan saudara kita yang lain sedang dalam kesusahan.

Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Tidaklah beriman kepadaku seseorang yang tidur pada malam hari dengan keadaan perut kenyang sementara tetangganya kelaparan di sebelahnya dan dia mengetahui hal tersebut." (HR. Thabrani).

Kalau melihat konteks hadits tersebut, kita dianggap tidak beriman kepada nabi Muhammad SAW jika mengabaikan kesusahan tetangganya, dan dengan tidak beriman kepada nabi, berarti kita pun tidak dianggap beriman kepada Allah swt. Apalagi jika kita sampai menari diatas tangisan tetangganya?

DR Yusuf Qarhadhawi menyatakan bahwa dunia ini bagaikan kampung kecil, karena majunya teknologi yang ada. Maka sayapun berpendapat bahwa sekarang, makna tetangga itu bisa menjadi luas, meskipun hadits menyatakan bahwa tetangga itu radius 40 rumah ke kanan, 40 rumah ke kiri, 40 rumah ke depan, dan 40 rumah kebelakang.

Seharusnya, bentuk syukur yang terbaik itu adalah ketika kita berbagi karena mendapatkan kegembiraan. Kaab bin Malik RA, salah seoarang sahabat yang terkena boikot pengacuhan selama 40 hari kaum muslimin karena tidak mengikuti perang Tabuk, ketika mendengar berita turunnya ayat yang menandakan pengampunan Allah terhadapnya, langsung memberikan baju yang ia pakai pada pemberi kabar gembira tersebut, bahkan karena itu adalah baju satu-satunya, beliau harus meminjam baju supaya bisa menghadap Rasulullah SAW.

Jadi, sebagai salah satu bentuk syukur atas pencapaian selama setahun, seharusnya membuat kita menjadi pribadi dermawan dengan banyak berbagi terhadap sesama, apalagi di akhir tahun, ketika kita bisa melihat dengan jelas besarnya pencapaian selama setahun.

Catatan terakhir dari tulisan ini adalah, sebaiknya, evaluasi atau muhasabah seorang muslim itu dilakukan dengan basis waktu harian, karena sesungguhnya kita telah beramal selama sehari dan juga sangatlah mungkin, berbuat dosa dalam waktu harian, beramal dalam waktu harian, dan bisa jadi meninggal sewaktu-waktu, tanpa sempat kita mengevaluasi diri.

“Hisablah dirimu, sebelum engkau dihisab”

Semoga Allah menyelamatkan kita dari kesia-siaan… (amin)

Ditulis @31 Desember 2007

 

Saya Tidak Merayakan Tahun Baru Masehi (Maupun Tahun Baru Hijriyah)

“Barang siapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan kaum itu” (Ahmad dan Abu Dawud, shahih)

Demikian juga saya beranggapan dengan tahun baru Hijriyah. Malas sekali saya mengikuti acara tertentu yang diadakan khusus untuk menyemarakkan tahun baru Hijriyah.

Dalam pendapat pribadi saya, dengan melakukan perayaan tertentu ketika tahun baru Hijriyah, kita tidaklah berbeda/sama saja dengan melakukan perbuatan mengikuti/menyerupai perayaan tahun baru Masehi, hanya saja dengan format yang berbeda.

Mengikuti/menyerupai/meniru/berkiblat pada suatu perayaan yang tidak ada landasan syariatnya dalam agama.

Namun, ada sedikit catatan khusus yang bisa dibuat, jika hal tersebut kita lakukan untuk membuat kaum muslimin yang umum lebih mendekat pada keislaman, mungkin saja hal tersebut diperbolehkan.

Moment tahun baru Hijriah (mungkin) bisa dijadikan semacam pengingat bagi kaum muslimin mengenai sirah Rasulullah SAW, romantisme sejarah dan perjuangan kaum muslimin di awal perjuangan Islam.  Sehingga diharapkan bisa menimbulkan kesadaran yang lebih dalam beragama.

Menumbuhkan semangat perubahan terkait perubahan tahun dalam permaknaan kata hijrah, agar tidak terus menerus terlarut dalam kelalaian, asyik-masyuk dalam kemaksiatan, dan tersadar dari kehilangan orientasi penciptaan yang selama ini terjadi.

Semoga dalam setiap hari kita, selalu ada perubahan dalam kebaikan yang bisa kita raih. Insya Allah.

Ditulis @11 Januari 2008

---000---

Samarinda, Kaltim
dikompilasi-modifikasi ulang @26 Desember 2008

7 comments:

  1. momen yg tepat tuk menghisab diri apa saj yg tlah kita perbuat setahun yg lalu....dan apa yg musti kita lakukan tuk ke depan

    ReplyDelete
  2. setuju om...
    kadang banyak orang suka berlebihan menyikapin orang lain...
    selama masih dalam batas normal dan wajar, kenapa harus di cerca..

    setidak tidaknya semangatnya adalah semangat menjadi lebih baik dari ke hari..

    ReplyDelete
  3. ...Memilih u muhasah saja dan lebih baik menyelesaikan&mempersìapkan amanah2 ke depan...

    ReplyDelete
  4. ...Memilih u muhasabah saja dan lebih baik menyelesaikan&mempersìapkan amanah2 ke depan...

    ReplyDelete
  5. ni tulisan thn kmren ya, pin
    gw kayak dejavu deh
    atau tahun ini tapi judulnya=
    "saya tak merayakan hari ulang tahun :D

    hehehehe,... kesannya perhatian banget gw sama postingan lo

    :toe:

    ReplyDelete
  6. mengenai tahun baru masehi memang tidak sebaiknya untuk dirayakan...
    kemudian mengenai hijriyah adalah masalah ini merupakan khilafiyah ulama juga...perbandingan terdekat adalah masalah Maulid Nabi saw...

    para ulama yang membolehkan perayaan maulid adalah dimaksudkan untuk menyemangati diri, menumbuhkan kecintaan kepada Nabi saw...inilah yang diprakarsai oleh Shalahuddin al Ayyubi dalam menggalang semangat jihad ketika perang Salib dengan mengadakan perayaan maulid...

    seorang shahabat (kalau tidak salah cucu nabi saw) pernah mengucapkan syair yang berisi pujian dan kecintaan kepada nabi saw di atas mimbar nabi..seseorang telah memperingatkan beliau, tapi kemudian Aisyah isteri nabi mencegah orang tsb dan membiarkan cucu nabi membaca syair....kata Aisyah biarlah dia mengucapkan syair karena ingin membangkitkan kecintaan kepada nabi saw....

    demikian kurang lebih bunyi haditsnya....

    mengucapkan syair pujian kepada nabi saw memang sesuatu yang tidak lazim atau tidak pernah dilakukan para shahabat nabi saw ketika rasul masih hidup, tapi bukan berarti memuji beliau di atas mimbar adalah perbuatan bid'ah karena Aisyah sendiri tidak melarang cucu nabi saw tsb,,,

    inilah yang dimaksud kerangka 'bid'ah hasanah' khususnya dalam mazhab Syafi'i,,,
    sebuah perbandingan juga bagi perayaan hijriyah...

    wallahu a'lam....

    ReplyDelete